Part 7
Muhammad Aryanda.
O-o-o-o-O
Lamunan (namakamu) harus berakhir, ketika jemari Iqbaal merayap ke wajahnya untuk menghapus butiran-butiranair mata yang mulai berjatuhan.
”Jangan nangis, ada yang salah sama ucapan gue?”
Lama sekali baru (namakamu) menggeleng. Dia menepis pelan jemari Iqbaal, dan menyeka sendiri air matanya.
”Maaf. Terkadang yang terbaik itu datengnya selalu di akhir, dan gue percaya suatu saat nanti lo bakalan nemuin orang yang bener-bener sayang dan gak mau kehilangan lo.”
”Suatu saat nanti,” renung (namakamu). Dia menunduk, rasanya sakit sekali, sampai kapan dia harus berpura-pura tegar di hadapan laki-laki ini? Ada yang ingin memberontak dalam dirinya, tapi (namakamu) mencoba untuk manahannya.
Dalam keadaan gelisah seperti ini, (namakamu) bisa merasakan tangan Iqbaal bergerak ke puncak kepalanya lalu mengacak-acak rambutnya.
Detik berikutnya, muncul Aldi dan Salsha dari mulut pintu. Ekspresi ganjil dari wajah Aldi, Iqbaal dapati ketika secara tidak sengaja mereka bertemu pandang. Sebelumnya, Iqbaal tidak pernah mendapatkan pandangan dingin seperti itu dari Aldi.
”Lo nangis?” Tanya Aldi, yang menyadari air mata di wajah (namakamu).
(Namakamu) menggeleng sambil menyapukan yang jelas-jelas itu air mata di wajahnya. ”Engga, gue cuma kelilipan doang. Mungkin masuk debu.” Alibinya.
Kenapa sih, (namakamu) gak pernah mau terus terang sama gue! Batin Aldi memberontak. Memangnya ini sikap cewek, berlagak tegar padahal dia lagi dalam keadaan gak baik-baik aja.
Berselang dua menit, Kiki juga ikut masuk sambil membawa komoceng, dan wajahnya penuh coretan debu. Semua tertawa, tapi siapa saja bisa merasakan kalau tawa (namakamu) dan Aldi terkesan hambar.
”Engga perlu sampe segitunya juga kali, Ki,” komentar Iqbaal. Tapi dia tetap harus berterima kasih kepada Kiki karena sudah mau membersihkan kosannya yang berantakkan. ”Tapi, makasih.”
”Oia, hmm,” tiba-tiba Salsha bersuara. ”Gimana.... ceritanya lo bisa kayak gini?” Tanya Salsha was-was, matanya melirik (namakamu) yang sedari tadi menunduk.
Iqbaal meneggakkan punggungnya. Kiki mengambil kursi dan duduk di sebelah tempat tidur, (namakamu) tetap di posisi. Sedangkan Salsha dan Aldi masih berdiri. Mereka munggu sampai Iqbaal bercerita, dan yang sesekali menggaanggu konsentrasi Iqbaal ketika bercerita adalah, saat bertemu pandang dengan wajah masam Aldi dan tatapan dingin Aldi yang sepertinya mengarah kearahnya.
”Tadi pagi, sekitar jam sembilan ada yang ngetuk pintu kosan gue. Gue pikir kalian, tapi setelah gue pikir-pikir engga mungkin dong kalian, kalian kan sekolah,” Iqbaal menatap satu persatu temannya, mereka mendengarkan dengan seksama, tapi yang mengusiknya adalah tatapan dingin Aldi untuknya. Mencoba menghiraukan, Iqbaal melanjutkan. ”Sewaktu gue buka pintu, salah satu dari mereka langsung mukul muka gue. Pandangan gue langsung kabur, gue cuma bisa liat samar-samar. Tiga orang murid sekolah Pelita,” Iqbaal berhenti sejenak untuk menghela napas.
”Mereka nyerang gue, sampe gue gak bisa berbuat apa-apa lagi. Gue coba ngelawan, tapi yang gue dapati cuma ini,” sambil menyapukan pandangan, Iqbaal menunjukkan lengan kirinya yang sudah di balut perban. ”Selanjutnya gue cuma inget samar-samar. Kepala gue pusing banget, dan—waktu sadar, udah ada kalian. Thanks banget.” Iqbaal mengakhiri ceritanya, dia sempat menoleh ke Aldi yang sedang tersenyum miring ke arahnya.
”Seinget gue, lo gak ada musuh deh,” Sasha mengingat-ngingat. ”Apalagi sekolah sebelah.”
”Tapi, siapapun dia. Pelakunya murid sekolah pelita. Kita harus cari tau.” Kiki ikut nimbrung.
”Kalo dia gak ada musuh, satu-satunya kemungkinan cuma iri. Ada orang yang iri atau sirik,” ujar Aldi masam. Semua mata kini menoleh ke arahnya.
”Bisa jadi. Tumben lo pinter.” sahut Kiki nyaris setuju dengan pendapat Aldi.
”Secara logika aja, murid pelita yang sirik sama Iqbaal siapa? Atas dasar apa? Iqbaal kan gak ada temen dari sekolah sebelah.” Tuntut Salsha.
”Iqbaal memang gak ada musuh atau teman di pelita. Dan pelakunya itu engga harus murid pelita..,”
”Maksud lo, mereka cuma suruhan?” Sela Aldi pada kalimat (namakamu).
(Namakamu) mengangguk yakin tanpa berkata apa-apa. Sekilas dia memandang Salsha ragu. (Namakamu) sudah mendapatkan jawaban atas segala kekacauan ini.
Tak ada yang bersuara lagi sampai keheningan itu tumbuh dan merambati ruangan ini. Tiap-tiap orang sibuk dengan pikirannya masing-masing.
”Udah malem,” Suara Kiki memecahkan keheningan di antara mereka. ”Sebaiknya kita pulang, gak enak sama yang cewek.”
(Namakamu) dan Salsha menatap Kiki secara bersamaan dengan berbagai jenis tatapan.
”Kenapa, sih?” Tanya Kiki yang merasa risih dengan tatapan kedua sahabatnya itu. ”Gue kan bener, ini udah malem, gak baik buat kalian.”
”Gue pulang sama lo.” Tanpa banyak tingkah, Salsha segera menyabar tangan Kiki dan membawa laki-laki itu keluar dari kosan ini. Tujuannya bersikap seperti ini agar (namakamu) pulang bersama Aldi.
”Yuk.” Aldi hendak menyambar lengan (namakamu) tapi gadis itu buru-buru bergerak ke menghampiri Iqbaal.
”Gue pulang, ya, kalo butuh apa-apa lo bisa telepon gue.” Kata (namakamu) kepada Iqbaal.
Aldi tak mengindahkan tatapannya saat Iqbaal menoleh ke arahnya.
Iqbaal mengangguk tanpa berkata apa-apa.
*
”...lo tau kalo gue suka sama (namakamu), tapi kenapa lo gak coba menghindar dari dia, hah?!”
”Gue gatau apa-apa...,”
”Halah! Gausah banyak alesan deh lo! Gue tau kalo lo itu tau! Berhenti bersikap kalo lo itu gatau apa-apa!”
Iqbaal baru saja hendak ingin mengutarakan kalimat pembelaan, tapi Aldi sudah menghambur pergi sambil menabrak bahunya dengan kasar.
Jadi benar kalau Aldi menyukai (namakamu).
Sesuatu di ujung sana langsung mengalihkan fokus pikirannya. Olivia berjalan setengah berlari menghampirinya.Entah kenapa seutas senyum gadis itu langsung membuatnya merasa nyaman dan nyaris melupakan pertengkaran kecilnya dengan Aldi, yang baru saja berakhir sekitar satu menit.
”Iqbaal? Kok udah sekolah?” Olivia tampak kaget.
”Eh, iya, udah merasa mendingan aja.”
”Tapi muka lo...”
”Udah gapapa, kok.” Sela Iqbaal sambil mengibaskan tangannya. Dia menunduk untuk menyamarkan luka memar yang ada di wajahnya. Dia tidak ingin Olivia terlalu fokus ke wajahnya dan—
”Bukan gitu, tapi...,” Tangan Olivia replek bergerak, mengikuti gerak wajah Iqbaal yang mencoba menjauh. Di sentuhnya luka memar itu dengan hati-hati. ”Sakit?” Tanyanya bersamaan dengan ringisan Iqbaal.
Iqbaal tidak bisa terus bersikap seperti ini. Dia tidak boleh menunduk, dia tidak boleh terus-terusan memandam rasa yang tak berujung ini. (Namakamu) benar, dia memang tidak boleh hanya diam dan mengharapkan hasil. Olivia harus tahu.
Dengan sekali gerakkan, Iqbaal sudah menengadahkan wajahnya menatap wajah khawatir Olivia. Khawatir? ya, gadis itu tampak khawatir dengannya.
”Gue gapapa.” Hanya kata itu yang keluar. Ini membingungkan.
”Siapa yang ngelakuin ini ke lo?”
Iqbaal menggeleng. Iqbaal merasa kalau dia menggeleng bukan hanya kepada pertanyaan Olivia, melainkan juga untuk pertanyaan yang terselip dalam benaknya.
Laki-laki ini begitu bingung, kenapa seakan saraf motoriknya seperti berhenti bekerja kalau dia berhadapan langsung dengan Olivia. Itu tidak terjadi sebelumnya. Darah yang mengalir deras dalam tubuhnya seperti gejolak aneh yang tidak dapat di artikan ketika sepasang bola mata mereka saling bertemu.
”Hallo?” Olivia mengibaskan tangannya di depan wajah Iqbaal. Merasakan terabaikan karena mendadak Iqbaal melamun.
”Eh,” Iqbaal tersentak. ”Masuk, yuk?”
Olivia mengangguk, walaupun dia masih tidak mengerti dengan sikap Iqbaal yang mendadak aneh. Tak mau ambil pusing, Olivia segera melangkahkan kakinya menyusul Iqbaal yang lebih dulu melangkah. Dimata Olivia, Iqbaal terlihat sengat gelisah entah apa yang sedang di pikirkan laki-laki itu.
Di perjalanan menuju kelas, hampir semua murid yang berlalu-lalang di koridor menatap Olivia dan Iqbaal dengan tatapan menyelidik. Luka lebam di wajah tampan Iqbaal sungguh mengundang desas-desus di koridor sekolah, pastilah sebentar lagi kabar ini menjadi hot topic di seantero sekolah.
”Seharusnya gue gausah masuk.” Rutuk Iqbaal ketika tiba di depan kelasnya dan mendapati tatapan kurang mengenakan dari teman sekelasnya.
”Tuh kan, seharusnya emang lo gausah masuk.” Olivia juga ikut menyesali tindakkan Iqbaal.
”Kalo gue gak masuk, ntar gue gak bisa liat lo dong..”
”Hah?”
”Eh, engga,” kilah Iqbaal sambil mengibaskan tangannya. Kemudian di pandangnya Olivia dalam-dalam. ”Hmm, hari ini lo cantik.”
”Aduh, lo kenapa sih!” kata Olivia seraya meninju pelan bahu Iqbaal. Tapi sepertinya tindakkannya mengakibatkan efek buruk untuk Iqbaal.
Iqbaal meringis. ”Sakit tau!”
”Siapa suruh lo pagi-pagi udah ngelantur gak jelas.”
”Gue serius, hari ini...,” Iqbaal menggantungkan kalimat, ia mencodongkan wajahnya lebih dekat ke wajah Olivia. ”Lo beda, lo keliatan lebih cantik.”
Olivia yang merasakan kata demi kata yang di ucapan Iqbaal itu mulai menyerap ke dalam otaknya, hanya mampu menunduk malu. Dia tak ingin wajahnya yang mulai memerah itu di ketahui Iqbaal.
Pandangan Iqbaal tak lagi ke arah Olivia. Beberapa orang di ujung sana menarik perhatiannya. (Namakamu), Kiki, Aldi dan Salsha berjalan beriringan sambil sesekali tertawa.
Saat sepasang mata Iqbaal bertemu dengan mata (namakamu), gadis itu mengkerutkan keningnya gelisah. Dia mempercepat langkahnya meninggalkan yang lain.
”Kok...,” (namakamu) menjeda ucapannya, dia menatap rinci Iqbaal dari kaki hingga ke ujung kepala. ”Lo kan masih sakit, kenapa udah masuk?” Garis kekuatiran menyembul jelas di wajah gadis ini.
”Hmm, gue, udah mendingan kok.” Ada yang tak beres dengan cara berbicara Iqbaal, itu membuat sebelah alis (namakamu) terangkat, dan wajah (namakamu) yang kelewat penasaran itu mengikuti arah pandang Iqbaal.
Aldi?
Mata (namakamu) tertumbuk dengan mata Aldi, laki-laki itu tersenyum sekilas lalu menunduk.
”Eits, gila, udah masuk aja lo. Gak kasian sama muka lo? Widih, jagoan.” Ledek Kiki begitu tiba di dekat Iqbaal dan yang lainnya.
”Kok lo masuk sih, Baal? Muka lo masih...,” bahkan Salsha enggan meneruskan kalimatnya.
Beberapa murid yang melintasi mereka sepertinya juga setuju dengan apa yang di ucapkan oleh Salsha. Murid-murid melintas sambil melirik ke arah Iqbaal dengan waktu yang lama, bahkan tak jarang ada murid cewek yang membuang sampah di tong sampah dekat mereka, hanya untuk mengobati rasa penasran yang akud.
”Kayaknya ntar gue harus minta izin pulang sama Bu Citra.” Kata Iqbaal tertunduk lesu.
*
Jam pertama mereka harus di suguhi oleh pelajaran sejarah yang amat membosankan. Guru wanita berbadan gempal berjalan mondar-mandir sambil memaparkan materi, suaranya yang timbul tenggelam hampir membuat seluruh murid terkena serangan jantung. Kalau saja postur guru itu tidak mengerikan, mungkin keadaan kelas tidak sesunyi ini. Di tambah rol sepanjang satu meter berkali-kali menghantam meja salah satu murid yang menimbulkan suara sedikitpun.
Salsha, yang notabenenya adalah ketua ribut di kelas sudah jengkel setengah mati dengan wajah (sok) sangar Bu Nana. Di sebelahnya, Olivia hanya duduk diam sambil menopang dagunya dengan tatapan mata seolah menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Bu Nana.
Di depan Salsha dan Olivia ada Iqbaal dan Aldi. Kedua manusia itu hanya diam sambil mengikuti kemana tubuh Bu Nana berjalan. Sesekali Aldi menguap bosan dan Iqbaal mendesah frutasi. Di depan Iqbaal dan Aldi ada Kiki dan (namakamu). Berbeda dengan yang lain, (namakamu) dengan telaten menyalin kalimat penting yang keluar dari mulut Bu Nana, sedangkan Kiki tanpa ada yang sadar laki-laki itu sudah tertidur.
”Al,” sebenarnya Iqbaal ingin membicarakan hal ini dengan Aldi saat jam istirahat nanti, tapi teringat nanti dia akan izin untuk pulang dan terlebih pelajaran ini benar-benar monoton, Iqbaal memutuskan untuk membicarakannyasekarang. Aldi yang sibuk mencoret-coret perlahan menolehkan wajahnya, dia agak meringis saat melihat wajah Iqbaal.
”Lo...,”
Brak!
Hantaman rol Bu Nana mendarat dengan mulus di meja (namakamu) dan Kiki. Suara gebrakan yang mendadak membuat murid-murid yang sedang terhanyut dengan lamunan mereka mengumpat kesal.
Kiki dengan watadosnya memandang Bu Nana sambil berkata. ”Ada apa, Bu?”
”Whatssss?” Dengan segala jenis kuahnya, Bu Nana sarkastik menatap Kiki. Menghiraukan (namakamu) yang sudah menutup wajahnya dengan buku. ”KAMU MASIH TANYA KENAPA?”
”Mati gue.” Gerutu Kiki pelan, dia menoleh ke arah (namakamu) dengan pandangan seolah berkata 'kenapa-lo-gak-kasih-tau-gue' sambil meringis.
Pandangan berapi-api Bu Nana terlihat semakin mengerikan lantaran guru itu menghela napas, siap-siap untuk meneriaki Kiki. Dan tentunya (namakamu) juga akan terkena bonus kuah yang meluncur dengan manis dari mulut Bu Nana.
”SEKARANG KAM...”
Kiki terkesiap. ”Ets, Ibu tau gak saya lagi ngapaian?” Kiki membenarkan kerah bajunya, lalu berdiri.
”TIDUR!!!” Sembur Bu Nana, masih dengan kuah.
Kiki yang menikmati kuat sudah memejamkan matanya, sementara (namakamu), gadis itu sudah pasrah, dia menenggelamkan wajahnya di atas meja. Dengan posisi buku menutupi rambutnya.
”Tarik napas...” Kiki mengusulkan pada Bu Nana. Bodohnya, guru itu mengikuti. ”Keluarkan.”
Murid-murid terkekeh geli. Merasa kalau dia sedang di kerjai oleh Kiki, Bu Nana kembali bersuara. ”KAMU MAU NGERJAI SAYA??!!!”
Kali ini Kiki tidak bisa mengelak, karena kuah yang keluar dari mulut Bu Nana meluncur lebih cepat. Kiki hanya bisa memandang Bu Nana dengan ekspresi 'gak-pake-kuah-berapa-nyet'
”KELUAR! SEKARANG! TITIKZzz!!!” Tandas Bu Nana, kecepatan kuahnya kali ini sampai mengenai Salsha dan Olivia yang sibuk tertawa di belakang sana. Dan tentunya juga sempat melintasi Aldi dan Iqbaal.
*
Di sisa-sisa menit terakhir, (namakamu) tak agi memfokuskan pikirannya pada guru Biologi yang sedang memaparkan materi di depan sana. Kali ini kelas tak sehening saat pelejaran Bu Nana.
Pikiran (namakamu) melayang-layangpada kejadian dua hari yang lalu, tepatnya saat dia sedang menemani Iqbaal latihan untuk perlombaan antar sekolah, yang akan di selenggarakan tiga minggu lagi.
Saat Iqbaal terjatuh dan kejadian yang menimpah Iqbaal kemarin pagi. Bagaimana mungkin semuanya bisa terjadi secara bersamaan, tapi apa mungkin itu hanya kebetulan saja. Mengetuk-ngetukpulpen ke keningnya, (namakamu) berusaha mengingat apakah Iqbaal memiliki seorang musuh? (Namakamu) menggeleng.
”(Namakamu), lo kenapa? Gelisah banget.” Kiki yang sedari tadi memang tidak fokus pada papan tulis, sesekali aksi tidurnya terusik karena (namakamu) yang grasak-grusuk.
Belum sempat Kiki mendapatkan jawaban, suara bel dan gerakkan luwes (namakamu) membuatnya tercengang. Gadis itu pergi begitu saja tanpa ada tanda-tanda ingin memberitahu sahabatnya yang lain.
*
Walaupun bel baru terdengar sepersekian detiknya, namun koridor sudah di penuhi oleh murid-murid. Selain berjalan dengan rusuh, tak jarang mereka juga mengobrol sambil berjalan, hal itu yang menyebabkan orang-orang seperti (namakamu) enggan untuk melintasi koridor di saat seperti ini.
(Namakamu) menghela napas, dia sudah tiba di depan kelas X IPS 2. Dari luar sini, (namakamu) bisa melihat segerombolan anak laki-laki duduk mengumpul di kursi paling belakang. Mata coklatnya bergerak kesana-kemari mencari sosok laki-laki.
Dengan sedikit keberanian, (namakamu) melangkah perlahan hingga akhirnya dia masuk ke dalam kelas. (Namakamu) ingin berbalik, karena tahu ini terlihat sangat tolol. Tapi mau bagaimana lagi, kehadirannya sudah membuat keributan di dalam kelas menjadi hening.
Suara langkah kaki terdengar menghampirinya,(namakamu) sudah ingin menggerakkan kakinya saat sebuah tangan menyentuh bahunya.
”Kayaknya lo dari kelas IPA,” kata laki-laki itu, suaranya sedikit berat. (Namakamu) memutar tubuhnya, dan sekarang dia bisa lihat sosok laki-laki jangkung dengan bintik-bintik hitam mulai tumbuh mengitari sekitar dagunya. ”Ada perlu apa?”
(Namakamu) diam saja, entah kenapa sosok yang tak rupawan di hadapannya membuat nyalinya seketika ciut.
”Hei! Diantara kalian ada yang kenal cewek ini?” Murid laki-laki itu bertanya dengan teman-temannya.
Mungkin lain kali saja. (Namakamu) tak habis pikir kenapa dia bisa sebodoh ini.
”K...kkayaknya gue sala...,” perkataan (namakamu) terhenti lantaran salah satu dari murid laki-laki yang duduk di belakang sana memotongnya.
”Lo temennya Salsha, kan?” (Namakamu) segera menengadah saat suara laki-laki itu mengisi telinganya. Dia mengenali suara itu sebagai suara Farrel.
Dalam hitungan detik saja, Farrel sudah berada di hadapan (namakamu). (Namakamu) memandang rinci laki-laki di hadapannya, sementara Farrel mengambil alih, sih jangkung berjalan meninggalkan keduanya.
Farrel bersidekap pada meja, sesekali dia menyeruput minuman kaleng yang sedari tadi di genggamnya. (Namakamu) masih mengamati laki-laki ini dari sudut mata. Baju putih yang ngepas dengan bentuk tubuhnya hanya di biarkan terpakai begitu saja, tanpa ada embel-embel untuk di benahi agar rapi. Celana abu-abu yang bentuknya seperti pensil itu membalut kaki Farrel, serta kaos kaki dibawah mata kaki, yang membuat (namakamu) ingin sekali menendang kakinya.
Awalnya bagi (namakamu) cara Farrel berseragam terkesan cuek, tapi lama kelamaan (namakamu) malah ilfeel dengan bagaimana Farrel memakai seragam sekolahnya.
”Ada perlu apa?” Suara Farrel membuyarkan lamunan (namakamu).
(Namakamu) menyipitkan matanya, dia mengumpulkan segenap keberaniannya untuk memaki laki-laki ini. (Namakamu) yakin sekali dengan jawaban yang di berikan otaknya beberapa jam yang lalu.
(Namakamu) menarik lengan Farrel, membuat sebagaian teman Farrel menoleh penasaran ke arah mereka. (Namakamu) mengabaikan itu, dia terus menarik Farrel hingga mereka berdua tiba di sebelah kelas. Kelas X IPS 2 memang yang paling ujung.
”Lo apa-apaan sih.” Farrel sedikit kesal dengan tindakkan gadis ini, selain dia belum menjawab pertanyaan darinya, gadis ini juga dengan sekenaknya menarik lengannya.
”Lo yang ngelakuin itu sama Iqbaal, kan?”
Kening Farrel mengkerut. ”Ngelakuin apaan sih?”
”Halahh! Lo bisa sembunyiin ini dari Salsha, tapi gue gak sebodoh itu!”
”Lo mending pergi, daripada ngomong gak jelas.” Farrel menepis tangan (namakamu) yang masih menggenggam lengannya.
Rahang (namakamu) mengeras, di tatapnya Farrel dengan pandangan setajam mungkin. Entah setan apa yang merasuki tubuh (namakamu), tiba-tiba saja dia menyambar minuman kaleng di tangan Farrel, dan menyiramnya tepat di wajah.
”Brengsek lo!” Maki Farrel, dia sudah merasa kalau sedari tadi dia menahan emosinya karena ulah gadis tak di kenalnya ini.
Sesudah mengusap wajahnya, Farrel menarik lengan (namakamu). Tidak. Laki-laki itu meremas lengan (namakamu) sampai (namakamu) merintih kesakitan.
”Lepasin gue!” (Namakamu) mencoba melawan namun apa daya, tenaga Farrel lebih kuat darinya.
”Kalau lo gak mulai dulua...,”
Bugh!
Suara hantaman itu langsung membuat (namakamu) menjauh. Satu pukulan yang entah dari siapa membuat Farrel langsung rubuh.
(Namakamu) menoleh ke belakang dan mendapati Aldi. Amarah tampak jelas terpancar dari wajah laki-laki itu, Aldi segera menarik (namakamu) ke sisinya.
”Al,”
”Sekali lagi gue liat lo berani nyentuh (namakamu), urusan lo sama gue!”
Dan urusan redes sama sih...
Bersambung
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment