`Reason`
Part 15
Muhammad Aryanda.
O-o-o-o-O
Iqbaal tersenyum pilu. Dia menutup buku yang ada di tangannya lalu mengusap wajahnya. Sekarang apa yang harus dia lakukan? Iqbaal terdiam untuk beberapa saat, di pandangnya jam dinding yang sudah menunjukan pukul empat sore. Hari sudah sangat sore, dan (namakamu) juga belum pulang. Tunggu, apa yang dia harapkan? Berharap kalau (namakamu) pulang dan menemukannya sedang berada di kamar gadis itu bersama Diarynya?
Ruangan sunyi itu perlahan mulai terisi dengan suara langkah kaki. Iqbaal meninggalkan kamar (namakamu) dengan beribu-ribu pertanyaan di dalam kepalanya.
Iqbaal merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia ketahui. Bagaimana mungkin bisa? (Namakamu)? Menyukainya? Sejak kapan? Kenapa gadis itu selalu terlihat baik-baik saja saat Iqbaal dengan sekenaknya bercerita tentang perasaanya kepada Olivia.
`walaupun sakit, aku tersenyum
walau tersenyum, sesungguhnya aku menangis`
Memori kepala Iqbaal teringat dengan penggalan kata-kata di Buku Diary (namakamu).
Ketika kakinya menginjak teras rumah (namakamu), Iqbaal menghentikan langkahnya. Dia menengadah untuk menatap langit, kumpulan awan tebal bergerak cepat seakan menandakan kalau sebentar lagi akan turun hujan. Aneh, padahal tadi sangat panas.
Di hirupnya oksigen sebanyak yang dia bisa, sebelum akhirnya Iqbaal melangkah cepat ke arah motornya. Saat mesin menyala, motor langsung melaju dengan kecepatan sederhana.
oOo
Seorang gadis berjalan santai di koridor sepi, kepalanya menoleh ke arah langit saat menyadari kumpulan awan tebal bergerak cepat hendak menutupi langit yang tadinya cerah. Langkahnya yang lamban mendadak berubah cepat. Awan tebal membuat koridor ini, yang tadinya terang menjadi gelap dan membuat gadis ini takut.
Cepat dan cepat. Begitu langkah yang di lakukan gadis ini, di koridor sekolah yang benar-benar sepi nyaris tak ada suara apapun disini, yang terdengar dari tadi hanyalah seruan dari lapangan basket. Dia tidak tahu apa yang terjadi disana.
Langkahnya yang terkesan berlari itu perlahan memelan dan sekarang dia nyaris seperti siput yang sedang berjalan. Hal itu terjadi karena telingannya menangkap sebuah suara, suara yang berupa cuma desahan. Desahan yang mampu membuat bulu kuduknya meremang.
Salsha merasakan kalau suara itu berasal dari tikungan sebelah kanannya, berarti suara itu berasal dari toilet. Dengan susah payah Salsha menelan air liurnya, dia berusaha sekuat mungkin agar tidak menimbulkan suara. Punggung Salsha kini sudah merapat di dinding, sedikit mencondongkan kepalanya dengan sikap mengintip, Salsha segera mengetahui sumber suara desahan itu.
Sekujur tubuh Salsha terbujur kaku. Sekarang, apa yang ada di hadapannya bukanlah sesuatu yang baik untuk kesehatan jantungnya. Jantung terpompa lebih cepat membuat sel-sel dalam tubuhnya bekerja lebih ekstra, tanpa sadar telapak tangan Salsha berkeringat. Salsha ingin memalingkan wajahnya namun sungguh tak bisa, kesakitan yang dia rasakan saat ini membuat seluruh anggota tubuhnya tak berfungsi dengan baik.
Itu Farrel. Disana. Tetapi bukan itu yang membuat Salsha menitikan air mata, bukan, bukan nama Farrel tapi apa yang sedang di lakukan laki-laki itu lah yang membuat hatinya hancur berkeping-keping. Dia sedang berciuman dengan seorang gadis yang amat Salsha benci—Bella.
Suara desahan itu kembali terdengar. Farrel menggerakkan tangannya ke tengkuk Bella untuk menahan kepala gadis itu. Sementara tangan Bella bergerak ke badan Farrel untuk memeluk erat laki-laki itu. Perlahan Farrel melepaskan kecupannya dari bibir gadis itu, dan Salsha pikir itu semua udah berakhir. Akan tetapi kenyataannya adalah laki-laki itu malah mencondongkan wajahnya ke leher Bella membuat Bella mengerang dna mengeluarkan sebuah desahan yang membuat Salsha ingin sekali membunuhnya.
”Rel,” akhirnya setelah menahan untuk tidak bersuara, kata itu berhasil lolos dari mulut Salsha sekaligus membuat kedua orang di ujung sana menghentikan aktivitas gila mereka.
Suara gemuru di luar sana beriringan dengan angin yang bertiup kencang.
Farrel memandang Salsha dengan mata yang terbuka lebar. Akan tetapi laki-laki itu tidak berjalan untuk menghampiri Salsha, seperti seharusnya, seperti yang Salsha lihat di salah satu adegan drama. Tidak, laki-laki itu tidak melakukannya, dia hanya diam saja memandang Salsha yang sekarang sudah menangiss tersedu-sedu, kudapan yang di jinjing Salsha sudah jatuh berserakan di lantai.
”Sori, Sha, seharusnya kamu gak liat ini.”
Pernyataan bodoh macam apa itu, Salsha tak habis pikir dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Farrel.
Salsha menyeka air matanya, dia merasa kalau tangisannya ini percuma saja. Tapi meskipun percuma air mata bodoh itu tak henti-hentinya keluar untuk membasahi wajahnya.
Suara langkah kaki menyapukan keheningan yang hampir merambat. Salsha bisa melihat Farrel berjalan mendekat ke arahnya, sekarang apa yang akan di lakukan laki-laki itu.
”Gue ngerasa kalau gue udah gak nyaman sama hubungan kita, sikap lo yang selalu mengutamakan sahabat lo itu ngebuat gue seolah hanya status di samping lo.”
”Tutup mulut lo! Gue gak butuh penjelasan dari lo!” Salsha berteriak kencang, itu dia lakukan sekaligus untuk merenggangkan otot-otot wajahnya yang terbujur kaku.
Dia benci dengan Farrel kenapa laki-laki itu tega mengkhianatinya. Terlebih lagi Salsha sangat tidak menyangka siapa gadis yang sedang bersama Farrel sekarang.
Salsha menyipitkan matanya saat sepasang matanya bertumbukan dengan mata Bella. Gadis itu menyeringai puas. Sepertinya ini yang di katakan kalau pemeran utama tidak selalu menang.
*
Langit sudah benar-benar gelap, bukan karena hari akan malam tapi karena sebentar lagi akan turun hujan. Sepertinya. Suara gemuru awan beriringan dengan embusan angin. Embusan angin membuat puncak-puncak pohon berkibar hebat, daun-daun kering berterbangan dan mengotori jalanan.
Iqbaal mengendarai motornya masih dengan kecepatan sederhana. Satu tempat yang sekarang ada di pikirannya, dan tempat itu sekarang menjadi tujuannya. Dia sendiri tidak tahu apa yang membawanya pergi kesana.
Ketika Iqbaal sampai di tempat itu, yang pertama kali dia lakukan adalah memakirkan motornya. Lalu langkah lambannya perlahan berubah menjadi semakin cepat, angin sedingin es menerpa wajahnya kala itu. Tempat ini terlalu hampa hingga Iqbaal mampu mendengar dengung di kapalanya. Sebenarnya apa yang ada di pikirannya saat ini? Kalau di tanya seperti itu, tentu saja yang ada dalam pikirannya saat ini adalah kalimat-kalimatyang tertulis di buku tebal milik (namakamu), seharusnya dia tidak lancang membaca buku itu. Apakah Iqbaal menyesal? Tentu tidak.
Iqbaal menggeram dan terus melangkah besar-besar. Saat langkahnya terhenti, yang pertama kali Iqbaal lakukan adalah menatap ke ayunan tua. Dia tidak menemukan siapa-siapa disana, sedikit menggeserkan pandangannya ke arah pohon besar dekat danau, Iqbaal juga tidak menemukan siapapun disana, akan tetapi bola matanya yang bergerak ke sudut mata memperlihatkan seseorang yang tengah terduduk di titi kecil yang ada di danau tersebut.
Haruskah Iqbaal menghampiri gadis itu? Dan kalau dia menghampiri gadis itu, apa yang harus dia lakukan? Demi apapun, saat-saat seperti ini sangat tidak diinginkan oleh Iqbaal. Sedikit menghela napas kasarnya, Iqbaal akhirnya melangkahkan kakinya ke arah titi.
Sunyi, sepi, dan hampa itu yang saat ini dia rasakan. Iqbaal mengedarkan matanya untuk melihat ke segala tempat. Tempat ini penuh kenangan dengan sahabatnya. Dan sungguh, Iqbaal tidak ingin dia melukis sebuah luka di tempat ini. Apa yang sebaiknya dia lakukan sekarang.
Hujan.
Tetesan air jatuh ke bumi. Iqbaal terkesiap, dia tersadar dari lamunannya. Dan matanya langsung mengarah ke (namakamu) yang bingung harus melakukan apa, sepertinya gadis itu ingin mencari tempat berteduh, tapi tidak tahu harus kemana.
Dengan sekali gerakan Iqbaal melepas bajunya, dan berlari menghampiri (namakamu). Dia segera membentang baju di kepala (namakamu), menghiraukan hujan yang terus turun membesahi tubuhnya.
”Iqbaal. Lo ngapain disini?” (Namakamu) sedikit kikuk berbicara kalau wajah mereka terlalu dekat seperti ini.
”Itu gak penting. Sekarang mending kita ke pohon itu.” Iqbaal menunjuk pohon besar di dekat danau dengan kepalanya. Akan tetapi (namakamu) malah menggeleng.
”Gue gak mau. Gue mau disini.”
Iqbaal memutar bola matanya. Tidak tahukah (namakamu) kalau sekarang ada yang berdegup kencang di dalam sana. Di dalam dadanya.
”Nanti lo sakit.” Suara Iqbaal tidak terdengar terlalu jelas, hujan sudah turun dengan derasnya di tambah lagi dengan suara angin yang menerpa daun-daun di pohon.
(Namakamu) mengalihkan pandangannya. Dia menatap air danau yang sudah tidakk sedamai tadi.
”(Namakamu)? Lo dengerin gue kan?” Tanya Iqbaal yang merasa kalau (namakamu) mendadak berubah menjadi patung yang bernyawa. Gadis itu hanya diam saja tanpa menjawab pertanyaannya. Walaupun sekarang suasana tidak terlalu hening, tapi Iqbaal yakin dengan jarak sedekat ini pasti (namakamu) mendengar pertanyaannya.
”Nanti lo sakit (namakamu).” Iqbaal mulai berteriak, ingin rasanya dia melepas genggamannya pada bajunya ini. Tapi kalau dia melepaskannya (namakamu) akan terkena hujan.
Beberapa detik lamanya, tidak ada yang bersuara di antara mereka. Apa yang sedang (namakamu) pikirkan? Kenapa gadis itu hanya diam saja, tidak tahukah (namakamu) kalau sekarang laki-laki di sampingnya sudah mengigil karena hujan dan angin yang dingin menerpa tubuhnya?
Baju berwarna hitam polos itu terlepas, dan langsung terbang di bawa angin. Bersamaan dengan itu, yang empunya menarik bahu gadis di sebelahnya agar menatapnya.
Tidak sampai lima detik, (namakamu) sudah basah kuyub. Tapi Iqbaal mengusap wajah (namakamu) dengan telapak tangannya agar pandangan gadis itu tidak kabur. Alih-alih setelah mengusap wajah (namakamu), tangan Iqbaal bergerak ke dagu gadis itu untuk menengadahkan wajahnya. Sedikit mencondongkan wajahnya, Iqbaal menekan lembut bibirnya pada bibir (namakamu).
Saat dunia seakan berputar dengan sangat lamban, (namakamu) memejamkan matanya. Ini seperti (namakamu) menggali lagi harapannya yang sudah terkubur jauh. Tubuhnya yang menegang dapat di kendalikan dengan laki-laki di hadapannya. Masing-masing tangan Iqbaal menggenggam sisi tubuh (namakamu).
Lima detik berlalu. Iqbaal yang memulai, Iqbaal juga yang harus mengakhirinya. Dia menjauhkan wajahnya dan menarik (namakamu) ke dalam pelukannya. Dia memeluk erat gadis ini, gadis yang selama beberapa hari pergi menjauh darinya.
”(Namakamu), gue mohon sama lo, lo jangan pernah pergi dari hidup gue apapun yang terjadi. Meskipun gue sayang sama Oliv, gue gak mau lo pergi dari hidup gue (namakamu). Gue mohon sama lo.”
Kata-kata itu meluncur dengan nada yang amat memilukan. (Namakamu) mendengar dan dia hanya bisa diam. Ada kesenangan yang dia rasakan dan juga ada kepedihan yang dia rasakan saat ini. Dia tidak mengerti dengan ucapan Iqbaal. Apa maksud laki-laki itu? Dia mencintai Olivia tapi dia menginginkan (namakamu) selalu bersamannya?
`Tak apa jika kamu tak mencintaiku
Jika aku hanya dapat menatapmu, itu tidak menjadi sebuah masalah.`
(Namakamu) memejamkan matanya. Dia mendapatkan jawabannya sekarang. Jadi dugaannya benar kalau Iqbaal memang tidak menyukainya. (Namakamu) ingin berteriak tapi dia bisa apa, dia hanya bisa diam di perlakukan seperti ini. Apakah cinta memang sekejam ini? Kalau disuruh memilih, (namakamu) sangat menginginkan hatinya berlabuh ke hati yang lain. Tapi sungguh, itu tidak bisa.
(Namakamu) tersedak, saat menyadari kalau dinding pupilnya sudah tidak sanggup menahan air mata yang sudah berlomba-lomba ingin keluar. Akhirnya air mata itu keluar juga, (namakamu) menangis, sesegukan, dia menghiraukan segala apapun yang ada disini, biar saja dia menangis di depan Iqbaal, (namakamu) tidak perlua berlagak sekuat lagi sekarang. Dia benci kalau terus menjadi orang yang terlemah di dunia ini. (Namakamu) menangis sampai badannya bergetar hebat membuat Iqbaal memeluknya lebih erat.
'Lo jahat, Baal. Lo gak pernah mikir perasaan gue.'
Bersambung..
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment