Part 5
Muhammad Aryanda.
O-o-o-o-O
”Kok bisa?”
”Sejak kapan lo deket sama dia?”
”Bukannya lo jarang banget ya ngobrol sama dia?”
”Beruntung banget deh lo, Farrel, kan most wanted boy banget!”
Salsha menghela napas, mendadak ketika mendengar tanggpan Farrel dari teman-temannya seolah membuat Salsha menjadi gadis yang paling beruntung di Sekolah ini.
Sementara Aldi dan Iqbaal hanya duduk diam sambil memandang sinis ke arah tiga gadis, yang mendadak menjadi ibu-ibu arisan.
'Dasar cewek!'
Dan sejak saat itu juga harapan seorang Kiki pupus, Kiki bisa melihat garis kebahagian melekat di wajah Salsha saat itu. Dan tidak mungkin dia dengan gampangnya menghancurkan perasaan Salsha dengan mengatakan kalau dia menyukai gadis itu.
***
”Kita naik sepeda aja, ya, kayaknya lebih nyenengi. Sekalian pemanasan buat gue.”
Iqbaal baru saja tiba di rumah (namakamu), dan dia sudah menemukan (namakamu) yang di balut dengan kaos oblong putih berlengan beserta celana jeans hitam. Gadis itu berdiri di halaman rumahnya.
”Engga masalah, yaudah, yuk.”
Hanya memerlukan waktu kurang lebih lima belas menit untuk tiba di sekolah. Seperti biasa kalau sedang menunggu Iqbaal latihan, (namakamu) duduk di kursi yang tersedia di pinggir lapangan sambil bermain gagdet atau mengobrol dengan salah satu pemain yang menunggu giliran.
”Woy!”
Latihan menggiring bola dan mengeshoot dari luar kotak penalti baru berselang sepuluh menit, seseorang mengejutkan (namakamu) dari belakang. Meskipun sudah mengenali suaranya, (namakamu) harus berbalik untuk memastikan.
”Ngapain lo disini?” Tanya Salsha dengan ekspresi curiga.
”Seharusnya gue yang tanya, ngapain lo disini?”
”Nemeni my sweety.” jawabnya sambil menunjuk seorang pemuda yang tak lain adalah Farrel. Farrel mengenakan rompi yang berbeda dengan Iqbaal.
”Kok baru sekarang?”
”Udah berapa kali gue cerita sama lo kalo Farrel itu sempet ngunduri diri dari tim basket karena incident kecelakaan dua bulan yang lalu.” Salsha mengingatkan dengan nada di tekan.
”Incident? Bahasa lo,” (namakamu) tidak bisa menahan untuk tidak menyindir. ”Selama itu.”
”Makanya itu! Dia harus ngikuti masa percobaan lagi, yah, kalo istilahnya untuk pemula itu seleksi lah,” beritahu Salsha. ”Padahal gue yakin tanpa acara seleksi gak penting ini, Farrel juga bakal lewat.”
(namakamu) tersenyum simpul lalu dia mengarahkan lagi pandangannya ke lapangan. Iqbaal berjalan menghampirinya begitu juga dengan Farrel yang berjalan menghampiri .
”Udah selesai? Cepet amat.” tanya (namakamu) sambil menyerahkan handuk kecil yang sempat di titipkan Iqbaal.
”Belum. Ada pertandingan kecil, setelah itu baru kita pulang.” beritahu Iqbaal, dia sempat menoleh ke arah Farrel yang ternyata sedang mengamatinya.
Berselang lima menit, Iqbaal dan sejumlah pemain lainnya termasuk Farrel kembali memasuki lapangan. Pertandingan ini adalah pertandingan penentuan bagi Farrel, jika timnya kalah dia akan kembali ke tim basket sekolah dan tidak akan mengikuti pertandingan antar sekolah.
Pertandingan berlangsung sengit, goal pertama di ciptakan oleh tim unggulan walaupun begitu tim trainee langsung menyamakan kedudukan. Sepanjang pertandingan, Salsha tak henti-hentinya memberi dukungan untuk Farrel yang kebetulan dia memang pemandu sorak untuk tim basket sekolah.
”Diem deh ah, berisik.” keluh (namakamu) seraya menarik Salsha agar duduk dan tidak heboh sendiri.
”Tapi, gue harus semangati my sweety Farrel—FARREL GO! GO! GO!”
Di masa penghujung pertandingan tampak kedudukan sudah tidak seimbang lagi, dan tim trainee ketinggalan 30 poin. Masing-masing tim sudah memperlihatkan kemampuan terbaik mereka, dan satu hal lagi, mereka sudah benar-benar lelah. Peluh yang menghiasi nyaris seluruh wajah dan badan mereka menjadi buktinya.
Waktu tersisa tinggal dua menit, Iqbaal menggiring bola dari tengah lapangan. Mencoba melewatkan satu persatu pemain dengan satu kali gerakkan. Tidak memerlukan waktu yang lama sampai akhirnya Iqbaal menerobos pertahanan lawan dan dia sekarang benar-benar bebas. Sekali lompatan dan shootnya akan menambah angka walaupun tanpa dia lakukan itu tim-nya sudah di nyatakan menang. Namun, di saat Iqbaal sedang melompat untuk memasukan bola ke ring lawan, tindakkannya di sela oleh tindakkan kurang senonoh Farrel. Farrel ikut melompat dan menghantamkan sikutnya tepat ke dada Iqbaal.
Bruk!
Keduanya terjatuh bersamaan. Sialnya lagi, sikut Iqbaal mendarat lebih dulu dan mendarat di posisi yang salah.
”IQBAAL!”
Terkesiap, semua pemain datang menghampiri Iqbaal begitu juga dengan (namakamu) dan Salsha yang sudah keringat dingin. Keduanya menyaksikan kejadian itu dengan seksama.
Iqbaal meringis, dia mencoba ingin bangun namun malah kembali jatuh. Empat pemain langsung bergegas membopong Iqbaal menuju UKS.
”Yang sportif dong lo!” Hardik salah satu rekan Iqbaal.
Selagi orang-orang sibuk mengkhawatirkanIqbaal, sekarang mereka malah sibuk menghardik Farrel karena cara permainannya yang kurang sportif. Ada yang sudah mencengkram baju Farrel, tapi Salsha dengan sigap menepis.
”Apaan sih, lo!” Ucap Salsha tidak terima.
”Cowok lo yang apa-apaan! Kalo dasarnya udah kalah terima! Bukannya malah ngelukai pemain lain.”
”Bisa gak, lo gausah kasar sama cewek.” suara Farrel penuh ancaman.
Tidak ingin memperpanjang masalah, Salsha segara membawa Farrel menjauh dari lapangan. Seruan kurang senonohpun mengiringi kepergian mereka.
”Kamu tau, kan, yang kamu lakuin itu bahaya,” sergah Salsha ketika mereka sudah tiba di parkiran sekolah.
”Ini pertandingan penentuan.”
”Tapi gak pake acara ngebahayain orang lain juga.”
”Kamu kok malah jadi belain dia”
”Karna dia sahabat aku, aku peduli sama dia.”
”Aneh, kamu gak pernah sekhawatir ini sama aku. Jangan-jangan kamu suka sama dia.”
”Jangan ngaco. Iqbaal itu sahabat aku.”
”Sekhawatir itu?”
”Ya!” Tandasnya kesal, Salsha segera meninggalkan Farrel. Lebih baik dia pulang dengan taxi daripada perdebatan ini semakin memanjang dan membuahkan kekacauan di hubungan mereka.
”Sha, Salsha!” Salsha bisa mendengar teriakan Farrel di sela derum mesin taxi, tapi dia berusaha mengabaikan walau sebenarnya berat.
***
Kalau jatuh cinta sama sahabat sendiri salah gak, sih?
(namakamu) terduduk di ujung tempat tidur sembari memperhatikan keletihan yang terpancar di wajah Iqbaal. Sekarang (namakamu) sedang berada di kosan Iqbaal. Tidak di sangka akibat kejadian sore tadi, Iqbaal malah jatuh demam. Berulang kali (namakamu) mengompress kening Iqbaal, mengganti air sampai lima kali sejak sore tadi.
Malam telah larut ketika (namakamu) menutup tirai jendela di kamar Iqbaal. (namakamu) menguap, merentangkan kedua lengannya, dia bisa merasakan betapa letihnya hari ini. Lima jam penuh dia bergerak tanpa henti. Walau kosan tidak terlalu berantakan, (namakamu) sempat membersihkan tempat ini, membuat bubur siap saji yang sekarang sudah dingin. Saat ini (namakamu) sedang berjalan menuju dapur untuk mengganti air di wadah, keadaan Iqbaal sudah mulai membaik tapi pemuda itu belum juga bangun.
Suara decitan pintu sedikit mengisi kesunyian di kosan ini. (namakamu) memasuki kamar Iqbaal dengan wadah berisi air baru. Melihat Iqbaal sudah bersender di kepala tempat tidur, (namakamu) mempercepat langkahnya.
”Jangan banyak gerak dulu, tangan lo masih sakit.” kata (namakamu) ramah, secercah suaranya terdengar letih.
”(namakamu), lo yang ngurusin gue dari tadi?” Tanya Iqbaal sendu. (namakamu) tidak menjawab, dia hanya mengambil handuk kecil yang berada di kening Iqbaal kemudian mencelupkannya ke wadah. ”Lo keliatan capek banget.”
”Gapapa, ini gunanya temen.” ucap (namakamu) tersenyum manis sambil meletakan kembali handuk kecil ke kening Iqbaal.
”Yang lain mana?” Iqbaal sempat berpikir kalau ada (namakamu) mungkin saja ada yang lainnya, tapi ternyata tidak.
”Ya ampun, gue lupa.” sekali gerak saja dia meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas, tapi Iqbaal buru-buru menghalangi.
”Udah malem, besok aja.”
(namakamu) mengangguk, lalu membenarkan posisi kepala Iqbaal. ”Lo harus istirahat supaya cepe sembuh, gue gak mau liat lo sakit.” (namakamu) mengingatkan sembari membentang selimut ke seluruh badan Iqbaal.
Lama sekali Iqbaal memperhatikan wajah (namakamu) sebelum dia bangun dan memeluknya. ”Gue banyak berutang budi sama lo, kalo lo butuh bantuan bilang sama gue, apapun itu pasti gue lakuin.”
Mata (namakamu) terpejam seiring dalam dekapan Iqbaal. ”Apa gue harus kabari Olivia?”
”Engga perlu,”
(namakamu) merenggangkan pelukan. ”Gue mau bantu lo supaya jadian sama Olivia,” entah maksud apa yang tertera dalam kalimatnya, (namakamu) sendiri mendesah risau.
Iqbaal sedikit tersentak. ”Maksud lo?”
”Hm, pasti lo pengen, kan jadian sama Olivia” tebak (namakamu), bukan, itu bukan tebakkan.
”Sama sahabat sendiri?”
”Kita semua pasti ngerti kok, lagian kan kita udah dewasa. Wajar aja kalo ada rasa suka sama lawan jenis. Lagipula kalo cinta itu harus di utarakan bukan di pendem, nanti sakit.” jelas (namakamu) panjang lebar. Ada yang berdenyut nyeri di dasar hatinya.
Iqbaal mengernyitkan alisnya, sejak kapan (namakamu) tahu banyak tentang Cinta. ”Jatuh cinta sama sahabat sendiri itu salah gak, sih?”
(namakamu) mencoba mengukir senyum di bibirnya, namun gagal. ”Udah malem.”
Iqbaal terkesiap melirik jam weker yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sadarlah dia kalau ini sudah terlalu malam untuk (namakamu).
”Gimana sama lo?” Iqbaal bingung, tidak mungkin kan kalau (namakamu) menginap di kosannya. Apa kata orang ketika menjelang pagi nanti, dan melihat (namakamu) keluar dari kosannya meskipun beberapa orang sudah tahu kalau (namakamu) teman baiknya, tapi tetap saja itu akan menghasilkan gosip miring.
”Gue bisa atasi itu,” katanya. ”Sekarang lo tidur.”
Sementara (namakamu) membenarkan selimut, Iqbaal berusaha memejamkan matanya dan mencoba larut dalam ke gelapan.
Jatuh cinta sama sahabat sendiri itu salah gak, sih? (namakamu) mengulang pertanyaan Iqbaal di dalam pikirannya. (namakamu) berusaha menepis pertanyaan itu dan gagal. Tidak ada yang salah dengan hadirnya cinta di dalam persahabatan, itu salah satu hal yang wajar. Ketika cinta mulai hadir, kita tidak bisa berpura-pura menghiraukannyakecuali jika kita amnesia. Jadi, intinya, jatuh cinta itu adalah hal yang realitis mau gimanapun perasaan tidak bisa di bohongi.
Setelah memastikan kalau Iqbaal sudah benar-benar terlelap, (namakamu) melirik arloji, belum terlalu malam. Di sambarnya tas selempang yang tergeletak di bawah kaki Iqbaal. Dan sebelum dia menghambur keluar, (namakamu) membungkuk untuk mengecup pelipis Iqbaal.
***
Olivia berjalan seorang diri di koridor sekolah, hari ini benar-benar berbeda atau tepatnya akhir-akhir ini. Kejengkelan bertambah dalam hidupnya sebanyak delapan puluh persen, kejadian sewaktu Mama-nya menemukan brosur les Bahasa Inggris sungguh tidak bisa di lupakan, itu menyitak aktivitas dia dan teman-temannya.Menyebalkan.
Dan, kemarin, astaga! Olivia sungguh tidak ingin mengingatnya.
”.. Ayo, dong sayang. Mama kan juga gak mau kalah sama temen-temen Mama.” sore itu saat Olivia baru saja pulang dari les Bahasa Inggrisnya, Mama-nya sudah menunggu di dalam kamarnya.
”Engga, sekali engga tetep engga. Aku capek, Ma.” Olivia menginjak tumitnya untuk melepaskan sepatu lalu dia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
”Ya, ampun, sayang. Apa susahnya sih cuma luangi waktu dua jam.”
Olivia beranjak dari tempat tidur untuk menghampiri Mama-nya, kemudian meraih secarik kertas yang sedari tadi di genggam Mama-nya. Olivia berusaha konsentrasi saat membaca lembaran kertas tersebut, menjaga emosinya agar tidak meledak-ledak.
”Gimana?” Tanya Mama, suaranya penuh harap.
”Gak!” Jawab Olivia cepat. ”Dalam satu minggu ada tujuh hari, dan ada satu hari libur, jadi enam hari untuk kegiatan. Senin sampai Rabu les Bahasa Inggris jam dua sampai jam empat. Jadi, lima..enam..” Olivia menghitung waktu yang tersisa. ”Oliv cuma punya waktu dua jam kebebasan? Di tambah Mama mau masukin aku ke les piano, yang jadwalnya kamis sampai sabtu, dari jam tiga sampai jam lima?!”
”Daripada kamu menghabisi waktu kamu sama temen-temen kamu dengan hal yang gak bermanfaat,” sergah Mama, Olivia berusaha tidak mendengar. ”Pokoknya kamu harus ikut les Piano ini!”
”Mama kenapa sih egois banget,” suara Olivia bergetar. ”Oliv juga pengen kali, Ma, kayak anak-anak lain. Keluar malem gak boleh, di tambah acara les beginian.” Olivia berjalan selangkah untuk duduk di ujung tempat tidur.
”Udah cukup waktu main-main kamu selama ini. Inget Olivia, kamu udah dewasa, mau jadi apa kamu ketika lulus gak bisa apa-apa, cuma bikin Mama malu.” Mama sepertinya tetap keukuh dengan keputusannya.
Koridor sudah ramai, jadi Olivia mempercepat langkahnya sebelum bel berbunyi dan dia akan menjadi korban kekerasan di koridor. Ketika sampai di kelas, ternyata teman-temannya sedang berkumpul di dalam kelas.
”Kusut banget tuh muka.” celetuk Aldi, Olivia hanya tersenyum simpul menanggapi.
”Pagi.” sapa Salsha dan (namakamu) bersamaan.
”Gimana lesnya, lancar?” Kali ini Kiki yang bertanya. Bahu Olivia mendadak terkulai lemas, jadi dia segera duduk.
”Lumayan,” jawabnya. ”Maaf, ya, gue gak bisa pergi bareng.”
”Gapapa, mungkin lo kecapean. Les itu kan sesuatu antara mau sama engga untuk seorang pelajar.” Salsha mulai berfilosfi sinting.
”Tergantung orangnya juga kali, kalo orangnya kayak lo baru deh cocok tuh filosofi.” sahut Aldi pedas, Salsha cuma melotot.
”Oia, Iqbaal gak dateng, ya? Dia masih sakit?” Tanya Olivia, kali ini membuat wajah Salsha murung seketika.
”Engga, dia butuh istirahat.” (namakamu) yang menjawab karena tadi pagi-pagi sekali dia sempat datang ke kosan Iqbaal.
”Gimana kalo nanti kita jenguk Iqbaal? Gue merasa bersalah, itu juga gara-gara Farrel” usul Salsha yang langsung mendapatkan anggukan dari teman-temannya.Kecuali..
”Gue gak bisa,” kata Olivia menunduk.
”Kenapa, Bukannya les Bahasa Inggris cuma sampe hari Rabu?” Aldi yang sempat membaca brosur tersebut lantas bingung.
”Gue harus les Piano,” suara Olivia terdengar menyayati dirinya sendiri. ”Nyokap gue..” Tanpa perlu Olivia melanjutkan kalimatnya, keempat sahabatnya sudah mengerti. (Namakamu) dan Salsha merengkuh pundak Olivia.
***
Saat pergantian jam ketiga, kelas X-2 tidak di hadari oleh guru pembimbing mereka. Jadi, sebagai gantinya mereka semua harus memasuki perpustakaan. Sesampainya disana ternyata Bu Evi sudah menitipkan tugas kepada Bu keyla supaya di sampai kan kepada mereka. Tidak seperti seharusnya, jika masuk ke perpustakaan atmosfer kesunyian segera menyapu ruangan penuh buku ini. Tapi tidak untuk kelas ini, para murid berjalan tanpa memperdulikan sekitar mereka. Menarik kursi sekenaknya, mengakibatkan menghasilkan suara decitan yang memilukan, mengobrol tanpa berusaha mengurangi volume suara.
”Berisik banget.” bisik (namakamu) kepada teman-temannya.
”Ini namanya pemberontakan murid yang seharusnya engga belajar malah mentok ke perpus.” kata Salsha sinis, dia mengambil tumpukkan buku di lemari lalu meletakkannya di meja.
”Banyak amat, mau buka toko lo?” Cibir Aldi, dia sendiri masih memilah buku. ”Engga ada komik, ya.”
”Ini namanya pemberontakan murid.” Salsha menegaskan, dan senyum yang semakin tolol itu mengembang jelas di wajahnya.
”Ck! Keren, ikutan.” Aldi menyingkir dari tempatnya lalu menghampiri Salsha.
”Aldi!” (Namakamu) menarik lengan Aldi agar tidak mengikuti tingkah aneh Salsha.
Aldi nyengir.
”Olivia sama Kiki mana, ya?” Tanya (namakamu) tepatnya kepada Aldi, sedari tadi (namakamu) tidak mendapati Olivia maupun Kiki.
Aldi hanya menyenggol lengan (namakamu) kemudian menudingkan telunjuk ke sudut ruangan. Sebelum meninggalkan Aldi, (namakamu) menghela napas.
Perpustakaan ini sepertinya semakin kacau saja. Bu Keyla sampai kewalahan menangani mereka, dia sudah menghentak tangan ke meja beberapa kali sambil berteriak mengancam. Namun tak ada satu muridpun yang menggubris.
”Kalo gini caranya bisa hancur perpustakaan!” Rutuknya kesal, detik itu juga belasan buku jatuh dari lemari. Bu Keyla mengejang, wajahnya memerah karena amarah yang memuncak. Bu Keyla berjalan terengah-engah ke tempat kejadian, sebelum berkata, dia menghela napas dengan mata berapi-api. ”BERESKAN SEKARANG JUGA!” Bel berdering mengharuskan murid-murid yang berada di perpustakaan menghambur keluar untuk menikmati jam istirahat. Dalam hitungan detik, perpustakaan sudah senyap, hanya menyisahkan Bu Keyla dengan kedongkolannya.
***
Entah sudah berapa kali Olivia berharap kalau dia ingin sekali mempunyai Kakak kandung, tetapi nasib sudah berkata kalau dia tidak akan pernah memiliki seorang Kakak. Mungkin Olivia harus merubah harapannya—berharap memiliki adik—tiri. Ya, ayahnya sudah lama meninggal, tepatnya lima tahun yang lalu saat dia masih menginjakkan kaki di kursi SD kelas lima. Semasa itu adalah masa dimana seorang anak membutuhkan perhatian dari seorang ayah, dimana Olivia harus berbagi ceritanya kepada ayahnya.
Sejak saat itu Ibunya harus menafkahi keluarga, sejak saat itu Olivia harus melupakan apa yang namanya sebuah kasih sayang, karena sejak saat itu juga Ibunya tidak pernah lagi hadir dalam kehidupannya. Olivia selalu mendapati Ibunya absen di meja makan, pagi, siang ataupun malam.
”Kayaknya lo harus punya pendamping, deh.”
Olivia langsung terbelalak saat mendengar usulan dari Kiki.
”Maksud gue, pacar.” Kiki sedikit membenarkan kalimatnya.
Pacar? Membayangkan rupa pacarnya saja Olivia tidak pernah. Melihat adegan salah sinetron di televisi saja Olivia sudah ingin tertawa. Bagaimana dia bisa memikirkan dirinya harus memiliki seorang pacar.
”Apaan sih lo, Ki.” komentar Olivia.
”Beneran. Yah, walaupun sebenernya itu gak terlalu penting..”
”Gue, kan, masih punya kalian.”
”Iya, sih, tapi percaya deh. Kalo lo punya pacar pasti dia bakalan perhatian sama lo, selalu nanyain kabar lo setiap saat, engga mau lo kenapa-kenapa, bisa anter-jemput lo setiap hari. Pokoknya pacar itu always for you deh, apalagi lo cewek, cantik lagi.”
Semburat merah menyeruak di wajah Olivia seketika, bukan karena paparan Kiki yang terdengar aneh tapi kata di akhir kalimat itu. Olivia rasanya seakan baru merasakan kalau seseorang memujinya dengan tulus.
Bersambung...
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment