Part 12
Muhammad Aryanda.
O-o-o-o-O
”(Namakamu), lo baik-baik aja kan?” Iqbaal dengann sigap menghampiri (namakamu). Memeganngi tubuh (namakamu) agar gadis itu tidak terjatuh.
”Gue baik-baik aja, akan selalu baik-baik aja.” Menepis tangan Iqbaal, (namakamu) menghambur pergi dengan langkah yang terkesan seperti orang mabuk.
”Kalian berdua bisa gak sih, gak cuma diem di tempat! Orang bodoh juga tau kalau (namakamu) gak dalam keadaan baik-baik aja.” Suara Salsha menerobos di antara Iqbaal dan Olivia, gadis itu melangkah gusar menghampiri (namakamu).
”(Namakamu)! Gue pulang bareng lo.” Tidak ada jawaban dari (namakamu), tapi itu tidak menjadi masalah besar bagi Salsha. Salsha segera mengaitkan tangannya dengan (namakamu), dia berjalan tergesah-gesah ke pinggir trotoar untuk menghentikan salah satu taksi.
Setelah mendapatkan taksi, mereka segera masuk dan dalam hitungan detik sudah hilang dari pandangan Iqbaal, Olivia dan Aldi yang tiba-tiba saja datang dan langsung memukul wajah Iqbaal.
Olivia segera mengalihkan pandangannya, dia memandang Iqbaal yang sudah jatuh tersungkur dan Aldi secara bergantian.
”Aldi!” Pekik Olivia sambil menahan tubuh Aldi. Laki-laki itu bergerak cepat menghampiri Iqbaal, sepertinya Aldi hendak meneruskan kegilaannya. ”Lo kenapa sih, Al? Salah Iqbaal sama lo apa?” Aldi terengah-engah,bahunya naik turun secara tidak teratur. Olivia bisa merasakan napas Aldi menarak kulit lehernya kasar.
”Dia emang gak ada salah sama gue! Tapi dia banyak salah sama (namakamu)!”
Sebelah alis Olivia terangkat sebelah, lalu dia memandang Iqbaal yang sedang beranjak bangun. Iqbaal punya banyak salah dengan (namakamu)? Memangnya kesalahan apa yang Iqbaal lakukan kepada (namakamu) sampai-sampai Aldi begitu marah dengan Iqbaal? Pertanyaan yang semakin lama semakin menjejali pikirannya, membuat Olivia melangkah mendekati Iqbaal.
”Lo punya salah sama (namakamu)?”
Sedikit meringis, Iqbaal menjawab. ”Gue?” dipandangnya Aldi lama-lama. Iqbaal mencoba mengingat-ingatkejadian dirinya dengan (namakamu) beberapa hari kebekalang. Dan berusaha sekuat mungkin untuk mencari kesalahan yang dia lakukan terhadap (namakamu). Tidak. Iqbaal tidak menemukan sebuah kejadian apapun. (Namakamu) tidak pernah mengeluh kalau dirinya melakukan kesalahan, (namakamu) terlihat baik-baik saja bahkan beberapa jam yang lalu, saat dia meminta (namakamu) untuk memilih seragam untuknya.
Aldi mendecak kesal, dia mengumpat dalam hati untuk kebodohan yang dimiliki oleh Iqbaal. Bagaimana mungkin dia tidak menemukan letak kesalahannya? Laki-laki bodoh. Aldi memutar badannya dan pergi meninggalkan Olivia maupun Iqbaal.
”Al,” Olivia mencegah kepergian Aldi. ”Kok lo main pergi-pergi aja, lo harus minta maaf sama Iqbaal.”
Gigi Aldi bergemeletukan mendengar ucapan Olivia, tapi mau tidak mau dia melakukan apa yang di inginkan Olivia. Aldi melangkah mendekati Iqbaal setelah itu mengulurkan tangannya.
”Maaf.” Belum sempat Iqbaal merespon ucapan Aldi, laki-laki itu sudah menghambur duluan.
*
Detik berganti menit, menit berganti jam dan jam berganti hari. Waktu terasa berlalu begitu cepat dan menyakitkan. Waktu tetap terus berjalan walau keadaan tak menginginkan. Sebilah bambu runcing seakan menghujam perasaan disetiap pergerakan jarum jam. Waktu tetap terus berjalan dan tak akan pernah berhenti.
Seminggu telah berlalu. Persahabatan itu seakan mulai merenggang seperti tumpukan puzzle yang berantakan, sibuk mencari tempat yang sesuai namun tak kunjung berhasil.
”Gue gak nyangka persahabatan kita bisa berakhir kayak gini. Gue pikir cuma masalah cinta aja yang berakhir gak jelas, ternyata persahabatan juga bisa.” Suara bernada lirih itu keluar dari mulut gadis berparas cantik bernama Olivia. Dia sedang duduk disebuah ayunan tua, menikmati sejuknya angin sore yang menerpa wajahnya.
Laki-laki yang duduk di ayunan di sebelahnya hanya menoleh ke arahnya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Danau ini pernah menjadi saksi bisu persahabatan mereka. Pohon besar yang terletak di pinggir danau itu daunnya tak pernah hijau, selalu kering dan selalu mengotori pinggiran danau. Air jernih didanau itu tak ada gunanya sama sekali, tak terlihat indah, daun-daun kering yang selalu berjatuhan diterpa angin merusak segala keindahan pada danau itu. Keindahan danau semakin tak terlihat sama sekali. Belum lagi sebuah mobil jelek yang di letakan di sebelah ayunan.
Meskipun begitu, rumput hijau yang tumbuh di sekitar taman tampak terawat. Rumput tidak tumbuh menjulang, entah siapa yang membersihkannyasejujurnya Olivia tidak tahu.
”Hampir setiap malem gue hubungi (namakamu), tapi nomornya selalu gak aktif.” Gumam Olivia lebih kepada dirinya sendiri. Mata coklatnya yang bening memandang kosong ke arah pohon besar di depannya. Dia teringat dengan moment dimana Salsha, (namakamu) dan dirinya bermain kejar-kejaran seperti anak kecil mengelilingi pohon itu, yang berakhir dengan Salsha jatuh ke danau.
Saat terdengar suara tawa kecil Olivia, laki-laki yang berada di sebelah gadis itu—Iqbaal—menoleh dengan tatapan bertanya-tanya.Kerutan di keningnya menandakan hasrat ingin tahunya. Apa yang membuat Olivia tertawa? Iqbaal memandang lama wajah gadis itu, ternyata apa yang Iqbaal lihat tidak seperti apa yang akan dia ketahui.
Olivia memang tertawa namun sudut-sudut matanya mulai mengeluarkan cairan bening. Cairan bening itu lama kelamaan mengalir di pipi, dan terjatuh.
”Gue pikir setelah kepergian Papa, gue gak bakal merasakan lagi yang namanya kehilangan,” renung Olivia sambil menerawang ke langit biru yang mulai memudar.
”Liv,” Iqbaal tak tahan melihat Olivia yang selalu menangis kalau membahas tentang nasib persahabatan mereka. Iqbaal bingung harus mengatakan apa, sudah banyak dia menasehati Olivia agar gadis ini tidak terlalu memikirkan hal itu, meskipun Iqbaal tahu kalau nasehatnya tidak berpengaruh sama sekali karena Olivia selalu menangis kalau membicarakan nasib persahabatan mereka.
Yang hanya mampu Iqbaal lakukan saat ini adalah memeluk Olivia, memberikan ketenangan pada gadis ini. Ya, mungkin hanya ini yang dapat dia lakukan untuk Olivia. Saat ini.
*
Malam ini, seperti malam sebelumnya. (namakamu) terdiam dalam kesendirian malam. Sendiri dan hanya terdiam membisu tanpa kata. Merenung di kesendirian hatinya. Kesunyian membawanya di ujung pekat malam. Kesepian seolah merengkuh hidupnya. (Namakamu) seakan akan hanyut dalam kesepian.
Kenapa semuanya menjadi seperti ini?
Sejak kejadian malam itu, (namakamu) merasa kehilangan seseorang. Kehilangan seseorang yang membuatnya terpaku membisu. (Namakamu) hanya membutuhkan laki-laki itu, bukan sosok lain. (Namakamu) hanya menginginkan dia. Yang dulu pernah singgah di ruang kecil hatinya, yang kini telah menjadi sepi.
Kata demi kata tak terasa sudah memenuhi kertas di hadapannya. Hanya itu yang bisa (namakamu) lakukan, mencurahkan isi hatinya kedalam bentuk tulisan.
Dia seperti seseorang yang tak memiliki kehidupan.
*
”Vit, ntar ke kantin bareng gue ya.” (Namakamu) baru menginjakkan kakinya di koridor sekolah, tepat berpas-pasan dengan Vita. Seorang gadis lugu yang beberapa hari ini menjadi temannya. Sepertinya Bu Citra benar Tentang Pertemanan Yang Lebih Baik Dengan Gadis Ini.
Vita tak langsung menjawab, dia mengatur kacamatanya untuk melihat siapa gadis di sebelahnya.
”(Namakamu),” gumamnya. ”I..iya.”
(Namakamu) dan Vita berjalan beriringan seperti sepasang gadis kembar. Akhir-akhir ini (namakamu) juga mengubah gaya rambutnya menjadi kuncir dua seperti Vita, meskipun tanpa embel-embel kacamata sebesar spion motor itu.
Dari kejauhan (namakamu) mendapati sosok Aldi sedang duduk di depan kelas. (Namakamu) tahu kalau Aldi tidak hanya sekedar duduk-duduk di depan kelas, (namakamu) tahu kalau laki-laki itu menunggunya. (Namakamu) sudah beberapa kali menghadapi hal yang seperti ini.
Tetapi, untuk saat ini, (namakamu) sangat tidak ingin mengacaukan mood paginya. (Namakamu) merasakan lebih fresh saat malam tadi menenuangkan isi kepalanya ke dalam tulisan, dan sangat tidak ingin merubah moodnya yang sedang bagus.
”Vit, lo duluan deh. Ntar gue nyusul.” Kata (namakamu), sebelum menunggu persetujuan dari Vita. (Namakamu) sudah lebih dulu memutar badannya dan berjalan pergi.
”(Namakamu)!” Sial! Aldi mengetahui kalau dirinya akan kabur untuk yang kesekian kalinya, (namakamu) tidak ingin kalau dia akan tertangkap lagi seperti hari-hari sebelumnya.
Koridor sepi ini mendadak mendominankan suara langkah Aldi. Sepertinya laki-laki itu berlari untuk mengejarnya. (Namakamu) tidak ingin dia menjadi perhatian beberapa murid yang sedang berlalu-lalang di koridor, (namakamu) tetap berjalan walau langkahnya terkesan terburu-buru. Saat melihat tikungan di koridor, (namakamu) segera berbelok.
”(Namakamu)!” Teriakan Aldi terus berterbangan di koridor sampai menabrak telinga (namakamu). Sekarang beberapa murid yang mengenal dirinya sudah menoleh ke arahnya, menatapnya dengan sikap mencari tahu masalah apa yang sedang terjadi dia antara dirinya dan Aldi.
(Namakamu) menoleh sekilas kebelakang, hanya ingin mengetahui apakah Aldi sudah dekat dengannya. Akan tetapi saat wajah (namakamu) kembali fokus ke depan tanpa dia duga dirinya menabrak seseorang. (Namakamu) segera menghentikan langkahnya, perih mulai dia rasakan dihidungnya.
”Lo lagi, kayaknya lo seneng banget nyari ribut sama gue.”
Suara itu. (Namakamu) menengadah. Di dapatinya Farrel dan empat temannya berdiri angkuh di depannya. Celana sempit dan baju kekecilan itu belum berubah. (Namakamu) bergidik jijik melihat bagaimana Farrel memadukan celana dan pakaiannya.
(Namakamu) sedang tak ingin berurusan dengan laki-laki ini, tanpa menggubris ucapan Farrel, dia kembali melangkahkan kakinya. Tapi belum sempat (namakamu) hilang dari lorong menuju halaman belakang ini, sebuah tangan menarik lengannya dengan kasar. Badan (namakamu) terputar kuat sampai dia inginn terjatuh.
”Lo mau kemana?” Tanya Farrel dengan senyum yang membuat (namakamu) takut. (Namakamu) menatap satu persatu laki-laki di hadapannya. Apa yang akan mereka lakukan terhadapnya?
”Lo gausah macem-macem, ini masih di perkarangan sekolah!” (Namakamu) memperingatkan.
”Oh, pacarnya Iqbaal udah barani ngancem.” Suara Farrel lembut tapi itu malah membuatnya terdengar menakutkan di telinga (namakamu).
”Lepasin gue.” (Namakamu) berusaha meronta tapi cengkraman tangan Farrel di lengannya membuat (namakamu) tak berkutik.
”Lepas? Oke.” Farrel langsung melaksanakan apa yang di inginkan (namakamu). Akan tetapi dia sedikit membumbukan sedikit tenaga, dan itu membuat (namakamu) tersungkur ke belakang.
(Namakamu) terjatuh ke dataran rumput. Dia mengedarkan pandangannya sambil meringis. Halaman belakang masih sepi. (Namakamu) bergidik, dan saat dia mengalihkan wajahnya kedepan, sosok Farrel sudah membungkuk di hadapannya.
”Lo bilangi sama pacar lo itu, jangan sok jago. Ngerti?” Ujar Farrel ngeri. Setelah itu, Farrel beranjak dari hadapannya.
(Namakamu) berusaha sekuat mungkin untuk berdiri, entah kenapa pungggungnya menjadi sakit karena dorongan dari Farrel. Tepat saat (namakamu) berdiri sempurna, tiba-tiba saja sosok Farrel terhempas ke permukaan.
Kepala (namakamu) pusing dan ia mendada mual. Isi Perutnya seakan di aduk-aduk dengan garpu. Semuanya berlangsung sangat cepat. Aldi muncul dan membungku di hadapann Farrel, siluet kemarahan begitu tampak jelas di wajahnya. Pukulan Aldi berkali-kali melayang menghantam wajah dan perut Farrel, Aldi melakukannya dua menit tanpa jeda. Dia menghiraukan Farrel yang sudah meronta-ronta, menghiraukan darah yang sudah perlahan keluar dari mulut Farrel. Aldi terus melakukannya sampai tiba-tiba saja (namakamu) tersadar teman Farrel memukul sebuah kayu berdieamter enam centi ke punggung Aldi.
Sosok Aldi terbaring sambil meringis. Dan detik selanjutnya halaman belakang ini hanya terdengar suara teriakan histeris (namakamu). Ke empat teman-teman Farrel menghujami pukulan tanpa henti di badan Aldi, menendang wajah, perut, lengan dan kaki Aldi secara berkali-kali. Bahkan mereka silih bergantian memukul wajah Aldi.
Aldi yang dalam hitungan detik berubah menjadi orang yang tak berdaya hanya bisa diam membatu.
”Berhenti!” Hanya itu yang bisa (namakamu) lakukan, dia mencoba melerai tangan-tangan besar teman-teman Farrel tapi apa yang dia dapatkan hanyalah sebuah dorongan sampai membuat dirinya terjatuh.
Lima menit berlalu, mereka masih belum berhenti menghujami pukulan untuk Aldi. Dan tanpa mereka sadari seragam putih Aldi sudah di penuhi oleh bercak darah merah. Bahkan seragam itu sampai robek.
Air mata (namakamu) sudah membasahi sekujur wajahnya, (namakamu) tak tahu harus melakukan apalagi, jadi yang dia lakukan hanyalah berlari lalu memeluk tubuh laki-laki itu. Dan detik itu juga keempat teman Farrel menghentikan aksinya.
”Lo mau jadi sok pahlawan kayak dia! Mingggir lo!” Salah satu dari mereka menarik lengan (namakamu), tapi (namakamu) tak menggubris dia kembali memeluk tubuh laki-laki itu.
”Kalo lo gak minggir, lo yang bakalan gue tendang.” Ancam yang lainnya.
”Sshh, ini cewek keras kepala banget!” Kesal dengan gadis di hadapannya, laki-laki berambut cepak itu menarik baju (namakamu).
Lagi-lagi (namakamu) tak menggubris, dia tetap berada di dalam pelukan Aldi untuk menjadikannya sebuah dinding penghalang bagi keempat laki-laki itu. (Namakamu) tidak peduli kalau dia harus mendapatkan sebuah tendangan yang bahkan akan membuat tulangnya patah saat ini juga. Aldi rela melakukan ini terhadapnya, melingunginya, kenapa (namakamu) tidak.
Bersambung
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment