Saturday, January 24, 2015

Cerbung Reason - Part 18

`Reason`

Part 18

Muhammad Aryanda Pacarnya Jessica Selingkuhannya Yoona Mantannya Taeyeon.

O-o-o-o-O


(Namakamu) tidak menoleh.
(Namakamu) tidak bersuara.
(Namakamu) hanya berjalan pasrah di tarik masuk ke dalam mobil oleh Bu Citra.
Senyuman pilu itu pun kembali terukir di wajah Iqbaal. Dia memandang sendu kepergian (namakamu). Memang dia akan bertemu dengan (namakamu) nanti. Tapi apakah dia bisa mendapatkan waktu yang tepat dan keberanian untuk berbicara kepada (namakamu) seperti tadi.
Melihat (namakamu) membuat Iqbaal mengingat kejadian malam itu. (Namakamu) menangis karenanya dan semua rasa sakit yang (namakamu) rasakan adalah karenanya.
Entah sampai kapan akan terus begini. Yang jelas kesakitan itu terus menjalar di dalam ruang hatinya. (Namakamu) marah, gadis itu pergi, benar-benar pergi dari hidupnya.
*
Jam istirahat sudah berakhir sekitar lima menit yang lalu, tapi Salsha dan yang lainnya masih duduk di kursi kantin yang paling pojok. Bermacam-macam bungkusan makanan ringan berserakan diatas meja mereka. Padahal berkali-kali Ibu Kantin sudah menyuruh mereka untuk membuang bungkusan makanan itu ke tempat sampah, tapi salah satu dari mereka tidak ada satupun yang bergerak untuk melakukan apa yang di perintahkan wanita tua itu.
Kiki makan kuachi dengan khidmat tanpa memperdulikan keheningan yang berlangsung. Olivia dan Iqbaal sesekali melakukan interaksi melalui gerak tubuh tanpa ada satupun yang menyadari. Sementara Salsha dan Aldi hanya menopang dagu mereka dengan wajah kelewat bosan.
”Bosen...siapa aja culik gue.” Gerutu Salsha tanpa mengalihkan pandangannya yang menusuk ke arah Aldi.
Mendengar ucapan Salsha hanya membuat Aldi tersenyum miring.
”Gue sama Olivia balik duluan ya.”
Salsha dan Aldi maupun Kiki yang konsen dengan makanannya buru-buru menolehkan wajah mereka ke sumber suara. Detik itu juga Iqbaal dan Olivia beranjak dari tempat duduk, merasa kalau mendapati tatapan-tatapanyang menyiratkan keanehan membuat Iqbaal dan Olivia sejenak mematung.
”Gausah lo perduliin nih dua bocah, mereka berdua emang sok misterius banget dari semalem.” Cibir Kiki, laki-laki itu kembali mengutatkan dirinya pada makanannya.
”Berdua? Kenapa harus berdua?” Tanya Salsha dengan nada mengintrogasi, sentak membuat Iqbaal memandangnya dengan sarkastik terbaik laki-laki itu.
”Biasanya juga kita berdua.” Jawab Iqbaal ambigu.
Dalam beberapa detik Salsha membiarkan otaknya yang minim akan kecerdasan itu berpikir. ”Aniyo, biasanya lo selalu sama (namakamu).” Celetuk Salsha sambil nyengir lebar ke arah Aldi.
Iqbaal tertawa sumbang. ”Itu kan dulu, sekarang kan (namakamu) udah sama Aldi.” Kata Iqbaal masih berusaha untuk terlihat baik-baik saja, dia menyenggol lengan Aldi sambil melontarkan cengiran khasnya.
”Bete deh ah, jangan sampe lo putus sama (namakamu), Al,” Salsha menjatuhkan wajahnya ke meja. Baik Aldi maupun Iqbaal mengangkat sebelah alis masing-masing. ”Ntar kalo lo putus bisa aja kalian jaga jarak. Nah, kalo udah jaga jarak pasti bakalan ngefek ke persahabatan ini.”
”Kayak lo sama Farrel ya?” Sahut Aldi pedas tapi yang membuatnya menyesali perkataannya adalah ketika melihat Salsha mengangguk lemah.
”Kenapa sih cinta selalu kayak gitu; penderitaanya tiada akhir.”
Dulu. Kalau kata-kata yang kurang bisa di sanggah oleh Salsha selalu menjadi bahan tertawaan teman-temannya tapi untuk saat ini teman-temannya hanya bisa diam seakan kalimat yang barusan di ucapkan oleh Salsha mengalir dan dicerna baik-baik oleh kepala mereka.
Drrt! Drrt!
Suara getaran ponsel Salsha membuat gadis itu meraih ponselnya yang ada di saku baju.
`(namakamu)`
-Gue udah balik, kok lo semua kgk ada di kls??????-
Tanpa menyuarakan pesan yang dia terima dari (namakamu), Salsha mengetik balasan dalam diam.
*
Iqbaal dan Olivia keluar dari kantin secara bersamaan dan keheningan langsung menyapa kedua manusia ini. Olivia memang sempat mengajak yang lainnya untuk masuk ke kelas namun tidak ada salah satupun dari mereka yang bergerak. Olivia tidak memaksakan. Jadi dia segera menyusul Iqbaal yang lebih dulu melangkah.
Suasana sekolah benar-benar sepi. Murid-murid yang sedang menerima materi dari guru seperti benar-benar (sok) memperhatikan. Langkah Iqbaal dan Oliviapun terkesan menggema. Dengan tangan yang saling bertautan, Iqbaal dan Olivia melangkah dalam diam.
”Kamu kenapa sih, aneh banget. Sakit?” Sudah hampir tiga jam Iqbaal menahan pertanyaan itu untuk tidak keluar dari mulutnya. Entahlah, memang itu dia rasakan sejak sedaritadi saat bersama Olivia. Gadis di sebelahnya itu tampak kaku dan gelisah. Iqbaal tidak tahu apa penyebabnya, dan jika dia bertanya, Olivia hanya menjawab 'gak pa-pa' atau hanya sekedar menggeleng.
”Gak pa-pa.” Iqbaal sudah bisa menduga apa yang akan keluar dari mulut Olivia. Iqbaal hanya bisa menggeleng pasrah dan tak berniat melanjutkan percakapan ini.
Tap! Tap! Tap!
Awalnya suara langkah kaki yang terdengar itu sangat kecil dalam artian sangat jauh, namun lama-kelamaan suara langkah itu semakin terdengar dekat sampai akhirnya yang empunya berhenti tepat di hadapan Iqbaal dan Olivia.
”Loh, kok lo bisa di sekolah?” Tanya Olivia bingung dengan kehadiran (namakamu).
”Udah selesai.”
”Gimana, susah gak? Pengumumannya kapan?”
Untuk menjawab pertanyaan kali ini, (namakamu) sediki lama, pasalnya dia harus mengatur napasnya yang terengah-engah karena harus berlari-lari di sepanjang koridor.
”Lumayan susah, sih. Pengumumannya besok,” sekuat mungkin (namakamu) untuk tidak mengerlingkan bola matanya ke laki-laki yang berdiri tepat di sebelah Olivia. Melihat bagaimana tangan mereka bertautan saja sudah membuat hati (namakamu) seperti diremas kuat-kuat. ”Lo mau kemana?” Pertanyaan (namakamu) terdengar aneh, padahalkan disebelah Olivia ada Iqbaal seharusnya dia menggunakan kata 'kalian'.
”Hmm, ke kelas.”
(Namakamu) tidak benar-benar ingin menanyakan hal itu, dia hanya ingin mengulur waktu supaya Iqbaal mengatakan sesuatu kepadanya. Seperti halnya tadi pagi, (namakamu) sangat penasaran apa yang ingin di katakan oleh Iqbaal.
”Yaudah, gue duluan ya.”
Olivia mengangguk dan detik berikutnya (namakamu) segera melenggangkan kakinya untuk meninggalkan sepasang kekasih ini. Tak lupa seulas senyuman (namakamu) sunggingkan.
*
(Namakamu) tak masuk lagi ke kelas untuk mengikuti pelajaran yang sedang berlangsung. Sesuai perkataan Bu Citra kemarin kalau dia tidak perlu membawa buku hari ini karena dia akan mengikuti lomba sampai setengah hari. Bu Citra juga mengatakan pada (namakamu) kalau dirinya juga sudah boleh pulang, akan tetapi (namakamu) malah kembali ke sekolah. Tidak mengikuti pelajaran, (namakamu) melarikan diri ke perpustakaan.
Bel berdering sebanyak tiga kali membuat (namakamu) menghentikan aktivitas membacanya. Dia meletakan buku yang ada di hadapannya pada tempatnya, sebelum akhirnya dia keluar dari perpustakaan.
Hap!
Baru saja (namakamu) ingin melangkahkan kaki ke arah kelasnya, sebuah genggaman melekat di pergelangan tangannya lalu menariknya. Awalnya (namakamu) tidak mengenali siapa murid laki-laki yang menariknya ke samping perpustakaan. Tetapi hanya membutukan waktu kurang lebih 10 detik bagi (namakamu) untuk mengenali siapa sosok laki-laki yang sekarang berada dihadapannya.
(Namakamu) merasa muak pada dirinya sendiri saat perasaan aneh itu mulai menjalar ke dalam tubuhnya.
”Maaf,” kata itu yang pertama kali (namakamu) dengar dari mulut laki-laki di hadapannya.
(Namakamu) menguatkan dirinya agar dia tidak bertingkah yang aneh-aneh, dia harus kuat, dia tidak ingin lagi terjerumus ke lubang yang sama, lubang yang membuat hidupnya terasa amat sakit.
Sebelum mengucapakan sepatah kata, (namakamu) menghela napasnya pendek. ”Untuk?” suaranya terdengar santai, walaupun (namakamu) rasa itu tidak terlalu sesuai dengan keadaan dirinya yang tiba-tiba saja mendadak lemas.
”Untuk semuanya. Maaf.”
Mata cokelat yang indah itu kembali (namakamu) dapatkan, sih pemilik mata memandang ke arah (namakamu) dengan sangat mengintimidasinya. (Namakamu) tidak tahan, dia ingin sekali untuk tidak bersikap seperti ini tapi egonya mengalahkan semuanya.
”Udah, kan? Kalau udah gue mau pulang.”
Kaki (namakamu) baru bergerak untuk mengambil langkah pertamanya tapi langkahnya harus terhenti saat Iqbaal meraih pergelangan tangannya.
”Gue belum selesai bicara.” Kata Iqbaal semakin menatap tajam ke arah (namakamu).
”Lo mau ngomong apa sih? Gak jelas banget.” Jangan nangis oon! (Namakamu) memaki dalam hati saat dia sadari cairan tolol itu mendesak pertahanan pupilnya.
”Gue gak bisa ngomong kalo lawan bicara gue gak noleh ke arah gue.” Iqbaal ragu untuk mengangkat wajah (namakamu), gadis itu menunduk gelisah.
Tapi (namakamu) tetap bersih keukeuh untuk tidak menatap ke lawan bicaranya.
”Gue tau gue jahat sama lo, (namakamu).”
”Gue gak mau lo kayak gini sama gue.”
”Gue mau (namakamu) yang dulu.”
”(Namakamu) yang selalu sama gue.”
”(Namakamu) yang gak pernah nangis.”
”(Namakamu) yang selalu ngajari gue, nasehati gue. Gue rindu sama masa-masa itu.”
”(Namakamu), maaf, maafin gue. Gue gatau harus kayak gimana lagi supaya lo maafin gue.”
”Tapi kalo apa yang lo mau adalah gue pergi dari hidup lo, sori, gue gak bisa, gue gak akan pernah bisa ngelakuin itu, gue gak bisa jauh dari lo, gue ngerasa kalo lo adalah sebagian dari hidup gue.”
Tak ada reaksi dari (namakamu). Gadis itu malah mematung. Tapi perlahan bahu (namakamu) bergetar hebat, tubuh gadis itu terguncang hingga sampai akhirnya terdengar suara sesegukan.
”Gue mohon, (namakamu), jangan nangis.”
Menyeka air matanya dengan punggung lengannya, (namakamu) menengadah dengan wajah berang.
”Lo gak mau gue nangis tapi asal lo tau, penyebab gue nangis itu adalah lo! Lo yang selalu bikin gue nangis, lo yang selalu bikin hidup gue menderita! Lo yang selalu bikinn gue sakit hati! Gue benci sama lo!
”Lo tau gimana rasanya jadi orang yang cuma bisa nonton dan kasih saran? Rasanya sakit, Baal! Itu yang gue rasain saat lo selalu cerita bahkan minta saran sama gue tentang gimana caranya supaya lo bisa jadian sama Olivia!
”Terus! Setelah lo jadian sama Olivia dan gue mulai bisa lupain lo! Dengan seenaknya lo bilang kalo lo gak mau gue pergi dari hidup lo! Lo sayang sama gue tapi lo gak bisa buktiin itu! Sayang lo semu, Baal, gak jelas,” (namakamu) tersenyum kecut.
”Gue izini lo keluar masuk dari hati gue sesuka lo! Tapi tolong, jangan berdiri di tengah-tengah pintu hati gue karena itu menghalangi orang lain buat masuk!”
Iqbaal begitu shock mendengar untuk kesekian kalinya rasa yang selama ini (namakamu) pendam. Gadis ini.....apakah dia memang merasakan hal yang sesaki itu, sampai dia tidak ingin lagi untuk kembali ke orang yang sama.
”Gue benci jadi orang lemah, gue juga butuh kebahagiaan.” Suara (namakamu) meredah, tenaganya mulai habis karena menangis sembari berteriak-teriak. Untunng saja bagian samping perpustakaan ini adalah jalan buntu, jadi tak membuat murid-murid mendengar perdebatan mereka apalagi melihatnya.
”Gue bakalan buktiin sama lo, kalo gue bener-bener sayang sama lo,” Iqbaal mendekatkan wajahnya sambil menyibak beberapa rambut yang menutupi wajah (namakamu). ”Gue bakalan mengakhiri hubungan gue sama Olivia. Demi lo.”
Plak!
Wajah Iqbaal menggeser sedikitnya 30' dari posisi semula. Sebuah tangan tiba-tiba saja melayang menghantam wajahnya dengan keras. Awalnya, Iqbaal pikir (namakamu)lah yang melakukan itu kepadanya tapi saat manik matanya bergerak kesudut, Iqbaal mendapati Olivia berdiri di dekatnya dengan air mata yang sudah membasahi wajahnya.
”Kalo mau nyakitin gue bukan kayak gini caranya. Lo bukan cuma nyakitin gue tapi lo bakalan ngehancuri persahabatan ini!” Meskipun mata Olivia yang merah itu mengeluarkan airmata sudah cukup untuk menggambarkan betapa sakitnya dia saat ini, Olivia berusaha untuk tidak bertingkah seperti (namakamu), (namakamu) tampak seperti orang yang baru saja ingin di bunuh hidup-hidup. ”Kalo itu mau lo, gue terima, hubungan kita selesai.”
Olivia melangkah pergi begitu saja, dia sengaja untuk tidak melakukan kontak mata pada (namakamu). Karena sungguh, Olivia merasa kalau dia tidak ingin meluapkan amarahnya kepada gadis itu juga.
”Udah gak ada yang perlu di bicarain lagi kan?” Tanya suara parau pada (namakamu), yang jelas itu bukan suara milik Iqbaal bahkan Olivia.
”Al..”
”Gue tau lo capek habis lomba tadi, gue gak mau lo sakit, mending sekarang kita pulang.” Aldi. Ya, laki-laki itu tampak aneh dengan suara yang bergetar hebat. Dia menarik tangan (namakamu), meninggalkan Iqbaal yang mematung seorang diri.

Bersambung...


Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

No comments:

Post a Comment

Situs terkait