Part 4
Muhammad Aryanda.
O-o-o-o-O
”Iqbaal! Lo ngapain disini!” Hardik Aldi seraya melompat dari kursi, seperti biasa dengan wajah tak bersalahnya dia menghempaskan Iqbaal begitu saja sampai pemuda itu terjerumus.
”Udah salah, malah nyalahin orang lain.” Salsha tidak bisa menahan untuk tidak menyindir tingkah Aldi.
Sebagian penghuni kantin terkekeh pelan, tapi itu tidak menyurutkan tatapan kurang senonoh untuk Aldi. Aldi yang masih bingung hanya bisa menggaruk-garukkepalanya yang tak gatal.
***
Sekolah sudah di bubarkan kira-kira lima menit yang lalu, keenam manusia ini masih terduduk di dalam kelas. Setelah memastikan kalau koridor sudah sepi, mereka keluar secara bersamaan namun terbagi-bagi dengan jarak yang tidak begitu jauh.
”Sebenernya, tadi gue kenapa, sih?” Aldi membuka percakapan, mereka sudah berada di koridor. ”Kayaknya gue ketiduran deh,”
Sedikit membenarkan tas selempangannya,Salsha menambahkan. ”Sambil meluk Iqbaal.”
Tadinya Iqbaal sedang mengobrol dengan (namakamu), tapi ketika mendengar namanya di sebut mendadak telinganya menjadi sensitif. Iqbaal menghampiri Aldi dan Salsha yang berada paling depan.
”Ada apa sebut-sebut nama gue?” Tanya Iqbaal dengan seutas senyum jahil, jika mengingat kejadian di kantin tadi ingin rasanya dia tertawa terbahak-bahak jika saja bukan dia korbannya.
”Sebenernya lo lagi mikirin apa, sih, Di?” Salsha ikut-ikutan merecoki Aldi.
”Tuan Putri?” Iqbaal mengingat sepatah kata yang di ucapkan oleh Aldi sesaat kejadian di kantin. Masih dengan senyum jahilnya, dia menyenggol bahu Aldi.
Aldi tersipu, wajahnya memerah dan perlahan ujung bibirnya terangkat membuahkan seringaian, dan dia benar-benar kelihatan seperti orang tolol. Sesaat kemudian, dia memutar badannya untuk memandang seorang gadis yang berada empat meter di belakangnya.
Cantik. Aldi tersenyum lagi.
Aldi tidak sadar kalau Salsha sedari tadi memperhatikannya dengan seksama. Yang tadinya kening Salsha mengerut karena bingung, kini dia malah ikut tersenyum. Iqbaal hanya bisa menggeleng menyaksikan tingkah aneh kedua temannya ini yang memang sudah biasa terjadi.
***
”Nanti jam tiga sore gue ada latihan, lo mau ikut?” Tanya Iqbaal pada (namakamu).
Mereka masih berjalan menuju rumah (namakamu) untuk mengambil kendaraan masing-masing atau sekedar menunggu jemputan, kecuali Iqbaal yang tempat tinggalnya tak jauh dari rumah (namakamu). Kalau sedang bersama-sama seperti ini, mereka memang sering memperlambat langkah. Biasanya suasana seperti ini di penuhi oleh percakapan itu-itu saja, walaupun begitu salah satu dari mereka tidak menunjukan kalau ini tidak menyenangkan sama sekali.
”Boleh,” jawab (namakamu) tanpa ekspresi. ”Gimana kalo sekalian ajak Olivia?”
Bahu Iqbaal mendadak mengeras, dan tingkahnya mendadak kaku. ”Hm, eh, gausah deh.”
Keheningan tampak menyapu di antara mereka berdua. Selanjutnya mereka hanya berjalan dalam diam.
Di setengah perjalanan yang tersisa, memori dalam kepala (namakamu) kembali memutar kejadian tadi malam, tepat dimana dia mengetahui kalau Iqbaal menyukai Olivia. Ada perasaan tidak terima yang tertanam di benaknya, memangnya kalau cinta itu harus memiliki? Kalau di tanya seperti itu (namakamu) akan menjawab 'Ya' tidak tahu apa alasannya (namakamu) akan menjawab 'Ya', yang jelas jawaban itu akan keluar dari mulutnya ketika ada seseorang yang bertanya kepadanya dengan pertanyaan seperti itu.
”Akhirnya! Sampai juga.” Salsha yang berteriak semangat duluan, dia duduk dan sedikit membungkuk untuk memijat lututnya.
”Eh, Ki, gue pulang bareng lo, ya?” Olivia menghampiri Kiki yang sedang berjalan ke arah motornya.
”Yaudah, capcus deh.” sambil memasangkan helmet ke kepalanya, keduanya terkekeh.
”Engga mau mampir dulu?” (Namakamu)menawarkan.
”Gue ada les Bahasa Inggris.” kata Olivia, dari rawut wajahnya kentara sekali dia tidak ingin menolak tawaran (namakamu).
Salsha tersedak. ”Lo jadi les Bahasa Inggris itu?” Tanya Salsha seraya membungkam mulutnya. Dia ingin tertawa namun di tahan.
”Ada orang iseng yang letakin brosur les Bahasa Inggris ke tas gue.” kalau mengingat kejadian dimana Mamanya menemukan brosur Bahasa Inggris di tasnya dan secara paksa menyuruhnya untuk ikut, ingin rasanya Olivia mencabik-cabik wajah orang yang meletakan brosur itu.
”Yaelah, ternyata ada yang nyabotase.”
Mendadak hening, dari mana Salsha menemukan kata-kata seperti itu? Semua tertawa.
”Bisa juga ya lo jadi politikus.” sindir Aldi, dia menjadi orang yang ketawanya paling besar.
”Apaan sih lo, politikus apaan lagi.” ujar Salsha yang tak mengerti. Dia juga ikut tertawa karena merasa kata 'politikus' terlalu berat di sandang oleh mulut Aldi. Suara tawa mereka menjadi semakin besar di siang itu.
Aldi menerawang ke langit dengan sikap berpikir. ”Mungkin...,” lalu dia menoleh ke arah Salsha yang memandangnya dengan mulut terbuka. Gadis itu menunggu penjelasannya. ”Polisi maini tikus.” Salsha merengut, Aldi tertawa lagi merasa puas karena sudah mengerjai Salsha.
***
Selesai mengantar Olivia, Kiki langsung masuk ke dalam kamarnya. Hanya di dalam kamarnya dia bisa melakukan segala hal sesukanya, berteriak, menangis, tertawa dan bermacam hal tolol yang belum terpikirkan.
Sesudah melepaskan seragam sekolahnya, Kiki melirik sebuah buku bersampul biru polos di meja belajarnya. Keadaan buku itu masih seperti yang terakhir kali dia lihat. Di dalam buku itu ada sebuah rangkaian kata yang di tulisnya sekitar seminggu yang lalu, hanya dalam rangkain kata dia bisa meluapkan segala perasaan yang entah apa namanya.
”Cinta..” Di bingkai jendela, Kiki terduduk sembari menerawang jauh ke langit biru. ”Cinta itu cuma rasa sayang, kan? Kalaupun kita engga memilikinya yang terpenting kita selalu ada untuk dia.”
Kiki terdiam untuk beberapa detik, membiarkan semilir angin menyapu wajahnya. Tiba-tiba Kiki menggeleng, dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau rasa ingin memiliki terpendam jauh di dalam benaknya. Sekali lagi, Kiki menerawang ke langit biru sebelum dia mengambil buku bersampul biru. Tidak ada satupun sahabatnya yang mengetahui tentang buku ini, terlalu banyak yang di umbar di persahabatan ini dan sepertinya dia membutuhkan sedikit privasy—tentangrasa ini.
Tetapi, sepertinya Kiki harus bisa menerima kenyataan kalau gadis pujaannya tidak bisa menjadi miliknya. Jawaban itu dia dapatkan sekitar dua bulan yang lalu..
» Dua bulan yang lalu...
”Gimana, lo mau kagak ikut? Ini pemutaran perdana loh, sayang banget.” tanya Olivia pada Kiki, seperti biasa mereka selalu berkumpul di kantin seusai pelajaran Olahraga walaupun selalu tidak lengkap.
”Lain kali juga bisa.” jawab Kiki cuek, dia lebih mementingkan menghabiskan makanannya terlebih dahulu daripada membahasa sesuatu yang bisa di lakukan nanti.
”Tapi, kan, sesuatu yang perdana (pertama) itu selalu menjadi yang paling beda.” kata Olivia sambil menarik mangkok bakso yang ada di hadapan Kiki, maksudnya, dia ingin Kiki menoleh ke arahnya di saat percakapan berlangsung.
Kiki hanya diam saja, dia lebih memilih menikmati makanannya.
”Baal, Al, (namakamu), kalian jadi pergi, kan?” Olivia melemparkan pertanyaan yang sama.
”Jadi dong, buat lo apapun gue jabani.” jawab Aldi sedikit menggoda. Olivia tersenyum simpul.
(Namakamu) dan Iqbaal hanya mengangguk.
”SalSha?” Aldi bertanya sambil melemparkan pandangan linglung.
Sebelum salah satu dari mereka ingin menjawab, sosok Salsha muncul dari mulut pintu dengan tergopoh-gopoh.Dia membungkuk lalu mengambil napas, berjalan lagi, membungkuk lalu menghirup oksigen, seperti itu sampai akhirnya Salsha mendekat pada sahabatnya.
”Salsha? Lo,” Olivia tidak melanjutkan perkatanya, dia belum menemukan kalimat yang tepat.
Salsha tampak terengah-engah,tapi itu tidak menunjukan kalau dia dalam keadaan genting seperti seharusnya. Dia tersenyum lebar tanpa memperlihatkan gigi, gelagatnya lebih aneh dari biasanya, jari-jarinya saling beradu dan kemudian dia duduk di ikuti dengan suara cekikian.
Salsha menyambar minuman kaleng Aldi dan meneguknya sampai habis. Aldi mengumpat tanpa bersuara.
”Sha? Lo engga gila, kan.” bukan sebuah pertanyaan yang di lontarkan Olivia, hanya dugaan.
Iqbaal yang sedari tadi fokus pada gadgetnya mendadak mengedagah. ”Ciri-ciri orang lagi jatcin.”
”Jatcin, apaan?” Kening Aldi mengkerut.
”Jatuh Cinta.” Jawab Iqbaal santai.
Semua mendengus kecuali Kiki dan Salsha.
”Jelasin Sha, daripada mereka semua mati penasaran.” akhirnya setelah berusaha menahan diri, (namakamu) ikut nimbrung.
”Emang lo gak penasaran?” Kali ini Olivia melontarkan pertanyaan ke (namakamu).
”Sedikit. Sembilan puluh lima persen dugaan Iqbaal bener.” kata (namakamu), sesudahnya dia tertawa kecil sambil menyenggol bahu Iqbaal yang kebetulan berada di sampingnya.
Salsha menatap langit-langit kantin, lalu cengengesan. ”Gue..” Katanya, semua mendadak menyalakan telinga masing-masing begitu juga dengan Kiki walau tampangnya seolah menghiraukan percakapan sahabatnya. ”Farrel nembak gue!”
Olivia dan (namakamu) mendadak heboh, kedua gadis ini beranjak dari kursi, keduanya bersamaan menghampiri Salsha.
”Kok bisa?”
”Sejak kapan lo deket sama dia?”
”Bukannya lo jarang banget ya ngobrol sama dia?”
”Beruntung banget deh lo, Farrel, kan most wanted boy banget!”
Salsha menghela napas, mendadak ketika mendengar tanggpan Farrel dari teman-temannya seolah membuat Salsha menjadi gadis yang paling beruntung di Sekolah ini.
Sementara Aldi dan Iqbaal hanya duduk diam sambil memandang sinis ke arah tiga gadis, yang mendadak menjadi ibu-ibu arisan.
'Dasar cewek!'
Dan sejak saat itu juga harapan seorang Kiki pupus, Kiki bisa melihat garis kebahagian melekat di wajah Salsha saat itu. Dan tidak mungkin dia dengan gampangnya menghancurkan perasaan Salsha dengan mengatakan kalau dia menyukai gadis itu.
Bersambung...
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment