Saturday, January 24, 2015

Cerbung Reason - Part 18

`Reason`

Part 18

Muhammad Aryanda Pacarnya Jessica Selingkuhannya Yoona Mantannya Taeyeon.

O-o-o-o-O


(Namakamu) tidak menoleh.
(Namakamu) tidak bersuara.
(Namakamu) hanya berjalan pasrah di tarik masuk ke dalam mobil oleh Bu Citra.
Senyuman pilu itu pun kembali terukir di wajah Iqbaal. Dia memandang sendu kepergian (namakamu). Memang dia akan bertemu dengan (namakamu) nanti. Tapi apakah dia bisa mendapatkan waktu yang tepat dan keberanian untuk berbicara kepada (namakamu) seperti tadi.
Melihat (namakamu) membuat Iqbaal mengingat kejadian malam itu. (Namakamu) menangis karenanya dan semua rasa sakit yang (namakamu) rasakan adalah karenanya.
Entah sampai kapan akan terus begini. Yang jelas kesakitan itu terus menjalar di dalam ruang hatinya. (Namakamu) marah, gadis itu pergi, benar-benar pergi dari hidupnya.
*
Jam istirahat sudah berakhir sekitar lima menit yang lalu, tapi Salsha dan yang lainnya masih duduk di kursi kantin yang paling pojok. Bermacam-macam bungkusan makanan ringan berserakan diatas meja mereka. Padahal berkali-kali Ibu Kantin sudah menyuruh mereka untuk membuang bungkusan makanan itu ke tempat sampah, tapi salah satu dari mereka tidak ada satupun yang bergerak untuk melakukan apa yang di perintahkan wanita tua itu.
Kiki makan kuachi dengan khidmat tanpa memperdulikan keheningan yang berlangsung. Olivia dan Iqbaal sesekali melakukan interaksi melalui gerak tubuh tanpa ada satupun yang menyadari. Sementara Salsha dan Aldi hanya menopang dagu mereka dengan wajah kelewat bosan.
”Bosen...siapa aja culik gue.” Gerutu Salsha tanpa mengalihkan pandangannya yang menusuk ke arah Aldi.
Mendengar ucapan Salsha hanya membuat Aldi tersenyum miring.
”Gue sama Olivia balik duluan ya.”
Salsha dan Aldi maupun Kiki yang konsen dengan makanannya buru-buru menolehkan wajah mereka ke sumber suara. Detik itu juga Iqbaal dan Olivia beranjak dari tempat duduk, merasa kalau mendapati tatapan-tatapanyang menyiratkan keanehan membuat Iqbaal dan Olivia sejenak mematung.
”Gausah lo perduliin nih dua bocah, mereka berdua emang sok misterius banget dari semalem.” Cibir Kiki, laki-laki itu kembali mengutatkan dirinya pada makanannya.
”Berdua? Kenapa harus berdua?” Tanya Salsha dengan nada mengintrogasi, sentak membuat Iqbaal memandangnya dengan sarkastik terbaik laki-laki itu.
”Biasanya juga kita berdua.” Jawab Iqbaal ambigu.
Dalam beberapa detik Salsha membiarkan otaknya yang minim akan kecerdasan itu berpikir. ”Aniyo, biasanya lo selalu sama (namakamu).” Celetuk Salsha sambil nyengir lebar ke arah Aldi.
Iqbaal tertawa sumbang. ”Itu kan dulu, sekarang kan (namakamu) udah sama Aldi.” Kata Iqbaal masih berusaha untuk terlihat baik-baik saja, dia menyenggol lengan Aldi sambil melontarkan cengiran khasnya.
”Bete deh ah, jangan sampe lo putus sama (namakamu), Al,” Salsha menjatuhkan wajahnya ke meja. Baik Aldi maupun Iqbaal mengangkat sebelah alis masing-masing. ”Ntar kalo lo putus bisa aja kalian jaga jarak. Nah, kalo udah jaga jarak pasti bakalan ngefek ke persahabatan ini.”
”Kayak lo sama Farrel ya?” Sahut Aldi pedas tapi yang membuatnya menyesali perkataannya adalah ketika melihat Salsha mengangguk lemah.
”Kenapa sih cinta selalu kayak gitu; penderitaanya tiada akhir.”
Dulu. Kalau kata-kata yang kurang bisa di sanggah oleh Salsha selalu menjadi bahan tertawaan teman-temannya tapi untuk saat ini teman-temannya hanya bisa diam seakan kalimat yang barusan di ucapkan oleh Salsha mengalir dan dicerna baik-baik oleh kepala mereka.
Drrt! Drrt!
Suara getaran ponsel Salsha membuat gadis itu meraih ponselnya yang ada di saku baju.
`(namakamu)`
-Gue udah balik, kok lo semua kgk ada di kls??????-
Tanpa menyuarakan pesan yang dia terima dari (namakamu), Salsha mengetik balasan dalam diam.
*
Iqbaal dan Olivia keluar dari kantin secara bersamaan dan keheningan langsung menyapa kedua manusia ini. Olivia memang sempat mengajak yang lainnya untuk masuk ke kelas namun tidak ada salah satupun dari mereka yang bergerak. Olivia tidak memaksakan. Jadi dia segera menyusul Iqbaal yang lebih dulu melangkah.
Suasana sekolah benar-benar sepi. Murid-murid yang sedang menerima materi dari guru seperti benar-benar (sok) memperhatikan. Langkah Iqbaal dan Oliviapun terkesan menggema. Dengan tangan yang saling bertautan, Iqbaal dan Olivia melangkah dalam diam.
”Kamu kenapa sih, aneh banget. Sakit?” Sudah hampir tiga jam Iqbaal menahan pertanyaan itu untuk tidak keluar dari mulutnya. Entahlah, memang itu dia rasakan sejak sedaritadi saat bersama Olivia. Gadis di sebelahnya itu tampak kaku dan gelisah. Iqbaal tidak tahu apa penyebabnya, dan jika dia bertanya, Olivia hanya menjawab 'gak pa-pa' atau hanya sekedar menggeleng.
”Gak pa-pa.” Iqbaal sudah bisa menduga apa yang akan keluar dari mulut Olivia. Iqbaal hanya bisa menggeleng pasrah dan tak berniat melanjutkan percakapan ini.
Tap! Tap! Tap!
Awalnya suara langkah kaki yang terdengar itu sangat kecil dalam artian sangat jauh, namun lama-kelamaan suara langkah itu semakin terdengar dekat sampai akhirnya yang empunya berhenti tepat di hadapan Iqbaal dan Olivia.
”Loh, kok lo bisa di sekolah?” Tanya Olivia bingung dengan kehadiran (namakamu).
”Udah selesai.”
”Gimana, susah gak? Pengumumannya kapan?”
Untuk menjawab pertanyaan kali ini, (namakamu) sediki lama, pasalnya dia harus mengatur napasnya yang terengah-engah karena harus berlari-lari di sepanjang koridor.
”Lumayan susah, sih. Pengumumannya besok,” sekuat mungkin (namakamu) untuk tidak mengerlingkan bola matanya ke laki-laki yang berdiri tepat di sebelah Olivia. Melihat bagaimana tangan mereka bertautan saja sudah membuat hati (namakamu) seperti diremas kuat-kuat. ”Lo mau kemana?” Pertanyaan (namakamu) terdengar aneh, padahalkan disebelah Olivia ada Iqbaal seharusnya dia menggunakan kata 'kalian'.
”Hmm, ke kelas.”
(Namakamu) tidak benar-benar ingin menanyakan hal itu, dia hanya ingin mengulur waktu supaya Iqbaal mengatakan sesuatu kepadanya. Seperti halnya tadi pagi, (namakamu) sangat penasaran apa yang ingin di katakan oleh Iqbaal.
”Yaudah, gue duluan ya.”
Olivia mengangguk dan detik berikutnya (namakamu) segera melenggangkan kakinya untuk meninggalkan sepasang kekasih ini. Tak lupa seulas senyuman (namakamu) sunggingkan.
*
(Namakamu) tak masuk lagi ke kelas untuk mengikuti pelajaran yang sedang berlangsung. Sesuai perkataan Bu Citra kemarin kalau dia tidak perlu membawa buku hari ini karena dia akan mengikuti lomba sampai setengah hari. Bu Citra juga mengatakan pada (namakamu) kalau dirinya juga sudah boleh pulang, akan tetapi (namakamu) malah kembali ke sekolah. Tidak mengikuti pelajaran, (namakamu) melarikan diri ke perpustakaan.
Bel berdering sebanyak tiga kali membuat (namakamu) menghentikan aktivitas membacanya. Dia meletakan buku yang ada di hadapannya pada tempatnya, sebelum akhirnya dia keluar dari perpustakaan.
Hap!
Baru saja (namakamu) ingin melangkahkan kaki ke arah kelasnya, sebuah genggaman melekat di pergelangan tangannya lalu menariknya. Awalnya (namakamu) tidak mengenali siapa murid laki-laki yang menariknya ke samping perpustakaan. Tetapi hanya membutukan waktu kurang lebih 10 detik bagi (namakamu) untuk mengenali siapa sosok laki-laki yang sekarang berada dihadapannya.
(Namakamu) merasa muak pada dirinya sendiri saat perasaan aneh itu mulai menjalar ke dalam tubuhnya.
”Maaf,” kata itu yang pertama kali (namakamu) dengar dari mulut laki-laki di hadapannya.
(Namakamu) menguatkan dirinya agar dia tidak bertingkah yang aneh-aneh, dia harus kuat, dia tidak ingin lagi terjerumus ke lubang yang sama, lubang yang membuat hidupnya terasa amat sakit.
Sebelum mengucapakan sepatah kata, (namakamu) menghela napasnya pendek. ”Untuk?” suaranya terdengar santai, walaupun (namakamu) rasa itu tidak terlalu sesuai dengan keadaan dirinya yang tiba-tiba saja mendadak lemas.
”Untuk semuanya. Maaf.”
Mata cokelat yang indah itu kembali (namakamu) dapatkan, sih pemilik mata memandang ke arah (namakamu) dengan sangat mengintimidasinya. (Namakamu) tidak tahan, dia ingin sekali untuk tidak bersikap seperti ini tapi egonya mengalahkan semuanya.
”Udah, kan? Kalau udah gue mau pulang.”
Kaki (namakamu) baru bergerak untuk mengambil langkah pertamanya tapi langkahnya harus terhenti saat Iqbaal meraih pergelangan tangannya.
”Gue belum selesai bicara.” Kata Iqbaal semakin menatap tajam ke arah (namakamu).
”Lo mau ngomong apa sih? Gak jelas banget.” Jangan nangis oon! (Namakamu) memaki dalam hati saat dia sadari cairan tolol itu mendesak pertahanan pupilnya.
”Gue gak bisa ngomong kalo lawan bicara gue gak noleh ke arah gue.” Iqbaal ragu untuk mengangkat wajah (namakamu), gadis itu menunduk gelisah.
Tapi (namakamu) tetap bersih keukeuh untuk tidak menatap ke lawan bicaranya.
”Gue tau gue jahat sama lo, (namakamu).”
”Gue gak mau lo kayak gini sama gue.”
”Gue mau (namakamu) yang dulu.”
”(Namakamu) yang selalu sama gue.”
”(Namakamu) yang gak pernah nangis.”
”(Namakamu) yang selalu ngajari gue, nasehati gue. Gue rindu sama masa-masa itu.”
”(Namakamu), maaf, maafin gue. Gue gatau harus kayak gimana lagi supaya lo maafin gue.”
”Tapi kalo apa yang lo mau adalah gue pergi dari hidup lo, sori, gue gak bisa, gue gak akan pernah bisa ngelakuin itu, gue gak bisa jauh dari lo, gue ngerasa kalo lo adalah sebagian dari hidup gue.”
Tak ada reaksi dari (namakamu). Gadis itu malah mematung. Tapi perlahan bahu (namakamu) bergetar hebat, tubuh gadis itu terguncang hingga sampai akhirnya terdengar suara sesegukan.
”Gue mohon, (namakamu), jangan nangis.”
Menyeka air matanya dengan punggung lengannya, (namakamu) menengadah dengan wajah berang.
”Lo gak mau gue nangis tapi asal lo tau, penyebab gue nangis itu adalah lo! Lo yang selalu bikin gue nangis, lo yang selalu bikin hidup gue menderita! Lo yang selalu bikinn gue sakit hati! Gue benci sama lo!
”Lo tau gimana rasanya jadi orang yang cuma bisa nonton dan kasih saran? Rasanya sakit, Baal! Itu yang gue rasain saat lo selalu cerita bahkan minta saran sama gue tentang gimana caranya supaya lo bisa jadian sama Olivia!
”Terus! Setelah lo jadian sama Olivia dan gue mulai bisa lupain lo! Dengan seenaknya lo bilang kalo lo gak mau gue pergi dari hidup lo! Lo sayang sama gue tapi lo gak bisa buktiin itu! Sayang lo semu, Baal, gak jelas,” (namakamu) tersenyum kecut.
”Gue izini lo keluar masuk dari hati gue sesuka lo! Tapi tolong, jangan berdiri di tengah-tengah pintu hati gue karena itu menghalangi orang lain buat masuk!”
Iqbaal begitu shock mendengar untuk kesekian kalinya rasa yang selama ini (namakamu) pendam. Gadis ini.....apakah dia memang merasakan hal yang sesaki itu, sampai dia tidak ingin lagi untuk kembali ke orang yang sama.
”Gue benci jadi orang lemah, gue juga butuh kebahagiaan.” Suara (namakamu) meredah, tenaganya mulai habis karena menangis sembari berteriak-teriak. Untunng saja bagian samping perpustakaan ini adalah jalan buntu, jadi tak membuat murid-murid mendengar perdebatan mereka apalagi melihatnya.
”Gue bakalan buktiin sama lo, kalo gue bener-bener sayang sama lo,” Iqbaal mendekatkan wajahnya sambil menyibak beberapa rambut yang menutupi wajah (namakamu). ”Gue bakalan mengakhiri hubungan gue sama Olivia. Demi lo.”
Plak!
Wajah Iqbaal menggeser sedikitnya 30' dari posisi semula. Sebuah tangan tiba-tiba saja melayang menghantam wajahnya dengan keras. Awalnya, Iqbaal pikir (namakamu)lah yang melakukan itu kepadanya tapi saat manik matanya bergerak kesudut, Iqbaal mendapati Olivia berdiri di dekatnya dengan air mata yang sudah membasahi wajahnya.
”Kalo mau nyakitin gue bukan kayak gini caranya. Lo bukan cuma nyakitin gue tapi lo bakalan ngehancuri persahabatan ini!” Meskipun mata Olivia yang merah itu mengeluarkan airmata sudah cukup untuk menggambarkan betapa sakitnya dia saat ini, Olivia berusaha untuk tidak bertingkah seperti (namakamu), (namakamu) tampak seperti orang yang baru saja ingin di bunuh hidup-hidup. ”Kalo itu mau lo, gue terima, hubungan kita selesai.”
Olivia melangkah pergi begitu saja, dia sengaja untuk tidak melakukan kontak mata pada (namakamu). Karena sungguh, Olivia merasa kalau dia tidak ingin meluapkan amarahnya kepada gadis itu juga.
”Udah gak ada yang perlu di bicarain lagi kan?” Tanya suara parau pada (namakamu), yang jelas itu bukan suara milik Iqbaal bahkan Olivia.
”Al..”
”Gue tau lo capek habis lomba tadi, gue gak mau lo sakit, mending sekarang kita pulang.” Aldi. Ya, laki-laki itu tampak aneh dengan suara yang bergetar hebat. Dia menarik tangan (namakamu), meninggalkan Iqbaal yang mematung seorang diri.

Bersambung...


Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

Cerbung Reason - Part 17

`Reason`

Part 17

Muhammad Aryanda.

O-o-o-o-O

(Namakamu) tak terlalu mendengarkan perkataan yang keluar dari mulut Iqbaal tapi dia menangkap intinya. Sedari tadi (namakamu) di sibukan dengan memandang wajah laki-laki di hadapannya, setiap detiknya rawut wajah Iqbaal berubah sampai akhirnya mata laki-laki itu mulai mengkilap bening karena air mata yang berlomba-lomba ingin keluar.
Tangan Iqbaal bergerak meraih tangan (namakamu) dan meletakan tangan (namakamu) ke dadanya. Ia rasakan telapak tangan (namakamu) yang hangat.
”Gue gak tau sejak kapan rasa itu hadir, rasa itu hadir secara tiba-tiba tanpa gue tau.”
(Namakamu) tertegun, dia diam dengan waktu yang begitu lama. Telapak tangannya yang tergeletak di dada itu merasakan sesuatu. Ada yang berdetak di dalam sana dengan ritme yang tak wajar..
*
”..yang bener lu? Masa sih, gue gak percaya. Mereka kan temenan malah udah lama banget.”
”Bener! Kalo lo gak percaya tanya aja langsung sama sih (namakamu).”
”Gue bener-bener gak nyangka.”
”Tapi mereka cocok.”
”Menurut gue sih engga. (Namakamu) cocoknya sama sih Iqbaal!”
”Tapi nyatanya (namakamu) jadian sama sih Aldi.”
”Feeling gue sih cuma sebentar.”
”Doa lo nyet! Gak bagus banget!”
Percakapan singkat itu perlahan mulai tidak terdengar lagi di telinga Iqbaal. Kedua gadis yang berjalan di depannya sudah masuk ke dalam kelas mereka. Percakapan kedua gadis itu seakan membuat masalah baru di kehidupannya.
Iqbaal menggeram kesal tanpa sadar kedua tangannya yang berada di sisi tubuhnya sudah mengepal. (Namakamu) sudah bersama Aldi? Iqbaal tidak habis pikir kalau (namakamu) setega ini dengannya. Tega? Iqbaal rasa kata itu tidak pantas di lontarkan kepada (namakamu), mungkin lebih pantas untuknya.
Langkah Iqbaal sekarang terkesan begitu lambat bahkan beberapa kali sampai menabrak para murid-murid yang melintas di koridor ini. Iqbaal terlalu sulit menerima kenyataan ini. Ada sesuatu yang teramat sakit yang dia rasakan saat mengingat-ingatkembali percakapan kedua gadis tadi.
(Namakamu) jadian sama Aldi.
*
”Kita mau kemana lagi sih?” Suara (namakamu) terdengar kesal, dan memang itu kenyataanya. Dia sangat kesal dengan keempat temannya yang sekarang sedang membawanya ke halaman sekolah. Apalagi yang akan di lakukan orang-orang ane ini kalau bukan membolos.
”Lo gak inget, kalo hari ini itu hari pertandingan Iqbaal! Ya kali kita gak nonton.”
Pertandingan Iqbaal? (Namakamu) terdiam sejenak. Kenapa dia bisa lupa dengan pertandingan penting ini? Padahalkan kemarin dia baru saja akan berencana untuk menontonnya meskipun tidak tahu bagaimana caranya.
”Tapi gue takut kena hukum sama Bu Citra lagi.” Kata (namakamu), sesaat dia teringat dengan kejadian terakhir kali mereka membolos. Dan hukuman yang mereka dapatkan dari Bu Citra memang tidak terlalu sulit tapi kan mereka juga sempat kena semprot sama wanita itu.
”Yaelah, ngapain sih lo takut. Kan kenanya bareng-bareng. Lagian ya, Bu Citra hari ini gak masuk.” Perkataan Salsha lebih mengarah seperti setan yang menghasut manusia suci.
(Namakamu) baru saja ingin merenungkan lagi rencana teman-temannya namun suara gedebuk langsung mengaggetkannya.
”Loh, Al, kok bawa tas segala?” Tanya (namakamu) begitu melihat Aldi sudah berada di sebelahnya. Suara gedebuk itu berasal dari tas milik Aldi dan miliknya yang terlempar ke sebrang pagar.
”Nanggung banget, (namakamu). Bentar lagi pulang, jadi sekalian aja bawa tas.” Aldi nyengir sambil mengacak-ngacaklembut rambut (namakamu).
”Al! Al! Al! Rok gue nyangkut!” Seruan Salsha membuat (namakamu) menoleh ke arah gadis yang tengah memanjat pagar besi setingggi dua meter itu. Dan yang membuat (namakamu) tertawa adalah bagaimana tangan Salsha menarik rambut Aldi dengan biadab.
”Sakit, bego!” Geram Aldi seraya menepis tangan Salsha, dan membuat gadis itu hampir terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Tapi Aldi juga membenarkan rok Salsha yang tersangkut. Setelah melihat Salsha melompat dan mendarat tanpa keseleo, Aldi mengalihkan pandangannya ke arah (namakamu).
(Namakamu) mendesah. Seakan mengerti apa maksud dari tatapan Aldi, dia mulai mengangkat tangannya untuk meraih besi pagar yang bisa di jadikan untuk penahan dirinya agar bisa mencapai puncak. Dan untuk mencapai puncak tidak terlalu sulit, mungkin karena pagar ini sudah hampir melekat dalam pikiran bodoh (namakamu). Sementara (namakamu) memanjat pagar, Aldi denga sabarnya menunggu supaya gadis itu menyelesaikannya dengan tidak ceroboh. Aldi masih diam mematung sambil berjaga-jaga kalau saja (namakamu) akan jatuh dia akan sesigap mungkin menangkapnya. Terdengar lebay, tapi tidak menjadi sebuah masalah bagi Aldi. Karena (namakamu) sekarang adalah kekasihnya.
*
”Udah berapa berapa?” Pertanyaan yang keluar dari mulut Salsha dia berikan kepada gadis asing, yang sama sekali tidak dia kenali. Tapi masa bodoh dengan itu, kalau tidak begitu Salsha mau bertanya dengan siapa lagi? Hanya kelima manusia berani mati ini yang notabenenya adalah murid Tunas Bangsa, sisanya adalah Murid SMA GARUDA.
”75-45 untuk Tunas Bangsa,” Jawab gadis itu dengan seutas senyum. Sepertinya gadis bername tag 'Yuri Trinadia Oktaviani' itu mendukung tim basket Tunas Bangsa.
”Yes!!” Kata Salsha semangat. ”Setelah ini gue pasti bakalan di traktir sama Iqbaal.” Tambahnya tanpa berusaha untuk memelankan volume suara. Gadis di sebelah Salsha hanya tersenyum kecil tatkala melihat reaksi Salsha.
Tapi saat menyadari seragam sekolah yang di pakai oleh Salsha, gadis itu mengangkat sebelah alisnya. ”Lo dari SMA Tunas Bangsa?” Tanyanya.
Salsha yang sedang menyaksikan pertandingan harus mengalihkan pandangannya. Dia mengangguk tanpa bersuara.
”Bukannya sekarang masih jam belajar ya? Terus kenapa lo bisa ada disini?” Pertanyaan yang keluar dari mulut gadis disebelahnya itu membuat Salsha tersenyum bodoh, namun terselip kebanggan disenyumnya.
”Emang sih, tapi gue mau liat petandingan ini.” Jawab Salsha singkat.
Setelah itu keduanya saling diam, mereka di sibukan dengan pertandingan yang masih berlangsung. Tapi pertandingan yang berlangsung itu tak membuat gadis di sebelah Salsha nyaman karena gadis itu selalu saja menoleh ke arah Salsha saat Salsha histeris untuk berteriak, mengumpat, bahkan terkadang dia tertawa keras-keras karena salah satu pemain dari lawan sekolahnya melakukan tindakkan ceroboh.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, tim cheers akan tampil saat babak Final. Dan hal itu yang membuat Salsha harus melakukan tindakkan yang tidak patut di contoh ini.
Pertandingan selesai. Dan itu membuat Salsha berhenti mencak-mencak.
”Yang lain mana?” Seorang laki-laki berseragam basket warna merah-hitam menghampiri Salsha. Dia meneguk air mineral pemberian panitia dengan cepat, dalam waktu singkat air dalam botol itu sudah kosong.
Salsha bergidik melihat itu. ”Mereka di belakang, rame banget.”
”Tapi lo kok bisa sampe disini?” Iqbaal heran dengan Salsha yang berdiri paling depan. ”Atau lo berdiri disini cuma kepengan liat yayank Farrel?” Buru-buru Iqbaal menyipitkan matanya begitu dia teringat dengan sosok Farrel.
”Lo gak perlu tau. Yang perlu lo tau ntar malem lo harus traktirrrrr kitaaaa!!!! Dan asal lo tau gue gak kenal sama yang namanya FARREL!”
Iqbaal tersenyum miring lalu melempar handuk yang ada di bahunya ke wajah Salsha, kemudian melangkah gusar meninggalkan Salsha.
”Iqbaaal! Kurang ajar banget lo! Baukkk nyet!!!!” Salsha tidak peduli dengan dirinya yang sekarang menjadi objek para murid Garuda. Lagipula Salsha memang tidak pernah peduli dengan orang di sekitarnya kalau dia sedang melakukan kegilaannya.
”Dia temen lo? Atau pacar?” Salsha sedikit kaget mendengar pertanyaan yang lagi-lagi keluar dari mulut gadis disebelahnya. Gadis itu belum pergi berarti dia dari tadi menyaksikan percakapan singkat Salsha dan Iqbaal.
”Pacar?” Samar-samar kening Salsha berkerut. Memangnya tingkahnya tadi mencerminkan kalau dirinya adalah pacar Iqbaal? Salsha menggeleng. ”Bu-bukan. Dia sahabat gue doang, sih.”
”Oh, sahabat.”
”Hmm, Yuri, gue balik dulu ya.” Salsha agak lupa dengan nama gadis sebelahnya, jadi dia menyipitkan matanya ke arah nametag gadis itu.
Yuri mengangguk dan sedetik kemudian dia melihat Salsha pergi meninggalkannya.
*
Seharusnya Iqbaal senang karena pertandingan pertamanya berjalan dengan sempurna tanpa cacad sedikitpun. Tapi kenapa Iqbaal merasa kalau dia tidak merasakan kesenangan itu, entahlah, yang jelas ketenangannya semakin terganggu saat melihat (namakamu) duduk berdua bersama Aldi di sofa. Sesuai rutinitas yang sering dia lakukan, Iqbaal selalu mengadakan pesta kecil-kecilan di kosannya atas keberhasilannya.
(Namakamu) belum mengucapkan selamat kepadanya. Dan Iqbaal ingin sekali mendengar gadis itu mengucapkan selamat kepadanya, meskipun terdengar aneh, Iqbaal benar-benar menginginkannya. Tapi sepertinya keinginannya itu tidak akan terjadi, karena (namakamu) selalu di sebelah Aldi.
”Oi! Bengong aja lo!” Salsha datang dari belakang Iqbaal dengan maksud mengaggetkannya, tapi apapun yang di harapkan Salsha tidak sesuai.
”Apa sih lu.”
”Muka lo kusut banget. Senyum dong,” Salsha gemas dengan wajah jutek Iqbaal, jadi dia meletakan tangannya ke ujung mulut Iqbaal untuk membuat sebuah senyuman. ”Nah, gitu kan bagus.”
Iqbaal rasa gadis ini benar-benar gila karena insiden putus dengan Farrel. ”Kasian gue sama lo.” Celetuk Iqbaal seraya menghancurkan topi bodoh yang tersangkut di kepala Salsha.
”Wae?”
”Jangan jadiin gue pelampiasan ke galauan lo ya, karena gue gak bakal naksir sama cewek abnormal kayak lo!” Dengan sekali gerakan, Iqbaal menghadiahi sebuah ketukan pelan di kening Salsha dengan telunjuknya.
Sikap ramah Salsha berubah seketika. Tanpa mikir panjang, dan memang Salsha tidak pernah mikir panjang, tangan Salsha yang sudah terkepal itu melayang dengan mulus ke perut Iqbaal.
”Jangan ge-er ya lo, gue juga gak bakal naksir sama lo, kurus!”
”Perut gue,” ringis Iqbaal. Laki-laki itu sampai membungkuk sambil memegangi perutnya.
Salsha menghiraukan apa yang terjadi dengan laki-laki di hadapannya. Salsha segera melenggangkan langkahnya ke ruang utama.
*
”Bocahh!!! Lo keren banget tadi!!! Tapi sayangnnya gue gak bisa liat jelas karena kita datengnya terlambat!” Kiki sampai lompat-lompat tidak jelas dengan keadaan sambil ngunyah makanan.
”Tapi lo cuma ngegolin dikit! Gak kayak tahun kemarin! Payah!” Sekali lagi. Tanpa mikir panjang Salsha memukul perut Iqbaal dengan sekenaknya.
”Gue gak tau mau bilang apa lagi, kayaknya semua kata-kata pujian udah kita bilang sama lo di perjalanan pulang tadi.” Aldi nyengir kepada Iqbaal.
”Lo...keren.” Hanya itu yang keluar dari mulut (namakamu). Dan itu membuat orang-orang di ruangan ini menolehkan wajahnya kepada (namakamu). Selain ucapan (namakamu) yang terdengar freak, juga bagaimana ekspresi wajah (namakamu) yang kelihatan tidak semangat. Padahal tahun kemarin suaranya hampir setara dengan Salsha.
”Lo sakit, (namakamu)?” Tanya Aldi. Ekspresi khawatir langsung terpancar di wajahnya, dia meraih tangan (namakamu) dan menggenggamnya.
(Namakamu) menggeleng. ”Gue cuma...kekenyangan doang. Mungkin.” Jawabnya menunduk. (Namakamu) menjaga sebisa mungkin agar dia tidak bertemu pandang dengan Iqbaal, (namakamu) tidak ingin melihat mata itu untuk saat ini, terlalu sakit membayangkan kejadian malam itu.
•Flashback On•
”Gue yakin ini belum sesakit apa yang lo rasain selama ini,” Ucap Iqbaal sambil menjatuhkan tangannya dan memandang (namakamu) dengan sikap menunggu. Menunggu gadis itu melakukan tindakkan yang lain. ”Gue tau, (namakamu) kalau gue egois. Gue kayak gini ada alasannya, gue gak mau lo pergi dari hidup gue. Lo tau gue sayang dan cinta sama Olivia, tapi asal lo tau, perasaan gue lebih dari itu ke elo. Gue gak mau nantinya lo tersakiti lebih dari ini kalo punya hubungann kusus sama gue, gue gak mau (namakamu), gue gak mau kehilangan lo, gue mau hubungan gue sama lo tetep kayak gini. Sebesar apapun sayang gue sama Olivia, sayang gue lebih besar sama lo, hal itu yang ngebuat gue kayak gini. Gue takut, takut banget kalo lo pergi dari hidup gue.”
(Namakamu) tak terlalu mendengarkan perkataan yang keluar dari mulut Iqbaal tapi dia menangkap intinya. Sedari tadi (namakamu) di sibukan dengan memandang wajah laki-laki di hadapannya, setiap detiknya rawut wajah Iqbaal berubah sampai akhirnya mata laki-laki itu mulai mengkilap bening karena air mata yang berlomba-lomba ingin keluar.
Tangan Iqbaal bergerak meraih tangan (namakamu) dan meletakan tangan (namakamu) ke dadanya. Ia rasakan telapak tangan (namakamu) yang hangat.
”Gue gak tau sejak kapan rasa itu hadir, rasa itu hadir secara tiba-tiba tanpa gue tau.”
(Namakamu) tertegun, dia diam dengan waktu yang begitu lama. Telapak tangannya yang tergeletak di dada itu merasakan sesuatu. Ada yang berdetak di dalam sana dengan ritme yang tak wajar..
Tapi apapun yang keluar dari mulut Iqbaal berikutnya membuat seluruh saraf (namakamu) seakan berhenti bekerja. (Namakamu) seakan lumpuh detik itu juga.
”Gu-gue gak bakal bisa jadi apa yang seperti lo mau, (namakamu), karena Olivia....udah jadi pacar gue.”
•Flashback Off•
Sungguh (namakamu) tidak ingin mengingat kejadian malam itu. Ingin rasanya dia melupakan kejadian malam itu. Ingin rasanya (namakamu) mengubur kenangan menyakitkan malam itu. Tapi apa? Nyatanya kejadian malam itu masih melekat jelas di kepalanya, nyaris membuatnya tidak tenang sampai saat ini. Hancur! Itu yang (namakamu) rasakan kemarin, hari ini dan esok.
”Sayang banget Olivia pulang duluan,” Gerutu Salsha, gadis yang malam ini mengenaka baju kaso berwarna biru muda itu baru saja keluar dari dapur sambil membawa toples yang berisi kue-kue kering. ”Berasa ada yang ganjil.”
Keempat teman Salsha hanya menolehkan wajahnya ke arah gadis itu tanpa mengucapkan sepatah katapun. Mungkin Salsha terlalu berlebihan, ini kan hanya pesta kecil, dan belum tentu juga tim basket sekolah mereka menang. Kecuali kalau Olivia tidak hadir saat pesta yang di laksanakan berkat keberhasilan tim basket sekolah yang memenangkan pertandingan tahun ini.
”Geser dikit dong! Pacaran mulu.” Agaknya Salsha membenci keheningan yang tercipta di antara mereka. Jadi dia hanya ingin bermaksud membuat rusuh untuk mencairkan keheningan ini. Salsha menjatuhkan tubuhnya di antara Aldi dan (namakamu, membuat dia sekarang duduk di antara Aldi dan (namakamu). ”Tukar dong! Paan sih pilm gak enak kayak gini di tonton!” Katanya dengan wajah kesal, lalu Salsha menyambar remote televisi dan menekan tombol remote sekenaknya.
”Rusak! Oon!” Semprot Aldi.
”Bukan punya lo!” Balas Salsha tanpa mengalihkan pandangannya.
”Ini anak keras kepala banget.”
”Emangnya punya lo? Iqbaalnya aja gak marah. Huu!”
Detik itu juga yang empunya nama muncul dari kamar dan berjalan mendekat ke sofa. Iqbaal agak sedikit bingung kemana dia harus duduk karena sofa itu sudah penuh, dengan posisi Aldi dan Salsha yang begitu rapat. Sementara (namakamu) duduk agak berjauhan dengan kedua manusia itu. Iqbaal sempat memandang ke arah (namakamu), dan mendapati (namakamu) tidak sedang melihat ke arahnya.
Dan Iqbaall langsung memutuskan untuk duduk di lantai, tepat di hadapan Salsha dan Aldi.
Bugh!
Baru saja dia terduduk di lantai dingin itu, kaki Salsha dengan ganasnya menendang ke punggungnya. Iqbaal meringis lalu mengerlingkan tatapan membunuh ke Salsha, sayangnya gadis itu tidak sedang melihat ke arahnya karena Salsha sedang melakukan aksi gilanya yaitu rebutan remote tivi dengan Aldi.
Iqbaal menghela napas pendek dan menggeser agak ke depan tapi belum lima detik dia duduk disitu, sebuah benda padat menghantam kepalanya. Benda yang tidak lain adalah remote tivi yang sedang menjadi bahan incaran Salsha dan Aldi menghantam kepalanya.
”Lo berdua bisa diem gak sih!” Suara itu bukan dari mulut Iqbaal, malainkan keluar dari mulut seorang laki-laki berbadan gempal. Dia keluar dari kamar Iqbaal sambil membawa bantal dan permadani kecil. Tapi apa yang dia katakan sama sekali tak di dengarkan oleh Salsha dan Aldi. Kedua manusia itu masih saja saling gebuk-menggebuk(?)
Kiki menggeleng tak habis pikir. ”Baal, minggir dong.”
”Ntaran napa, Ki.” Kata Iqbaal dengan suara lemah gemulai, belum lagi dengan cara duduknya yang memeluk lututnya.
”Halah! Gue udah ngantuk.” Tanpa memperdulikan Iqbaal yang masih duduk di tempatnya, Kiki membentang permadani itu.
”Yaelah, masih juga jam sembilan.”
”Tapi gue udah ngantuk. Udah ngantuk capek perasaan lagi.”
Tiba-tiba ruangan yang tadinya heboh karena ulah Salsha dan Aldi mendadak sepi. Aldi maupun Salsha menghentikan kegilaann mereka, dengan posisi tangan Aldi yang memiting kepala Salsha, sedangkan (namakamu) dan Iqbaal hanya memandang ke arah Kiki dengan sikap ingin tahu apa maksud kalimat terakhirnya.
”Lo semua...kenapa sih?” Padahal Kiki baru saja ingin membaringkan tubuhnya. ”Ada yang salah sama ucapan gue?”
Serempak semuanya menggeleng tapi tak urung untuk menatap aneh ke arah Kiki.
”Sok misterius banget lo pada,” ujar Kiki sambil membanting pelan badannya. ”Lo minggir ngapa sih, Baal, udah gue tidurnya di bawah lonya malah nyempitin.” Kiki kesal dengan Iqbaal karena laki-laki itu tak kunjung beranjak, jadi Kiki menendang-nendang kaki Iqbaal sampai Iqbaal benar-benar beranjak.
”Perasaan gue yang punya rumah, kenapa gue yang di perlakukan kayak gini sih.” Gerutu Iqbaal seraya beranjak dan tanpa berpikir panjang dia duduk di sofa tepat di sebelah (namakamu).
”Aduh, Al, sakit! Leher gue patah nih!”
”Ssh, bodoh amat, perut gue sakit banget gara-gara lo tonjok.”
”Aduh, aduh, lepas!” Salsha sudah tidak tahan lagi, dia mencak-mencak seperti gadis gila.
”Udah sih, Al, lepas aja.” Kata (namakamu) dengan suara yang kelewat lembut.
”Perut gue sakit, (namakamu).”
”Tapi leher Salsha bisa patah.”
Akhirnya Aldipun melepaskan Salsha yang sejak tadi berada dalam pitingannya.
”Leher gueeeee..merah-merah gini, gara-gara lo sipit!”
”Wle.” Seakan tak ingin memperpanjang perdebatan, Aldi hanya memeletkan lidahnya.
”Lo kalo kayak gitu mirip peliharaan tetangga gue.” Seketika Aldi langsung mengekspresikanwajah datarnya. Aldi ingat betul dengan tetangga Salsha yang memelihara seekor anjing.
”Filmnya keren.” Aldi memalingkan wajahnya ke arah tivi dengan sikap seakan tak mendengar perkataan Salsha yang barusan.
Dan Salsha juga ikut memalingkan wajahnya ke arah tivi. Lalu dia berkomentar tentang film yang sedang terlihat di layar tivi.
”Gue udah seratus kali nonton 'Bad Boy'”
”Bodoh amat, yang penting filmnya seru.”
”Norak.”
”Terserah gue.”
”LO BERDUA BISA DIEM KAGAK SIH!!!” Teriakan yang lebih terdengar seperti raungan seekor singa langsung membuat Aldi dan Salsha diam seperti sebuah patung. Punggung mereka mendadak tega dan mata yang mengarah fokus ke layar tivi.
Begitu tak terdengar suara apa-apa lagi, Kiki kembali membaringkan tubuhnya. Detik selanjutnya hanya ada suara televisi.
(Namakamu) memandang ke arah Aldi dan Salsha secara berganti, sekarang kedua manusia itu benar-benar seperti patung yang bernyawa. Mereka diam dan fokus ke televisi. Menghela napasnya, (namakamu) menjatuhkan punggungnya lebih dalam ke sofa, tapi sesaat kemudian (namakamu) merasakan tubuhnya menegang begitu dia rasakan punggungnya beradu dengan lengan Iqbaal. Dan karena itu, (namakamu) menoleh ke pemilik lengan yang ada di sebelahnya. Entah kebetulan atau tidak, laki-laki itu juga sedang melihat ke arahnya.
Wajah tanpa ekspresi dan tatapan dingin yang Iqbaal dapatkan dari (namakamu). Gadis itu cepat-cepat mengalihkan pandangannya seolah tidak ingin bertatapan lama-lama dengannya.
Apa sekarang (namakamu) sebenci itu padanya? Iqbaal benar-benar tak habis pikir kalau (namakamu) akan bertingkah seperti ini kepadanya, seakan-akan dirinya adalah musuh.
Iqbaal tahu kalau (namakamu) merasa tidak nyaman berada di dekatnya, jadi dia menyingkirkan lengannya dari punggung (namakamu).
Sampai kapan keadaaan seperti ini akan bertahan di antara mereka? Iqbaal mendesah saat memikirkan itu dan (namakamu) merasakannya.
*
”Good luck, (namakamu)! Semoga lo berhasil!”
”Yup! Semoga lo berhasil menjawab semua soal-soal yang menurut gue gampang banget. Gue tau lo lebih pinter dari sih Newton, sih Albert ato sih Edison itu.”
”Gue dari kemarin-kemarinudah doain lo! Semoga berhasil! (Namakamu)nya Aldi.” Olivia terkekeh saat mengucapkan akhir kalimatnya.
Baik Aldi maupun (namakamu) langsung tersipu mendengar ucapan Olivia. Tapi yang paling tersipu sepertinya (namakamu), gadis itu sampai menunduk dan menggenggam tangan Aldi. Belum lagi wajahnya yang mendadak merah merona membuat Salsha terkekeh geli.
”Aduh, pantesan aja (namakamu) lama, ternyata ngegosip dulu sama kalian.” Bu Citra datang dan langsung menyemprot pedas teman-teman (namakamu), hal itu tak urung membuat Salsha langsung mengumpat dalam hati. ”(Namakamu), ayo, nanti telat.” Sambil melirik jam di tangannya,n Bu Citra menyambar tangan (namakamu) dan menghambur begitu saja.
(Namakamu) melambai-lambaikan tanganya seperti anak kecil kepadanya.
Tapi sadarkah (namakamu) kalau ada seorang lagi yang belum memberinya semangat untuk perlombaanya kali ini. Kalau dulu dia yang paling heboh saat laki-laki itu sedang mengikuti turnamen basket, begitupun juga laki-laki itu yang selalu heboh dan yang paling banyak mengucapkan kata-kata penyemangat kepadanya di saat-saat seperti ini. Tapi sepertinya apa yang ada di tahun kemarin tidak akan terulang lagi di tahun ini.
Bruk!
”Kalau jalan liat-liat kali, Baal.” Kata Bu Citra sinis kepada murid laki-laki yang baru saja datang dan menabrak murid perempuan yang sedang bersamanya.
”Ya, maaf, bu, saya jalannya gak liat-liat.” Iqbaal yang memang sedaritadi jalananya menunduk buru-buru menengadahkan kepalanya saat dia sadar kalau dia menabrak seseorang. Dan ketika dia menengadah, dia mendapati Bu Citra dan (namakamu). Melihat (namakamu), Iqbaal langsung teringat dengan olimpiade yang akan di laksanakann gadis ini hari ini.
”Kenapa bengong? Buruan masuk. Udah bel.”
Iqbaal mengangguk tapi kakinya tak kunjung bergerak. Dia belum mengucapkan apa-apa pada (namakamu), dan apa dia harus mengucapakannya?
”Bu, saya boleh bicara sama (namakamu) sebentar?” Padahal baru dua hari Iqbaal tidak menyebutkan nama gadis itu, namun seakan dia sudah tak pernahh melafalkan nama gadis itu selama berbulan-bulan.
(Namakamu) terkesiap saat Iqbaal menyebut namanya dengan lantang.
”Aduh, gak ada waktu lagi, udah telat. Kayak nanti gak ketemu aja.”
Sebuah mobil avanza berhenti di hadapan mereka bertiga, dan sepertinya itu adalah mobil yang akan mengantarkan (namakamu) ke Sekolah Garuda, tempat dimana perlombaan akan berlangsung.
(Namakamu) tidak menoleh.
(Namakamu) tidak bersuara.
(Namakamu) hanya berjalan pasrah di tarik masuk ke dalam mobil oleh Bu Citra.
Senyuman pilu itu pun kembali terukir di wajah Iqbaal. Dia memandang sendu kepergian (namakamu). Memang dia akan bertemu dengan (namakamu) nanti. Tapi apakah dia bisa mendapatkan waktu yang tepat dan keberanian untuk berbicara kepada (namakamu) sepertii tadi.
Melihat (namakamu) membuat Iqbaal mengingat kejadian malam itu. (Namakamu) menangis karenanya dan semua rasa sakit yang (namakamu) rasakan adalah karenanya.
Entah sampai kapan akan terus begini. Yang jelas kesakitan itu terus menjalar di dalam ruang hatinya. (Namakamu) marah, gadis itu pergi, benar-benar pergi dari hidupnya.

Dan..

Bersambung


Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

Cerbung Reason - Part 16

`Reason`

Part 16

Muhammad Aryanda.

O-o-o-o-O

`Tak apa jika kamu tak mencintaiku
Jika aku hanya dapat menatapmu, itu tidak menjadi sebuah masalah.`
(Namakamu) memejamkan matanya. Dia mendapatkan jawabannya sekarang. Jadi dugaannya benar kalau Iqbaal memang tidak menyukainya. (Namakamu) ingin berteriak tapi dia bisa apa, dia hanya bisa diam di perlakukan seperti ini. Apakah cinta memang sekejam ini? Kalau disuruh memilih, (namakamu) sangat menginginkan hatinya berlabuh ke hati yang lain. Tapi sungguh, itu tidak bisa.
(Namakamu) tersedak, saat menyadari kalau dinding pupilnya sudah tidak sanggup menahan air mata yang sudah berlomba-lomba ingin keluar. Akhirnya air mata itu keluar juga, (namakamu) menangis, sesegukan, dia menghiraukan segala apapun yang ada disini, biar saja dia menangis di depan Iqbaal, (namakamu) tidak perlua berlagak sekuat lagi sekarang. Dia benci kalau terus menjadi orang yang terlemah di dunia ini. (Namakamu) menangis sampai badannya bergetar hebat membuat Iqbaal memeluknya lebih erat.
'Lo jahat, Baal. Lo gak pernah mikir perasaan gue.'
*
”Semua cowok itu sama aja! Mereka brengsek! Gak punya otak! Kalopun punya paling di dengkul!” Salsha berteriak marah, dia benar-benar benci dengan makhluk tuhan yang katanya akan menjadi pelindung untuk seorang wanita.
Salsha terus mengobrak-ngarbrik kamarnya, menghiraukan seruan Bi Sum yang memang selalu histeris kalau Salsha habis putus dengan pacarnya. Siapapun itu. Yang mengenal Salsha sangat tahu bagaimana kelakuan Salsha sehabis putus dengan pacarnya.
Salsha menyambar boneka beruang setinggi pinggangnya lalu melempar boneka itu keluar jendela. Masa bodoh dengan pemberian Farrel itu, semua kenangan bodoh itu akan segera Salsha lenyapkan walaupun hati kecilnya masih mengharapkan.
Apa yang harus Salsha lakukan? Kalau begini terus dia bisa pegal karena terus bolak-balik dan teriak seperti gadis gila. Dan kenapa ya, cinta mampu membuat orang yang ber-IQ tinggi—seperti dirinya—menjadiautis seperti ini. Ini benar-benar menyebalkan.
”Ya kali gue ngambek gak ada yang liatin! Terus siapa yang merhatiin gue! Aaaa!!! Stres gue!” Salsha berteriak lagi sambil membanting badannya ke tempat tidur. Dia menghiraukan teriakan Bi Sum di lantai satu, yang mengkhawatirkandirinya.
Sejurus kemudian, Salsha menyambar ponsel yang berada di sebelahnya. Dia membaca list kontak sambil berpikir siapa yang seharusnya dia hubungi dalam keadaan seperti ini. Salsha menggeser kebawah dan keatas secara berulang kali saat matanya tertuju dengan Kontak Aldi. Dia menimbang-nimbang haruskah dia menghubungi laki-laki itu? Tapi sesaat kemudian Salsha langsung menggelengkan kepalannya. Bagaimana kalau Aldi sedang bersama (namakamu? Salsha tak ingin menggangguk pedekatan Aldi dan (namakamu).
Kontak Aldi dia lewatkan, dia menggeser lebih kebawah. Dan menemukan Kontak Iqbaal. Iqbaal? Bolehlah. Salsha menekan tombol hijau seraya mendekatkan ponsel ke telinganya.
'Nomor yang Anda tuju sedang...' Sebelum operator itu menyelesaikan ocehannya, Salsha sudah lebih dulu menutup sambungan. Salsha kembali men-scroll List Kontaknya. Dia melewatkan Kontak (namakamu) dan Olivia. Olivia pasti sedang les, dan sisanya adalah Kiki.
Tanpa banyak tingkah Salsha segera menekan tombol hijau lalu mendekatkan ponselnya ke telinga.
'Nomor yang Anda...'
Salsha seperti kebakaran jenggot saat mendengar suara operator. Gadis itu menelungkupkan wajahnya di bantal, dia mengerang, berteriak sambil menarik sejumput rambutnya keras-keras.
*
”Bi, ini tolong di bawa ke meja mekan.” Seorang wanita berusia sekitar 35 tahun menyerahkan sepiring daging panggang kepada wanita yang di panggil 'Bi' itu.
Sudah hampir tiga jam dia berkutat di dapur dengan berbagai macam alat masak serta bahan-bahan memasak. Aktivitas seperti ini sudah lama tidak dia lakukan, dan penyebabnya mengulang aktivitas lamanya ini adalah karena hari ini adalah ulang tahun Suaminya tercintakh.
Wanita itu melepaskan celemeknya, lalu berjalan keluar dapur dengan senyum yang terus mengembang sedari tadi. Tepat saat dia menapakkan kakinya di ruang utama, pintu terbuka memperlihatkan seorang anak laki-laki berwajah kusut masuk dengan langkah yang sengaja di percepat.
”Al, kok baru pulang. Loh itu mukanya kenapa?” Wanita itu mempercepat langkahnya ke arah anaknya—Aldi—yang sepertinya ingin menghindarinya.
”Gak pa-pa, Ma,” Aldi tak menghentikan langkahnya dia terus melangkah sampai kakinya menaiki anak tangga.
”Kamu gak berantem kan?” Wanita itu bertanya was-was. Dia memandang anak semata wayangnya itu dengan ibah.
Aldi menggeleng tanpa menatap Mamanya. ”Mama udah beli kado apa?” Tanya Aldi alih-alih untuk mengalihkan topik.
”Udah dong,” jawab Mamanya semangat. ”Eh, tunggu, kamu habis darimana? kenapa pulangnya lama banget.”
”Tempat Iqbaal.” Anak tangga terakhir Aldi langkahi, dia berjalan sedikit melambat saat jarak kamar dan dirinya sudah tidak jauh lagi.
”Dan muka kamu?”
Aldi segera menolehkan wajahnya ke arah Mamanya dengan tatapan 'kenapa-dibahas-lagi?'
”Tawuran!” Menarik kenop pintu kamarnya, Aldi melangkah masuk tapi sebelum sempat Mamanya ikut masuk, Aldi sudah buru-buru menutup pintu dan menguncinya.
”Aldi!!” Mamanya berteriak histeris. ”Kan Mama udah berkali-kali memperingati kamu! Jangan sampe kamu terlibat sama hal yang namanya TAWURAN! Buka pintunya! Mama mau liat luka kamu!”
Aldi benar-benar menghiraukan teriakan Mamanya. Mendengarnya saja sudah membuat kepala Aldi ingin meledak bagaimana kalau Aldi menanggapi wanita itu. Hahh! Padahal sebentar lagi juga Wanita itu lupa dengan luka Aldi. Hari ini kan hari spesial Papanya.
Meskipun Aldi sudah menghiraukan Mamanya. Akan tetapi wanita itu tetap saja berteriak-teriak di balik pintu itu. Aldi melepaskan baju kaos yang dia pakai, dan menghepaskannyabegitu saja ke lantai. Kaos itu milik Iqbaal dan (namakamu) yang menyuruhnya memakai kaos itu.
Aldi merasa hari ini benar-benar melelahkan. Dia tidak sanggup untuk mengingat apa saja kejadian yang di alaminya hari ini. Merasa kalau tubuhnya sudah tanpa sehelai benang pun, Aldi membuka pintu kamar mandi, dan dalam beberapa detik air langsung mengguyur seluruh tubuhnya.
*
”...iya, tadi kan neng Salsha pulang, sambil nangis gitu. Bibi sih udah tau masalahnya apa kalau neng Salsha pulang sambil nangis-nangis, gak lain dan gak bukan adalah karena putus sama pacarnya. Neng Salsha juga sempet teriak-teriak, kemungkinan juga sih ada barang yang pecah di kamarnya, soalnya tadi Bibi denger suara pecahan..” Paparan panjang itu keluar dari mulut Bi Sum. Wanita paruh bayah itu sedang berbicara dengan Aldi.
”Farrel?” Aldi yang hendak menginjakkan kakinya di anak tangga pertama buru-buru menghentikan langkahnya. Dia teringat dengan pacar Salsha saat ini. Ya, Farrel. Tanpa sadar Aldi sudah mencengkram besi pembatas tangga. Kenapa seolah Aldi di takdirkan harus terus berseteru dengan laki-laki itu.
Saat Aldi memasuki kamar Salsha, hal pertama yang dia rasakan adalah hawa panas yang seolah dia seperti berada di tengah gurun. Tap! Aldi menekan saklar lampu, sejurus kemudian kamar yang awalnya hanya bercahayakan remang-remang ini langsung terang-benderang.
Salsha berada di tempat tidur dengan selimut tebal serta bantal yang menindih tubuhnya. Saat Aldi benar-benar merasakan kalau suhu di kamar Salsha benar-benar panas, satu hal yang Aldi sadari kalau AC di kamar ini di matikan. Aldi melangkah ke arah jendela, gorden berkibaran di terpa angin, meskipun hujan sudah redah tapi suasana diluar sana begitu dingin, sangat berbeda dengan keadaan di kamar Salsha.
Jendela sudah tertutup rapat. Aldi menyeret langkahnya ke tempat tidur Salsha.
”Gausah di tangisi terus, entar lo gila.” Cibir Aldi saat mengetahui kalau Salsha tidak tertidur.
”Gue kesel sama Farrel, Al. Cantiknya Bella apa coba? Jelas cantikan gue lah!” Gerutu Salsha kesal. Gadis itu menyibak selimut dan bantal yang menindihnya lalu menyenderkan punggungnya ke kepala tempat tempat tidur.
Aldi hanya menggeleng menanggapi perkataan Salsha. ”Terus kenapa lo gak hubungi gue atau yang lainnya? Biasanya kan..” Aldi rasa dia tak perlu melanjutkan kalimatnya lagi. Salsha sudah paham. Begitu juga dengan Aldi, yang paham dengan kebiasaan Salsha kalau sehabis putus.
Sebelumnya, Salsha tak pernah benar-benar memandang Aldi. Lagipula, mata hitamnya yang bening itu sedikit kabur karena menangis selama berjam-jam. Tapi satu hal yang Salsha pikirkan saat menatap lamat-lamat wajah Aldi.
”Lo habis berantem!” Dengan suara yang menuduh, Salsha menyipitkan matanya tajam ke arah Aldi.
”Jatoh!” Kilah Aldi seraya menjauhkan wajah Salsha yang mendekat ke arahnya.
”Bohong!”
”Sok tau deh lu!”
”Gue emang sok tau, karena gue gak tau!” Tandas Salsha, dia mencoba mendongkan wajahnya lebih dekat agar bisa melihat dengan jelas kalau yang ada di wajah Aldi adalah luka memar.
”Dukun!” Sergah Aldi sambil menekan telunjuknya di hidung Salsha, dengan sekali gerakan dia menjauhkan wajah Salsha.
Salsha mendelik, tanpa sepengetahuan Aldi, Salsha menekan pelan bagian pelipis Aldi dan tanpa membutuhkan waktu yang lama bagi Salsha untuk mendengar suara ringisan dari mulut Aldi.
”Nah, kan, udah gue duga! Lo habis berantem!”
Aldi menghiraukan tuduhan Salsha, dia mengusap bagian wajahnya yang sempat di tekan oleh Salsha.
”Lo tau darimana gue habis berantem?”
”Barusan lo kesakitan, padahalkan gue cuma pelan nekennya.”
”Yaiyalah gue kesakitan! Lo nya neken jerawat gue nyet!”
”Mwo?” Mulut dan mata Salsha melebar, dia percis seperti seekor keledai bodoh yang baru saja melakukan sebuah tindakkan yang abnormal.
”Apaan sih lo! Bangun pergi mandi sana! Jorok banget!”
Salsha melengos mendengar ucapan Aldi. ”Lo kayak mak tiri tau gak!”
”Jorok banget lo jadi cewek!”
”Lo sih gak tau, gue kan lagi patah hati.” Ucap Salsha lemah. Gadis itu sudah beranjak dari tempat tidurnya, dia sedang melangkah lamban ke kamar mandi.
”Palingan juga kalau besok lo nemu cowok gantengan dikit, lo langsung naksir.” Celetuk Aldi tanpa berpikir dua kali.
Salsha memutar badannya cepat begitu kalimat kurang senonoh yang di lontarkan Aldi masuk ke dalam telinganya.
”Gue gak semurahan itu ya!” Teriak Salsha sambil berjalan mendekat ke arah Aldi. Tetapi sebelum amarahnya benar-benar memuncak, ada satu hal yang terlintas di pikirannya. Dan Aldi menyadari hal itu, di karenakan ekspresi wajah Salsha yang mendadak berubah.
”Napa lo?”
Salsha mendadak menjadi salah tingkah. Dia saling mengetuk-ngetukan telunjuk kanan dan kirinya seraya mengelirkan mata ke arah Aldi. Enam detik berlalu begitu saja dengan Aldi yang tak henti-hentinya menatap aneh pada Salsha.
”Lo..lo belum meluk gue.” Akhirnya kalimat itu lolos dari mulut Salsha. Sebenarnya itu hanya kebiasaan lama Salsha yang selalu di hadiahi pelukan oleh masing-masing sahabatnya kalau dia sedang mengalami broken heart dengan pacarnya.
Walaupun pernah melakukannya, detik ini Aldi seperti merasakan kalau dia sangat kaku jika harus melakukan hal yang sama seperti itu. Apa mungkin kalimat yang keluar dari mulut Salsha terdengar kikuk? Entahlah.
Dengan sedikit ragu Aldi melangkah lebih dekat, saat benar-benar merasa kalau dia sudah cukup dekat dengan Salsha, Aldi mengangkat sebelah tangannya untuk meraih punggung Salsha. Belum sempat Aldi melakukan itu, Salsha sudah jatuh ke dalam pelukannya. Gadis itu melingkarkan erat tangannya di badan Aldi.
Tak suara setelah itu. Baik Salsha maupun Aldi hanya diam sambil di sibukkan dengan pikiran masing-masing. Ada hal aneh yang seakan terbentang di antara mereka, hal seperti ini belum pernah di rasakan sebelumnya.
”Lo wangi,” gumam Salsha lebih kepada dirinya sendiri. ”Tumben.” Satu jitakan langsung di dapatkannya saat tanpa sadar kata itu malah keluar dari mulutnya, tapi seakan tak ingin Salsha beranjak dari pelukannya, Aldi sendirilah yang mengelus-ngeluskepala Salsha.
”Iqbaal sama Kiki utang satu pelukan sama gue.” Celetuk Salsha tiba-tiba membuat Aldi ingin saja membanting gadis ini.
”Cukup gue aja. Kalo kayak gitu lo bener-bener terkesan sebagai cewek mu-ra-han.” Aldi sampai menjeda kata 'murahan' agar kata itu sampai di telinga Salsha dengan benar.
Salsha menengadahkan wajahnya. Dia menatap laki-laki bermata sipit itu dengan senyum jahil khasnya.
”Lo cemburu ya?”
”Sekali lagi lo tuduh gue yang engga-engga gue lepas nih!” Ancam Aldi, meskipun terdengar aneh di telinga Salsha. Tapi nyatanya gadis itu melakukan apa yang di perintahkan Aldi.
Hening. Tidak ada yang bersuara. Dan keheningan itu langsung di pecahkan dengan suara sesegukan dari Salsha.
”Lo kenapa?” Tanya Aldi tanpa melepas pelukannya.
”Gue sedih, Al.”
”Ya gue juga tau kalo lo lagi sedih, dan kalo gue tanya lo sedih karena apa dan lo jawab karena cowok brengsek itu, gue gak bakal nanya.”
Lama sekali Salsha tidak memberikan respon atas ucapan Aldi. Tapi beberapa detik kemudian, dia mengangguk.
”Lo kenapa bisa disini?”
Nah, itu dia! Pertanyaan yang dari tadi berputar-putar di kepala Aldi. Kenapa dia bisa kesini?
”Gue cuma...pengen ngeliat lo doang.”
Salsha terkekeh mendengar jawaban Aldi. Meskipun begitu ada kesenangan yang melintas di benaknya saat mendengar jawaban Aldi.
”Berarti lo kangen sama gue?”
”Engga sih.”
”Udalah jujur aja.”
”Gue udah jujur.”
”Halah! Boong lu!”
”Gue lepas ya?”
”Kamvret lu ah.”
Salsha mendesah. Yang dia butuhkan saat ini hanyalah sebuah kenyamanan. Sungguh, apa yang terjadi hari ini seperti sebuah kejutan yang amat menyakitkan untuknya. Salsha tak habis pikir kalau Farrel se-brengsek itu. Terlebih saat memori kepala Salsha mengingat kejadian yang kurang senonoh di toilet. Apa Farrel sering bersikap seperti itu pada Bella? Atau pada setiap gadis lainnya? Apakah Farrel bosan dengannya karena Salsha memang belum pernah memberikan ciumannya kepada laki-laki itu?
*
”Vit, gue mau nanya sama lo.” Ujar (namakamu) saat dia dan Vita baru saja masuk ke perpustakaan dan duduk di kursi paling sudut.
Mendengar ucapan (namakamu), Vita hanya menoleh sekilas.
Gadis berkacamata itu tampak mengambil sebuah buku yang sama sekali tak (namakamu) pahami. Bagaimana mungkin (namakamu) pahami, judul buku itu saja bercetak tulisan Yunani. Lalu duduk di sebelah (namakamu), (namakamu) mengernyit saat Vita membuka halaman pertama.
”Katanya mau nanya, tapi kok malah diem.” Kata Vita tanpa moneleh ke arah (namakamu).
(Namakamu) mendesah sambil meraih ponsel di saku bajunya. Dia sedikit ragu saat melontarkan pertanyaannya.
”Menurut lo cara move on itu gimana?”
Buku setebal 500 halaman itu terlepas begitu saja dari genggaman Vita. Pertanyaan yang keluar dari mulut (namakamu) seakan mengaduk-aduk pikirannya.
Vita menolehkan wajahnya ke (namakamu), sebelum berbicara dia sempat membenarkan kacamatanya yang sedikit bermasalah. (Namakamu) hanya meringis melihat reaski Vita.
”Emangnya Iqbaal udah tau tentang perasaan lo ke dia?”
Kali ini (namakamu) yang di buat mati gaya begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut Vita. Ba-bagaimana bisa gadis itu..
Masih memasang wajah shock-nya, (namakamu) mencoba mengatur dirinya agar tidak terlalu terlihat kaku.
”Sori, kalau gue lancang ngomong gitu. Gue pikir...”
(Namakamu) menggeleng lemah. Kalau Vita saja menyadari gerak-gerik (namakamu) yang menaruh hati kepada Iqbaal, lalu kenapa laki-laki itu hanya diam saja? Seakan tak tahu apa-apa, seakan kalau semua sikap (namakamu) selama ini hanyalah sebuah rasa pertemanan.
”Engga. Gak pa-pa.”
Gadis di sebelah (namakamu) menghela napas. ”Gue boleh nerusin kalimat gue?”
(Namakamu) mengangguk tanpa bersuara.
”Gue pikir lo mau move on dari Iqbaal,” Vita melanjutkan kalimatnya yang sempat terputus itu karena reaksi (namakamu) yang tak baik. ”Lo kaget ya, maksud gue sih bukan apa-apa, dan siapapun yang ngeliat lo sama Iqbaal pasti mereka tau kok kalau lo naruh hati ke Iqbaal.”
(Namakamu) menatap Vita dengan sebelah alis terangkat. Maksud Vita apa? Orang-orang akan tahu kalau (namakamu) menaruh hati kepada Iqbaal. Tapi kenapa teman-temannya tidak ada yang menyadari termasuk Iqbaal, apa ini karena hubungan mereka yang terlalu dekat dan apapun yang satu sama lain lakukan itu terlihat biasa-biasa saja di mata mereka namun begitu ganjil di mata umum.
(Namakamu) teringat dengan kebiasaan Salsha kalau gadis itu sehabis putus, pasti dia di hadiahi pelukan dari ketiga sahabat laki-lakinya.
*
(Namakamu) merasa resah dengan dirinya sendiri saat dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kosan Iqbaal. Kejadian kemarin dan percakapannya dengan Vita saat di sekolah membuat kepala (namakamu) seperti di jejali dengan tanah liat sampai dirinya tidak bisa berpikir lagi. Aldi tidak masuk, padahal (namakamu) sangat ingin bertemu dengan laki-laki itu. (Namakamu) berjanji pada dirinya sendiri kalau setelah pulang dari kosan Iqbaal, dia akan pergi kerumah Aldi.
(Namakamu) melihat Iqbaal mengembangkan senyuman untuknya. Senyuman itu terlalu di buat-buat hingga membuat (namakamu) hanya diam menyaksikannya.
Iqbaal hari ini ada latihan. Pertandingan akan di lakukan besok dan otomatis besok Iqbaal tidak akan masuk sekolah. Saat mendengar Iqbaal memintanya menemaninya latihan, (namakamu) seakan seperti harus mengulang semua rutinitas lama yang sudah dia tinggalkan. Anehnya, walaupun sakit (namakamu) tidak bisa menolak.
”Lo duduk disini, jangan kemana-mana, gue mau mandi dulu. Terus langsung pergi ke sekolah.” Perintah Iqbaal kepada (namakamu) sambil meletakan softdrink di meja. (Namakamu) yang duduk di sofa hanya mengangguk paham. Iqbaal mengacak-acak rambut (namakamu) sebelum pergi ke kamar mandi.
Lima menit berlalu begitu saja. (Namakamu) duduk dan sesekali hanya memainkan ponselnya. Bahkan dia tidak menyentuh softdrink pemberian Iqbaal. (Namakamu) terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan dari banyaknya hal yang masuk ke dalam pikirannya, yang paling mencolok saat ini adalah kenapa dia bersikap terlalu seorang tamu di tempat ini. Dulu bahkan (namakamu) sering menginap di kosan ini, membuat rusuh, bahkan teriak-teriak tidak jelas. Bayangan-bayangan masa lalunya terus terputar di kepalanya dan air matanya menetes begitu saja saat entah kapan perasaan itu muncul begitu saja pada laki-laki pemilik kosan ini.
Apa dia salah? Apa (namakamu) salah kalau dia mencintai Iqbaal?
(Namakamu) tak sempat mendapatkan jawabannya, dia buru-buru menyeka air matanya sebelum Iqbaal keluar dari kamar mandi dan melihat air mata bodoh itu di wajahnya. Meletakan tasnya di sofa, (namakamu) beranjak dari sofa ke kamar Iqbaal.
Lagi-lagi ketika (namakamu) masuk ke dalam kamar laki-laki ini bau khas Iqbaal langsung menusuk hidungnya. Dan itu malah mengingatkan (namakamu) dengan kesalahan yang dia buat karena sudah mencintai Iqbaal. Salahkah? Pertanyaan itu kembali terngiang di kepala (namakamu).
(Namakamu) duduk di ujung tempat tidur sambil mengedarkan penglihatannya kesegala arah. Belum ada yang berubah, kamar ini masih sama, bahkan bagaimana cara Iqbaal meletakan tas dan seragam bajunya masih sama. Mata (namkamu) sedikit bergeser ke meja tempat dimana Iqbaal menyusun buku-buku sekolahnya, dan sepasang mata (namakamu) langsung terfokuskan pada sebuah buku tebal dengan sampul mengelupas.
Buru-buru (namakamu) berjalan ke arah meja itu dengan jantung yang berdegup kencang. Dua detikpun belum berlalu tapi (namakamu) sudah merasakan kalau telapak tangannya berkeringat. Bahkan ketika (namakamu) menyentuh buku itu tangannya bergetar hebat.
Dengan susah payah (namakamu) menelan air liurnya saat dia membuka buku dan melihat halaman pertama buku itu.
Ini buku miliknya! Lalu kenapa bisa berada disini!
Kalimat itu terus berputar-putar dalam kepalanya. Kesimpulan yang (namakamu) dapatkan adalah berarti Iqbaal mengetahui perasaanya. Sejak kapan? Sejak kapan Iqbaal mengetahui perasaanya? Dan kenapa laki-laki itu hanya diam seolah tak terjadi apa-apa? Atau ini yang di namakan kenyataan kalau Iqbaal memang benar-benar tidak menyukainya?
(Namakamu) memang sudah menduganya sejak kemarin. Dimana saat dia dan Iqbaal berada di danau. (Namakamu) menguatkan dirinya agar air mata bodoh itu tidak jatuh tapi kenapa air mata itu terus terjatuh dan dalam waktu beberapa detik sudah membasahi wajahnya.
”...(Namakamu) gue nyariin lo, gue pikir lo kemana ternya..” Iqbaal masuk ke dalam kamarnya dengan keadaan setengah telanjang. Handuk melilit di pinggangnya. Ucapan Iqbaal langsung terputus saat melihat (namakamu) berbalik dengan derain air mata serta sebuah buku yang ada di genggamannya. Satu detik kemudian buku itu terjatuh.
Dengan air mata yang membasahi wajahnya, Tatapan (namakamu) kosong tapi siapapun yang melihatnya akan tahu kalau gadis ini sedang merasakan sesuatu yang begitu menyakitkan.
”Sejak kapan buku ini ada sama lo..”
Iqbaal tidak menjawab. Laki-laki itu hanya memandang gadis di hadapannya dengan perasaan bersalah. Perlahan namun pasti, Iqbaal mulai melangkah mendekat ke arah (namakamu). Dia tidak bisa mengira-ngira apa yang akan (namakamu) katakan atau lakukan kepadanya. Iqbaal benar-benar tidak bisa mengira karena memang (namakamu) tidak pernah marah kepadanya, gadis itu selalu memaafkan segala kesalahan. Hanya itu yang Iqbaal ketahui.
”Gue bis...”
”Gue cuma nanya sama lo! Sejak kapan buku ini ada sama lo??!!” (Namakamu) berteriak keras tepat di wajah Iqbaal. (Namakamu) tidak peduli dengan perasaanya yang semakin hancur saat sepasang matanya bertumbukkan dengan mata Iqbaal.
Iqbaal memejamkan matanya sejenak lalu menghela napas panjang. ”Kemarin.”
Memori kepala (namakamu) langsung terputar pada kejadian kemarin, tepat saat dimana Iqbaal menciumnya. Artinya, Iqbaal memberinya ciuman itu hanya karena tahu tentang perasaan (namakamu), namun tak bisa membalasnya karena dia lebih berharap kepada Olivia.
”Terus lo nyium gue! Dan lo pikir gue bakalan seneng?!!! Lo bisa mikir gak, gimana hancurnya perasaan gue!!! Lo tau! Tapi lo pura-pura gatau!” Entalah, (namakamu) sampai tidak habis pikir dengan laki-laki ini. Dan dia cukup terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia belum pernah membentak Iqbaal, memarahinya saja (namakamu) tidak ingin.
”Karena gue gak mau lo pergi.”
(Namakamu) tersenyum miris. ”Egois! Lo egois! Lo cuma mikir perasaan lo doang tanpa mikir efek yang buruk bagi gue!” Bentak (namakamu) sambil menudingkan telunjuknya ke wajah Iqbaal.
Iqbaal meringis, bukan bagaimana (namakamu) memperlakukannya saat ini, tapi lebih karena (namakamu). Ya, (namakamu). Keadaan gadis itu sekarang sangat mengkhawatirkan. Air mata tak henti-hentinya keluar dari mata gadis itu, belum lagi matanya yang memerah memancarkan kepedihan yang amat sangat. Luka yang tergores di mata gadis itu begitu tampak jelas, tapi kenapa Iqbaal hanya bisa diam saja? Dia tidak tahu harus melakukan apa, dan tanpa dia sadari tangannya terangkat untuk menyeka air mata (namakamu). Iqbaal tidak peduli dengan (namakamu) yang terus meronta-ronta, meskipun gadis itu berkali-kali menepis tangannya, Iqbaal masih terus menyekanya karena dia tahu air mata ini jatuh karenanya.
”Lo tega, lo jahat sama gue, Baal. Lo tau perasaan gue ke lo, tapi lo cuma diem. DIEM!!!!! Lo cuma diem kayak batu! Walaupun lo gak cinta sama gue seenggaknya lo bisa bilang baik-baik sama gue! Bukan kayak gini! Lo biarin gue terus ngejer lo yang gak tau kapan akan berhenti.”
Merasa kalau tindakkannya menepis tangan Iqbaal percuma, (namakamu) mengalihkannya menjadi memukul kuat-kuat badan laki-laki itu secara berkali-kali. (Namakamu) tidak ingin berhenti, dia sudah teramat kesal dengan Iqbaal. Tapi tindakkan (namakamu) sama sekali tidak membuahkan hasil, laki-laki itu tetap berdiri kokoh sambil tetap menyeka air mata (namakamu). Sampai akhirnya kepala (namakamu) terjatuh lemah di dada laki-laki itu dengan kedua tangan yang masih terus bergerak memukul.
Saat (namakamu) rasa dia sudah kehabisan tenaganya, (namakamu) melayangkan pukulan terakhirnya sembarangan, namun kali ini sepertinya pukulan (namakamu) membuahkan hasil karena kepalan tangannya melayang ke hidung Iqbaal. (Namakamu) menjatuhkan tangannya, perih yang dia rasakan seakan tulangnya patah.
Akan tetapi, kepala (namakamu) yang tertunduk itu segera menengadah begitu setetes darah terjatuh mengenai keningnya.
Tangan Iqbaal bergerak ke hidungnya dan menyentuh darah kental itu.
”Gue yakin ini belum sesakit apa yang lo rasain selama ini,” Ucap Iqbaal sambil menjatuhkan tangannya dan memandang (namakamu) dengan sikap menunggu. Menunggu gadis itu melakukan tindakkan yang lain. ”Gue tau, (namakamu) kalau gue egois. Gue kayak gini ada alasannya, gue gak mau lo pergi dari hidup gue. Lo tau gue sayang dan cinta sama Olivia, tapi asal lo tau, perasaan gue lebih dari itu ke elo. Gue gak mau nantinya lo tersakiti lebih dari ini kalo punya hubungann kusus sama gue, gue gak mau (namakamu), gue gak mau kehilangan lo, gue mau hubungan gue sama lo tetep kayak gini. Sebesar apapun sayang gue sama Olivia, sayang gue lebih besar sama lo, hal itu yang ngebuat gue kayak gini. Gue takut, takut banget kalo lo pergi dari hidup gue.”
(Namakamu) tak terlalu mendengarkan perkataan yang keluar dari mulut Iqbaal tapi dia menangkap intinya. Sedari tadi (namakamu) di sibukan dengan memandang wajah laki-laki di hadapannya, setiap detiknya rawut wajah Iqbaal berubah sampai akhirnya mata laki-laki itu mulai mengkilap bening karena air mata yang berlomba-lomba ingin keluar.
Tangan Iqbaal bergerak meraih tangan (namakamu) dan meletakan tangan (namakamu) ke dadanya. Ia rasakan telapak tangan (namakamu) yang hangat.
”Gue gak tau sejak kapan rasa itu hadir, rasa itu hadir secara tiba-tiba tanpa gue tau.”
(Namakamu) tertegun, dia diam dengan waktu yang begitu lama. Telapak tangannya yang tergeletak di dada itu merasakan sesuatu. Ada yang berdetak di dalam sana dengan ritme yang tak wajar..

Bersambung..


Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

Cerbung Reason - Part 15

`Reason`

Part 15

Muhammad Aryanda.

O-o-o-o-O

Iqbaal tersenyum pilu. Dia menutup buku yang ada di tangannya lalu mengusap wajahnya. Sekarang apa yang harus dia lakukan? Iqbaal terdiam untuk beberapa saat, di pandangnya jam dinding yang sudah menunjukan pukul empat sore. Hari sudah sangat sore, dan (namakamu) juga belum pulang. Tunggu, apa yang dia harapkan? Berharap kalau (namakamu) pulang dan menemukannya sedang berada di kamar gadis itu bersama Diarynya?
Ruangan sunyi itu perlahan mulai terisi dengan suara langkah kaki. Iqbaal meninggalkan kamar (namakamu) dengan beribu-ribu pertanyaan di dalam kepalanya.
Iqbaal merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia ketahui. Bagaimana mungkin bisa? (Namakamu)? Menyukainya? Sejak kapan? Kenapa gadis itu selalu terlihat baik-baik saja saat Iqbaal dengan sekenaknya bercerita tentang perasaanya kepada Olivia.
`walaupun sakit, aku tersenyum
walau tersenyum, sesungguhnya aku menangis`
Memori kepala Iqbaal teringat dengan penggalan kata-kata di Buku Diary (namakamu).
Ketika kakinya menginjak teras rumah (namakamu), Iqbaal menghentikan langkahnya. Dia menengadah untuk menatap langit, kumpulan awan tebal bergerak cepat seakan menandakan kalau sebentar lagi akan turun hujan. Aneh, padahal tadi sangat panas.
Di hirupnya oksigen sebanyak yang dia bisa, sebelum akhirnya Iqbaal melangkah cepat ke arah motornya. Saat mesin menyala, motor langsung melaju dengan kecepatan sederhana.
oOo
Seorang gadis berjalan santai di koridor sepi, kepalanya menoleh ke arah langit saat menyadari kumpulan awan tebal bergerak cepat hendak menutupi langit yang tadinya cerah. Langkahnya yang lamban mendadak berubah cepat. Awan tebal membuat koridor ini, yang tadinya terang menjadi gelap dan membuat gadis ini takut.
Cepat dan cepat. Begitu langkah yang di lakukan gadis ini, di koridor sekolah yang benar-benar sepi nyaris tak ada suara apapun disini, yang terdengar dari tadi hanyalah seruan dari lapangan basket. Dia tidak tahu apa yang terjadi disana.
Langkahnya yang terkesan berlari itu perlahan memelan dan sekarang dia nyaris seperti siput yang sedang berjalan. Hal itu terjadi karena telingannya menangkap sebuah suara, suara yang berupa cuma desahan. Desahan yang mampu membuat bulu kuduknya meremang.
Salsha merasakan kalau suara itu berasal dari tikungan sebelah kanannya, berarti suara itu berasal dari toilet. Dengan susah payah Salsha menelan air liurnya, dia berusaha sekuat mungkin agar tidak menimbulkan suara. Punggung Salsha kini sudah merapat di dinding, sedikit mencondongkan kepalanya dengan sikap mengintip, Salsha segera mengetahui sumber suara desahan itu.
Sekujur tubuh Salsha terbujur kaku. Sekarang, apa yang ada di hadapannya bukanlah sesuatu yang baik untuk kesehatan jantungnya. Jantung terpompa lebih cepat membuat sel-sel dalam tubuhnya bekerja lebih ekstra, tanpa sadar telapak tangan Salsha berkeringat. Salsha ingin memalingkan wajahnya namun sungguh tak bisa, kesakitan yang dia rasakan saat ini membuat seluruh anggota tubuhnya tak berfungsi dengan baik.
Itu Farrel. Disana. Tetapi bukan itu yang membuat Salsha menitikan air mata, bukan, bukan nama Farrel tapi apa yang sedang di lakukan laki-laki itu lah yang membuat hatinya hancur berkeping-keping. Dia sedang berciuman dengan seorang gadis yang amat Salsha benci—Bella.
Suara desahan itu kembali terdengar. Farrel menggerakkan tangannya ke tengkuk Bella untuk menahan kepala gadis itu. Sementara tangan Bella bergerak ke badan Farrel untuk memeluk erat laki-laki itu. Perlahan Farrel melepaskan kecupannya dari bibir gadis itu, dan Salsha pikir itu semua udah berakhir. Akan tetapi kenyataannya adalah laki-laki itu malah mencondongkan wajahnya ke leher Bella membuat Bella mengerang dna mengeluarkan sebuah desahan yang membuat Salsha ingin sekali membunuhnya.
”Rel,” akhirnya setelah menahan untuk tidak bersuara, kata itu berhasil lolos dari mulut Salsha sekaligus membuat kedua orang di ujung sana menghentikan aktivitas gila mereka.
Suara gemuru di luar sana beriringan dengan angin yang bertiup kencang.
Farrel memandang Salsha dengan mata yang terbuka lebar. Akan tetapi laki-laki itu tidak berjalan untuk menghampiri Salsha, seperti seharusnya, seperti yang Salsha lihat di salah satu adegan drama. Tidak, laki-laki itu tidak melakukannya, dia hanya diam saja memandang Salsha yang sekarang sudah menangiss tersedu-sedu, kudapan yang di jinjing Salsha sudah jatuh berserakan di lantai.
”Sori, Sha, seharusnya kamu gak liat ini.”
Pernyataan bodoh macam apa itu, Salsha tak habis pikir dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Farrel.
Salsha menyeka air matanya, dia merasa kalau tangisannya ini percuma saja. Tapi meskipun percuma air mata bodoh itu tak henti-hentinya keluar untuk membasahi wajahnya.
Suara langkah kaki menyapukan keheningan yang hampir merambat. Salsha bisa melihat Farrel berjalan mendekat ke arahnya, sekarang apa yang akan di lakukan laki-laki itu.
”Gue ngerasa kalau gue udah gak nyaman sama hubungan kita, sikap lo yang selalu mengutamakan sahabat lo itu ngebuat gue seolah hanya status di samping lo.”
”Tutup mulut lo! Gue gak butuh penjelasan dari lo!” Salsha berteriak kencang, itu dia lakukan sekaligus untuk merenggangkan otot-otot wajahnya yang terbujur kaku.
Dia benci dengan Farrel kenapa laki-laki itu tega mengkhianatinya. Terlebih lagi Salsha sangat tidak menyangka siapa gadis yang sedang bersama Farrel sekarang.
Salsha menyipitkan matanya saat sepasang matanya bertumbukan dengan mata Bella. Gadis itu menyeringai puas. Sepertinya ini yang di katakan kalau pemeran utama tidak selalu menang.
*
Langit sudah benar-benar gelap, bukan karena hari akan malam tapi karena sebentar lagi akan turun hujan. Sepertinya. Suara gemuru awan beriringan dengan embusan angin. Embusan angin membuat puncak-puncak pohon berkibar hebat, daun-daun kering berterbangan dan mengotori jalanan.
Iqbaal mengendarai motornya masih dengan kecepatan sederhana. Satu tempat yang sekarang ada di pikirannya, dan tempat itu sekarang menjadi tujuannya. Dia sendiri tidak tahu apa yang membawanya pergi kesana.
Ketika Iqbaal sampai di tempat itu, yang pertama kali dia lakukan adalah memakirkan motornya. Lalu langkah lambannya perlahan berubah menjadi semakin cepat, angin sedingin es menerpa wajahnya kala itu. Tempat ini terlalu hampa hingga Iqbaal mampu mendengar dengung di kapalanya. Sebenarnya apa yang ada di pikirannya saat ini? Kalau di tanya seperti itu, tentu saja yang ada dalam pikirannya saat ini adalah kalimat-kalimatyang tertulis di buku tebal milik (namakamu), seharusnya dia tidak lancang membaca buku itu. Apakah Iqbaal menyesal? Tentu tidak.
Iqbaal menggeram dan terus melangkah besar-besar. Saat langkahnya terhenti, yang pertama kali Iqbaal lakukan adalah menatap ke ayunan tua. Dia tidak menemukan siapa-siapa disana, sedikit menggeserkan pandangannya ke arah pohon besar dekat danau, Iqbaal juga tidak menemukan siapapun disana, akan tetapi bola matanya yang bergerak ke sudut mata memperlihatkan seseorang yang tengah terduduk di titi kecil yang ada di danau tersebut.
Haruskah Iqbaal menghampiri gadis itu? Dan kalau dia menghampiri gadis itu, apa yang harus dia lakukan? Demi apapun, saat-saat seperti ini sangat tidak diinginkan oleh Iqbaal. Sedikit menghela napas kasarnya, Iqbaal akhirnya melangkahkan kakinya ke arah titi.
Sunyi, sepi, dan hampa itu yang saat ini dia rasakan. Iqbaal mengedarkan matanya untuk melihat ke segala tempat. Tempat ini penuh kenangan dengan sahabatnya. Dan sungguh, Iqbaal tidak ingin dia melukis sebuah luka di tempat ini. Apa yang sebaiknya dia lakukan sekarang.
Hujan.
Tetesan air jatuh ke bumi. Iqbaal terkesiap, dia tersadar dari lamunannya. Dan matanya langsung mengarah ke (namakamu) yang bingung harus melakukan apa, sepertinya gadis itu ingin mencari tempat berteduh, tapi tidak tahu harus kemana.
Dengan sekali gerakan Iqbaal melepas bajunya, dan berlari menghampiri (namakamu). Dia segera membentang baju di kepala (namakamu), menghiraukan hujan yang terus turun membesahi tubuhnya.
”Iqbaal. Lo ngapain disini?” (Namakamu) sedikit kikuk berbicara kalau wajah mereka terlalu dekat seperti ini.
”Itu gak penting. Sekarang mending kita ke pohon itu.” Iqbaal menunjuk pohon besar di dekat danau dengan kepalanya. Akan tetapi (namakamu) malah menggeleng.
”Gue gak mau. Gue mau disini.”
Iqbaal memutar bola matanya. Tidak tahukah (namakamu) kalau sekarang ada yang berdegup kencang di dalam sana. Di dalam dadanya.
”Nanti lo sakit.” Suara Iqbaal tidak terdengar terlalu jelas, hujan sudah turun dengan derasnya di tambah lagi dengan suara angin yang menerpa daun-daun di pohon.
(Namakamu) mengalihkan pandangannya. Dia menatap air danau yang sudah tidakk sedamai tadi.
”(Namakamu)? Lo dengerin gue kan?” Tanya Iqbaal yang merasa kalau (namakamu) mendadak berubah menjadi patung yang bernyawa. Gadis itu hanya diam saja tanpa menjawab pertanyaannya. Walaupun sekarang suasana tidak terlalu hening, tapi Iqbaal yakin dengan jarak sedekat ini pasti (namakamu) mendengar pertanyaannya.
”Nanti lo sakit (namakamu).” Iqbaal mulai berteriak, ingin rasanya dia melepas genggamannya pada bajunya ini. Tapi kalau dia melepaskannya (namakamu) akan terkena hujan.
Beberapa detik lamanya, tidak ada yang bersuara di antara mereka. Apa yang sedang (namakamu) pikirkan? Kenapa gadis itu hanya diam saja, tidak tahukah (namakamu) kalau sekarang laki-laki di sampingnya sudah mengigil karena hujan dan angin yang dingin menerpa tubuhnya?
Baju berwarna hitam polos itu terlepas, dan langsung terbang di bawa angin. Bersamaan dengan itu, yang empunya menarik bahu gadis di sebelahnya agar menatapnya.
Tidak sampai lima detik, (namakamu) sudah basah kuyub. Tapi Iqbaal mengusap wajah (namakamu) dengan telapak tangannya agar pandangan gadis itu tidak kabur. Alih-alih setelah mengusap wajah (namakamu), tangan Iqbaal bergerak ke dagu gadis itu untuk menengadahkan wajahnya. Sedikit mencondongkan wajahnya, Iqbaal menekan lembut bibirnya pada bibir (namakamu).
Saat dunia seakan berputar dengan sangat lamban, (namakamu) memejamkan matanya. Ini seperti (namakamu) menggali lagi harapannya yang sudah terkubur jauh. Tubuhnya yang menegang dapat di kendalikan dengan laki-laki di hadapannya. Masing-masing tangan Iqbaal menggenggam sisi tubuh (namakamu).
Lima detik berlalu. Iqbaal yang memulai, Iqbaal juga yang harus mengakhirinya. Dia menjauhkan wajahnya dan menarik (namakamu) ke dalam pelukannya. Dia memeluk erat gadis ini, gadis yang selama beberapa hari pergi menjauh darinya.
”(Namakamu), gue mohon sama lo, lo jangan pernah pergi dari hidup gue apapun yang terjadi. Meskipun gue sayang sama Oliv, gue gak mau lo pergi dari hidup gue (namakamu). Gue mohon sama lo.”
Kata-kata itu meluncur dengan nada yang amat memilukan. (Namakamu) mendengar dan dia hanya bisa diam. Ada kesenangan yang dia rasakan dan juga ada kepedihan yang dia rasakan saat ini. Dia tidak mengerti dengan ucapan Iqbaal. Apa maksud laki-laki itu? Dia mencintai Olivia tapi dia menginginkan (namakamu) selalu bersamannya?
`Tak apa jika kamu tak mencintaiku
Jika aku hanya dapat menatapmu, itu tidak menjadi sebuah masalah.`
(Namakamu) memejamkan matanya. Dia mendapatkan jawabannya sekarang. Jadi dugaannya benar kalau Iqbaal memang tidak menyukainya. (Namakamu) ingin berteriak tapi dia bisa apa, dia hanya bisa diam di perlakukan seperti ini. Apakah cinta memang sekejam ini? Kalau disuruh memilih, (namakamu) sangat menginginkan hatinya berlabuh ke hati yang lain. Tapi sungguh, itu tidak bisa.
(Namakamu) tersedak, saat menyadari kalau dinding pupilnya sudah tidak sanggup menahan air mata yang sudah berlomba-lomba ingin keluar. Akhirnya air mata itu keluar juga, (namakamu) menangis, sesegukan, dia menghiraukan segala apapun yang ada disini, biar saja dia menangis di depan Iqbaal, (namakamu) tidak perlua berlagak sekuat lagi sekarang. Dia benci kalau terus menjadi orang yang terlemah di dunia ini. (Namakamu) menangis sampai badannya bergetar hebat membuat Iqbaal memeluknya lebih erat.
'Lo jahat, Baal. Lo gak pernah mikir perasaan gue.'

Bersambung..


Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

Cerbung Reason - Part 14

`Reason`

Part 14

Muhammad Aryanda.

O-o-o-o-O

Hap!
Langkah (namakamu) yang terkesan berlari untuk menghindari Iqbaal ternyata di ketahui oleh Iqbaal. Iqbaal menyusul (namakamu) dan segera menyambar tangan gadis itu.
”Lo kenapa (namakamu)? Lo ngejauh dari gue, lo gak ngomong sama gue hampir seminggu, lo ganti nomor tanpa ngasih tau gue. Lo kenapa? Gue ada salah apa sama lo, sampe-sampe lo berubah kayak gini sama gue?”
(Namakamu) mencoba melepaskan genggaman Iqbaal tapi Iqbaal tak mengizinkannya,malah sekarang Iqbaal menarik (namakamu) agar mendekat padanya. Dengan sekali gerakan, Iqbaal menutup rapat pintu kosan.
”Baal gue mau pulang, Mama gue pasti nyariin gue.”
”Lo pernah seharian di kosan gue dan itu gak masalah. Tapi kenapa sekarang lo kayak gini?” Pertanyaan Iqbaal penuh penekanan membuat (namakamu) semakin tidak ingin memandang wajah laki-laki itu.
(Namakamu) tidak tahu harus berbuat apa, tapi yang dia inginkan saat ini adalah pergi dari tempat ini. Menjawab semua pertanyaan Iqbaal sama saja dengan mengubur hidup-hidup dirinya. (Namakamu) tak ingin setelah dia memberitahu kepada Iqbaal tentang alasannya menjauh dari dirinya akan membuat nasib pertemanan mereka kian memburuk.
Suara derap langkah bersamaan dengan beberapa detik kemudian pintu terbuka, memecahkan konsentrasi Iqbaal maupun (namakamu). Sosok Olivia berada di ambang pintu dengan tatapan mengarah ke tangan Iqbaal yang sedang menggenggam tangan (namakamu).
”Kalian ngapaian?” Tanya Olivia masih belum melepaskan pandangannya.
Iqbaal maupun (namakamu) sama-sama terkaget dan dengan sekali gerakkan jarak langsung memisahkan mereka.
(Namakamu) bisa melihat wajah Iqbaal dari sudut matanya. Laki-laki itu tampak gelisah seolah dia sangat tidak ingin Olivia melihat adegan seperti tadi, keadaan seperti Iqbaal memegang tangannya. Ya, mungkin hanya itu yang bisa nama terjemahkan dari ekspresi wajah Iqbaal yang berubah kaku seperti seorang maling yang tertangkap basah mencuri.
”Bukan apa-apa,” Kata (namakamu) berusaha tenang, namun nyatanya, suaranya malah terdengar sumbang dan itu kedengaran aneh di telinga Iqbaal maupun Olivia. ”Sori, Liv, gue buru-buru.” Tambahnya, (namakamu) melenggang pergi dan tak lupa menuangkan senyuman ketika berpas-pasan dengan Olivia.
Olivia sampai memutar badannya untuk menatap punggung (namakamu) yang kian menjauh. Setelah itu, dia cepat-cepat menoleh ke arah Iqbaal dengan pandangan bertanya-tanya.
Iqbaal mengangkat kedua bahunya, pertanda tidak tahu.
”Lo gak les?” Tanya Iqbaal, yang sempat melirik jam dinding yang tergantung di atas pintu kosannya.
”Engga, gue lagi males.” Jawab Olivia santai. Tidak sesantai saat kali pertama dia bolos les. ”Aldi masih di dalem?”
Iqbaal mengangguk lalu berjalan masuk ke kamarnya mengekori Olivia.
*
Padahal jam sudah menunjukan pukul tiga sore, tapi entah kenapa matahari di atas sana masih belum beranjak pergi, bahkan langit di atas sana masih sama seperti beberapa jam yang lalu, nyaris tanpa goresan kapas.
Salsha melangkahkan kakinya secara ogah-ogahan ke perkarangan sekolah. Sesekali dia menengok ke benda yang sedang di jinjing, tidak tahu kenapa, Salsha ingin bertemu dengan Farrel sore ini. Salsha merasa kalau hubungan mereka mulai di tumbuhi oleh jarak. Jarak yang akan memisahkan mereka, jadi Salsha berniat untuk menonton latihan Farrel hari ini.
Terakhir kali Salsha tahu tim Farrel kalah dalam babak penyisihin untuk masuk ke tim yang akan bertanding se-Jakatta, dan otomatis Farrel juga tidak bisa mengikuti lomba itu. Tapi, beberapa waktu lalu Salsha mendapatkan kabar dari teman Farrel kalau kekasihnya itu di butuhkan dalam tim.
Sasha senang sekaligus meringis. Dia tidak suka mendengar kabar ini yang tidak langsung di sampaikan oleh Farrel kepadanya. Bukannya ini kabar penting? Seharusnnya Farrel memberitahu Salsha yang notabenenya adalah pacarnya!
Memikirkan itu hanya membuat Salsha ingin pergi dari tempat ini.
”Sha!” Seorang laki-laki berseragam basket meneriaki namanya, Salsha memicing matanya ke tengah lapangan. Ternyata itu Bidi, teman Farrel sekaligus teman Iqbaal.
”Tumben lo dateng.” Bidi berjalan menghampiri Salsha sambil mendribble bola basket. Wajah dan badannya yang sudah di penuhi oleh peluh membuat Salsha memalingkan wajah.
”Biasa juga emang gue kesini,”
”Lo lupa kali. Udah lama lo gak kemari. Kasian gue liat sih Farrel.”
Salsha tercenung sejenak. Benar sih dia sudah lama sekali tidak melihat Farrel latihan. Saat memikirkan Farrel, Salsha teringat dengan salah satu laki-laki yang seharusnya berada disini. Salsha mengedarkan matanya, menatap satu persatu anggota tim Basket. Banyak yang tidak dia kenal, dan juga Salsha tidak menemukan sosok laki-laki itu. Iqbaal.
”Iqbaal gak dateng?” Tanya Salsha tanpa memandang lawan bicaranya, sepasang matanya masih melirik kesana-kemari berharap dia menemukan sosok Iqbaal.
”Engga. Udah dua hari Iqbaal gak dateng.” Saat mendengar jawaban dari Bidi, Salsha langsung menjatuhkkan pandangannya.
Selama beberapa detik, Salsha dan Bidi saling berpandangan. Yang membuat Salsha belum ingin mengalihkan pandangannya adalah saat menyadari cara Bidi menatapnya. Kening laki-laki itu berkerut, alisnya naik sebelah dan sorot matanya penuh selidik. Salsha langsung mendelik saat menyadari maksud dari tatapan Bidi.
”Gausah mikir yang macem-macem lo! Semua orang juga tau gue sama Iqbaal temanan! DARI LAHIR!” Setelah mengatakan itu, Salsha segera melenggang pergi menghiraukan Bidi yang pastinya merasa bodoh.
Akan tetapi, saat Salsha hendak ingin kemana seharusnya dia melangkah. Salsha menghentikan langkahnya dan memutar badannya, dia tersenyum tolol ke arah Bidi.
”Eh, lo tau Farrel dimana?”
Bidi memutar bola matanya. ”Toilet.”
”Oke. Thanks.” Sedikit membenarkan rambutnya, Salsha kembali melangkahkan kakinya yang sempat tertunda.
”Lo mau nyusul ke toilet?” Bidi berteriak karena jarak di antara mereka kian menjauh.
”Hm.”
”Gila! Mau ngintip lo!”
”Ck! Cuma mau mastiin, punya gue sama punya dia beda kagak.”
Setelah mendengar kalimat Salsha, tak terdengar lagi suara Bidi. Entalah apa yang terjadi dengan laki-laki bermulut besar itu, yang jelas sekarang Salsha ingin bertemu dengan Farrel. Kekasihnya.
*
Sebenarnya dia tidak perlu menggunakan motor untuk mengunjungi salah satu rumah yang jaraknya hanya berselang empat rumah saja. Mungkin di karenakan cuaca yang begitu panas padahal hari sudah menjelang sore. Rumah besar bercat oranye itu sudah tinggal beberapa meter lagi. Pagar yang tidak tertutup membuat motor yang dia kendarai langsung masuk tanpa menunggu yang empunya rumah mengizinkan. Toh dia juga sering melakukan hal seperti ini.
Hanya membutuhkan sekali ketukan saja, seseorang dari dalam rumah membukakan pintu untuknya.
”Oh, den Iqbaal.” Wanita paruh baya yang mengenakan celemek di badannya memandang kaget kehadiran Iqbaal.
Iqbaal tersenyum seperti biasanya, dia ingin melontarkan sebuah kalimat tapi Bi Sumi sudah lebih dulu.
”Nyari neng (namakamu)? Kalau (namakamu)nya sih gak ada, dari pulang sekolah juga dia belum pulang ke rumah,” kata Bi Sumi. Dia membuka pintu lebih lebar dengan maksud untuk mempersilahkan Iqbaal masuk. ”Akhir-akhir ini (namakamu) sering aneh, pulangnya suka lama, makannya sedikit, suka ngurung di kamar, jarang keluar rumah sekalinya keluar lama banget pulangnya.” Bi Sumi mengoceh di sepanjang jalan, meskipun tidak ada tanda-tanda kalau Iqbaal mendengarkan perkataan Bi Sumi tapi sebenarnya Iqbaal mendengarkan, dia bahkan berharap Bi Sumi memaparkan lebih lanjut tentang kegiatan (namakamu) selama beberapa minggu terakhir.
”Oh, nanti kalau (namakamu) udah pulang tolong Bibi sampein sama (namakamu) kalau Iqbaal tadi kemari.”
”Iya.” Bi Sumi mengangguk paham.
”Gak ada orang ya, Bi?” Iqbaal mengedarkan pandangannya, dan sangat merasakan keheningann di setiap ruang rumah ini.
”Iya, gak ada orang.”
Iqbaal menengadahkan kepalanya, dia menatap pintu kamar (namakamu) yang tertutup. Entah apa yang ada dalam pikirannya, dia merasa kalau hati kecilnya merindukan sosok gadis itu. Gadis yang selalu berada di sampingnya yang tiba-tiba saja menghilang tanpa Iqbaal tahu alasannya apa.
”Ada sesuatu yang mau saya ambil, Bi. Kamar (namakamu) di kunci gak?” Alibinya.
”Neng (namakamu) gak pernah ngunci kamarnya.” Seharusnya Iqbaal tidak perlu menanyakan hal itu, karena (namakamu) masih sama seperi dulu. Gadis itu tidak pernah mengunci kamarnya.
Perlahan kaki Iqbaal mulai menaiki anak tangga. Dia bisa mendengar langkah Bi Sumi yang mengarah ke dapur dan lama kelamaan menghilang.
Saat pertama kali memasuki kamar (namakamu), bau khas tubuh gadis itu segera menusuk hidungnnya, dan mendadak menyerang pikirannya. Ini seperti saat pertama kali Iqbaal merasakan kalau (namakamu) datang kepadanya. Iqbaal tak mengerti kenapa sikap (namakamu) berubah kepadanya. Awalnya Iqbaal tidak terlalu memikirkan karena (namakamu) pasti juga memiliki kesibukan, terutama tentang Lomba antar Jakarta yang akan di selenggarakan beberapa hari lagi.
Tempat tidur (namakamu) rapi, lantainya bersih, gorden serta jendela yang terbuka itu membiarkan cahaya luar masuk bebas ke kamar ini. Iqbaal baru saja duduk di ujung tempat tidur untuk mengamati foto berbingkai yang ada di meja belajar (namakamu), tapi sebuah buku tebal dengan sampul yang mengelupas menarik perhatiannya.
Iqbaal melirik ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Dia tahu kalau yang ada dalam pikirannya bukan hal yang baik tapi semua itu dikalahkan oleh rasa penasarannya. Iqbaal meraih buku tebal tersebut dan diam sejenak untuk mengamati sampul depannya.
Biasa saja.
Iqbaal mulai membuka lembaran pertama, disana, di lembar pertama itu, di bagian paling atas ada sbeuah tulisan yang di ukir dengan tebal.
”Cinta tidak pernah lelah menunggu.” Iqbaal membeo kalimat yang tertulis di buku ini. Sepertinya buku ini adalah buku hariannya (namakamu), Iqbaal berpikir sejenak, bukannya (namakamu) tidak pernah memiliki buku harian bahkan (namakamu) pernah mengatakan kepadanya kalau gadis itu tidak suka menulis tentang kehidupannya.
`Ini terlalu pedih. Untuk apa di tulis? Namun ternyata semua mampu membaik.`
Di halaman kedua, tulisan itu terukir besar-besar. Di sebelah halaman itu ada kalimat lainnya;
`lebih buruk dari sekedar patah hati`
Iqbaal terdiam sebentar, dia membuat sebuah spekulasi kalau tulisan ini pastilah baru-baru saja di tulis. Dan ini tentu saja berkaitan dengan perasaan (namakamu) akhir-akhir ini. Saat Iqbaal membuka halaman selanjutnya, sebuah tulisan panjang langsung menarik perhatiannya.
`Melihat dirimu satu-satunya orang di dalam hatiku
satu-satunya yang ku rindukan
apakah kamu melihatnya?
Tidak dapatkah kamu melihatku?
tidak dapatkah kamu mendengar hatiku?
aku di sini, aku menunggumu
karena kamu satu-satunya bagiku
walaupun sakit, aku tersenyum
walau tersenyum, sesungguhnya aku menangis
kenangan tentangmu selalu muncul di tempat itu
aku di sini
sampai kapan aku harus menunggu?
akankah kamu melihatku?
kesungguhan hati ini
tidakkah kamu mengetahuinya?
tidak dapatkah kamu melihatku?
tidak dapatkah kamu mendengar hatiku?
Tangan yang dengan lembut menjabatku
senyuman yang hangat saat melihatku
hatiku masih tertuju padamu
kamu satu-satunya bagiku
aku akan tetap berada di sini
walaupun waktu terus berlalu, walaupun air mata terus berlinang
aku hanya akan tetap menunggumu :')
Ini seperti sebuah puisi tapi Iqbaal yakin kalau (namakamu) hanya menyampaikan curhatanya ke dalam bentuk puisi. Yang dapat Iqbaal simpulkan dari halaman ini adalah kalau (namakamu) sedang mencintai seseorang tapi belum terbalaskan dan dia masih menunggu orang itu.
Halaman berikutnya juga ada sebuah tulisan panjangnya hampir sama.
Aku tidak tahu kenapa aku menangis, namun mengapa aku terus menangis?
Hatiku kepadamu bertingkah semaunya
Maka itu terus mengirimiku untukmu
Ini sangat menyakitkan bahwa hanya aku yang merasa seperti ini, Bahwa kamu tidak sedang melihatku.
Aku tetap mecintaimu,
Mungkin aku tidak tahu apa-apa lagi, aku tahu aku menginginkanmu
Semakin aku mencoba mendekatimu, semakin aku mencoba untuk dekat
Jarak di antara kita seolah semakin melebar
Kamu menjauh dan membuatku kesepian
Air mataku tidak dapat berhenti
Jangan, jangan menjauh
Jangan pergi menjauh, jangan berpaling dariku, tolong
Karena kebahagiaan dan waktu-waktu indah ku hanya bersamamu.
Aku mempunyai sesuatu yang ingin aku katakan
sekarang
Aku tetap mecintaimu, sangat mencintaimu.
Kapanpun kamu ingin kembali, kembalilah padaku
Karena aku mencintaimu
Tak apa jika kamu tak mencintaiku
Jika aku hanya dapat menatapmu, itu tidak menjadi sebuah masalah.
Tulisan berikutnya mampu membuat Iqbaal termenung lebih lama. Iqbaal seakan mampu masuk ke dalam dunia sih penulis. Dia mampu merasakan betapa sakit yang di rasakan penulis itu yang tidak lain adalah (namakamu).
(Namakamu) sedang jatuh cinta? Tapi kenapa (namakamu) tidak memberitahunya?Bukannya (namakamu) sudah berjanji akan menceritakan kisah cintanya kepada Iqbaal. Dan apapun yang sekarang sedang Iqbaal pikirkan, halaman selanjutnya menjawab semua pertanyaan yang hampir meledakkan isi kepalanya.
`gue gak tau sejak kapan lo masuk ke dalam hati gue.. Yang jelas itu ngebuat air mata gue jatuh kemarin dan air mata juga jatuh hari ini. Cinta hadir tanpa gue tau. Tanpa alasan lo ada di hati gue. Sendirian.
Setiap malam gue mengulang kata-kata ini sambil menangis.
Apa lo tau?
Satu kata yang menggambarkann tentang diri lo dalam hati gue?
Satu kata yang selalu tersembunyi dalam hati gue.
Gue selalu sama lo dan selalu disisi lo. Tapi gue gak bisa bilang kalo gue sayang dan cinta sama lo.
GUE SAYANG SAMA LO IQBAAL DHIAFAKHRI!!!!

Bersambung...

Cerbung Reason - Part 13

`Reason`

Part 13

Muhammad Aryanda.

O-o-o-o-O

”Kalo lo gak minggir, lo yang bakalan gue tendang.” Ancam yang lainnya.
”Sshh, ini cewek keras kepala banget!” Kesal dengan gadis di hadapannya, laki-laki berambut cepak itu menarik baju (namakamu).
Lagi-lagi (namakamu) tak menggubris, dia tetap berada di dalam pelukan Aldi untuk menjadikannya sebuah dinding penghalang bagi keempat laki-laki itu. (Namakamu) tidak peduli kalau dia harus mendapatkan sebuah tendangan yang bahkan akan membuat tulangnya patah saat ini juga. Aldi rela melakukan ini terhadapnya, melingunginya, kenapa (namakamu) tidak.
*
(Namakamu) tidak punya pilihan lain selain membawa Aldi ke kosan Iqbaal. Bukannya (namakamu) tidak ingin membawa Aldi ke rumahnya, hanya saja luka yang terlalu banyak di wajah Aldi nanti akan mengundang masalah baru untuk mereka. Dan kalau ada yang mengusulkan dirinya untuk membawa Aldi ke rumah laki-laki itu sendiri sangatlah bodoh. Belum sempat (namakamu) memikirkan alibi pasti Mama Aldi sudah histeris lebih dulu bahkan bisa saja Mama Aldi akan melaporkan ke yang berwajib.
(Namakamu) terpaksa bolos untuk mengobati luka Aldi di kosan Iqbaal, bukan hanya dia saja sih yang bolos. Keempat teman Farrel beserta Farrel juga ikut bolos. Mereka mengancam (namakamu) harus membawa Aldi pergi dari perkarangan sekolah, mereka tidak mau urusan ini akan diketahui oleh Guru atau Kepala Sekolah.
'Clek!'
Meskipun (namakamu) takut tapi dia tidak mempunyai pilihan lain. Untung saja Iqbaal mempercayainya dan memberikannya kunci cadangan.
Badan Aldi yang dua kali lebih besar dan berat dari badan (namakamu) membuat (namakamu) kewalahan menuntun Aldi.
Saat pertama kali memasuki kosan Iqbaal, bau khas laki-laki itu langsung masuk ke hidung (namakamu) dan menyerang pikirannya. Beberapa hari ini (namakamu) sudah mencoba untuk melupakan semua tentang laki-laki itu, dan tentu saja itu tak sepenuhnya berhasil, dan (namakamu) yakin itu tidak akan pernah berhasil. (Namakamu) sudah mengubur perasaannya untuk Iqbaal terlalu dalam sampai perasaan itu akhirnya tumbuh dan berkembang bagaikan sebuah pohon besar yang kokoh.
(Namakamu) membaringkan Aldi di tempat tidur, lalu dengan cekatan (namakamu) melepas sepatu Aldi. Napas Aldi terdengar terengah-engah dan berkali-kali suara ringisan keluar dari mulutnya.
”Al,” (namakamu) bingung mau mengatakan apa. Dia terlalu khawatir dengan laki-laki di hadapannya ini.
”(Nam..kamu).” Dengan susah payah Aldi mengeluarkan kata itu. Tubuhnya terasa kaku dan sulit di gerakan, seakan kalau di gerakan tulang-tulangnya akan patah.
Mata (namakamu) terpejam, air matanya kembali keluar. Dia tidak tahan kalau terus-terusan melihat Aldi yang seperti ini. Membuka laci nakas, (namakamu) mengambil kapas dan obat-obatan lainnya.
*
Sulit rasanya hati ini menerima
Susah rasanya memanipulasi rasa
Begitu berat untuk menerima fakta
Bahwa cintaku belum terbalaskan
Aku sudah berusaha semampuku untuk mengatakannya namun tak kunjung bisa.
Ku jaga penampilan agar menawan .
Ku tulis puisi penuh sanjungan
Ku kirim sms penuh humoran
Ku telpon saat tidur dan makan
Kamu memang dekat..
Bisa ku pandang dan bisa ku pegang
Bisa ku ajak bicara bisa ku ajak kerja sama
Namun semua itu hanyalah sebatas teman 'tak
lebih'
”Ternyata diem-diem sih Kiki pinter nulis puisi, malah bagus lagi. Kenapa dia gak nulis puisi untuk mading aja ya?”
Olivia baru saja tiba di kelas dan langsung berjalan ke tempat duduknya, tapi saat dia ingin meletakan tasnya. Isi meja yang berada di depan mejanya menarik perhatiannya, di dalam laci itu terdapat selembar kertas dengan coretan yang hampir memenuhi kertas tersebut.
*
”Lo apaan sih! Daritadi salah mulu!”
”Ya lo bikin gerakkannya aneh banget! Norak!”
”Mulut lo ya nyet! Lo ngajak ribut sama gue! Disini gue ketuanya, terserah gue mau kayak gimana buat gerakkan! Mau nyuruh lo jengkeng kek, salto kek, lompat-lompat kek, itu terserah gue! Ngerti lo?!”
”Halah! Banyak omong lo, baru ketua cheers aja udah kayak presiden!”
”Yang suruh lo masuk cheers siapa, nyet? Gak suka keluar, ribet banget hidup lo.”
”Kalo gue gak mau keluar gimana?!”
”Ya terserah lo, ngapaian lo nanya sama gue, sarap!”
Matahari sudah berada di ubun-ubun. Siang begitu panas, seakan matahari hanya berada beberapa meter di atas mereka. 14 enggota cheers sedang berkumpul di lapangan sekolah untuk membuat gerakkan baru. Sebenarnya hampir seluruh anggota cheers mengeluh karena cuaca yang sangat terik, tapi pertandingan basket hanya tinggal beberapa hari lagi. Mereka tidak ingin gelar juara hilang begitu saja.
Akan tetapi latihan yang baru berlangsung sepuluh menit itu langsung terhenti saat salah satu anggota bernama Bella membuat sebuah kesalahan, dan itu membuat Sang Leader—Salsha—naik pitam.
”Gue keluar!” Bella berteriak sambil menghempaskan pom-pom cheers dengan sekenaknya.
”Bagus! Kenapa gak dari kemaren-kemaren,” Salsha memandang kepergian Bella dengan senyum miring yang terukuir mantab, lalu dia mengedarkan pandangannya ke anggota yang lain. ”Yang tadi hirauin, lanjut latihan.”
*
”Badan lo masih sakit, Al?” Tanya (namakamu) untuk kesekian kalinya. Melihat bagaimana rupa Aldi sekarang, (namakamu) lebih bisa bernapas lega walaupun dia tahu kalau sakit di sekujur tubuh Aldi belum menghilang.
”Mendingan.”
(Namakamu) mengangguk, dia kembali ke aktivitas semulanya yaitu mengobati memar di wajah Aldi. Sebelumnya, wajah laki-laki itu putih bersih tanpa ada embel-embel lainnya, tapi sekarang warna merah keunguan itu terdapat hampir di seluruh wajah Aldi. (Namakamu) ikut meringis saat Aldi tersentak karena (namakamu) menekan bagian memarnya terlalu kuat.
”Pelan-pelan, (namakamu).” Kata Aldi mengingatkan.
”Ya.”
Entalah, wajah (namakamu) memang saling berhadapan dengan Aldi tapi tatapan kosong mata (namakamu) tak bisa di sembunyikan. Apa yang sedang gadis ini pikirkan? Batin Aldi bertanya.
”Seharusnya lo gak perlu ngelakuin hal kayak tadi, Al, lo gatau betapa takutnya tadi gue.” Tiba-tiba (namakamu) kembali bersuara dan tanpa di duga itu menjawab pertanyaan di dalam pikiran Aldi.
”Gue gasuka ngeliat Farrel kasar sama lo, (namakamu).”
”Gue gak pa-pa. Gue bisa jaga diri gue sendiri.”
”Terserah lo, tapi apapun itu gue bakalan berusaha untuk selalu berada di samping lo saat lo butuh.”
”Lo udah kayak bodyguard gue aja.” (Namakamu) tertawa sumbang. Sepasang matanya masih belum lepas dari memar di wajah Aldi.
Hening. Mendadak keheningan menyapu di antara mereka, dan tampaknya itu tidak menjadi masalah sama sekali. Memang tidak menjadi masalah sama sekali, tapi penutup percakapan mereka tadi yang membuat masing-masing di antara mereka bergelut dengan pikiran masing-masing. *belibet*
”Akhirnya...selesai,” (namakamu) mengembuskan napasnya sambil beranjak, dia merasakan kalau ruangan ini mendadak menjadi pengap. ”Gue ke dapur dulu ya.”
Aldi mengangguk menyetujui seraya memandang punggung (namakamu) yang kian menjauh dan akhirnya menghilang di pintu.
Sesampainya di dapur (namakamu) segera menegguk segelas air, lalu dia berjalan ke arah jendela untuk memandang keadaan di luar sana. (Namakamu) terdiam sejenak, membiarkan udara segar menerpa wajahnya.
'Terserah lo, tapi apapun itu gue bakalan berusaha untuk selalu berada di samping lo saat lo butuh.'
Kalimat yang sempat terlontar dari mulut Aldi itu lama kelamaan mengendap di kepala (namakamu), membuat sel-sel otaknya yang tumpul itu perlahan menafsirkan maksud dari kalimat Aldi.
Hanya sahabat yang sekedar mengkhawatirkansahabatnya, pikir (namakamu) dangkal. Namun tak lama otaknya bekerja lebih baik membuat kalimat itu tercerna lebih jelas. (Namakamu) tersenyum geli sambil menggeleng saat opsi kedua mulai bisa di tafsirkan oleh isi dalam kepalanya.
”Aldi suka sama gue? Lelucon.” Gumam (namakamu) seraya menegguk sisa air dalam gelas.
*
”(Namakamu)? Dia gak dateng.”
”Iya, gue sih tau dia gak dateng. Lo tau gak kenapa dia gak dateng?”
”Kalau itu sih gue gak tau.”
Bel sudah berdering kira-kira semenit yang lalu tapi Iqbaal dan Kiki masih berada dalam kelas. Mereka masih merapikan alat-alat tulis yang berceceran.
”Aldi juga gak dateng, bisa barengan gitu.” Kata Kiki.
”Kenapa engga? Pembantu aja bisa nikah sama majikan, masa (namakamu) sama Aldi yang gak dateng barengan sampe ngebuat lo terheran-heran gitu.” Timpal Iqbaal, yang merasa kalau perasaan Kiki terlalu berlebihan.
Kiki menyipitkan matanya kesal ke arah Iqbaal. ”Dan nomor tuh anak dua juga gak aktif barengan.” Ujar Kiki bermaksud menambahkan kecurigaannya.
”Nomor (namakamu) kan udah gak aktif kurang lebih seminggu.”
”Gak aktif pala lo botak, semalem gue smsan sama dia masih lo bilang gak aktif hampir seminggu?” Kiki memperlihatkan layar ponselnya pada Iqbaal.
Iqbaal memperhatikan waktu pengirimannya, siapa tahu saja Kiki hanya memperlihatkan sms lamanya dengan (namakamu). Tapi sayang, apa yang Kiki katakan adalah benar, jam dan tanggal yang tertera di pesan singkat mereka menunjukan waktu yang tepat seperti semalam. Namun kenapa saat Iqbaal berusaha menghubungi (namakamu) nomornya selalu tidak dapat di hubungi, yang terdengar hanya suara operator yang menyebalkan.
”Lo hubunginya ke nomor yang lama kali.” Mendengar perkataan Kiki, Iqbaal cepat-cepat menengadah memandang laki-laki di hadapannya.
”(Namakamu) ganti nomor?” Tanya Iqbaal tak percaya. Dia menghentikan aktivitasnya dan diam sejenak untuk mendengar jawaban Kiki.
Kiki mengangguk mantab. ”Iya, (namakamu) gak ngasih tau lo?”
Secepatnya Iqbaal menggeleng.
”Aneh, kayaknya ada sesuatu dengan (namakamu),” Kiki sampai memijat pelipisnya.
”Sesuatu apa?” Tanya Iqbaal segera. Terkadang Kiki memang suka berpikiran berlebihan.
Kiki mengibaskan tangannya pertanda tidak tahu lalu dia mengenakan tasnya dan berjalan mendahului Iqbaal. Melihat kepergian Kiki yang misterius, Iqbaal hanya bisa menggeleng.
Sebelum keluar dari kelas, Iqbaal memandang sendu ke meja (namakamu). Sebenarnya ada apa dengan gadis itu, kenapa dia mendadak berubah dan tak ingin berbicara dengannya. Sudah hampir seminggu (namakamu) tidak berbicara dengannya, bahkan meskipun satu kelas. Dan (namakamu) selalu menghindar darinya.
Langkah Iqbaal sudah menapaki koridor sepi. Tentu saja koridor sudah sepi karena dirinya terlalu lama mengobrol bersama Kiki di dalam kelas.
”Baal!” Seseorang menepuk bahu Iqbaal dari belakang, membuat Iqbaal berjengit.
”Ssh! Biasa aja bisa gak? Lo bikin gue kaget.”
”Yaelah, gitu doang. Kayak cewek aja lu.”
”Lo habis dari mana, Ki? Pergi gak bilang-bilang, dateng ngagetin.”
”Toilet.”
Iqbaal memiringkan kepalanya, mengingat ucapan Kiki beberapa menit lalu yang terdengar cukup misterius, dan ternyata laki-laki ini hanya ingin ke toilet. Pantas saja perkataanya ngegantung.
”Ada apa sih?” Iqbaal meneliti wajah Kiki yang gelisah.
”Barusan gue hubungi (namakamu), katanya dia di kosan lo!” Beritahu Kiki. ”Sama Aldi.” Sambung Kiki
Berbagai macam pertanyaan langsung tercipta di benak Iqbaal. Sedang apa mereka berdua di kosan Iqbaal? Dan kenapa (namakamu) dan Aldi masuk ke dalam kosan Iqbaal tanpa seizinnya, meskipun disana tidak ada barang berharga tapi tetap saja itu tidak sopan. Sebenarnya ocehan kedua tidak terlalu penting, karena Iqbaal juga tidak melarang teman-temannya datang ke kosannya tanpa seizinnnya. Entalah, mendengar kalau Aldi dan (namakamu) hanya berdua saja di kosannya membuat kepala Iqbaal terasa seperti terbentur.
*
”...gue gatau siapa, mereka gangguin gue gitu aja, dan tiba-tiba aja Aldi dateng dan langsung mukul salh satu di antara mereka,” (namakamu) menerangkan kepada Kiki tentang kenapa Aldi bisa seperti ini. Meskipun dia berbohong tapi memang begitukan kejadian sebenarnya, hanya saja (namakamu) tidak melibatkan Farrel, (namakamu) tidak ingin teman-teman lainnya berurusan dengan Farrel. Terutama Iqbaal.
(Namakamu) hanya menunduk. Dia menghindari tatapan Iqbaal yang mengarah ke arahnya.
”Ki, lo bisa jagain Aldi sebentar kan? Gue mau pulang buat ganti baju sebentar.” Ujar (namakamu) sambil membenahi dirinya, setelah mendapatkan anggukan dari Kiki, (namakamu) buru-buru beranjak dan keluar dari kamar Iqbaal.
(Namakamu) tidak ingin semuanya akan kacau lagi. Dia tahu kalau ini tidak jauh lebih baik, tapi kalau terus bersama laki-laki itu akan menyakitinya tanpa bisa melakukan apa-apa, lebih baik (namakamu) menjauh saja, walaupun dalam hati kecilnya dia menginginkan Iqbaal berada di dekatnya.
Hap!
Langkah (namakamu) yang terkesan berlari untuk menghindari Iqbaal ternyata di ketahui oleh Iqbaal. Iqbaal menyusul (namakamu) dan segera menyambar tangan gadis itu.
”Lo kenapa (namakamu)? Lo ngejauh dari gue, lo gak ngomong sama gue, lo ganti nomor tanpa ngasih tau gue. Lo kenapa? Gue ada salah apa sama lo, sampe-sampe lo berubah kayak gini sama gue?”
(Namakamu) mencoba melepaskan genggaman Iqbaal tapi Iqbaal tak mengizinkannya,malah sekarang Iqbaal menarik (namakamu) agar mendekat padanya. Dengan sekali gerakan, Iqbaal menutup pintu kosan dan menguncinya.
”Baal gue mau pulang, Mama gue pasti nyariin gue.”
”Lo pernah seharian di kosan gue dan itu gak masalah. Tapi kenapa sekarang lo kayak gini?” Pertanyaan Iqbaal penuh penekanan membuat (namakamu) semakin tidak ingin memandang wajah laki-laki itu.

Bersambung...

Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

Situs terkait