Saturday, January 24, 2015

Cerbung Reason - Part 10

`Reason`

Part 10

Muhammad Aryanda.

O-o-o-o-O

”Lo paling jago ya kalau masalah rayu-merayu. Yaudah buruan naik.” Aldi sudah menaiki motornya dan menstater. Sedangkan Salsha menggurutu tak jelas sebelum naik ke jok motor.
”Kayaknya bakat gue disitu, Al,” Salsha sedikit mencondongkan badannya ke depan sambil membenahi rambutnya, tapi apa yang dia harapkan tidak ketemu. Dimana spion? ”Spionnya mana, Al? Gue mau ngaca.”
”Yakali motor beginian pake spion.” Kata Aldi sambil menarik kopling lalu memasukkan gigi. Suara ban menjerit bersamaan dengan teriakan histeris Salsha, Salsha yang akan jatuh itu buru-buru melingkari tanganya di pinggang Aldi.
Baru beberapa meter, motor Aldi berhenti.
”Lo mirip dijahyellow kalau teriak-teriak kayak gitu.”
Salsha yang masih dalam emosi tingkat tinggi segera menghantamkan tangannya tepat di kepala Aldi. Salsha tahu Aldi akan kesakitan di karenakan helm yang sudah terpakai.
*
”(Namakamu)...(Namakamu)...”
”Gak gitu juga kali, Sha.” Komentar Aldi kecut, dia melirik Salsha yang sedang mendelik ke arahnya. Aldi menggeleng bermaksud menghiraukan tatapan Salsha, lalu menekan bel rumah (namakamu).
Keduanya saling diam sambil menunggu jawaban dari yang empunya rumah. Berselang beberapa detik suara langkah kaki dari rumah terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu. Bi Sumi dengan celemek di bahunya memandang Aldi dan Salsha secara bergantian.
”Kenapa, Bi? Ada yang salah?” Aldi ikut-ikutan memandang Salsha. Tidak ada yang salah dengan wajah gadis itu, tetap terlihat seperti biasanya. Gadis cantik dengan wajah tololnya. Memikirkan itu membuat Aldi terkekeh.
”Ada yang salah sama muka gue, Al?” Salsha geser sedikit, sekarang dia sudah berhadapan dengan kaca jendela. Di pandangnya jendela itu sambil berusaha mencari keanehan di wajahnya. ”Biasa aja sih muka gue, masih tetep cantik..cantik..cantikk..” Salsha cengengesan tidak jelas, alih-alih sebagai pelengkap kecantikannya, Salsha mengembungkan pipinya lalu melirik Aldi.
”Percis kayak anak idiot.” Ledek Aldi, tapi entah kenapa melihat Salsha bertingkah bodoh seperti itu membuat Aldi gemas. Entalah, tangannya seakan bergerak sendiri ke puncak kepala gadis itu dan mengacak-ngacakrambutnya.
”Kalian...,” Bi Sumi tiba-tiba bersuara, membuat Salsha dan Aldi menoleh ke arah Bi Sumi secara bersamaan. ”Pacaran?” Ekspresi geli terpancar jelas di wajah Bi Sumi. Mendengar perkataan Bi Sumi, Aldi dan Salsha terkesiap dan saling melempar pandangan 'Gue-gak-selaku-itu?' dengan sangat sinis, dan mereka berdua perlahan bergeser menjauh satu sama lain.
Walaupun Aldi dan Salsha sudah berjauhan, tapi mereka masih saling melempar pandangan. Berbagai jenis ekpresi terus berubah-ubah, mulai dari bibir Salsha yang mendadak keseleo, mata Aldi yang mendadak membesar, tapi meskipun begitu tatapan keduanya tak urung lepas.
”Ng,” melihat Salsha yang kembali fokus pada jendela, Aldi menoleh pada Bi Sumi, dan sedikit kaget dengan ekspresi wajah Bi Sumi yang mupeng banget. Emangnya dia mengharakan apa? ”(Namakamu)nya ada, Bi?”
Seakan baru saja di siram oleh air, Bi Sumi mengusap wajahnya. ”Oh! Neng (namakamu)? Dia mah dari pulang sekolah belum pulang. Engga tau deh kemana.”
Salsha berhenti menatap jendela. ”Beneran, Bi?”
Wajah Aldi mendadak berubah serius, tatapannya tak lagi sedamai beberapa detik yang lalu. Dia segera memutar badannya dan berjalan ke arah motor, langkahnya yang terkesan terburu-buru membuat kening Salsha berkerut resah.
”Sipit! Lo mau kemana, gue ikut.”
Tidak ada jawaban dari Aldi, laki-laki itu terus melangkahkan kakinya tanpa menggubris ucapan Salsha. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, tapi seingatnya, (namakamu) pulang sekolah tadi bersama Iqbaal.
Dalam perjalanan yang Salsha tidak tahu entah mau kemana, Aldi diam tanpa bersuara sedikitpun. Berkali-kali Salsha bertanya mau kemana, Aldi hanya diam seperti batu. Udara sore itu menerpa kencang wajah mereka berdua.
Saat motor Aldi masuk ke dalam gang kecil, yang tentunya sudah tidak asing lagi di ingatan Salsha, berpuluh-puluh pertanyaan berjejalan masuk ke dalam kepalanya. Akan tetapi, otaknya yang dangkal itu langsung menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berjejalan masuk. Dia ingat kalau (namakamu) tadi pulang sekolah bersama Iqbaal. Tapi, apa ia gadis itu berada di kosan Iqbaal?
Suara mesin lenyap, Aldi mematikan motornya tepat di depan kosan Iqbaal. Keadaan benar-benar sunyi sekarang. Salsha lebih dulu turun dan mengetuk pintu kosan Iqbaal beberapa kali. Tak sampai menunggu lama, yang empunya membukakan pintunya.
”Sha, Di, tumben lo berdua kemari. Cuma berdua lagi.” Ucap Iqbaal, yang memang tidak pernah melihat moment Alsha seperti ini.
”Lo tadi pulang sama (namakamu), kan?” Tanya Aldi. Iqbaal masih bisa merasakan nada canggung layaknya orang tak kenal dari laki-laki bermata sipit ini.
Iqbaal mengangguk, dan menggeser sedikit untuk mempersilahkan Aldi dan Salsha masuk.
”Hm,” seakan terlalu gengsi untuk bersuara lagi, Aldi hanya ber-hm panjang sambil mengedarkan pandangannya dan tidak berharap untuk menemukkan (namakamu) disini. Entahlah, Aldi tidak tahu lagi bagaimana hancurnya perasaannya kalau mengetahui (namakamu) ada disini bersama Iqbaal hanya berduaan. Egois? Mungkin. Cinta itu memang egois, semakin kamu mencintai seseorang semakin tidak rasional pikiranmu.
”Lo nyari apa, Al?” Tanya Iqbaal yang terheran-heran dengan tingkah Aldi. ”(Namakamu) di dalem.”
Sekilas Aldi menolehkan pandangannya ke arah Iqbaal. Lalu dia berjalan menuju kamar laki-laki itu tanpa bersuara.
”Baal gue numpang ngecharge hape gue yak, di rumah gue mati lampu.” Sebenarnya perkataan Salsha hanya basa-basi saja, sebelum Iqbaal menjawab permintaan Salsha, gadis itu sudah melakukan apa yang di inginkannya.
Iqbaal menggeleng sambil tersenyum melihat tingkah Salsha yang tidak pernah berubah. Dia berjalan ke arah kulkas dan mengambil tiga soft drink, satunya untuk dirinya, satunya lagi dia lempar ke arah Salsha dan sisanya dia letakan di meja.
”Ntar malem lo jadi nonton bareng Oliv?” Salsha membuka percakapan. Kosan yang di isi dengan empat orang ini terlalu hampa. Dia benci dengan kesunyian.
Iqbaal mengangguk, lalu menjatuhkan dirinya tepat di sebelah Salsha. Berselang beberapa detik kemudian, Salsha mencondongkan badannya terlalu dekat dengan Iqbaal membuat Iqbaal menjauhkan wajahnya.
”Ajak-ajak gue juga kali.” Katanya sambil mengangkat kedua alisnya secara berkali-kali.
”Apaan sih lo. Ajak aja sono pacar lo.”
”Cie.. Cie..” Senyuman lebar tolol khas Salsha membuat Iqbaal segera menjauhkan dirinya dari gadis itu. Entahlah, semua orang—sahabatnya—sangat tidak menyukai senyum yang seperti itu dari Salsha.
”Apaan sih lo, stres.” Agaknya godaan Salsha membuat Iqbaal menjadi salah tingkah, tapi laki-laki itu berusaha keras untuk tidak memperlihatkannya.
”Ciee gue stres, lo stres karena cin..” Tak tahan lagi dengan ocehan Salsha, Iqbaal segera membekap mulut gadis itu sambil melotot tajam.
”Diem gak lo,”
Wajah Salsha yang memang putih itu langsung merah karena tidak bernapas selama beberapa detik. Laki-laki tolol di dekatnya ini sepertinya memang punya niat untuk memubunuhnya.
*
Saat pertama kali masuk ke kamar Iqbaal, yang pertama kali Aldi lihat adalah (namakamu) yang terbaring di tempat tidur dengan mata yang terpejam. Gadis itu mengenakan kaos Iqbaal yang terlihat jelas kebesaran. Langkah Aldi membawanya ke tempat tidur itu.
Aldi bingung sekaligus takut. Ada apa dengan perasaanya ini. Dia sudah tahu kalau dia begitu mencintai (namakamu), dan tidak ingin melihat (namakamu) berada terlalu dekat dengan siapapun, sekalipun itu sahabatnya sendiri. Dan ketakutan yang melanda Aldi adalah, dia takut karena perasaan yang terlalu dalam untuk (namakamu) membuat persahabatan di antara dia dan Iqbaal menjadi renggang, seakan ada tembok besar yang menghalangi keduanya, yaitu (namakamu).
Aldi bisa merasakan kalau amarah dan ke-egoisan menguasai dirinya seperti tadi. Dia benci dengan Iqbaal, dia tidak ingin melihat (namakamu) terlalu dekat dengan Iqbaal.
*
Malam masih terlalu pagi, Olivia yang baru beberapa jam pulang dari les bahasa inggrisnya merebahkan dirinya di tempat tidur bermaksud untuk mengistirahatantubuhnya yang benar-benar letih.
Olivia kira, saat dia pulang ke rumah jam tiga. Mamanya tidak akan menyuruhnya pergi les, tapi nyatanya, saat Olivia tiba di rumah, dia sudah melihat Mamanya menunggunya di depan rumah. Mamanya langsung melontarkan pertanyaan kenapa Olivia bisa terlambat pulang, dan Olivia menjawab dengan jujur.
”Udah Mama bilang! Kamu gausah berteman lagi sama mereka, mereka itu liar! Ini baru di hukum nyapu halaman kalau besok-besok kamu di skor gimana? Parahnya kalau Mama di suruh dateng ke sekolah dengan catatan kamu yang bikin ulah!”
Olivia tidak membalas perkataan Mamanya. Olivia sudah terlanjur sakit hati dengan hinaan yang tertera jelas untuk para sahabatnya di kalimat Mamanya.
Dan malam ini, Olivia teringat dengan janjinya untuk pergi bersama Iqbaal. Dia tidak alasan untuk tidak keluar malam ini. Kasian Iqbaal, pasti dia sudah menunggunya. Jadi, Olivia segera mengganti pakaiannya, sambil memilah pakaian apa yang akan dia gunakan untuk pergi bersama Iqbaal, Olivia memikirkan bagaimana dia bisa pergi bersama Iqbaal malam ini. Yang jelas tanpa sepengetahuan Mamanya.
Dalam waktu kurang lebih 15 menit, Olivia sudah selesai berpakaian. Kalau saja ada Salsha di sebelahnya, mungkin Olivia akan tampil lebih baik dari ini. Olivia hanya mengenakan Baby doll berwarna hitam, dengan pita putih yang melingkar di pinggangnya. Rambutnya dia biarkan tergerai bergelombang.
`gue udh selesai, lo tunggu di dpn gerbang aja ya.`
Sms terkirim. Olivia menyambar sepatu di rak lalu meluncur melalui jendela. Kamarnya tidak lupa untuk di kunci. Bersyukur saja Olivia karena dia tidak memilih kamar di lantai dua. Itu akan menghambatnya kalau dalam keadaan seperti ini.
*
”Cengengesan mulu lo, stres.”
”Jomblo gak boleh sirik.”
”Idih, palingan juga bentar lagi lo end.”
”Doa lo nyet!”
”Mpyus.”
”Diem gak lo, jomblo karat.”
”Songong lo.”
”Pernah ku mencintaimuu.. tapi tak begini..” Dengan suara dibawah standar penggalan lirik itu keluar dari mulut Salsha, tentunya dengan gaya khas sang pencipta lagu tersebut.
Aldi hanya bisa meliriknya sinis tanpa berkata apa-apa.
”Putri tidur udah bangun.” Kalimat yang keluar dari mulut Salsha membuat Aldi menolehkan wajahnya ke pintu kamar Iqbaal. Dan dia mendapatkan (namakamu) berjalan gontai dengan baju yang kebesaran.
”Kok ada kalian sih, Al, Sha?”
”Tadinya sih gue mau ke rumah lo, tapi kata Bi Sumi lo belum pulang. Dan gue bingung harus cari lo kemana dengan keadaan hape gue yang mati. Berkats kecerdasan sih sipit ini, jadilah kita menemukan lo disini sedang tertidur bersama Iqbaal.”
Aldi dan (namakamu) serempak mendelik ke arah Salsha yang sedang cengengesan.
”Becanda, jangan kubur gue idup-idup yak.”
”Yaudah deh, gue mau balik.” (Namakamu) melirik jam dinding, dan mengedarkan penglihatannya.Apa yang dia inginkan tidak dia temukan. Pasti laki-laki itu sudah pergi.
”Biar gue anter,” Aldi meraih tangan (namakamu). Sebuah tindakkan yang seharusnya tak perlu di lakukan. Salsha melirik kedua manusia itu sambil terkekeh pelan. Sedangkan (namakamu) mengarahkan pandangannya ke Salsha. Seakan mengerti, Aldi berucap santai. ”Dia biarin aja, jalan juga bisa.”
”Ekhem,” Salsha berdeham mengejek. Kalau saja tidak ada (namakamu) pasti Salsha sudah meneriaki laki-laki itu dengan kalimat-kalimatyang kurang senonoh. ”Kalian duluan aja, ntar gue di jemput sama Farrel.”
”Serius nih, Sha, gak pa-pa kita tinggal sendiri?”
”No problem.”
Tidak ingin berlama-lama, Aldi menarik tangan (namakamu) keluar sambil mengedipkan sebelah matanya ke Salsha. Gadis itu hanya melayangkan tinju kecilnya.
*
Di dalam perjalanan pulang menuju rumah (namakamu), kedua manusia berbeda jenis itu hanya diam tanpa bersuara. Hanya saja dinginnya malam dan kecepatan motor Aldi melaju membuat (namakamu) sesekali mendesahkan napasnya. Sepertinya gadis itu kedinginan.
Tak butuh waktu lima menit untuk tiba di rumah (namakamu) karena memang jaraknya yang tidak terlalu jauh.
”Thanks, Al.” (Namakamu) tersenyum sambil mengucapkan terimakasih pada Aldi, sesudah turun dari motor.
”Ya,” Aldi bingung, apakah dia harus menyampaikan sesuatu yang sedari tadi menjejali pikirannya kepada (namakamu) atau tidak. Ragu-ragu, Aldi menambahkan kalimatnya. ”Setelah ini lo mau ngapain?”
(Namakamu) baru saja ingin berjalan masuk saat mendengar pertanyaan Aldi. Dia berbalik lalu menjawab. ”Kayaknya gue langsung tidur aja, gue capek banget,” Entahlah, yang jelas Aldi memang mendapati kelelahan yang amat sangat di wajah (namakamu). ”Emangnya kenapa ya, Al?”
”Hm,” Aldi sedikit ragu untuk menjawab. ”Niatnya sih gue mau ngajak lo nonton malem ini. Tapi kayaknya lo bener-bener capek jadi yah kapan-kapan aja deh.” Senyuman berjenis entah apa tersungging di bibir Aldi.
Kalimat Aldi yang baru saja membuat (namakamu) diam sambil berpikir. Apa dia menerima tawaran Aldi saja, tapi bagaimana kalau nantinya mereka akan bertemu dengan Olivia dan Iqbaal. Meskipun (namakamu) sangat ingin mengawasi keduanya, akan tetapi hati (namakamu) berkata lain. Dia sudah terlalu letih, hatinya sudah seperti bangunan yang ingin roboh. Hanya saja akhir-akhir ini ada seseorang yang sepertinya berusaha membangun ruang hatinya kembali.
”Tapi lo janji jangan pulang malem-malem ya?”
Kalimat yang terlontar dari mulut (namakamu) itu sukses membuat semburan kecerian tergores di wajah Aldi.
”Janji!”
”Oke. Bentar. Gue mandi dulu. Gak lama. Lo tunggu di dalem aja.”
Aldi mengacungkan jempolnya dan berjalan masuk menyusul (namakamu).
*
Sudah sekitar sepuluh menit Iqbaal menunggu di depan rumah Olivia dengan pagar yang masih terkunci. Sesekali dia melirik ke dalam untuk menanti-nantikan kehadiran Olivia tapi gadis itu tak kunjung memperlihatkan dirinya.
Iqbaal mendesah panjang sambil meraih ponsel di saku celananya. Akan tetapi belum sempat dia menggeser layar ponselnya, sosok Olivia terlihat sedang berlari-lari di sekitar halaman rumahnya. Gadis itu menentang sebuah benda yang tak bisa Iqbaal kenali, setibanya di dekat pagar, gadis itu mencampak benda itu tinggi-tinggi dan barulah Iqbaal sadar kalau benda itu adalah sebuah sepatu berhak tinggi.
Iqbaal menggeleng sambil menyipitkan matanya, bukan karena sepatu itu, tapi karena seorang gadis bernama Olivia. Gadis yang dia cintai namun belum terbalaskan sedang memanjat pagar. Melihat kalau Olivia agak kesusahan, Iqbaal turun dari motor dan menghampiri.
”Pelan-pelan...kenapa harus dari sini sih..” Iqbaal sedang memegangi lengan Olivia, sementara gadis itu menuruni satu persatu bingkai pagar yang menyerupai anak tangga.
”Sshh..jangan kuat-kuat, ntar kedengeran nyokap gue,” Olivia sudah turun, dia langsung menyambar sepatunya dan dengan gesit memakainya. ”Gue kagak di kasih keluar, gue di repetin waktu pulang sekolah, gue kesel banget, pengen aja gue kabur dari rumah.” Ocehan Olivia membuat Iqbaal terkekeh, bukan karena cara Olivia menyampaikannya, tapi karena ekspresi wajah, bibir mengerucut dan sambilan memakai sepatu itu. Dia benar-benar lucu.
”Awas jatoh,” Iqbaal mengingatkan, dua detik setelahnya, Olivia meletakan tangannya di bahu Iqbaal, alih-alih agar tidak terjatuh. Sekarang dia memakai sepatu dengan tumitnya. ”Sepatu lo ribet amat.”
”Gue salah pilih,” senyum kecut di lontarkan Olivia pada sepatu itu. ”Selesai.” Dia menghadap ke Iqbaal sambil memasang senyum termanisnya. Lalu dia melangkah menuju motor Iqbaal.
Selangkahpun belum selesai, tiba-tiba Iqbaal menarik tangan Olivia membuat gadis itu menghentikan langkahnya.
”Rambut lo, jadi berantakan gini.” Ucap Iqbaal lembut, dengan telaten dia membenahi rambut Olivia. Senyum itu tanpa sadar mengembang di wajahnya, senyum kebahagian. Sudah lama Iqbaal tidak merasakan hal seperti ini.
Olivia yang merasakan perhatian lebih dari Iqbaal membuatnya tersipu, dia menunduk dan berharap kalau wajahnya yang mulai merona itu tidak di ketahui oleh Iqbaal.

Bersambung...

Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

No comments:

Post a Comment

Situs terkait