Part 2
Muhammad Aryanda.
O-o-o-o-O
Suara gedebuk menganggetkan (namakamu) hingga gadis ini nyaris melompat. Perlahan namun pasti, dia melangkahkan kakinya ke arah sekolah. Langkah (namakamu) yang sebelumnya lambat mendadak berlari kencang setelah mendengar geraman binatang sejenis harimau. Harimau? Tidak mungkin, tidak mungkin binatang buas ada di tempat ini, tetapi tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. (Namakamu) berlari semakin kencang dan sangat kencang, keringat mulai membasahi hampir seluruh wajahnya, sambil berlari kedua tangan (namakamu) menyibak daun dan ranting yang mengganggu penglihatannya,tidak peduli buku-buku jarinya terluka akibat ranting yang tajam.
Secara tiba-tiba langkah (namakamu) terhenti, ada seseorang yang menutupi wajahnya dengan kain hitam pekat, kemudian hidungnya mencium sesuatu yang sangat memualkan lebih dari lumut yang menjijikan.
Setelah itu (namakamu) tidak sadarkan diri.
oOo
Ketika sadar (namakamu) merasakan dia sedang terbaring di pemukaan yang basah, sesuatu yang aneh mengguncang tubuhnya berkali-kali. (Namakamu) harus mengerjapkan matanya berkali-kali agar mengembalikan pandangan seutuhnya. Matanya perih, kepalanya pusing dan badannya serasa seperti di tinju oleh petinju dunia berkali-kali
(Namakamu) mengucek-ngucekmatanya untuk meyakinkan kalau matanya sudah kembali normal. Saat tangannya jatuh ke permukaan dia merasakan sesuatu yang kasar, basah seperti beras.
Gue dimana, batin (namakamu) bertanya-tanya.
Saat itu matahari sudah berada di ubun-ubun, suasana damai hanya terdengar suara deburan ombak menghantap bebatuan. (Namakamu) mengetahui sedang dimana dia sekarang tepat saat angin kencang menghembus rambutnya. Terlebih dahulu (namakamu) meringkuk, memeluk lututnya seraya menolehkan pandangan kearah air laut jernih, paduan antara pasir putih dan air laut yang biru.
Dia sadar tempat ini tidak ada pengunjung. Mengapa? Padahal tempat ini sangat indah.
Suara berisik, hentakan kaki, dan kericuhan lainnya mengusik lamunan (namakamu) yang saat ini sedang menikmati keindahan sekaligus suasana pantai. (Namakamu) menoleh ke sumber suara yang berada tepat di belakangnya.
”Happy birthday too you.. Happy birthday too you.. Happy birthday, Happy birthday,.. Happy birthday (namakamu)...”
Nyanyian itu terdengar dari mulut-mulut segerombolan orang-orang yang memiliki suara pas-pasan, membuat (namakamu) tertunduk malu sekaligus bangkit dari posisi duduknya.
”Surpise!!! Happy birthday, (namakamu).” Salsha yang pertama kali menghampiri (namakamu) lalu memeluknya.
Aldi yang membawa kue segera berjalan menghampiri (namakamu). ”Make a wish,” katanya kalem, buru-buru, Olivia, Salsha, Kiki dan Iqbaal berbaris di hadapannya.
(Namakamu) memejamkan matanya, pertama kali yang di harapkan adalah suasana kebersamaan ini tidak akan pernah hilang diantara mereka, dia menginginkan orang-orang ini untuk selamanya berada di dalam hidupnya, mereka, teman-temannya.Dan untuk kedua orang tuanya, (namakamu) ingin mereka mengerti kalau dia bukan anak kecil yang selalu di awasi di setiap gerak-gerik, dia ingin di perlakukan sebagaimana seorang gadis beranjak dewasa seperti seharusnya, (namakamu) tahu kalau perlakuan kedua orang tuanya hanya semata-mata karena menginginkan dirinya tetap baik-baik saja.
Aku mencintainya.. (Namakamu) mengembuskan napasnya, ke arah lilin yang berkali-kali padam karena embusan angin, membuat Iqbaal yang tukang menyalakan jengkel setengah mati.
Dibawah terik matahari, mereka menghabiskan waktu sampai sore. Di pantai ini banyak kesenangan yang bisa membuat mereka tak jenuh, mulai dari mengajari (namakamu) berenang (yang hasilnya tak memuaskan), membuat istana pasir (yang selalu di hancurkan oleh ombak), bermain Volly tak bernet, Olivia selalu gagal menepis bola dan selalu memukul bola volly dengan arah melenceng, dengan senang hati Olivia menyingkir.
Suasana seperti ini yang sangat sulit di lupakan oleh mereka. Olivia menjadi fotograper handal saat mengabdikan moment seperti ini. Mata dan tangannya sangat lihai, seolah matanya berbicara pada tangannya untuk memotret bagian-bagian mana saja.
oOo
(Namakamu) tiba di rumah dengan keadaan basah kuyub, syukurnya saat itu Mamanya sedang pergi dan hanya menyisahkan Bi Surti.
(Namakamu) tidak menyangka ulang tahunnya tahun ini menjadi yang paling sederhana sekaligus yang paling meriah. Jika ulang tahun sebelumnya di rayakan di rumah secara besar-besaran, mengundang seluruh teman SMPnya, akan tapi (namakamu) tidak merasakan sebuah atmosfer kebahhagian seperti saat ini di kala itu. (Namakamu) mencintai pantai, dia mencintai ombak, pasir putih, kesejukan, angin kencang yang mampu membangkitkan jiwanya.
Ketika selesai makan malam, Mama (namakamu) memerintahkan putrinya untuk mengantar Makanan ke kosan Iqbaal.
Iqbaal adalah anak kos, dia asli orang bandung. Ketika SMP kedua orang tuanya tinggal di Jakarta, rumahnya bersebelahan dengan rumah (namakamu). Jadi mereka bisa di bilang yang paling akrab di antara teman-teman yang lainnya, orang tua (namakamu) mengenal Iqbaal sebagaimana orang tua Iqbaal mengenal (namakamu) dengan baik.
Alasan Iqbaal ingin menetap di Jakarta hanya dua. Pertama, karena tidak ingin berpisah dengan teman-teman semasa SMPnya, dan yang kedua, karena orang tuanya sangat jarang di rumah, ayah dan bundanya selalu lebih mementingkan pekerjaan mereka di bandingkan dirinya. Keluar kota nyaris setiap minggu, pulang malam, bahkan Iqbaal sering mendapati mereka absen di meja makan di kala pagi. Iqbaal menganggap kalau dia termasuk salah satu anak broken home walaupun kelima temannya menentang.
Disini, selain hidup mandiri, yah, walaupun setiap bulan dia selalu mendapati komisi dari kedua orang tuanya, Iqbaal tidak pernah merasa menyesal dengan keputusannya. Dia sangat menyayangi sahabatnya yang kadang suka bikin rusuh di kosannya.
Kosan yang di tempati Iqbaal tidak begitu jauh dari rumah (namakamu), hanya berselang tiga sampai empat rumah saja. Kosan Iqbaal berada di gang kecil, yang notabane orang-orang ramah. (Namakamu) tidak pernah merasa dia di buntuti.
Sebuah rumah berderet berjumlah empat rumah kecil, sudah tinggal beberapa langkah lagi di hadapannya. Malam ini sangat dingin, (namakamu) mengenakan sweater dari kain wol berwarna biru.
(Namakamu) menghela napas sebelum mengetuk pintu kosan Iqbaal, mengecek makanan dan kudapan yang dia bawa berharap kondisinya masih layak. Di dalamnya ada nasi dan opor ayam beserta beberapa snack dan roti. Tapi saat (namakamu) ingin memutar knop pintu, pintu langsung terbuka, pintu tidak terkunci. (Namakamu) melangkah masuk tanpa permisi, bukan tindakkan yang patut di contoh.
Ketika dia berada di dalam, ruang utama gelap, dengan lancang (namakamu) menekan saklar agar lampu di ruangan ini menyala.
Kosan Iqbaal hanya terbagi tiga ruangan, ruang depan, kamar, dan dapur—dan, kamar mandi kecil yang berada di dapur.
(Namakamu) sudah biasa melihat ruang depan yang berantakan, ada dua sofa putih kecil diantara meja di ruangan ini, bantal sofa tergelatak asal di lantai, bungkusan-bungkusan snack berserakan dimana-mana. (Namakamu) ingin marah, tapi dia malah tersenyum—entahlah, (namakamu) sendiri tidak tahu mengapa dia tersenyum, terkadang kelakuan pemuda itu menggemaskan baginya. (Namakamu) ingin melangkah ke arah kamar, bermaksud ingin mengetuk pintu, siapa tahu Iqbaal ada di dalam sedang tidur. Tapi baru satu langkah (namakamu) menuju kamar, suara lembut khas Iqbaal terdengar samar-samar. (Namakamu) mendekatkan telinganya ke pintu.
”...lo beda sama cewek lain—gue ngerasain itu—lo seolah punya inner beauty yang gak di miliki sama cewek-cewek lain di sekolah... Gue bingung—kenapa gue kayak gini—setiap deket lo, gue ngerasa ada yang beda dari diri gue—gue tau kita sahabat—dan—guemau lebih...”
Sesaat tak terdengar suara apapun. Sedang berbicara dengan siapa Iqbaal? (Namakamu) membatin, sampai akhirnya dia mengetahui jawabannya ketika matanya mengintip di lubang kunci. Tidak ada siapa-siapa.
Lanjutan kalimat Iqbaal membuat jantung (namakamu) nyaris berdegup kencang seakan ingin keluar dari sarangnya. Mata (namakamu) membulat sendu.
”Gue sayang sama lo, Liv,”
Liv? Olivia maksud Iqbaal? Iqbaal menyukainya? Sudah berapa lama? Kenapa (namakamu) seakan tidak menyukai mendengar kabar ini. Jantung (namakamu) terpompa lebih cepat dari biasanya, tangannya yang tanpa sadar sudah meremas plastik berisi makanan perlahan berkeringat, lututnya gemetaran pertanda tubuhnya berangsur lemas. Iqbaal menyukai Olivia? Mencintai Olivia? Iqbaal ingin memiliki hubungan lebih dari sekedar sahabat dengan Olivia?
(Namakamu) memutar tubuhnya dengan rusuh, dia ingin keluar dari ruangan penuh sesak ini, entah sejak kapan sesak di dadanya membuat dia sulit bernapas. Tiga langkah di ambil secara terburu-buru, bungkusan snack yang bertebaran dimana-mana tanpa sengaja terinjak olehnya.
Semua berlangsung cepat. (Namakamu) mematung di tempat langkah terakhirnya, knop pintu terputar dan pintu terbuka membuat bahu (namakamu) terguncang.
”(Namakamu),” suara Iqbaal penuh was-was, seperti tidak ingin mengharap kan sesuatu. Iqbaal hanya mengenakan wife beater dan jeans cropped hitam, rambut hitam cepaknya basah.
(Namakamu) berbalik, kemudian tersenyum getir.
”Lo—lo udah lama berdiri disitu?” Tanya Iqbaal dengan ekspresi ganjil. (Namakamu) menghela napas, lalu mendongakkan kepalanya, ada yang berlomba-lomba ingin keluar dari pupilnya. Berselang dua detik, (namakamu) kembali menatap Iqbaal, (namakamu) tidak menjawab, dia hanya mengigit bibir bawahnya sambil mencoba bersikap baik-baik saja, dan itu membuat Iqbaal sudah mengetahui jawabannya. ”Gue mohon, lo jangan kasih tau siapa-siapa,” Iqbaal berjalan menghampiri (namakamu), meletakan masing-masing tangannya di bahu (namakamu).
(Namakamu) mengangguk walau dia merasakan ada yang hancur di dalam tubuhnya. Iqbaal tersenyum. ”Makasih, lo memang sahabat gue yang paling ngertiin gue.” Kata Iqbaal lembut, kalimat Iqbaal hanya membuat (namakamu) semakin ingin menangis, tetapi tidak mungkin menangis. Itu akan hanya terlihat seperti gadis tolol.
Dua detik selanjutnya, (namakamu) merasakan tubuhnya terhempas, terhempas ke tempat yang amat nyaman yang bisa membuat hatinya sedikit tenang. Butuh waktu yang cukup lama untuk menyadari kalau Iqbaal sudah memeluknya.
”Lo pernah gak sih, (namakamu), ngerasain jatuh cinta sama sahabat sendiri? Rasanya itu gak enak, seakan lo mendapatkan pilihan yang di setiap pilihan mempunyai resiko yang besar,” Iqbaal memaparkan sesuatu yang sepertinya sudah lama terpendam dalam hatinya. ”Gue gak tau harus ngelakuin apa, apakah gue harus mempertahankan cinta gue buat Olivia kemudian bercita-cita jadi kekasihnya atau cukup jadi sahabatnya?”
(Namakamu) hanya diam saja mendengar curahan hati Iqbaal, dia tidak tahu harus berbuat apa, dia seperti pemain drama linglung, lupa nama, lupa adegan, lupa skenario, lupa peran, lupa segala-galanya.
Iqbaal merasakan kalau (namakamu) menggeleng, lalu merenggangkan pelukannya. (Namkamu) terlihat kacau malam ini, beda dengan beberapa jam yang lalu saat di pantai.
”Happy birthday, (namakamu),” ujar Iqbaal tiba-tiba. Suara Iqbaal mengalir lembut masuk ke dalam telinga (namakamu). (Namakamu) yang tadi langsung menunduk mendadak menengadah menatap Iqbaal. Iqbaal yang lebih tinggi dari pada dirinya menyeringai lebar seraya menggaruk tengkuk, lalu pemuda itu meraih tangannya, seketika (namakamu) menjadi kikuk. ”Walaupun tadi gue udah ngucapin, tapi rasanya kurang gimana gitu kalau ngucapin bareng-bareng.”Iqbaal hanya mengelus lembut punggung tangan (namakamu), senyumnya masih terukir menawan.
(Namakamu) menyeringai kaku. ”Thanks—ini ada makanan dari Mama gue, lo pasti belom makan, kan, lebih baik lo makan dulu, ntar kalau sakit gimana, lo kan cuma sendiri disini, gak mungkin, kan kalau gue setiap malem kesini cuma buat nyuruh lo minum obat sama makan.” Kalimat itu keluar terburu-buru dari mulut (namakamu), entah kenapa mulai detik ini seolah-olah dia merasakan Iqbaal akan pergi jauh.
Sambil nyengir lebar Iqbaal mengibaskan tangannya. ”Hehehe, sip, bos.” kemudian berjalan menuju sofa seraya sesekali membungkuk untuk mengutip bungkusan snack. ”Maaf, ya, kalau kosan gue sering berantakan, maklum gak ada pembokat kayak di rumah lo.” kata Iqbaal terkekeh.
(Namakamu) sudah duduk ketika Iqbaal memasukan semua bungkusan snack ke dalam kantong plastik besar lalu duduk di sofa yang ada di hadapannya.
”Gue boleh tanya sesuatu?” Suara (namakamu) bersamaan dengan hembusan napas seolah itu sesuatu yang sebenarnya tak ingin dia tanyakan, membuat Iqbaal mengernyitkan alisnya.
”Boleh.”
”Udah dari kapan lo mendam perasaan lo buat Oliv?”
”Lumayan lama,” jawab Iqbaal langsung.
”Tepatnya?”
”Hmm—gue ngersain ada sesuatu yang beda itu pas tahun baru kemarin, sewaktu kita ngerayain tahun baruan di kosan gue.” jelas Iqbaal, dia sedikit menerawang ke masa lalu, dimana tepatnya ketika pergantian tahun.
Tahun baru yang lalu mereka memang merayakannya di kosan Iqbaal. Suara teropet, balon warna-warni, kue tart bertingkat, topi bertulisan 'happy new year' dan masing-masing dari mereka harus memberikan hadiah kepada teman-temannya.Semua itu masih tergambar jelas di kepala Iqbaal, selain itu kenangan indah, mereka juga hampir setiap tahun melakukan retunitas seperti itu tiap tahunnya.
”Gue pulang dulu, ya, udah malem.” kata (namakamu) yang baru saja melirik arloji di pergelangan tangannya. Gadis itu tampak gelisah sekali.
”Eh, lo gak mau nemeni gue makan dulu? Biasanya, kan...” Kalimat Iqbaal langsung terhenti ketika (namakamu) beranjak seraya menggeleng.
”Gue pusing banget, lagian tadi mama bilang jangan pulang terlalu malem.” dengan bergaya akting kelas oscar (namakamu) memijit-mijit keningnya.
”Jangan lupa minum obat, ya, gue gak mau liat kalau besok lo di kelas sakit atau sampai gak dateng gara-gara sih sakit itu.” Iqbaal mengingatkan seraya membumbui candaan sedikit di kalimatnya berharap (namakamu) terkekeh.
”Ya, pasti,” tapi tidak, (namakamu) tidak terkekeh. Wajahnya serius seperti murid yang sedang menghadapi ulangan matematika.
”Gue anter,” buru-buru Iqbaal menawarkan pertolongan ketika (namakamu) berbalik hendak melangkah menuju pintu.
”Gak usah, gue bisa sendiri kok, lagian gak jauh-jauh amat.”
Iqbaal tercenung memandang punggung(namakamu) yang bergerak dan kian menjauh.
Gadis itu kenapa?
oOo
Aldi baru saja keluar dari kamar mandi, niatnya sudah matang untuk mengajak (namakamu) makan malam. Alih-alih sebagai hadiah ulang tahun mentraktir (namakamu) makan. Kendengaran konyol, ya, memang, Aldi sendiri tersenyum seperti orang gila membayangkannya.
Hanya perlu memakan waktu sepuluh menit untuk memilih kemeja dan jeans yang tepat. Aldi sedang bercermin, memandang dirinya sendiri berharap tidak terlalu lucu ataupun terlalu modis. Kemeja hitam levis lengan panjang membalut indah tubuhnya yang atlis, jeans senada dan sepatu convers bergaris putih tampak cocok dengan dirinya. Aldi langsung menyambar kunci motor yang tergeletak di atas nakas.
”...(Namakamu) baru aja pergi ke kosan Iqbaal, nganter makanan dari tante.”
Tiga menit yang lalu, Aldi tiba di rumah (namakamu) dan ternyata (namakamu) sedang tidak ada dirumah, (namakamu) sedang pergi ke kosan Iqbaal. Apakah dia harus kesana lalu berkata ”(namakamu), gue mau ngajak lo dinner.” di depan Iqbaal? Pasti Iqbaal akan menertawakan Aldi keesokan harinya.
”Oh, makasih tante, kalau gitu Aldi pamit dulu.” ucap Aldi ramah.
”Engga mau nunggu dulu? Siapa tahu (namakamu) sebentar lagi pulang.” Tante Ratna mencoba menyarankan karena tidak tega dengan pakain Aldi yang sudah rapi dan terlihat tampan dari biasanya.
”Hm, boleh, Aldi tunggu di luar aja.” sebelum Tante Ratna menyuruhnya masuk, Aldi buru-buru memberi usul dan Tante Ratna mengangguk tanpa menunjukan raut wajah kecewa.
”Tante bikin minum dulu, ya.” Kali ini Aldi tidak berani menolak, selain tidak tega, dia juga haus karena ke inginannya untuk mengajak (namakamu) tidak langsung terwujud. *apahubungannya_-
Tante Ratna sudah masuk ke dalam rumah, Aldi berjalan menuju salah satu kursi yang ada di beranda rumah lalu duduk.
Malam ini langit seakan terasa lebih gelap, awan yang menyerupai kabut menghalangi cahaya bulan ke bumi, sederet kumpulan awan hitam menutupi bintang hingga tak tampak di malam ini. Apakah sebentar lagi akan turun hujan? Tanpa sadar jemari Aldi sudah mengeras membentuk sarung tinju.
Suara langkah kaki mengenyahkan Aldi dari keadaan kerisauan. Tante Ratna sudah hampir sampai, dari sini Aldi bisa melihat Tante Ratna membawa nampan berisi kue ringan dan jus jeruk.
”Ah, tante, maaf kalau Aldi jadi ngerepotin.” melihat itu semua Aldi malah menjadi segan.
Tante Ratna hanya tersenyum menanggapi Aldi. ”Gak apa-apa, Al, lagian kan kamu udah tante anggap kayak anak sendiri. Di minum gih, tante mau masuk dulu, ya, gak apa-apa kan di tinggal sendiri?” Tanya Tante Ratna.
”Gak apa-apa tante, makasih tante.”
Sebelum meninggalkan Aldi, Tante Ratna tersenyum ramah.
Aldi kembali duduk, dan memperhatikan langit yang kurang selaras dengan dirinya. (Namakamu) belum kembali, sedang apa dia bersama Iqbaal? Di kosan laki-laki, hanya berdua? Mendadak Aldi berpikir yang aneh-aneh tapi tak sampai lima detik pikiran negatif itu sudah di tepis oleh Aldi, Aldi percaya dengan Iqbaal. Lagipula mereka sudah kenal lama, sudah menjadi sahabat yang layaknya sudah seperti keluarga sendiri.
Bersambung...
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment