`Reason`
Part 14
Muhammad Aryanda.
O-o-o-o-O
Hap!
Langkah (namakamu) yang terkesan berlari untuk menghindari Iqbaal ternyata di ketahui oleh Iqbaal. Iqbaal menyusul (namakamu) dan segera menyambar tangan gadis itu.
”Lo kenapa (namakamu)? Lo ngejauh dari gue, lo gak ngomong sama gue hampir seminggu, lo ganti nomor tanpa ngasih tau gue. Lo kenapa? Gue ada salah apa sama lo, sampe-sampe lo berubah kayak gini sama gue?”
(Namakamu) mencoba melepaskan genggaman Iqbaal tapi Iqbaal tak mengizinkannya,malah sekarang Iqbaal menarik (namakamu) agar mendekat padanya. Dengan sekali gerakan, Iqbaal menutup rapat pintu kosan.
”Baal gue mau pulang, Mama gue pasti nyariin gue.”
”Lo pernah seharian di kosan gue dan itu gak masalah. Tapi kenapa sekarang lo kayak gini?” Pertanyaan Iqbaal penuh penekanan membuat (namakamu) semakin tidak ingin memandang wajah laki-laki itu.
(Namakamu) tidak tahu harus berbuat apa, tapi yang dia inginkan saat ini adalah pergi dari tempat ini. Menjawab semua pertanyaan Iqbaal sama saja dengan mengubur hidup-hidup dirinya. (Namakamu) tak ingin setelah dia memberitahu kepada Iqbaal tentang alasannya menjauh dari dirinya akan membuat nasib pertemanan mereka kian memburuk.
Suara derap langkah bersamaan dengan beberapa detik kemudian pintu terbuka, memecahkan konsentrasi Iqbaal maupun (namakamu). Sosok Olivia berada di ambang pintu dengan tatapan mengarah ke tangan Iqbaal yang sedang menggenggam tangan (namakamu).
”Kalian ngapaian?” Tanya Olivia masih belum melepaskan pandangannya.
Iqbaal maupun (namakamu) sama-sama terkaget dan dengan sekali gerakkan jarak langsung memisahkan mereka.
(Namakamu) bisa melihat wajah Iqbaal dari sudut matanya. Laki-laki itu tampak gelisah seolah dia sangat tidak ingin Olivia melihat adegan seperti tadi, keadaan seperti Iqbaal memegang tangannya. Ya, mungkin hanya itu yang bisa nama terjemahkan dari ekspresi wajah Iqbaal yang berubah kaku seperti seorang maling yang tertangkap basah mencuri.
”Bukan apa-apa,” Kata (namakamu) berusaha tenang, namun nyatanya, suaranya malah terdengar sumbang dan itu kedengaran aneh di telinga Iqbaal maupun Olivia. ”Sori, Liv, gue buru-buru.” Tambahnya, (namakamu) melenggang pergi dan tak lupa menuangkan senyuman ketika berpas-pasan dengan Olivia.
Olivia sampai memutar badannya untuk menatap punggung (namakamu) yang kian menjauh. Setelah itu, dia cepat-cepat menoleh ke arah Iqbaal dengan pandangan bertanya-tanya.
Iqbaal mengangkat kedua bahunya, pertanda tidak tahu.
”Lo gak les?” Tanya Iqbaal, yang sempat melirik jam dinding yang tergantung di atas pintu kosannya.
”Engga, gue lagi males.” Jawab Olivia santai. Tidak sesantai saat kali pertama dia bolos les. ”Aldi masih di dalem?”
Iqbaal mengangguk lalu berjalan masuk ke kamarnya mengekori Olivia.
*
Padahal jam sudah menunjukan pukul tiga sore, tapi entah kenapa matahari di atas sana masih belum beranjak pergi, bahkan langit di atas sana masih sama seperti beberapa jam yang lalu, nyaris tanpa goresan kapas.
Salsha melangkahkan kakinya secara ogah-ogahan ke perkarangan sekolah. Sesekali dia menengok ke benda yang sedang di jinjing, tidak tahu kenapa, Salsha ingin bertemu dengan Farrel sore ini. Salsha merasa kalau hubungan mereka mulai di tumbuhi oleh jarak. Jarak yang akan memisahkan mereka, jadi Salsha berniat untuk menonton latihan Farrel hari ini.
Terakhir kali Salsha tahu tim Farrel kalah dalam babak penyisihin untuk masuk ke tim yang akan bertanding se-Jakatta, dan otomatis Farrel juga tidak bisa mengikuti lomba itu. Tapi, beberapa waktu lalu Salsha mendapatkan kabar dari teman Farrel kalau kekasihnya itu di butuhkan dalam tim.
Sasha senang sekaligus meringis. Dia tidak suka mendengar kabar ini yang tidak langsung di sampaikan oleh Farrel kepadanya. Bukannya ini kabar penting? Seharusnnya Farrel memberitahu Salsha yang notabenenya adalah pacarnya!
Memikirkan itu hanya membuat Salsha ingin pergi dari tempat ini.
”Sha!” Seorang laki-laki berseragam basket meneriaki namanya, Salsha memicing matanya ke tengah lapangan. Ternyata itu Bidi, teman Farrel sekaligus teman Iqbaal.
”Tumben lo dateng.” Bidi berjalan menghampiri Salsha sambil mendribble bola basket. Wajah dan badannya yang sudah di penuhi oleh peluh membuat Salsha memalingkan wajah.
”Biasa juga emang gue kesini,”
”Lo lupa kali. Udah lama lo gak kemari. Kasian gue liat sih Farrel.”
Salsha tercenung sejenak. Benar sih dia sudah lama sekali tidak melihat Farrel latihan. Saat memikirkan Farrel, Salsha teringat dengan salah satu laki-laki yang seharusnya berada disini. Salsha mengedarkan matanya, menatap satu persatu anggota tim Basket. Banyak yang tidak dia kenal, dan juga Salsha tidak menemukan sosok laki-laki itu. Iqbaal.
”Iqbaal gak dateng?” Tanya Salsha tanpa memandang lawan bicaranya, sepasang matanya masih melirik kesana-kemari berharap dia menemukan sosok Iqbaal.
”Engga. Udah dua hari Iqbaal gak dateng.” Saat mendengar jawaban dari Bidi, Salsha langsung menjatuhkkan pandangannya.
Selama beberapa detik, Salsha dan Bidi saling berpandangan. Yang membuat Salsha belum ingin mengalihkan pandangannya adalah saat menyadari cara Bidi menatapnya. Kening laki-laki itu berkerut, alisnya naik sebelah dan sorot matanya penuh selidik. Salsha langsung mendelik saat menyadari maksud dari tatapan Bidi.
”Gausah mikir yang macem-macem lo! Semua orang juga tau gue sama Iqbaal temanan! DARI LAHIR!” Setelah mengatakan itu, Salsha segera melenggang pergi menghiraukan Bidi yang pastinya merasa bodoh.
Akan tetapi, saat Salsha hendak ingin kemana seharusnya dia melangkah. Salsha menghentikan langkahnya dan memutar badannya, dia tersenyum tolol ke arah Bidi.
”Eh, lo tau Farrel dimana?”
Bidi memutar bola matanya. ”Toilet.”
”Oke. Thanks.” Sedikit membenarkan rambutnya, Salsha kembali melangkahkan kakinya yang sempat tertunda.
”Lo mau nyusul ke toilet?” Bidi berteriak karena jarak di antara mereka kian menjauh.
”Hm.”
”Gila! Mau ngintip lo!”
”Ck! Cuma mau mastiin, punya gue sama punya dia beda kagak.”
Setelah mendengar kalimat Salsha, tak terdengar lagi suara Bidi. Entalah apa yang terjadi dengan laki-laki bermulut besar itu, yang jelas sekarang Salsha ingin bertemu dengan Farrel. Kekasihnya.
*
Sebenarnya dia tidak perlu menggunakan motor untuk mengunjungi salah satu rumah yang jaraknya hanya berselang empat rumah saja. Mungkin di karenakan cuaca yang begitu panas padahal hari sudah menjelang sore. Rumah besar bercat oranye itu sudah tinggal beberapa meter lagi. Pagar yang tidak tertutup membuat motor yang dia kendarai langsung masuk tanpa menunggu yang empunya rumah mengizinkan. Toh dia juga sering melakukan hal seperti ini.
Hanya membutuhkan sekali ketukan saja, seseorang dari dalam rumah membukakan pintu untuknya.
”Oh, den Iqbaal.” Wanita paruh baya yang mengenakan celemek di badannya memandang kaget kehadiran Iqbaal.
Iqbaal tersenyum seperti biasanya, dia ingin melontarkan sebuah kalimat tapi Bi Sumi sudah lebih dulu.
”Nyari neng (namakamu)? Kalau (namakamu)nya sih gak ada, dari pulang sekolah juga dia belum pulang ke rumah,” kata Bi Sumi. Dia membuka pintu lebih lebar dengan maksud untuk mempersilahkan Iqbaal masuk. ”Akhir-akhir ini (namakamu) sering aneh, pulangnya suka lama, makannya sedikit, suka ngurung di kamar, jarang keluar rumah sekalinya keluar lama banget pulangnya.” Bi Sumi mengoceh di sepanjang jalan, meskipun tidak ada tanda-tanda kalau Iqbaal mendengarkan perkataan Bi Sumi tapi sebenarnya Iqbaal mendengarkan, dia bahkan berharap Bi Sumi memaparkan lebih lanjut tentang kegiatan (namakamu) selama beberapa minggu terakhir.
”Oh, nanti kalau (namakamu) udah pulang tolong Bibi sampein sama (namakamu) kalau Iqbaal tadi kemari.”
”Iya.” Bi Sumi mengangguk paham.
”Gak ada orang ya, Bi?” Iqbaal mengedarkan pandangannya, dan sangat merasakan keheningann di setiap ruang rumah ini.
”Iya, gak ada orang.”
Iqbaal menengadahkan kepalanya, dia menatap pintu kamar (namakamu) yang tertutup. Entah apa yang ada dalam pikirannya, dia merasa kalau hati kecilnya merindukan sosok gadis itu. Gadis yang selalu berada di sampingnya yang tiba-tiba saja menghilang tanpa Iqbaal tahu alasannya apa.
”Ada sesuatu yang mau saya ambil, Bi. Kamar (namakamu) di kunci gak?” Alibinya.
”Neng (namakamu) gak pernah ngunci kamarnya.” Seharusnya Iqbaal tidak perlu menanyakan hal itu, karena (namakamu) masih sama seperi dulu. Gadis itu tidak pernah mengunci kamarnya.
Perlahan kaki Iqbaal mulai menaiki anak tangga. Dia bisa mendengar langkah Bi Sumi yang mengarah ke dapur dan lama kelamaan menghilang.
Saat pertama kali memasuki kamar (namakamu), bau khas tubuh gadis itu segera menusuk hidungnnya, dan mendadak menyerang pikirannya. Ini seperti saat pertama kali Iqbaal merasakan kalau (namakamu) datang kepadanya. Iqbaal tak mengerti kenapa sikap (namakamu) berubah kepadanya. Awalnya Iqbaal tidak terlalu memikirkan karena (namakamu) pasti juga memiliki kesibukan, terutama tentang Lomba antar Jakarta yang akan di selenggarakan beberapa hari lagi.
Tempat tidur (namakamu) rapi, lantainya bersih, gorden serta jendela yang terbuka itu membiarkan cahaya luar masuk bebas ke kamar ini. Iqbaal baru saja duduk di ujung tempat tidur untuk mengamati foto berbingkai yang ada di meja belajar (namakamu), tapi sebuah buku tebal dengan sampul yang mengelupas menarik perhatiannya.
Iqbaal melirik ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Dia tahu kalau yang ada dalam pikirannya bukan hal yang baik tapi semua itu dikalahkan oleh rasa penasarannya. Iqbaal meraih buku tebal tersebut dan diam sejenak untuk mengamati sampul depannya.
Biasa saja.
Iqbaal mulai membuka lembaran pertama, disana, di lembar pertama itu, di bagian paling atas ada sbeuah tulisan yang di ukir dengan tebal.
”Cinta tidak pernah lelah menunggu.” Iqbaal membeo kalimat yang tertulis di buku ini. Sepertinya buku ini adalah buku hariannya (namakamu), Iqbaal berpikir sejenak, bukannya (namakamu) tidak pernah memiliki buku harian bahkan (namakamu) pernah mengatakan kepadanya kalau gadis itu tidak suka menulis tentang kehidupannya.
`Ini terlalu pedih. Untuk apa di tulis? Namun ternyata semua mampu membaik.`
Di halaman kedua, tulisan itu terukir besar-besar. Di sebelah halaman itu ada kalimat lainnya;
`lebih buruk dari sekedar patah hati`
Iqbaal terdiam sebentar, dia membuat sebuah spekulasi kalau tulisan ini pastilah baru-baru saja di tulis. Dan ini tentu saja berkaitan dengan perasaan (namakamu) akhir-akhir ini. Saat Iqbaal membuka halaman selanjutnya, sebuah tulisan panjang langsung menarik perhatiannya.
`Melihat dirimu satu-satunya orang di dalam hatiku
satu-satunya yang ku rindukan
apakah kamu melihatnya?
Tidak dapatkah kamu melihatku?
tidak dapatkah kamu mendengar hatiku?
aku di sini, aku menunggumu
karena kamu satu-satunya bagiku
walaupun sakit, aku tersenyum
walau tersenyum, sesungguhnya aku menangis
kenangan tentangmu selalu muncul di tempat itu
aku di sini
sampai kapan aku harus menunggu?
akankah kamu melihatku?
kesungguhan hati ini
tidakkah kamu mengetahuinya?
tidak dapatkah kamu melihatku?
tidak dapatkah kamu mendengar hatiku?
Tangan yang dengan lembut menjabatku
senyuman yang hangat saat melihatku
hatiku masih tertuju padamu
kamu satu-satunya bagiku
aku akan tetap berada di sini
walaupun waktu terus berlalu, walaupun air mata terus berlinang
aku hanya akan tetap menunggumu :')
Ini seperti sebuah puisi tapi Iqbaal yakin kalau (namakamu) hanya menyampaikan curhatanya ke dalam bentuk puisi. Yang dapat Iqbaal simpulkan dari halaman ini adalah kalau (namakamu) sedang mencintai seseorang tapi belum terbalaskan dan dia masih menunggu orang itu.
Halaman berikutnya juga ada sebuah tulisan panjangnya hampir sama.
Aku tidak tahu kenapa aku menangis, namun mengapa aku terus menangis?
Hatiku kepadamu bertingkah semaunya
Maka itu terus mengirimiku untukmu
Ini sangat menyakitkan bahwa hanya aku yang merasa seperti ini, Bahwa kamu tidak sedang melihatku.
Aku tetap mecintaimu,
Mungkin aku tidak tahu apa-apa lagi, aku tahu aku menginginkanmu
Semakin aku mencoba mendekatimu, semakin aku mencoba untuk dekat
Jarak di antara kita seolah semakin melebar
Kamu menjauh dan membuatku kesepian
Air mataku tidak dapat berhenti
Jangan, jangan menjauh
Jangan pergi menjauh, jangan berpaling dariku, tolong
Karena kebahagiaan dan waktu-waktu indah ku hanya bersamamu.
Aku mempunyai sesuatu yang ingin aku katakan
sekarang
Aku tetap mecintaimu, sangat mencintaimu.
Kapanpun kamu ingin kembali, kembalilah padaku
Karena aku mencintaimu
Tak apa jika kamu tak mencintaiku
Jika aku hanya dapat menatapmu, itu tidak menjadi sebuah masalah.
Tulisan berikutnya mampu membuat Iqbaal termenung lebih lama. Iqbaal seakan mampu masuk ke dalam dunia sih penulis. Dia mampu merasakan betapa sakit yang di rasakan penulis itu yang tidak lain adalah (namakamu).
(Namakamu) sedang jatuh cinta? Tapi kenapa (namakamu) tidak memberitahunya?Bukannya (namakamu) sudah berjanji akan menceritakan kisah cintanya kepada Iqbaal. Dan apapun yang sekarang sedang Iqbaal pikirkan, halaman selanjutnya menjawab semua pertanyaan yang hampir meledakkan isi kepalanya.
`gue gak tau sejak kapan lo masuk ke dalam hati gue.. Yang jelas itu ngebuat air mata gue jatuh kemarin dan air mata juga jatuh hari ini. Cinta hadir tanpa gue tau. Tanpa alasan lo ada di hati gue. Sendirian.
Setiap malam gue mengulang kata-kata ini sambil menangis.
Apa lo tau?
Satu kata yang menggambarkann tentang diri lo dalam hati gue?
Satu kata yang selalu tersembunyi dalam hati gue.
Gue selalu sama lo dan selalu disisi lo. Tapi gue gak bisa bilang kalo gue sayang dan cinta sama lo.
GUE SAYANG SAMA LO IQBAAL DHIAFAKHRI!!!!
Bersambung...
No comments:
Post a Comment