Saturday, January 24, 2015

Cerbung Reason - Part 16

`Reason`

Part 16

Muhammad Aryanda.

O-o-o-o-O

`Tak apa jika kamu tak mencintaiku
Jika aku hanya dapat menatapmu, itu tidak menjadi sebuah masalah.`
(Namakamu) memejamkan matanya. Dia mendapatkan jawabannya sekarang. Jadi dugaannya benar kalau Iqbaal memang tidak menyukainya. (Namakamu) ingin berteriak tapi dia bisa apa, dia hanya bisa diam di perlakukan seperti ini. Apakah cinta memang sekejam ini? Kalau disuruh memilih, (namakamu) sangat menginginkan hatinya berlabuh ke hati yang lain. Tapi sungguh, itu tidak bisa.
(Namakamu) tersedak, saat menyadari kalau dinding pupilnya sudah tidak sanggup menahan air mata yang sudah berlomba-lomba ingin keluar. Akhirnya air mata itu keluar juga, (namakamu) menangis, sesegukan, dia menghiraukan segala apapun yang ada disini, biar saja dia menangis di depan Iqbaal, (namakamu) tidak perlua berlagak sekuat lagi sekarang. Dia benci kalau terus menjadi orang yang terlemah di dunia ini. (Namakamu) menangis sampai badannya bergetar hebat membuat Iqbaal memeluknya lebih erat.
'Lo jahat, Baal. Lo gak pernah mikir perasaan gue.'
*
”Semua cowok itu sama aja! Mereka brengsek! Gak punya otak! Kalopun punya paling di dengkul!” Salsha berteriak marah, dia benar-benar benci dengan makhluk tuhan yang katanya akan menjadi pelindung untuk seorang wanita.
Salsha terus mengobrak-ngarbrik kamarnya, menghiraukan seruan Bi Sum yang memang selalu histeris kalau Salsha habis putus dengan pacarnya. Siapapun itu. Yang mengenal Salsha sangat tahu bagaimana kelakuan Salsha sehabis putus dengan pacarnya.
Salsha menyambar boneka beruang setinggi pinggangnya lalu melempar boneka itu keluar jendela. Masa bodoh dengan pemberian Farrel itu, semua kenangan bodoh itu akan segera Salsha lenyapkan walaupun hati kecilnya masih mengharapkan.
Apa yang harus Salsha lakukan? Kalau begini terus dia bisa pegal karena terus bolak-balik dan teriak seperti gadis gila. Dan kenapa ya, cinta mampu membuat orang yang ber-IQ tinggi—seperti dirinya—menjadiautis seperti ini. Ini benar-benar menyebalkan.
”Ya kali gue ngambek gak ada yang liatin! Terus siapa yang merhatiin gue! Aaaa!!! Stres gue!” Salsha berteriak lagi sambil membanting badannya ke tempat tidur. Dia menghiraukan teriakan Bi Sum di lantai satu, yang mengkhawatirkandirinya.
Sejurus kemudian, Salsha menyambar ponsel yang berada di sebelahnya. Dia membaca list kontak sambil berpikir siapa yang seharusnya dia hubungi dalam keadaan seperti ini. Salsha menggeser kebawah dan keatas secara berulang kali saat matanya tertuju dengan Kontak Aldi. Dia menimbang-nimbang haruskah dia menghubungi laki-laki itu? Tapi sesaat kemudian Salsha langsung menggelengkan kepalannya. Bagaimana kalau Aldi sedang bersama (namakamu? Salsha tak ingin menggangguk pedekatan Aldi dan (namakamu).
Kontak Aldi dia lewatkan, dia menggeser lebih kebawah. Dan menemukan Kontak Iqbaal. Iqbaal? Bolehlah. Salsha menekan tombol hijau seraya mendekatkan ponsel ke telinganya.
'Nomor yang Anda tuju sedang...' Sebelum operator itu menyelesaikan ocehannya, Salsha sudah lebih dulu menutup sambungan. Salsha kembali men-scroll List Kontaknya. Dia melewatkan Kontak (namakamu) dan Olivia. Olivia pasti sedang les, dan sisanya adalah Kiki.
Tanpa banyak tingkah Salsha segera menekan tombol hijau lalu mendekatkan ponselnya ke telinga.
'Nomor yang Anda...'
Salsha seperti kebakaran jenggot saat mendengar suara operator. Gadis itu menelungkupkan wajahnya di bantal, dia mengerang, berteriak sambil menarik sejumput rambutnya keras-keras.
*
”Bi, ini tolong di bawa ke meja mekan.” Seorang wanita berusia sekitar 35 tahun menyerahkan sepiring daging panggang kepada wanita yang di panggil 'Bi' itu.
Sudah hampir tiga jam dia berkutat di dapur dengan berbagai macam alat masak serta bahan-bahan memasak. Aktivitas seperti ini sudah lama tidak dia lakukan, dan penyebabnya mengulang aktivitas lamanya ini adalah karena hari ini adalah ulang tahun Suaminya tercintakh.
Wanita itu melepaskan celemeknya, lalu berjalan keluar dapur dengan senyum yang terus mengembang sedari tadi. Tepat saat dia menapakkan kakinya di ruang utama, pintu terbuka memperlihatkan seorang anak laki-laki berwajah kusut masuk dengan langkah yang sengaja di percepat.
”Al, kok baru pulang. Loh itu mukanya kenapa?” Wanita itu mempercepat langkahnya ke arah anaknya—Aldi—yang sepertinya ingin menghindarinya.
”Gak pa-pa, Ma,” Aldi tak menghentikan langkahnya dia terus melangkah sampai kakinya menaiki anak tangga.
”Kamu gak berantem kan?” Wanita itu bertanya was-was. Dia memandang anak semata wayangnya itu dengan ibah.
Aldi menggeleng tanpa menatap Mamanya. ”Mama udah beli kado apa?” Tanya Aldi alih-alih untuk mengalihkan topik.
”Udah dong,” jawab Mamanya semangat. ”Eh, tunggu, kamu habis darimana? kenapa pulangnya lama banget.”
”Tempat Iqbaal.” Anak tangga terakhir Aldi langkahi, dia berjalan sedikit melambat saat jarak kamar dan dirinya sudah tidak jauh lagi.
”Dan muka kamu?”
Aldi segera menolehkan wajahnya ke arah Mamanya dengan tatapan 'kenapa-dibahas-lagi?'
”Tawuran!” Menarik kenop pintu kamarnya, Aldi melangkah masuk tapi sebelum sempat Mamanya ikut masuk, Aldi sudah buru-buru menutup pintu dan menguncinya.
”Aldi!!” Mamanya berteriak histeris. ”Kan Mama udah berkali-kali memperingati kamu! Jangan sampe kamu terlibat sama hal yang namanya TAWURAN! Buka pintunya! Mama mau liat luka kamu!”
Aldi benar-benar menghiraukan teriakan Mamanya. Mendengarnya saja sudah membuat kepala Aldi ingin meledak bagaimana kalau Aldi menanggapi wanita itu. Hahh! Padahal sebentar lagi juga Wanita itu lupa dengan luka Aldi. Hari ini kan hari spesial Papanya.
Meskipun Aldi sudah menghiraukan Mamanya. Akan tetapi wanita itu tetap saja berteriak-teriak di balik pintu itu. Aldi melepaskan baju kaos yang dia pakai, dan menghepaskannyabegitu saja ke lantai. Kaos itu milik Iqbaal dan (namakamu) yang menyuruhnya memakai kaos itu.
Aldi merasa hari ini benar-benar melelahkan. Dia tidak sanggup untuk mengingat apa saja kejadian yang di alaminya hari ini. Merasa kalau tubuhnya sudah tanpa sehelai benang pun, Aldi membuka pintu kamar mandi, dan dalam beberapa detik air langsung mengguyur seluruh tubuhnya.
*
”...iya, tadi kan neng Salsha pulang, sambil nangis gitu. Bibi sih udah tau masalahnya apa kalau neng Salsha pulang sambil nangis-nangis, gak lain dan gak bukan adalah karena putus sama pacarnya. Neng Salsha juga sempet teriak-teriak, kemungkinan juga sih ada barang yang pecah di kamarnya, soalnya tadi Bibi denger suara pecahan..” Paparan panjang itu keluar dari mulut Bi Sum. Wanita paruh bayah itu sedang berbicara dengan Aldi.
”Farrel?” Aldi yang hendak menginjakkan kakinya di anak tangga pertama buru-buru menghentikan langkahnya. Dia teringat dengan pacar Salsha saat ini. Ya, Farrel. Tanpa sadar Aldi sudah mencengkram besi pembatas tangga. Kenapa seolah Aldi di takdirkan harus terus berseteru dengan laki-laki itu.
Saat Aldi memasuki kamar Salsha, hal pertama yang dia rasakan adalah hawa panas yang seolah dia seperti berada di tengah gurun. Tap! Aldi menekan saklar lampu, sejurus kemudian kamar yang awalnya hanya bercahayakan remang-remang ini langsung terang-benderang.
Salsha berada di tempat tidur dengan selimut tebal serta bantal yang menindih tubuhnya. Saat Aldi benar-benar merasakan kalau suhu di kamar Salsha benar-benar panas, satu hal yang Aldi sadari kalau AC di kamar ini di matikan. Aldi melangkah ke arah jendela, gorden berkibaran di terpa angin, meskipun hujan sudah redah tapi suasana diluar sana begitu dingin, sangat berbeda dengan keadaan di kamar Salsha.
Jendela sudah tertutup rapat. Aldi menyeret langkahnya ke tempat tidur Salsha.
”Gausah di tangisi terus, entar lo gila.” Cibir Aldi saat mengetahui kalau Salsha tidak tertidur.
”Gue kesel sama Farrel, Al. Cantiknya Bella apa coba? Jelas cantikan gue lah!” Gerutu Salsha kesal. Gadis itu menyibak selimut dan bantal yang menindihnya lalu menyenderkan punggungnya ke kepala tempat tempat tidur.
Aldi hanya menggeleng menanggapi perkataan Salsha. ”Terus kenapa lo gak hubungi gue atau yang lainnya? Biasanya kan..” Aldi rasa dia tak perlu melanjutkan kalimatnya lagi. Salsha sudah paham. Begitu juga dengan Aldi, yang paham dengan kebiasaan Salsha kalau sehabis putus.
Sebelumnya, Salsha tak pernah benar-benar memandang Aldi. Lagipula, mata hitamnya yang bening itu sedikit kabur karena menangis selama berjam-jam. Tapi satu hal yang Salsha pikirkan saat menatap lamat-lamat wajah Aldi.
”Lo habis berantem!” Dengan suara yang menuduh, Salsha menyipitkan matanya tajam ke arah Aldi.
”Jatoh!” Kilah Aldi seraya menjauhkan wajah Salsha yang mendekat ke arahnya.
”Bohong!”
”Sok tau deh lu!”
”Gue emang sok tau, karena gue gak tau!” Tandas Salsha, dia mencoba mendongkan wajahnya lebih dekat agar bisa melihat dengan jelas kalau yang ada di wajah Aldi adalah luka memar.
”Dukun!” Sergah Aldi sambil menekan telunjuknya di hidung Salsha, dengan sekali gerakan dia menjauhkan wajah Salsha.
Salsha mendelik, tanpa sepengetahuan Aldi, Salsha menekan pelan bagian pelipis Aldi dan tanpa membutuhkan waktu yang lama bagi Salsha untuk mendengar suara ringisan dari mulut Aldi.
”Nah, kan, udah gue duga! Lo habis berantem!”
Aldi menghiraukan tuduhan Salsha, dia mengusap bagian wajahnya yang sempat di tekan oleh Salsha.
”Lo tau darimana gue habis berantem?”
”Barusan lo kesakitan, padahalkan gue cuma pelan nekennya.”
”Yaiyalah gue kesakitan! Lo nya neken jerawat gue nyet!”
”Mwo?” Mulut dan mata Salsha melebar, dia percis seperti seekor keledai bodoh yang baru saja melakukan sebuah tindakkan yang abnormal.
”Apaan sih lo! Bangun pergi mandi sana! Jorok banget!”
Salsha melengos mendengar ucapan Aldi. ”Lo kayak mak tiri tau gak!”
”Jorok banget lo jadi cewek!”
”Lo sih gak tau, gue kan lagi patah hati.” Ucap Salsha lemah. Gadis itu sudah beranjak dari tempat tidurnya, dia sedang melangkah lamban ke kamar mandi.
”Palingan juga kalau besok lo nemu cowok gantengan dikit, lo langsung naksir.” Celetuk Aldi tanpa berpikir dua kali.
Salsha memutar badannya cepat begitu kalimat kurang senonoh yang di lontarkan Aldi masuk ke dalam telinganya.
”Gue gak semurahan itu ya!” Teriak Salsha sambil berjalan mendekat ke arah Aldi. Tetapi sebelum amarahnya benar-benar memuncak, ada satu hal yang terlintas di pikirannya. Dan Aldi menyadari hal itu, di karenakan ekspresi wajah Salsha yang mendadak berubah.
”Napa lo?”
Salsha mendadak menjadi salah tingkah. Dia saling mengetuk-ngetukan telunjuk kanan dan kirinya seraya mengelirkan mata ke arah Aldi. Enam detik berlalu begitu saja dengan Aldi yang tak henti-hentinya menatap aneh pada Salsha.
”Lo..lo belum meluk gue.” Akhirnya kalimat itu lolos dari mulut Salsha. Sebenarnya itu hanya kebiasaan lama Salsha yang selalu di hadiahi pelukan oleh masing-masing sahabatnya kalau dia sedang mengalami broken heart dengan pacarnya.
Walaupun pernah melakukannya, detik ini Aldi seperti merasakan kalau dia sangat kaku jika harus melakukan hal yang sama seperti itu. Apa mungkin kalimat yang keluar dari mulut Salsha terdengar kikuk? Entahlah.
Dengan sedikit ragu Aldi melangkah lebih dekat, saat benar-benar merasa kalau dia sudah cukup dekat dengan Salsha, Aldi mengangkat sebelah tangannya untuk meraih punggung Salsha. Belum sempat Aldi melakukan itu, Salsha sudah jatuh ke dalam pelukannya. Gadis itu melingkarkan erat tangannya di badan Aldi.
Tak suara setelah itu. Baik Salsha maupun Aldi hanya diam sambil di sibukkan dengan pikiran masing-masing. Ada hal aneh yang seakan terbentang di antara mereka, hal seperti ini belum pernah di rasakan sebelumnya.
”Lo wangi,” gumam Salsha lebih kepada dirinya sendiri. ”Tumben.” Satu jitakan langsung di dapatkannya saat tanpa sadar kata itu malah keluar dari mulutnya, tapi seakan tak ingin Salsha beranjak dari pelukannya, Aldi sendirilah yang mengelus-ngeluskepala Salsha.
”Iqbaal sama Kiki utang satu pelukan sama gue.” Celetuk Salsha tiba-tiba membuat Aldi ingin saja membanting gadis ini.
”Cukup gue aja. Kalo kayak gitu lo bener-bener terkesan sebagai cewek mu-ra-han.” Aldi sampai menjeda kata 'murahan' agar kata itu sampai di telinga Salsha dengan benar.
Salsha menengadahkan wajahnya. Dia menatap laki-laki bermata sipit itu dengan senyum jahil khasnya.
”Lo cemburu ya?”
”Sekali lagi lo tuduh gue yang engga-engga gue lepas nih!” Ancam Aldi, meskipun terdengar aneh di telinga Salsha. Tapi nyatanya gadis itu melakukan apa yang di perintahkan Aldi.
Hening. Tidak ada yang bersuara. Dan keheningan itu langsung di pecahkan dengan suara sesegukan dari Salsha.
”Lo kenapa?” Tanya Aldi tanpa melepas pelukannya.
”Gue sedih, Al.”
”Ya gue juga tau kalo lo lagi sedih, dan kalo gue tanya lo sedih karena apa dan lo jawab karena cowok brengsek itu, gue gak bakal nanya.”
Lama sekali Salsha tidak memberikan respon atas ucapan Aldi. Tapi beberapa detik kemudian, dia mengangguk.
”Lo kenapa bisa disini?”
Nah, itu dia! Pertanyaan yang dari tadi berputar-putar di kepala Aldi. Kenapa dia bisa kesini?
”Gue cuma...pengen ngeliat lo doang.”
Salsha terkekeh mendengar jawaban Aldi. Meskipun begitu ada kesenangan yang melintas di benaknya saat mendengar jawaban Aldi.
”Berarti lo kangen sama gue?”
”Engga sih.”
”Udalah jujur aja.”
”Gue udah jujur.”
”Halah! Boong lu!”
”Gue lepas ya?”
”Kamvret lu ah.”
Salsha mendesah. Yang dia butuhkan saat ini hanyalah sebuah kenyamanan. Sungguh, apa yang terjadi hari ini seperti sebuah kejutan yang amat menyakitkan untuknya. Salsha tak habis pikir kalau Farrel se-brengsek itu. Terlebih saat memori kepala Salsha mengingat kejadian yang kurang senonoh di toilet. Apa Farrel sering bersikap seperti itu pada Bella? Atau pada setiap gadis lainnya? Apakah Farrel bosan dengannya karena Salsha memang belum pernah memberikan ciumannya kepada laki-laki itu?
*
”Vit, gue mau nanya sama lo.” Ujar (namakamu) saat dia dan Vita baru saja masuk ke perpustakaan dan duduk di kursi paling sudut.
Mendengar ucapan (namakamu), Vita hanya menoleh sekilas.
Gadis berkacamata itu tampak mengambil sebuah buku yang sama sekali tak (namakamu) pahami. Bagaimana mungkin (namakamu) pahami, judul buku itu saja bercetak tulisan Yunani. Lalu duduk di sebelah (namakamu), (namakamu) mengernyit saat Vita membuka halaman pertama.
”Katanya mau nanya, tapi kok malah diem.” Kata Vita tanpa moneleh ke arah (namakamu).
(Namakamu) mendesah sambil meraih ponsel di saku bajunya. Dia sedikit ragu saat melontarkan pertanyaannya.
”Menurut lo cara move on itu gimana?”
Buku setebal 500 halaman itu terlepas begitu saja dari genggaman Vita. Pertanyaan yang keluar dari mulut (namakamu) seakan mengaduk-aduk pikirannya.
Vita menolehkan wajahnya ke (namakamu), sebelum berbicara dia sempat membenarkan kacamatanya yang sedikit bermasalah. (Namakamu) hanya meringis melihat reaski Vita.
”Emangnya Iqbaal udah tau tentang perasaan lo ke dia?”
Kali ini (namakamu) yang di buat mati gaya begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut Vita. Ba-bagaimana bisa gadis itu..
Masih memasang wajah shock-nya, (namakamu) mencoba mengatur dirinya agar tidak terlalu terlihat kaku.
”Sori, kalau gue lancang ngomong gitu. Gue pikir...”
(Namakamu) menggeleng lemah. Kalau Vita saja menyadari gerak-gerik (namakamu) yang menaruh hati kepada Iqbaal, lalu kenapa laki-laki itu hanya diam saja? Seakan tak tahu apa-apa, seakan kalau semua sikap (namakamu) selama ini hanyalah sebuah rasa pertemanan.
”Engga. Gak pa-pa.”
Gadis di sebelah (namakamu) menghela napas. ”Gue boleh nerusin kalimat gue?”
(Namakamu) mengangguk tanpa bersuara.
”Gue pikir lo mau move on dari Iqbaal,” Vita melanjutkan kalimatnya yang sempat terputus itu karena reaksi (namakamu) yang tak baik. ”Lo kaget ya, maksud gue sih bukan apa-apa, dan siapapun yang ngeliat lo sama Iqbaal pasti mereka tau kok kalau lo naruh hati ke Iqbaal.”
(Namakamu) menatap Vita dengan sebelah alis terangkat. Maksud Vita apa? Orang-orang akan tahu kalau (namakamu) menaruh hati kepada Iqbaal. Tapi kenapa teman-temannya tidak ada yang menyadari termasuk Iqbaal, apa ini karena hubungan mereka yang terlalu dekat dan apapun yang satu sama lain lakukan itu terlihat biasa-biasa saja di mata mereka namun begitu ganjil di mata umum.
(Namakamu) teringat dengan kebiasaan Salsha kalau gadis itu sehabis putus, pasti dia di hadiahi pelukan dari ketiga sahabat laki-lakinya.
*
(Namakamu) merasa resah dengan dirinya sendiri saat dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kosan Iqbaal. Kejadian kemarin dan percakapannya dengan Vita saat di sekolah membuat kepala (namakamu) seperti di jejali dengan tanah liat sampai dirinya tidak bisa berpikir lagi. Aldi tidak masuk, padahal (namakamu) sangat ingin bertemu dengan laki-laki itu. (Namakamu) berjanji pada dirinya sendiri kalau setelah pulang dari kosan Iqbaal, dia akan pergi kerumah Aldi.
(Namakamu) melihat Iqbaal mengembangkan senyuman untuknya. Senyuman itu terlalu di buat-buat hingga membuat (namakamu) hanya diam menyaksikannya.
Iqbaal hari ini ada latihan. Pertandingan akan di lakukan besok dan otomatis besok Iqbaal tidak akan masuk sekolah. Saat mendengar Iqbaal memintanya menemaninya latihan, (namakamu) seakan seperti harus mengulang semua rutinitas lama yang sudah dia tinggalkan. Anehnya, walaupun sakit (namakamu) tidak bisa menolak.
”Lo duduk disini, jangan kemana-mana, gue mau mandi dulu. Terus langsung pergi ke sekolah.” Perintah Iqbaal kepada (namakamu) sambil meletakan softdrink di meja. (Namakamu) yang duduk di sofa hanya mengangguk paham. Iqbaal mengacak-acak rambut (namakamu) sebelum pergi ke kamar mandi.
Lima menit berlalu begitu saja. (Namakamu) duduk dan sesekali hanya memainkan ponselnya. Bahkan dia tidak menyentuh softdrink pemberian Iqbaal. (Namakamu) terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan dari banyaknya hal yang masuk ke dalam pikirannya, yang paling mencolok saat ini adalah kenapa dia bersikap terlalu seorang tamu di tempat ini. Dulu bahkan (namakamu) sering menginap di kosan ini, membuat rusuh, bahkan teriak-teriak tidak jelas. Bayangan-bayangan masa lalunya terus terputar di kepalanya dan air matanya menetes begitu saja saat entah kapan perasaan itu muncul begitu saja pada laki-laki pemilik kosan ini.
Apa dia salah? Apa (namakamu) salah kalau dia mencintai Iqbaal?
(Namakamu) tak sempat mendapatkan jawabannya, dia buru-buru menyeka air matanya sebelum Iqbaal keluar dari kamar mandi dan melihat air mata bodoh itu di wajahnya. Meletakan tasnya di sofa, (namakamu) beranjak dari sofa ke kamar Iqbaal.
Lagi-lagi ketika (namakamu) masuk ke dalam kamar laki-laki ini bau khas Iqbaal langsung menusuk hidungnya. Dan itu malah mengingatkan (namakamu) dengan kesalahan yang dia buat karena sudah mencintai Iqbaal. Salahkah? Pertanyaan itu kembali terngiang di kepala (namakamu).
(Namakamu) duduk di ujung tempat tidur sambil mengedarkan penglihatannya kesegala arah. Belum ada yang berubah, kamar ini masih sama, bahkan bagaimana cara Iqbaal meletakan tas dan seragam bajunya masih sama. Mata (namkamu) sedikit bergeser ke meja tempat dimana Iqbaal menyusun buku-buku sekolahnya, dan sepasang mata (namakamu) langsung terfokuskan pada sebuah buku tebal dengan sampul mengelupas.
Buru-buru (namakamu) berjalan ke arah meja itu dengan jantung yang berdegup kencang. Dua detikpun belum berlalu tapi (namakamu) sudah merasakan kalau telapak tangannya berkeringat. Bahkan ketika (namakamu) menyentuh buku itu tangannya bergetar hebat.
Dengan susah payah (namakamu) menelan air liurnya saat dia membuka buku dan melihat halaman pertama buku itu.
Ini buku miliknya! Lalu kenapa bisa berada disini!
Kalimat itu terus berputar-putar dalam kepalanya. Kesimpulan yang (namakamu) dapatkan adalah berarti Iqbaal mengetahui perasaanya. Sejak kapan? Sejak kapan Iqbaal mengetahui perasaanya? Dan kenapa laki-laki itu hanya diam seolah tak terjadi apa-apa? Atau ini yang di namakan kenyataan kalau Iqbaal memang benar-benar tidak menyukainya?
(Namakamu) memang sudah menduganya sejak kemarin. Dimana saat dia dan Iqbaal berada di danau. (Namakamu) menguatkan dirinya agar air mata bodoh itu tidak jatuh tapi kenapa air mata itu terus terjatuh dan dalam waktu beberapa detik sudah membasahi wajahnya.
”...(Namakamu) gue nyariin lo, gue pikir lo kemana ternya..” Iqbaal masuk ke dalam kamarnya dengan keadaan setengah telanjang. Handuk melilit di pinggangnya. Ucapan Iqbaal langsung terputus saat melihat (namakamu) berbalik dengan derain air mata serta sebuah buku yang ada di genggamannya. Satu detik kemudian buku itu terjatuh.
Dengan air mata yang membasahi wajahnya, Tatapan (namakamu) kosong tapi siapapun yang melihatnya akan tahu kalau gadis ini sedang merasakan sesuatu yang begitu menyakitkan.
”Sejak kapan buku ini ada sama lo..”
Iqbaal tidak menjawab. Laki-laki itu hanya memandang gadis di hadapannya dengan perasaan bersalah. Perlahan namun pasti, Iqbaal mulai melangkah mendekat ke arah (namakamu). Dia tidak bisa mengira-ngira apa yang akan (namakamu) katakan atau lakukan kepadanya. Iqbaal benar-benar tidak bisa mengira karena memang (namakamu) tidak pernah marah kepadanya, gadis itu selalu memaafkan segala kesalahan. Hanya itu yang Iqbaal ketahui.
”Gue bis...”
”Gue cuma nanya sama lo! Sejak kapan buku ini ada sama lo??!!” (Namakamu) berteriak keras tepat di wajah Iqbaal. (Namakamu) tidak peduli dengan perasaanya yang semakin hancur saat sepasang matanya bertumbukkan dengan mata Iqbaal.
Iqbaal memejamkan matanya sejenak lalu menghela napas panjang. ”Kemarin.”
Memori kepala (namakamu) langsung terputar pada kejadian kemarin, tepat saat dimana Iqbaal menciumnya. Artinya, Iqbaal memberinya ciuman itu hanya karena tahu tentang perasaan (namakamu), namun tak bisa membalasnya karena dia lebih berharap kepada Olivia.
”Terus lo nyium gue! Dan lo pikir gue bakalan seneng?!!! Lo bisa mikir gak, gimana hancurnya perasaan gue!!! Lo tau! Tapi lo pura-pura gatau!” Entalah, (namakamu) sampai tidak habis pikir dengan laki-laki ini. Dan dia cukup terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia belum pernah membentak Iqbaal, memarahinya saja (namakamu) tidak ingin.
”Karena gue gak mau lo pergi.”
(Namakamu) tersenyum miris. ”Egois! Lo egois! Lo cuma mikir perasaan lo doang tanpa mikir efek yang buruk bagi gue!” Bentak (namakamu) sambil menudingkan telunjuknya ke wajah Iqbaal.
Iqbaal meringis, bukan bagaimana (namakamu) memperlakukannya saat ini, tapi lebih karena (namakamu). Ya, (namakamu). Keadaan gadis itu sekarang sangat mengkhawatirkan. Air mata tak henti-hentinya keluar dari mata gadis itu, belum lagi matanya yang memerah memancarkan kepedihan yang amat sangat. Luka yang tergores di mata gadis itu begitu tampak jelas, tapi kenapa Iqbaal hanya bisa diam saja? Dia tidak tahu harus melakukan apa, dan tanpa dia sadari tangannya terangkat untuk menyeka air mata (namakamu). Iqbaal tidak peduli dengan (namakamu) yang terus meronta-ronta, meskipun gadis itu berkali-kali menepis tangannya, Iqbaal masih terus menyekanya karena dia tahu air mata ini jatuh karenanya.
”Lo tega, lo jahat sama gue, Baal. Lo tau perasaan gue ke lo, tapi lo cuma diem. DIEM!!!!! Lo cuma diem kayak batu! Walaupun lo gak cinta sama gue seenggaknya lo bisa bilang baik-baik sama gue! Bukan kayak gini! Lo biarin gue terus ngejer lo yang gak tau kapan akan berhenti.”
Merasa kalau tindakkannya menepis tangan Iqbaal percuma, (namakamu) mengalihkannya menjadi memukul kuat-kuat badan laki-laki itu secara berkali-kali. (Namakamu) tidak ingin berhenti, dia sudah teramat kesal dengan Iqbaal. Tapi tindakkan (namakamu) sama sekali tidak membuahkan hasil, laki-laki itu tetap berdiri kokoh sambil tetap menyeka air mata (namakamu). Sampai akhirnya kepala (namakamu) terjatuh lemah di dada laki-laki itu dengan kedua tangan yang masih terus bergerak memukul.
Saat (namakamu) rasa dia sudah kehabisan tenaganya, (namakamu) melayangkan pukulan terakhirnya sembarangan, namun kali ini sepertinya pukulan (namakamu) membuahkan hasil karena kepalan tangannya melayang ke hidung Iqbaal. (Namakamu) menjatuhkan tangannya, perih yang dia rasakan seakan tulangnya patah.
Akan tetapi, kepala (namakamu) yang tertunduk itu segera menengadah begitu setetes darah terjatuh mengenai keningnya.
Tangan Iqbaal bergerak ke hidungnya dan menyentuh darah kental itu.
”Gue yakin ini belum sesakit apa yang lo rasain selama ini,” Ucap Iqbaal sambil menjatuhkan tangannya dan memandang (namakamu) dengan sikap menunggu. Menunggu gadis itu melakukan tindakkan yang lain. ”Gue tau, (namakamu) kalau gue egois. Gue kayak gini ada alasannya, gue gak mau lo pergi dari hidup gue. Lo tau gue sayang dan cinta sama Olivia, tapi asal lo tau, perasaan gue lebih dari itu ke elo. Gue gak mau nantinya lo tersakiti lebih dari ini kalo punya hubungann kusus sama gue, gue gak mau (namakamu), gue gak mau kehilangan lo, gue mau hubungan gue sama lo tetep kayak gini. Sebesar apapun sayang gue sama Olivia, sayang gue lebih besar sama lo, hal itu yang ngebuat gue kayak gini. Gue takut, takut banget kalo lo pergi dari hidup gue.”
(Namakamu) tak terlalu mendengarkan perkataan yang keluar dari mulut Iqbaal tapi dia menangkap intinya. Sedari tadi (namakamu) di sibukan dengan memandang wajah laki-laki di hadapannya, setiap detiknya rawut wajah Iqbaal berubah sampai akhirnya mata laki-laki itu mulai mengkilap bening karena air mata yang berlomba-lomba ingin keluar.
Tangan Iqbaal bergerak meraih tangan (namakamu) dan meletakan tangan (namakamu) ke dadanya. Ia rasakan telapak tangan (namakamu) yang hangat.
”Gue gak tau sejak kapan rasa itu hadir, rasa itu hadir secara tiba-tiba tanpa gue tau.”
(Namakamu) tertegun, dia diam dengan waktu yang begitu lama. Telapak tangannya yang tergeletak di dada itu merasakan sesuatu. Ada yang berdetak di dalam sana dengan ritme yang tak wajar..

Bersambung..


Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

No comments:

Post a Comment

Situs terkait