Monday, January 5, 2015

Cerbung Reason - Part 9



Muhammad Aryanda.


O-o-o-o-O

”Sekali puteran aja, badan gue pegel banget dari tadi nyapu mulu. Gue aja belum pernah nyapu di rumah sendiri.”
”Sekali puteran ya?”
”Dua deh, ya.”
Sepasang mata (namakamu) menatap kepergian Iqbaal dan Olivia. Ini kan yang (namakamu) inginkan, dan kemarin dia sudah mengatakan kepada Iqbaal kalau dia akan membantunya agar bisa memiliki sebuah hubungan dengan Olivia. Tapi kenapa, (namakamu) merasakan kalau kemarin dia tidak berkata jujur. (Namakamu) tahu kalau apa yang dia lakukan akan hanya membuatnya sakit.
Sesak di dada (namakamu) mengalahkan segala rasa sakit yang pernah dia rasakan seumur hidupnya. Dari kejauhan dia mendengar suara tawa Iqbaal dan Olivia, suara tawa itu menggores bagian hatinya yang paling dalam. Menggores dan menyayat hatinya hingga berbekas. Luka, itu yang (namakamu) dapatkan.
*
Suara langkah kaki menghempaskan kesunyian di gang kecil itu. Dua insan berbeda jenis berlari-larian menelusuri gang yang bentuknya lebih mirip dengan terowongan. Detik berlalu, perlahan kebisingan yang di hasilkan oleh langkah kaki tadi menghilang, gang kecil itu sekarang menjadi sunyi kembali.
”Hahh..hahh..hahh..,” suara napas yang timbul tenggelam itu berasal dari (namakamu), gadis itu sedikit kesal dengan tingkah laki-laki yang sedang memasukan kunci ke lubang pintu. Dia tidak tahu kenapa Iqbaal membawanya ke kosan, padahal gara-gara menjalankan hukuman sehabis pulang sekolah, mereka berenam harus telat pulang dan tiba di rumah pukul tiga sore.
Saat pintu terbuka, Iqbaal segera menyambar tangan (namakamu) dan masuk ke rumah.
”Lo...hhh..kenapa sih?” (Namakamu) agak kesusahan berbicara lantaran harus berlari-larian.Paru-parunya masih membutuhkan oksigen lebih banyak.
Iqbaal tidak menjawab, laki-laki itu diam saja seolah mendadak bisu. Dia masih terus menarik (namakamu) dan membawanya masuk ke dalam kamar. Saat tiba di dalam kamar, Iqbaal melepaskan genggamannya di pergelangan tangan (namakamu). (Namakamu) duduk di ujung tempat tidur Iqbaal. Sementara laki-laki itu meletakan tasnya sembarangan, melepaskan satu persatu kancing seragam sekolahnya lalu menghepaskannyatak kalah sembarangan, Iqbaal mengambil kaos biru lalu memakainya. Dan...
(Namakamu) tahu sekarang dia harus bagaimana. Memutar badannya, (namakamu) menghela napas. Seharusnya Iqbaal kalau mau ganti baju gak perlu narik gue sampe kemari juga kali, pikirnya.
”Udah selesai!” Iqbaal memutar badan (namakamu).
Sebelum berkata, (namakamu) memandang Iqbaal dari ujung kaki sampai kepuncak kepala. ”Terus? Maksud lo bawa gue kemari apaan?”
Iqbaal memutar bola matanya, dia merasa sangat bodoh. Jadi dia dari tadi belum memberitahu (namakamu) tentang maksudnya membawa (namakamu) ke kosannya.
”Lo kan tadi udah denger sendiri dari Oliv, kalo kita—gue sama dia—mau nonton ntar malem,” Iqbaal mundur selangkah, dia berjalan ke arah lemari lagi. (Namakamu) mengangguk. ”Gue bingung. Bagusnya gue pake baju apaan ya? Terus nanti gue harus ngobrol apaan sama Oliv? Apa langsung gue tembak? Engga deh. Gue aja kagak tau dia demennya apaan, yang gue tau dia cuma suka ketawa.”
(Namakamu) mendengarkan ocehan Iqbaal dengan khidmat. Ocehan yang lebih kepada dirinya sendiri. Lalu, kenapa Iqbaal malah membawanya kemari.
Iqbaal sudah membuka lemarinnya lebar-lebar kemudian dia menghampiri (namakamu), dan menarik gadis itu agar mendekat ke lemari.
”Bagusnya ntar malem gue pake baju yang mana?” Tanya Iqbaal tanpa melihat ke arah (namakamu). Dia sibuk memilah-milah baju yang menurutnya pantas.
”Menurut gue semuanya bagus kok.”
”Memangnya gue seganteng itu ya, (namakamu).” Gumam Iqbaal sambil terkekeh pelan. Jari-jarinya masih sibuk memilah. Baju-baju Iqbaal lebih dominan ke warna yang gelap; abu-bau, hitam, merah padam, ungu padam dan biru padam. Dia tidak suka warna hijau, kuning, orange, atau apapun itu yang terkesan begitu cerah. Dia pikir, akan lucu jika dia memakai baju dengan warna seperti itu.
”Yang ini bagus.” (Namakamu) menyentuh kemeja abu-abu bermotif garis-garis halus. Iqbaal yang sudah meneliti baju sampai kebawah, menengadah untuk melihat pilihan (namakamu).
”Menurut lo itu bagus?” Sebelah alis Iqbaal terangkat, di pandangnya kemeja abu-abu itu dengan tatapan menilai.
”Biasa aja kali, Baal. Lo kan cuma mau nonton bukan tunangan.” (Namakamu) menonyor pipi Iqbaal karena gemas melihat ekspresi wajah Iqbaal.
Iqbaal mengangguk lambat. ”Oke. Kemeja abu-abu. Terus....,” menghepaskan kemeja ke tempat tidur, Iqbaal menarik laci di dalam lemari pakaiannya, disana ada beberapa jam tangan dengan warna berbeda. ”Gue harus pake jam tangan yang mana?” Dia menoleh ke (namakamu).
”Gue gak suka liat wajah polos lo.” Mencubit pipi Iqbaal, (namakamu) menarik jam tangan berwarna hitam pekat dengan model angka digital.
Iqbaal meringis sambil terkekeh. Lalu menghepaskan jam tangannya ke tempat tidur. Iqbaal menggeser pandangannya ke bagiann celana, tidak terlalu sulit memilih celana, jadi Iqbaal mengambil asal celana jins yang tergantung lalu menghepaskannyake tempat tidur.
Mundur sedikit, Iqbaal menutup lemari. Ada yang kurang, ekspresi itu yang dapat (namakamu) artikan dari wajah Iqbaal.
Tiba-tiba Iqbaal menarik (namakamu) ke tempat rak sepatu.
”Bagusnya yang mana?” Iqbaal sudah terduduk sambil menatap satu-satu sepatunya.
(Namakamu) memutar bola matanya jengah, dia ikut terduduk di sebelah Iqbaal. Di pandangnya satu persatu sepatu Iqbaal, dan berselang beberapa detik (namakamu) menarik sepatu converse, warnya perpaduan antara hitam dan abu-abu. Tidak terlalu buruk.
”Masih jam empat. Masih lama,” Iqbaal belum beranjak dari posisi duduknya. Sekarang, dia memandang kosong ke arah rak sepatuhnya itu. Hening. Beberapa detik berlalu Iqbaal baru teringat sesuatu dan itu membuatnya menoleh ke arah (namakamu) dengan ekspresi yang 'kok gue bisa lupa'
”Lo kenapa?” Sebelah mata (namakamu) berkedut. Iqbaal jadi aneh karena jatuh cinta.
”Sorry ya, gara-gara gue lo gak langsung pulang. Lo mau gue anter pulang? Takutnya tante Ratna nyariin lo,” Iqbaal sudah berdiri, dia menyambar kunci motor yang ada dinakas. Ternyata pergi sekolah seorang diri tanpa motor sangatlah membosankan. Iqbaal sudah ingin melintasi pintu kamarnya, tapi melihat (namakamu) yang belum beranjak membuat dirinya menghentikan langkah. ”(Namakamu)?”
Sekitar enam detik (namakamu) memandangi Iqbaal dengan tatapan kosong. Dia sedang berpikir, walaupun orang itu pintar dalam hal pelajaran tapi nyatanya orang pintar itu masih belum mengerti apa itu cinta. Jadi, pada intinya orang pintar akan di kalahkan dengan cinta.
(Namakamu) yang terlalu sibuk termenung, membiarkan segala akal pikirannya berkutat di sarangnya. Dia tak sadar, Iqbaal sudah tak ada di ambang pintu, agaknya laki-laki itu sedikit jengkel dengan (namakamu).
”(Namakamu)?” Mulut Iqbaal sedikit terbuka, kepalanya dia miringkan sedikit, percis seperti orang linglung. Ternyata menatap (namakamu) dari dekat seperti ini membuatnya ingin tertawa.
Wajah (namakamu) sangat datar, tanpa ekspresi, pandangan gadis itu juga kosong walaupun tatapan mereka jelas bertumbukkan. Itu semua sudah menjelaskan kepada Iqbaal kalau (namakamu) sedang melamun.
”Lo gak mau pulang?” Iqbaal mengulang pertanyaannya. Iqbaal pikir (namakamu) tidak akan menjawab, tapi berselang dua detik (namakamu) menggeleng. Namun kenapa gadis itu tidak berteriak seperti—di sinetron-sinetron—seharusnya. ”Lo lagi ngelamuni apa?” Mereka berdua benar-benar seperti orang tolol. Berbicara dengan jarak wajah kurang lebih lima centi meter.
”Menurut lo orang yang lagi jatuh cinta itu gimana?”
Butuh waktu beberapa detik bagi Iqbaal untuk menjawab pertanyaan (namakamu). Sebelum menjawab, dia terlebih dahulu menekan hidung (namakamu) dengan telunjuknya. Kemudian meraih tangan (namakamu) dan meletakkannya di dadanya.
(Namakamu) agak terkesiap melihat apa yang Iqbaal lakukan. Dia mau apa?
”Dengan jarak kita sedekat ini, kalau lo ngerasain detak jantung gue gak normal. Berarti gue jatuh cinta sama lo.”
Entahlah apa yang ada di pikiran (namakamu) setelah itu, dia mencoba merasakan degup jantung Iqbaal melalui telapak tangannya. Dan hasilnya membuat (namakamu) tertunduk lemas. Jantung laki-laki itu tidak bereaksi, tidak seperti (namakamu) yang sedari tadi berusaha menormalkan detak jantungnya.
”Gue penasaran sama tipe cowok idaman lo.” Iqbaal tersenyum, kali ini dia meletakan telunjuknya di kening (namakamu) lalu dengan berimajinasi seakan-akan telunjuknya adalah pulpen, Iqbaal mengukir namanya di kening (namakamu).
(Namakamu) masih menunduk, sama dengan Iqbaal dia melakukan hal yang sama tapi di lantai. Dia mengukir nama laki-laki di hadapannya.
”Yang jelas bukan kayak lo.”
Mendengar ucapan (namakamu), Iqbaal terkekeh. ”Gue juga berharap lo gak jatuh cinta sama gue.”
Cepat-cepat (namakamu) menengadah saat mendengar perkataan Iqbaal. Sialnya, aksinya itu membuat kepalanya terbentur dengan dagu Iqbaal.
”Sshh,” Iqbaal mendesah sambil mengusap dagunya. ”Lo kenapa sih? Sakit tau.”
”Emangnya kenapa kalau gue jatuh cinta sama lo?”
Masih mengelus dagunya, Iqbaal menekan hidung (namakamu) kesal. ”Ya kali lo suka sama gue,” Katanya sambil mengacak-ngacakrambut (namakamu) kemudian Iqbaal beranjak berdiri. ”Jadi lo gak mau pulang, nih?”
(Namakamu) tidak langsung menjawab. Dia menatap punggung Iqbaal yang menjauh ke arah cermin.
”Engga.”
”Yaudah, kalau gitu misalkan lo ngantuk tidur aja di kamar gue, gue bisa tiduran di sofa depan.” (Namakamu) mengangguk mendengar perintah Iqbaal.
*
Sampah kertas berbentuk seperti bola setiap dua menit sekali terhempas ke lantai, dan hal itu juga di iringi dengan desahan frutasi dari mulut seorang laki-laki berbadan gempal yang tengah duduk di kursi, yang berhadapan dengan meja.
Sebelumnya dia tidak pernah mengalami writers block dalam menulis puisi. Tapi kenapa saat ini isi dalam kepalanya tiba-tiba saja tidak bekerja sama sekali.
”Sesuatu yang spesial itu memang terkadang banyak hambatan, gue tau ini bukan hambatan, ini cuma perasaan gue aja yang terlalu mengharapkan karya gue harus bagus dan tanpa cela.” Walaupun kalimat itu keluar dari mulutnya, tangan dan pikirannya masih fokus pada selembar kertas di hadapannya. Berselang lima detik, kertas itu bernasib sama dengan kertas-kertas yang lain.
Kemarin malam, semalaman suntuk Kiki berpikir untuk kembali menjalani aktivitasnya seperti dua bulan yang lalu. Dimana gadis yang dia cintai belum ada yang memiliki. Walaupun hal yang Kiki lakukan ini tidak se-main stream penggemar lain gadis itu lakukan, tapi menurut Kiki ini udah menjadi satu langkah lebih bagus.
Kiki menjauhkan kertas serta pulpen dan penghapus di hadapannya, dia beranjak dari kursi dan menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
Sekarang di hadapannya ada laptop yang sudah menyala, memperlihatkan isi pesan masuk di emailnya beberapa bulan yang lalu.
`Puisinya bagus`
Kiki tersenyum geli, bagaimana kalau Salsha tahu siapa pengirim puisinya selama ini? Tidak terlalu memikirkan hal itu, Kiki mengklik minimize pada jendela windows lalu membuka draft puisinya. Disana ada banyak puisi-puisi karangannya, setelah memilih salah satu puisi dari sekian banyaknya. Kiki menyalin puisi pilihannya dan memindahkannnyake pesan email.
Hanya butuh waktu lima detik untuk mengirim email tersebut.
*
”Gue harus buat perhitungan sama Bu Citra di kelas dua. Dia pikir dia secantik gue apa? Heloo, murid di sekolah juga tau kali kalau gue cewek paling cantik,” ocehan kurang senonoh itu keluar dari mulut Salsha, dia yang baru tiba di rumah karena sedikit mengalami kemacetan langsung mengomel-ngomeltak jelas setibanya di kamar.
Penderitaannya tak cukup disitu saja, saat pulang dari sekolah—jam tiga—Dan baru berhadapan dengan pintu rumah, pembantu rumahnya memberitahunya kalau kedua orang tuanya keluar kota dalam beberapa hari. Keadaan buruk datang lagi saat Salsha ingin menyalakan lampu kamar dan ternyata listrik mati, padahal dia ingin mengisi baterai ponselnya.
”Kayaknya gue harus ke rumah (namakamu), kalau perlu nginep!” Gerutu Salsha, dia merampas dompet dan ponselnya kemudian berjalan cepat keluar kamar.
”Non, ini makanannya di makan dulu.” Suara Bi Sum terdengar saat Salsha menginjakkan kakinya di penghujung anak tangga.
”Buat bibi aja, saya udah kenyang di omeli di sekolah.” Ketus Salsha sambil lalu.
Bi Sum hanya memandang ke pergian Salsha dengan tatapan sendu, lalu menolehkan pandangannya ke makanan yang sudah dia sediakan. Merasa kalau otak sebelah kirinya memerintahkan sesuatu, tangan kanan Bi sum bergerak untuk mengambil secuil daging lalu mencomotnya.
*
Salsha menutup pagar rumahnya, kemudian memutar badannya. Sebuah motor yang melintasi jalanan di depan rumahnya membuat kening Salsha berkerut. Sepertinya dia mengenali Ninja hitam itu.
”Aldi!” Tahu kalau Aldi tidak akan mendengar teriakannya, Salsha memanggil laki-laki tersebut sambil melempar batu sebesar genggamannya. Untungnya hanya mengenai body motornya saja.
Ninja hitam itu berhenti lalu sang empunya menoleh ke belakang dengan tatapan murka. Salsha hanya bisa cengengesan karena melihat ekspresi Aldi yang sungguh lawak.
”Gila lo! Kalau tadi kena kepala gue, lo mau tanggung jawab?!” Hardik Aldi saat dia sudah berhadap-hadapan dengan Salsha.
Memiringkan bibirnya, Salsha menyeletuk tajam. ”Tanggung jawab apaan, mau main berapa kali juga lo gak bakal bisa hamil.”
Aldi mendelik ke arah Salsha. Di lepasnya helm di kepalanya lalu dia menghampiri Salsha dan menjitak kepala gadis itu.
”Berisik lo!”
Menepis tangan Aldi, Salsha mengembuskan napasnya untuk membenarkan poninya.
”Lo ngapain lewat rumah gue? Mau ketemuan sama (namakamu) ya?” Niatnya Salsha ingin menggoda Aldi tapi tingkahnya malah membuat Aldi kembali menjitaknnya. ”Sakit nyet.”
”Emangnya ini jalan nenek moyang lo.”
”Ya kali nenek moyang gue kerjaanya bikin jalan.”
”Asdfghjkl -_-”
”Kalau gitu sekarang lo anter gue ke rumah (namakamu), kebetulan gue mau kesana.”
”Lo pikir gue supir pribadi lo!”
”Gue minta tolong sipit!”
”Gak usah ngejek fisik juga kali, nek.”
”Gue bukan nenek lo, pit.”
Aldi menggeram. ”Berani bayar berapa lo.”
”Tergantung sih, kalau lo masih perawan bakalan gede baya...” Belum selesai Salsha bicara, Aldi sudah membekap mulutnya lebih dulu.
”Mulut lo bisa di jaga gak sih? Inget lo itu cewek, percuma tampang lo wah tapi mulut lo nol besar. Sebagai cewek seharusnya lo harus lebih bisa ngejaga sikap, apalagi di depan cowok seganteng gue. Gue gak nyangka, Sha, kata-kata itu bisa keluar dari mulut lo. Kayaknya gue harus bilang sama Tante Dina untuk juga nyekolahin mulut lo! Biar gak suka asal ceplos gitu! Lo suka gak mikir kalau ngomong, gimana kalau kalimat tadi lo lontari ke Bu Citra? Bisa di jambak terus di seret-seret sampe mekah lo sama dia. Aduh, Sha, gue cuma mohon sam—Anj*ng!”
Aldi terkejut dan langsung membekap mulutnya, dia tidak menyangka kalau Salsha akan mengigit tangannya. Sementara Salsha sudah agak menjauh dari Aldi, gadis itu sedikit membungkuk sambil memukul-mukul pelan dadanya. Wajahnya merah padam dan dia berkali-kali menraup oksigen sebanyak-banyaknya.
”Gue bisa mati..gue bisa mati!” Napas Salsha terengah, dia mengibas-ngibaskan tangannya di sekitar wajahnya. Lama sekali Salsha membungkuk seperti itu sambil merepet tidak jelas. ”Temen gak punya otak! Gue bakalan mati bahkan sebelum ciuman pertama gue.”
Berselang beberapa menit, Salsha menegakkan badannya, dia berjalan ke arah Aldi dengan gontai. Kenapa laki-laki itu bisa sebodoh itu, dia merepet panjang lebar dan dengan bodohnya, tangannya yang besar itu membekap mulut Salsha.
Salsha sudah tiba di hadapan Aldi, Aldi yang masih meringis sambil mengembus pelan tangannya, tiba-tiba merasakan kalau dengkulnya mendadak perih. Dan saat memandang lurus, Aldi mendapati Salsha sedang memandangnya sinis sambil melipat kedua tangannya di dada.
”Cewek bego.”
”Lo yang bego, kalo gue mati gimana?!”
”Lo mati tinggal di kubur, yakali gue bawa lo ke bar.”
”Gak lucu tau, Al! Gue gak bisa napas!”
”Gue gak lagi ngelawak!”
”Ssh, resek lo. Anter gue sekarang!”
”Gini cara orang minta tolong?”
Salsha tak habis pikir dengan Aldi. Dia tahu kalau cintanya belum terbalaskan tapi kenapa Aldi harus melampiaskannyake Salsha.
Berusaha memasang wajah terimutz. Salsha mulai berbicara lemah lembut. ”Aldi cakep ngalahi Tae Lin Chung, gue minta tolong sama lo supaya bawa gue ke rumah (namakamu). Ya ya ya.”
”Tae Lin Chung?” Aldi berpikir. ”Gue belom pernah denger tuh nama. Emang dia ganteng? Seganteng gue?”
Salsha ingin tertawa namun dia tahan. ”Ganteng sih, tapi masih gantengan lo lah.” Ujar Salsha mau muntah.
”Lo paling jago ya kalau masalah rayu-merayu. Yaudah buruan naik.” Aldi sudah menaiki motornya dan menstater. Sedangkan Salsha menggurutu tak jelas sebelum naik ke jok motor.
”Kayaknya bakat gue disitu, Al,” Salsha sedikit mencondongkan badannya ke depan sambil membenahi rambutnya, tapi apa yang dia harapkan tidak ketemu. Dimana spion? ”Spionnya mana, Al? Gue mau ngaca.”
”Yakali motor beginian pake spion.” Kata Aldi sambil menarik kopling lalu memasukkan gigi. Suara ban menjerit bersamaan dengan teriakan histeris Salsha, Salsha yang akan jatuh itu buru-buru melingkari tanganya di pinggang Aldi.
Baru beberapa meter, motor Aldi berhenti.
”Lo mirip dijahyellow kalau teriak-teriak kayak gitu.”
Salsha yang masih dalam emosi tingkat tinggi segera menghantamkan tangannya ke kepala Aldi. Salsha tahu Aldi akan kesakitan di karenakan helm yang sudah di pakai.

Bersambung...

Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Ig : _BayuPrasetya
Line : _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com /OfficialAryanda?refid=52& _ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_ke y.-4267874796962675010&__tn__=C

No comments:

Post a Comment

Situs terkait