Friday, January 2, 2015

Cerbung Reason - Part 3

Part 3
Muhammad Aryanda.
O-o-o-o-O

Aldi kembali duduk, dan memperhatikan langit yang kurang selaras dengan dirinya. (Namakamu) belum kembali, sedang apa dia bersama Iqbaal? Di kosan laki-laki, hanya berdua? Mendadak Aldi berpikir yang aneh-aneh tapi tak sampai lima detik pikiran negatif itu sudah di tepis olehnya, Aldi percaya dengan Iqbaal. Lagipula mereka sudah kenal lama, sudah menjadi sahabat yang layaknya sudah seperti keluarga sendiri.
Langit semakin gelap, tidak ada tanda-tanda kalau bulan akan bersinar. Harapan Aldi semakin pupus, jika (Namakamu) pulang dan hujan turun toh sama saja. Penantiannya selama beberapa jam disini tidak membuahkan hasil.
Keputusan Aldi untuk pergi dari rumah (Namakamu) sudah bulat saat dia melirik arloji yang menunjukan pukul 9.30 malam. Aldi segera beranjak dari tempat duduknya, berjalan tergesah-gesah menuju motornya. Segala macam perasaan bercampur menjadi satu di kepalanya.
Ninja hitam mengkilap itu melaju meninggalkan perkarangan rumah (Namakamu). Angin malam sedingins es menyapa kasar kulit Aldi, dia melajukan motor di atas kecepatan rata-rata. Aldi tidak memperdulikan hal itu, dia berharap angin malam yang menerpa tubuhnya bisa menghilangkan segenap perasaan ini. Perasaan yang mendekati kecewa membuat adrenalin memacu dirinya.
Tak sengaja lampu motor Aldi menyorot seseorang yang baru saja menapakkan kaki keluar dari taman. Sweater biru yang di kenakan secara asal melambai-lambaiakibat angin malam. Aldi menerawang langit malam yang semakin gulita, sepertinya sebentar lagi hujan akan turun.
Aldi memutar balik Ninjanya, alih-alih dia merasakan kalau gadis yang mengenakaan sweater biru itu terasa ganjil di matanya. Sesudah memutar balik, dan memelankan laju motor untuk mengamati gadis itu, Aldi turun dari motor setelah dia meyakini kalau gadis itu adalah (Namakamu).
”(Namakamu),” panggil Aldi ragu, takut kalau-kalau dia salah orang.
Taman dan sekitarnya benar-benar gelap setelah lampu motor Aldi tak lagi menyala, dan di kejauhan di dalam taman tepatnya ditengah-tengahhanya ada satu bola lampu yang menyala. Itu tidak cukup untuk menerangi taman yang luas ini.
”Aldi?” Akhirnya, ketika mendengar suara itu Aldi berani melangkahkan kaki untuk mendekat.
”Lo ngapain disini? Bukannya kata Tante Ratna lo nganter makanan ke kosan Iqbaal?” Tanya Aldi yang merasa ada sesuatu yang aneh pada (namakamu).
”Oh, itu, ya, tadi gue ke kosan Iqbaal.”
”Terus, kenapa lo bisa disini?” Aldi tidak bisa menahan untuk tidak bertanya supaya dia bisa tahu kenapa (namakamu) bisa berada disini. Di taman yang gelap hanya seorang diri.
Sekarang langit sudah benar-benar gelap, dan Aldi tidak bisa melihat wajah (namakamu) di tengah kegelapan ini. Angin berembus membuat bulu kuduk mereka meremang.
(Namakamu) belum menjawab, tapi setelah menunggu kurang lebih dua menit akhirnya (namakamu) berkata. ”Gue, bosen.”
Jawaban yang lumayan masuk akal dan suara yang nyaris tak terdengar membuat Aldi sarkastik.
”Lo gak apa-apa, kan?”
(Namakamu) menggeleng pelan tapi di kegelapan seperti ini mana mungkin Aldi melihatnya. Keheningan yang mendadak menyelinap di antara keduanya bersamaan dengan turunnya hujan. Aldi yakin kalau (namakamu) menyembunyikan sesuatu darinya.
oOo
Aldi benar-benar tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau dia menyayangi (namakamu). Tidak tahu kapan rasa itu hadir, rasa itu hadir secara tiba-tiba. Berulang kali Aldi bertanya pada dirinya sendiri di kala malam tepatnya di hadapan sang cermin.
”Gue sayang sama lo, (namakamu).”
Kata-kata itu nyaris hampir setiap malam di ucapkannya.
***
Di hari selasa, Aldi, Kiki, Salsha, (namakamu) dan Olivia berkumpul di kantin seusai mata pelajaran Olahraga. Keadaan kantin yang masih sepi dan hanya di datangi oleh murid-murid dari kelas mereka mendominasi suara kelima manusia ini. Seragam olahraga masih membalut tubuh mereka, keringat yang di hasilkan saat olahraga menjadi hawa panas sendiri bagi tubuh mereka.
Olivia tidak henti-hentinya mengipasi wajahnya dengan telapak tangannya, sementara (namakamu) tampak biasa-biasa saja karena dia memang jarang mengikuti akivitas di jam olahraga. Kiki duduk dengan sikap tidak tenang, sepasang bola matanya berkali-kali menoleh ke punggung Aldi dan Salsha yang sedang memesan makanan tentunya.
”Lama banget sih tuh anak dua.” keluh Kiki akhirnya seraya menempelkan wajahnya di meja. Olivia dan (namakamu) terkesiap untuk menoleh ke arah Kiki, tapi mereka hanya diam saja.
Hening sejenak.
”Panas banget.” keluhan Olivia bersamaan dengan terdengarnya suara Aldi dan Salsha dari kejauhan, yang semakin lama-semakin dekat.
”..ye! Perjanjiannya, kan, bagi yang kalah harus traktir yang menang.” suara Salsha yang melengking membuat penghuni kantin menoleh ke arahnya termasuk ketiga temannya yang sedang menunggu di sudut kantin.
”Gue juga udah tau kali! Nyante aja deh lo.” nada suara Aldi yang sewot semakin membuat penghuni kantin menjengjangkan leher mereka.
Kedua manusia itu sekarang menjadi objek penghuni kantin.
Keduanya berjalan sambil memperdebatkan sesuatu yang tidak seharusnya di bicarakan. Hasil pertandingan tadi malam antar Chelsea melawan Sundeland sangat memukul batin Aldi.
”Kalau udah tau, kenapa lo jadi nyolot gitu?! Hello! Seharusnya gue yang nyolot karna lo selalu gak pernah tepati janji!” Hardik Salsha sambil melotot ke arah Aldi.
Perlahan namun pasti Aldi mulai kalut dengan Salsha yang mendadak murka, akan tetapi Aldi tidak terlalu menunjukan ekspresi kalut di wajahnya. Dia masih bersikap seolah-olah dialah yang benar.
Sambil menjitak kepala Salsha, Aldi berkata. ”Ssh! Cewek bego, suara lo kegedean, kalo orang-orang pada denger gimana?!”
Mereka sudah sampai di meja yang berada di sudut kantin, jadi Aldi meletakan nampan yang berisi pesanan (namakamu) dan Kiki, dan satunya lagi untuk dirinya. Kiki meraih mangko berisi bakso dengan tak sabar, menghiraukan perdebatan Aldi dan Salsha yang sepertinya akan berlanjut, Kiki segera melahap makanannya.
Salsha meringis. ”Aldi! Lo, ssh, parah! Pokoknya lo harus bayarin pesenan gue!”
Aldi melirik sekilas ke arah Salsha yang masih merepet, kemudian dia segera duduk di sebelah (namakamu). Aldi tersenyum, (namakamu) masih kelihatan cantik walaupun sedikitnya keringat menempel di sekitar wajah dan lehernya.
”Aldi! Lo dengerin gue kagak, sih?!”
Rambut (namakamu) yang selalu tergerai menutupi punggungnya kali ini lebih di sisihkan menutupi bahu kirinya. Aldi bisa melihat jelas lekukan demi lekukan wajah (namakamu) yang bak di pahat oleh malaikat, matanya yang indah sesekali terpejam memperlihatkan bulu mata yang lentik, dan bibir merah bukan hasil polesan lipglos—sepertiSalsha—menarik perhatian Aldi lebih lama. (Namakamu) benar-benar gadis yang natural.
Senyum Aldi perlahan melebar ketika menyaksikan (namakamu) beberapa kali mengigit bibirnya sendiri. Bayangan ketika jemarinya menyentuh bibir (namakamu) mendadak menyelubungi pikiran pemuda ini.
Di sesuatu tempat yang gelap, yang berada dalam pikiran Aldi dan hanya di terangi cahaya keremangan. Embusan angin sedingin es menyapu tempat itu, permukaanya yang berumput mengeluarkan suara desiran rumput yang saling bergesekan. Sosok (namakamu) muncul, berjalan tertatih di permukaan berumput. Giginya berkali-kali mengeluarkan suara gemeletukan, tubuhnya gemetaran dan manik matanya melirik was-was ketika suara grasak-grusuk terdengar di balik semak belukar.
Sosok pemuda gagah memakai baju jirah berjalan tanpa memperdulikan embusan angin yang menyapu seluruh tubuhnya. Langkahnya membawa pemuda itu mendekati (namakamu).
Angin yang berembus semakin kencang tatkala membuat ranting-rantingpohon berjatuhan, daun-daun kering terhempas dan jatuh kepermukaan. Detik ini juga, (namakamu) merasakan bahunya lemas, lututnya gemetaran dan tubuhnya berangsur sempoyongan hingga pada akhirnya (namakamu) limbun, namun sosok pemuda gagah berbaju jirah itu dengan sigap menangkap tubuh ramping (namakamu).
”Pangeran Aldi.” gumamnya.
”Tuan Putri.” suara pemuda gagah itu terdengar sangat khawatir. ”Apa yang bisa ku bantu?”
Butuh waktu lama sekali bagi Tuan Putri—(namakamu)—untuk menjawab. Seluruh tubuhnya dingin, Pangeran Aldi bisa merasakannya saat tangan Tuan Putri terangkat untuk membelai wajah Pangeran. Tuan Putri tersenyum getir dan itu membuat rawut kekhawatiran semakin terpancar di wajah Pangeran.
”Tanganmu dingin sekali, Tuan Putri.”
”Pangeran..” Suaranya hanya berupa gumaman sengau.
”Apa yang bisa aku lakukan untukmu?”
”Aku,..” Kalimat Tuan Putri (namakamu) harus terputus lantaran embusan angin menusuk kulitnya. Rawut kekhawatiran semakin mendesak adrenalin Pangeran Aldi. ”aku butuh kehangatan.”
Dengan susah payah Pangeran Aldi menelan air liurnya, wajahnya merah merona dan jantungnya terpacu lebih cepat.
”Maksudmu?”
”Kehangatan. Apa saja yang bisa membuatku hangat.” sekarang, suaranya hanya seperti desahan napas.
”Apa saja?” Gumam Pangeran Aldi, dia mengulanginya lagi di benaknya.
Kekhawatiran semakin memuncak saat tubuh Tuan Putri (namakamu) barangsur merosot dari dekapan Pangeran Aldi.
”Tuan Putri!” Pekik Pangeran Aldi, dia membenarkan kembali posisi Tuan Putri (namakamu). Sekarang dia mendekap tubuh Tuan Putri, tubuh yang semakin lama semakin dingin membuat Pangeran mempererat dekapan.
Lama sekali Tuan Putri (namakamu) terbaring di dada bidang Pangeran Aldi. Keadaan dimana mulai meredahkan kekhawatiran Pangeran Aldi saat keringat membasahi kening gadis itu. Desahan napasnya menyelbungi sekeliling leher Pangeran Aldi.
”Pa, pa..ngeran.”
”Tuan Putri.” Pengeran Aldi terkesiap, matanya menyala-nyala semangat.
Tuan Putri melingkari kedua lengannya di leher Pangeran Aldi. ”Terima kasih.” berselang dua detik, gadis itu menempelkan bibirnya ke bibir Pangeran Aldi. Lama sekali sampai keduanya merasakan sebuah sengatan kehangatan. Dan mendadak peluh membasahi hampir seluruh wajah dan leher gadis itu.
”WOY! GELI!” Suara lengkingan itu menusuk sampai ke dalam telinga Aldi, dia bisa merasakan semuanya gelap. Ada apa sebenarnya?
Seruan lainnya yang tak jelas terdengar bersamaan dengan tumpahnya air ke wajah Aldi. Air?! Aldi mengerjapkan matanya berkali-kali, wajahnya basah, ya, dan dia berusaha membenarkan penglihatannya yang kabur dengan mengusap wajahnya berkali-kali.
Belasan murid beranjak dari tempat duduk mereka. Berbagai macam tatapan tertuju pada Aldi, sebagian secara bersamaan menggeleng jijik. Aldi masih terus berusaha mengejerjapkan matanya, pandangannya masih buram.
Sesuatu yang ganjil akhirnya dia rasakan, kedua tangannya tampak melingkari sebuah pinggang seseorang dan sebelah kakinya ikut merengkuh.
”LEPASIN GUE!” Teriakan yang menggelegar berasal dari sebelah Aldi.
Aldi terkesiap untuk menoleh, betapa shock-nya dia melihat Iqbaal berada dalam pelukannya, dan yang paling menjijikan adalah Iqbaal masih mengenakan seragam basket, dan bau keringat menyengat sampai menusuk hidungnya.
”Iqbaal! Lo ngapain disini!” Hardik Aldi seraya melompat dari kursi, seperti biasa dengan wajah tak bersalahnya dia menghempsaskan Iqbaal begitu saja sampai pemuda itu terbanting ke lantai.
”Udah salah, malah nyalahin orang lain.” Salsha tidak bisa menahan untuk tidak menyindir tingkah Aldi.
Sebagian penghuni kantin terkekeh pelan, tapi itu tidak menyurutkan tatapan kurang senonoh untuk Aldi. Aldi yang masih bingung hanya bisa menggaruk-garukkepalanya yang tak gatal.

Bersambung...

Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

No comments:

Post a Comment

Situs terkait