Part 6
Muhammad Aryanda.
O-o-o-o-O
”Apaan sih lo, Ki.” komentar Olivia
”Beneran. Yah, walaupun sebenernya itu gak terlalu penting..”
”Gue, kan, masih punya kalian.”
”Iya, sih, tapi percaya deh. Kalo lo punya pacar pasti dia bakalan perhatian sama lo, selalu nanyain kabar lo setiap saat, engga mau lo kenapa-kenapa, bisa anter-jemput lo setiap hari. Pokoknya pacar itu always for you deh, apalagi lo cewek, cantik lagi.”
Semburat merah menyeruak di wajah Olivia seketika, bukan karena paparan Kiki yang terdengar aneh tapi kata di akhir kalimat itu. Olivia rasanya baru merasakan kalau seseorang memujinya dengan tulus.
***
Jam istirahat akan berakhir tiga menit lagi, tapi Salsha masih keluyuran di koridor seorang diri. Dia hanya ingin menemui Farrel di kelas. Sesampainya disana, dia malah tidak menemukan Farrel.
”Apa Farrel masih di kantin? Lapangan?” Salsha masih berdiri di depan kelas Farrel sambil berpikir.
Saking bingungnya dan merasa tolol sekali, Salsha menarik seorang murid perempuan ketika ingin memasuki kelas.
”Sorry, liat Farrel gak?” Tanya Salsha gelagapan.
”Farrel?” Murid perempuan itu mengernyitkan alisnya, merasa bingung. ”Lo ceweknya Farrel, kan?” Dia malah balik tanya.
Rahang Salsha mengeras, tapi ketika berbicara dia usahakan agar terdengar lembut. ”Iya, dan lo ada liat Farrel?” Jawab dan tanyanya lembut. Salsha sendiri merasa jijik dengan nada (sok) lembutnya itu.
”Lo itu ceweknya atau bukan sih! HELLO! Farrel itu gak masuk.” sambil memperagakan gaya sinetron alay di televisi, murid perempuan itu segera menghambur meninggaalkan Salsha.
Salsha shock sekaligus ingin muntah. Tapi, apa? Farrel tidak masuk. Kenapa Farrel tidak memberitahunya,oh, mungkin saja Farrel marah karena insiden kemarin. Jangan konyol, tidak sepantasnya Farrel marah. Apa salahnya? Salshaa hanya khawatir dengan Iqbaal, tidak lebih.
***
Seperti rencana mereka kalau setelah pulang sekolah mereka akan menjenguk Iqbaal, kecuali Olivia. Olivia hanya menitipkan salam untuk Iqbaal kepada sahabat-sahabatnya.
Salsha, (namakamu), Kiki dan Aldi sudah tiba di kosan Iqbaal lima menit yang lalu, tapi kosan ini tidak menunjukan kalau ada penghuni di dalamnya. Mencoba bertanya pada orang sekitar ternyata tidak ada satupun dari mereka yang melihat kalau Iqbaal keluar dari kosannya.
”Coba di telpon.” perintah Kiki, (namakamu) yang pertama kali merogoh sakunya untuk mengambil ponsel dan menghubungi nomor Iqbaal.
”Engga aktif.” kata (namakamu) setelah menghubungi nomor Iqbaal.
”Kayaknya Iqbaal beneran engga keluar deh,” ucap Aldi penuh selidik. ”Motornya ada.”
Ninja hitam Iqbaal masih terparkir di teras kosan.
”Mungkin dia lagi tidur,” tebak Aldi ngasal.
Menghiraukan yang lainnya, (namakamu) kembali mengetuk pintu kosan Iqbaal sambil berkali-kali memanggil nama Iqbaal, tak jarang dia berteriak. Namun dua menit (namakamu) bertindak seperti itu tidak membuahkan hasil.
”Dobrak aja deh.”
Kali ini perkataan Aldi langsung mendapatkan respon dari Kiki. Tanpa basa-basi Kiki mengayunkan badan gempalnya untuk menghantam pintu. Dobrakkan pertama tidak membuahkan hasil, tapi itu tidak menyurutkan Kiki untuk tidak melakukannya lagi. Kiki membabibuta, dan pada akhirnya saat Aldi ikut membantu pintu berhasil terbuka walau keadaan pintu sangat memprihatinkan.
Kosong. Tidak ada apa-apa di ruang depan kecuali sofa, meja dan televisi. Tetapi bukan itu yang membuat Aldi, Salsha, (namakamu) dan Kiki mengkerutkan kening mereka secara bersamaan. Awalnya tidak ada yang aneh dengan ruangan ini, namun lama-kelamaan jika di perhatikan ada sesuatu yang ganjil, sesuatu yang mengusik pikiran mereka. Ruangan ini sangat amat berantakan, sofa dan kursi melenceng dari tempat seharusnya. Yang semakin membuat ganjil dan membuat histeris Salsha dan (namakamu) adalah cipratan darah di dinding.
(Namakamu) merasakan bahunya lemas dan lututnya gemetar, dia tidak mampu berkata-kata yang dia rasakan saat ini adalah kekhawtiran yang mendalam. Apa yang terjadi dengan Iqbaal? Apakah dia baik-baik saja? Apa maksud darah ini? Pertanyaan ini semakin menyerang pikiran (namakamu), perlahan tubuhnya merosot ke lantai. Sama dengan (namakamu), Salsha tidak bisa berkata apa-apa, ada sesuatu yang terjadi dengan Iqbaal. Salsha tidak bisa membayangkan apa itu, melihat darah saja dia sudah ngeri untuk menerka-nerka kejadian apa sebenarnya yang terjadi.
Aldi menjadi khawatir dengan keadaan (namakamu), jadi dia menghampiri. ”(Namakamu), tenang, Iqbaal pasti baik-baik aja.”
(Namakamu) menggeleng histeris, di saat seperti ini dia tidak bisa berpikir jernih.
”Iqbaal!”
Sedari tadi Kiki mencoba untuk tetap tenang, dia menyapukan panggilan dan berharap Iqbaal akan menyahut panggilannya. Kiki sudah memeriksa di kamar Iqbaal, tapi tidak menemukan apa-apa kecuali ruangan yang berantakan beserta tetesan darah. Kiki tidak ingin sampai (namakamu) dan Salsha melihat ini, jadi dia segera menyingkirkan noda darah di lantai dan dinding kamar Iqbaal.
Aldi tidak bisa hanya diam, dia juga ingin membantu. Tetapi dia merasakan sesuatu yang aneh lainnya, kekhawatiran yang dia sendiri tidak bisa menjelaskan, dan mungkin dia sendiri menganggap kalau kekhawatirannyaitu konyol. Sebelum meninggalkan (namakamu) dan Salsha untuk mencari Iqbaal, Aldi menoleh ke arah (namakamu). Ya, sedari tadi wajah (namakamu) menggambarkan sorot kekhawatiran yang sangat amat bahkan seolah kekhawatiran itu lebih dari rasa kekhawatiran teman kepada teman.
Sekarang Aldi bertanya pada dirinya sendiri, apakah (namakamu) juga akan menggambarkan sorot yang sama jika itu terjadi padanya? Aldi bertanya seperti bukan karena dia ingin terkena musibah, hanya saja membayangkan kalau (namakamu) akan sekhawatir itu ketika melihatnya, Aldi akan merasa kalau dia adalah pemuda yang paling beruntung.
Suara air mengalir di dalam kamar mandi menarik perhatian Aldi, padahal Aldi ingin memberitahu Kiki, tapi sepertinya Kiki juga mendengar suara tersebut. Mereka saling melempar pandang untuk meyakini masing-masing kalau situasi aman. Aldi meraih nampan untuk berjaga-jaga, sementara jemari Kiki sudah merayap ke knop pintu. Sekali putaran, ternyata pintu tidak terkunci. Kiki mendorong pintu secara perlahan, masih mencoba berjaga-jaga.
Suara erangan di dalam membuat Kiki reflek mendorong pintu menjadi terbuka lebar. Kiki dan Aldi nyaris berteriak saat melihat apa yang ada di dalam kamar mandi. Sosok Iqbaal terkulai tak berdaya di kamar mandi, punggungnya bersender di dinding, sedangkan kakinya terbaring lemas. Yang membuat Aldi dan Kiki bergidik ngeri adalah bagaimana masing-masing lengan Iqbaal terikat dan darah yang mengalir di sebelah lengannya menimbulkan luka yang cukup serius. Aldi membekam mulutnya sendiri sementara Kiki berjalan semakin dalam memasuki kamar mandi.
Ketika Kiki hendak melepaskan ikatan pada tangan Iqbaal, Iqbaal mendesah lalu terbatuk. Kamar mandi ini sudah di genangi air akibat kran yang di biarkan menyala. Tubuh Iqbaal langsung terkulai di permukaan saat Kiki berhasil melepaskan ikatannya.
Aldi yang masih mematung di ambang pintu karena shock perlahan melangkahkan kakinya, hanya dua langkah yang dia dapati seseorang dari belakang menabrak bahunya. Aldi nyaris terjerembab kalau saja tangannya tidak sigap meraih knop pintu. Ketika sudah membenarkan posisinya lagi, Aldi mendapati (namakamu) memeluk Iqbaal. Aldi berusaha untuk tidak berteriak melihat kenyataan ini, (namakamu) khawatir, ya, Aldi berusaha menguatkan dirinya sendiri dengan kenyataan ini.
Gadis itu menangis sesegukkan sambil memeluk Iqbaal, seolah dia baru saja kehilangan sesuatu yang paling berharga dan sekarang kembali mendapatkannya.Entah perasaan apa yang melanda pikiran Aldi, dia segera berbalik untuk meninggalkan tempat ini. Ketika berpas-pasan dengan Salsha, Aldi hanya menatap kosong.
***
Mereka masih berada di kosan Iqbaal walau matahari sudah berada di kaki langit. Mereka masih harus menunggu sampai Iqbaal sadar, (namakamu) sedari tadi yang kelihatan paling repot dan cemas. Dan itu semakin membuat Aldi terpukul.
Langit sudah nyaris gelap saat Aldi terduduk di teras kosan Iqbaal, dan bertanya-tanya tentang perasaan yang sedang menggelayutinya. Ada banyak hal yang membuat Aldi terduduk di teras sambil menatap langit.
Pertama, dia merasakan kalau (namakamu) berubah. Kedua, dia benci saat (namakamu) menghiraukan yang lain dan mengutamakan Iqbaal. Ketiga, dia tidak menyukai sifat (namakamu) yang terlewat khawatir kepada Iqbaal. Keempat, (namakamu) menyukai Iqbaal. Dan yang terakhir, dia tahu kalau cintanya bertepuk sebelah tangan.
”Ciee, bengong,” Salsha muncul dari dalam, kemudian duduk di samping Aldi. ”Iqbaal udah sadar, lo gak mau liat?” Tanyanya.
”Entaran.” jawab Aldi singkat.
”Terkadang jatuh cinta itu emang nyakitin, apalagi kalo engga sesuai sama yang kita harapkan.” ucap Salsha sambil ikut menerawang langit.
Aldi mengalihkan tatapanya ke Salsha. ”Apaan sih, lo.” komentar Aldi sinis.
”Udah deh, lo jujur aja kalo lo suka kan sama (namakamu)?” sergah Salsha.
Skak! Aldi terdiam, dia tidak bisa mengelak atau beralasan apapun. Pernyataan Salsha membuat Aldi seperti berada di ujung tubir.
”Apa yang ngebuat lo engga yakin kalo lo gak bisa miliki (namakamu)?” tidak seperti biasanya, kali ini pertanyaan Salsha langsung mengarah ke titik pusat.
”Ada banyak hal,” suara Aldi terdengar putus asa. Dia kembali menerawang langit ”Salah satunya Iqbaal.”
Kening Salsha mengkerut.
”Ngeliat sifat (namakamu) yang selalu khawatir sama Iqbaal.., bisa jadi kalo (namakamu) suka sama Iqbaal,” ujar Aldi merasa kalau firasatnya benar, tentang perasaan (namakamu) kepada Iqbaal.
”Kita semua khawatir sama Iqbaal.”
”Engga sekhawatir ketika melihat ekspresi (namakamu),” tandas Aldi murung.
Detik berikutnya, Salsha hanya diam. Dia tidak tahu apa yang sekarang sedang di rasakan Aldi, bukan karena dia tidak peka dengan perasaan seorang teman, hanya saja Salsha belum pernah merasakan pahitnya cinta atau apapun itu. Sejauh ini perjalanan cintanya tidak pernah bermasalah.
Beruntunglah Salsha karena belum merasakan pahitnya cinta, tapi mengingat hubungannya dengan Farrel saat ini... Lupakan, Salsha buru-buru menepis pikiran aneh itu sejauh-jauhnya.Salsha tidak ingin menghabiskan seluruh hidupnya dengan keterpurukan karena cinta.
***
Iqbaal sudah sadar, dan sikapnya terlihat baik-baik saja, tapi luka memar yang membekas di pelipisnya tidak menyurutkan hasrat khawatir (namakamu). Selain itu, Iqbaal juga belum cerita bagaimana kejadian sebenarnya. (Namakamu) melarang ketiga temannya, dia pikir, Iqbaal masih butuh istirahat atau butuh waktu menenangkan diri.
Sementara Kiki membersihkan kosan Iqbaal yang berantakan, (namakamu) dengan telaten mengobati luka-luka yang sudah membekas di wajah, dan lengan Iqbaal. Iqbaal sedari tadi hanya berbicara seperlunya saja, tapi terkadang dia juga meringis ketika (namakamu) dengan tidak sengaja menekan bagian lukanya.
”Auw..”
(Namakamu) terkesiap ketika mendengar ringisan Iqbaal untuk kesekian kalinya. Tapi dia tidak komentar, dia terus mengobati luka-luka yang ada di wajah Iqbaal, sementara Iqbaal terbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar.
”Olivia mana?” Tanya Iqbaal pelan. Luka di ujung bibirnya membuat dia sulit berbicara.
”Olivia gak bisa dateng, dia ada les piano. Cuma titip salam.” jawab (namakamu). Ada kepedihan di suaranya.
(Namakamu) menengadah untuk melihat wajah Iqbaal. Pemuda itu sedang tersenyum, (namakamu) tidak dapat mengartikan apa maksud senyuman tersebut.
”Kalo lo jadi gue, lo bakal ngelakuin apa?” Kali ini Iqbaal menoleh memandang (namakamu). (Namakamu) sedikit tersentak karena tidak biasanya wajah mereka berhadapan sedekat ini.
”Gue bakal bilang sama dia, kalo gue sayang dan gak mau kehilangan,” balas (namakamu) spontan. Melihat wajah Iqbaal yang masih tersenyum ke arahnya, mendadak membuat tangan (namakamu) menjadi gemetar. Aneh rasanya, seolah sebentar lagi senyuman itu tidak akan pernah dia dapati.
”Andai gue bisa,” renung Iqbaal. Dia kembali menatap langit-langit.
”Semua bakalan bisa kalo dilakuin. Bukan cuma duduk, diam dirumah, termenung sambil ngebayangin harapan kita.” (Namakamu) bersikeras. Dia sudah selesai mengobati luka-luka di wajah Iqbaal.
”Gimana kalo ternyata Olivia engga suka sama gue?” Tanya Iqbaal tanpa ekspresi.
”Itu salah satu resikonya! Gimana Olivia percaya kalo lo suka, sayang sama dia. Lo aja engga pernah ngasih perhatian lebih sama dia.” suara (namakamu) naik dua oktaf, pertanyaan Iqbaal terdengar menggemaskan sekaligus tolol.
”Jadi, cinta itu tentang kasih sayang dan perhatian, ya?” Tanya Iqbaal lagi, dia berusaha untuk menyenderkan punggungnya ke kepala tempat tidur, tapi (namakamu) menahannya.
”Umumnya sih gitu,” ujar (namakamu) ragu. Ada hal lain yang mengisi pikirannya. Tapi dia tidak mengerti.
”Oia,” Iqbaal teringat sesuatu. ”Omong-omong, kok akhir-akhir ini lo sering nyambung kalo ngebahas tentang cinta? Engga kayak biasanya,” Iqbaal kembali menolehkan wajahnya, memandang (namakamu).”Apajangan-jangan...”
Kening (namakamu) mengkerut.
”Lo lagi jatuh cinta.” sambung Iqbaal pelan, sambil menyipitkan matanya, curiga.
Wajah (namakamu) memerah. ”Apaan sih, kagak, gue lagi gak suka sama siapa-siapa, kok.” Kilah (namakamu), dan yang semakin mengundang ekspresi jail Iqbaal adalah wajah (namakamu) yang semakin memerah.
”Serius?” Iqbaal semakin menyipitkan matanya, dan mencondongkan wajahnya. ”Awas kalo lo boongi gue.”
”Serius, lagian cowok tolol mana sih yang suka sama cewek rumahan kayak gue.”
Iqbaal berusaha untuk duduk, kali ini (namakamu) tidak melakukan respon menghalangi seperti sebelumnya. Wajah (namakamu) murung akibat termakan oleh ucapannya sendiri. Dia rasa, ucapannya itu ada benarnya.
”Lo cantik, lo baik, dan lo juga perhatian. Cowok mana yang engga nyaman kalo deket sama lo.” termasuk gue. Entah kenapa pernyataan terakhir itu tidak berani dia lontarkan, Iqbaal merasa ada yang aneh dengan pikirannya.
Mungkin itu elo, (namakamu) membatin. Andaikan lo tau tentang perasaan gue ke elo, tapi gue gak bisa, gue gak mau semuanya jadi kacau. Gue gak mau ngerebut kebahagiaan lo sama Olivia. Gue tau, dan gue percaya cuma waktu yang bisa ngejawab perasaan gue ke elo.
Lamunan (namakamu) harus berakhir, ketika jemari Iqbaal merayap ke wajahnya untuk menghapus butiran-butiranair mata yang mulai berjatuhan.
”Jangan nangis, ada yang salah sama ucapan gue?”
Lama sekali baru (namakamu) menggeleng. Dia menepis pelan jemari Iqbaal, dan menyeka sendiri air matanya.
”Maaf. Terkadang yang terbaik itu datengnya selalu di akhir, dan gue percaya suatu saat nanti lo bakalan nemuin orang yang bener-bener sayang dan gak mau kehilangan lo.”
”Suatu saat nanti,” renung (namakamu). Dia menunduk, rasanya sakit sekali, sampai kapan dia harus berpura-pura tegar di hadapan laki-laki ini? Ada yang ingin memberontak dalam dirinya, tapi (namakamu) mencoba untuk manahannya.
Dalam keadaan gelisah seperti ini, (namakamu) bisa merasakan tangan Iqbaal bergerak ke puncak kepalanya lalu mengacak-acak rambutnya.
Bersambung
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment