Saturday, December 6, 2014

Cerpen - Tulip




Genre: Angst, Hurt.

Nb: cuma cerpen._.

*

“Saat dua orang saling mencintai, dan mereka telah merakit hubungan seperti yang mereka inginkan sejak awal, akan ada saat yang memisahkan mereka. Tuhan selalu memiliki rencana terbaik dari segala kebaikannya. Dulu—ketika aku masih mampu menatap mata kelincimu, selalu ada perasaan sedih dan senang yang teramat dalam. Senang karena Tuhan memberimu waktu untuk hadir dikehidupanku yang kelam. Dan aku pun merasa sedih pada waktu bersamaan. Sedih karena aku sepenuhnya menyadari bahwa setiap pertemuan yang indah, akan selalu berakhir dengan sebuah perpisahan yang entah seperti apa?”—Iqbaal.

“Waktu itu aku berpikir, bahwa mencintaimu hanyalah semudah ketika aku selalu ada disampingmu. Menjadi pelindung untukmu yang sudah tidak bisa melindungiku lagi. Mengulurkan tanganku untuk menuntunmu jalan pada satu arah yang sama. Menggantikan rasa ketakutanmu menjadi sekelumit ketenangan kecil. Menyatukan kembali keberanian yang pernah pecah dalam dirimu. Membayar setiap airmata yang mengalir dengan senyum-tawa yang tersisa. Namun ternyata... Itu tidak cukup. Inilah saat yang tepat untuk mengembalikan segala-galanya yang pernah hilang darimu. Aku mencintaimu, Iqbaal.”—(Namakamu).

*

Aroma bunga tulip menyeruak masuk kedalam indera penciumannya. Memenuhi nafas yang dihirupnya dengan manjaan harum bunga tulip yang bermekaran dimusim semi. Menghadirkan suasana bagai sedang berada di-Eropa seketika. Setiap tarikan nafas yang dihirup pemuda ini mengandung unsur kesakitan yang mendalam. Kesakitan tak berujung yang selalu mengajak pikirannya terbang hambur pada masa yang menyedihkan. Masa-masa yang terlalu indah dan membuatnya semenderita ini—setiap kali mengingatnya. Pemuda yang disebut-sebut Iqbaal ini tengah duduk disebuah ayunan besi yang telah di-cat warna putih. Kala mata sejuknya berkeliar disekitar tempat, maka akan ada pemandangan indah yang bisa menggoreskan hatinya. Bunga tulip bermekaran indah. Bunga tulip dimana-mana. Bunga tulip yang membuatnya seperti ada dilautan tulip. Dengan warna berbagai macam. Sangat cantik.

Iqbaal menoleh kearah kanan. Menatap sendu pada ayunan kosong yang sudah tidak berarti tanpa kehadiran gadis itu. Gadis yang sangat ia cintai. Gadis yang membuat Iqbaal berjanji untuk selalu menjaga, menemani dan berusaha menjadikan hari-hari mereka diiujani dengan senyuman.

`(Namakamu)?` gumam Iqbaal.

Adakah disana—didunia yang lain— (Namakamu) merasakan hal serupa sebagaimana Iqbaal merasakan itu sekarang? Perasaan rindu. Rindu yang besarnya tidak dapat dikatakan dengan kata apapun. Tidak mampu untuk diibaratkan dengan apapun. Karena kerinduan itu terlalu besar dan menyakitkan.

Iqbaal masih ingat ketika gadis itu duduk diayunan dingin itu. Seraya berpegang-teguhpada kedua sisi ayunan. Dan juga disertai gelak tawa yang memanjakan telinga Iqbaal. (Namakamu) perlahan mulai menggerakan ayunannya sampai berayun mengirimkan tiupan angin kecil yang berbisik sangat manis ditelinganya. Terkadang itu membuat Iqbaal tersenyum.

`Apakah kau sangat menyukai bunga tulip? Sejak tadi kau terlihat menikmati setiap hembusan nafasmu.` itulah yang Iqbaal tanyakan pada waktu lalu.

`Tentu. Selain karena warnanya yang indah dan aromanya yang segar, bunga tulip memiliki arti yang berkesan.` sahut (Namakamu) saat itu.

`Memang apa artinya?`

(Namakamu) menoleh dan berdecih geli. `Cari tahu sendiri saja, bodoh!` ejeknya.

Sedikit terkekeh lucu ketika Iqbaal mengingat masa-masa itu. Hanya karena hal kecil yang tidak Iqbaal ketahui, selalu ada cibiran `bodoh!` yang keluar dari mulut (Namakamu). Terkadang terlalu berlebihan jika (Namakamu) mengatai Iqbaal bodoh lantaran hal-hal kecil yang tidak Iqbaal ketahui. Namun pada saat itu—dulu sampai sekarang— Iqbaal tidak pernah merasa tersinggung atas perkataan (Namakamu). Karena menurut Iqbaal, itu hanya sedekar rempah-rempah yang akan menyempurnakan hubungan mereka. Iqbaal tahu kalau (Namakamu) sedang becanda. Dan Iqbaal sangat mengerti itu.

Seandainya saja Tuhan dapat mengabulkan satu harapan terbesar yang Iqbaal miliki—meskipuntidak masuk akal— maka yang akan Iqbaal pinta adalah; tolong kembalikan (Namakamu) untuknya, atau putar ulang waktu ke masa sebelum sekarang. Namun Iqbaal kembali menyadari; itu tidak mungkin!

Flashback~

(Namakamu) melambaikan tangannya kepada pria diseberang jalan. Pria berkemeja putih biru yang lengannya dilipat sampai sikut. Pria itu tersenyum melihat aksi (Namakamu) yang terus melambai tangan kearahnya —memintanya untuk segera kembali—. Iqbaal, pria yang tengah (Namakamu) berikan lambaian tangan itu terlihat membawa dua buah cup ice cream, rasa cokelat dan vanilla. Malam-malam seperti ini memang agak aneh untuk menikmati ice cream. Namun karena itu permintaan (Namakamu), maka Iqbaal mau membelikan ice cream tersebut demi kekasihnya.

“Hei, kau yang disana! Tidak bisakah sedikit lebih cepat? Sekarang kembalilah padaku!” seru (Namakamu). Kedua telapak tangannya melingkar disekitar bibir.

Iqbaal berdecak tanpa diketahui (Namakamu). Lalu langkahnya terayun menuju (Namakamu) yang sedang duduk disebuah kursi panjang pada seberang jalan. Gadis itu tidak pernah sabar ketika hendak menikmati ice cream yang Iqbaal belikan. Menanti beberapa menit saja membuatnya begitu muak. Tatapan mata Iqbaal menusuk lembut wajah tidak sabaran (Namakamu). Sesekali melepas kekehan ringan.

Sialnya, pada malam itu, sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Bunyi klakson terus menggema sebelum akhirnya sebuah motor dengan kelajuan kencang berhasil menghantam tubuh Iqbaal. Menghempaskan dua cup ice cream ditangan Iqbaal. Mematikan seluruh gerak badan Iqbaal dalam sekejap detik. Membuat Iqbaal merasakan kesakitan yang teramat dahsyat pada saat itu, seperti seluruh tulangnya telah dipatahkan tanpa belas kasihan. Iqbaal sempat terkejut dan merasakan desiran jantung yang luar biasa kuat, sebelum akhirnya tubuh tak berdayanya terkapar lemah ditepi jalan. Membentrokan wajahnya pada trotoar jalan. (Namakamu) langsung histeris merasakan satu kepedihan yang begitu dalam. Kepedihan yang sepertinya mampu merenggut semua harapannya dimasa yang akan datang.

“Iqbaal?” lirih (Namakamu) ketika pria itu ada dipangkuannya. Telapak tangan (Namakamu) yang putih itu kontras bersimbah darah. Terkena darah merah segar yang mengalir dari pelipis, kening dan bagian tubuh Iqbaal lainnya.

Tidak lama usai kecelakaan itu terjadi. Gadis itu berteriak meminta pertolongan. Lalu salah seorang baik hati mau menolong (Namakamu) memanggilkan ambulance, hingga Iqbaal dilarikan ke Rumah Sakit 15 menit setelah mobil ambulance itu datang.

Flashback End~

Iqbaal melenguh. Menghempaskan nafas yang ia tahan-tahan beberapa detik lalu. Mengingat kejadian itu, saat (Namakamu) menolongnya dari kecelakaan tragis tersebut, Iqbaal membenci dirinya sendiri. Karena masalah tidak akan jadi serumit ini apabila saat itu (Namakamu) tidak membawanya ke Rumah Sakit. Menurut Iqbaal, keadaan akan membaik jika dia mati saja dilokasi kejadian—tanpa harus membuang waktu menuju Rumah Sakit. Dalam kondisinya mengenaskan itu, Iqbaal masih sanggup mendengar tangisan (Namakamu) yang disertai raungan memilukan. Entah rasa ketakutan seperti apa yang (Namakamu) rasakan saat melihat Iqbaal terluka kala itu.

*

“Kau—pada saat itu seharusnya biarkan aku mati saja. Sekalipun kau tidak ingin aku mati, maka seharusnya kau tidak pergi meninggalkanku.Bukan kau yang pergi dariku, tapi aku yang pergi darimu. Seperti itu garis takdir yang sesungguhnya. Jika menurutmu penderitaanku bermula karena permintaanmu, itu salah! Sungguh, aku tidak pernah menyesal telah menuruti apa yang menjadi permintaanmu. Jangan jadikan penderitaanku beban untukmu. Meskipun pada awalnya aku takut, sedih, dan merasakan kegelapan yang seluruhnya menyakitkan, namun aku belajar terbiasa atas hal biasa yang menyedihkan. Aku tidak apa-apa selagi kau berada disampingku.”—Iqbaal.

“Melihatmu seperti ini—merasakan sakit dan menderita seorang diri— entah mengapa hatiku selalu terluka, seperti tersayat mata pisau yang paling tajam. Kalau kau menganggap itu tidak apa-apa, maka akan ku buktikan bahwa akupun tidak apa-apa. Untuk sekali ini biarkan aku mengorbankan satu kebahagiaan yang ku miliki. Menitipkan anugerah indah Tuhan untuk bersemayam pada dirimu. Kau tidak perlu membalas dengan apapun, cukup jaga apa yang ku serahkan padamu sebaik mungkin. Aku mencintaimu, Iqbaal. Bahkan sangat!”—(Namakamu).

*

`Kau bodoh, Iqbaal` kalimat yang sudah tak terhitung berapa kali (Namakamu) ucapkan itu masih segar dalam pikiran Iqbaal. (Namakamu) selalu mengatai Iqbaal bodoh. Tanpa (Namakamu) sadari bahwa..,

“Kau yang jauh lebih bodoh, (Namakamu)!” saat ini Iqbaal hanya ingin menyampaikan kalimat itu untuk (Namakamu). Memberitahukan (Namakamu) betapa bodohnya gadis itu. Ingin menyadarkan (Namakamu) bahwa gadis itu ternyata memiliki otak dangkal seperti ayam. Melakukan hal gilak dengan mudahnya dan menjadikan alasan besar dibalik tindakan bodohnya. Iqbaal mengerti kalau (Namakamu) hanya tidak sanggup melihat kondisi Iqbaal yang memprihatinkan itu. Namun tak dapat disangkal bahwa Iqbaal jauh lebih tidak sanggup jika harus kehilangan (Namakamu). Iqbaal sangat membutuhkan (Namakamu).

Flashback~

“Ini bunga apa?” tanya Iqbaal seraya mencium aroma bunga yang dipegangnya.

“Menurutmu?” (Namakamu) balik bertanya.

“Mungkinkah... Mawar?” Iqbaal hanya berusaha menerka.

“Rupanya pria bodoh-ku sudah mulai pintar!” dengan gemas (Namakamu) menarik hidung Iqbaal. Tersenyum hangat.

“Berhenti menganggapku bodoh, Mrs. Dhiafakhri! Cepat ambilkan bunga yang lainnya.” rutuk Iqbaal sambil berkerut alis.

“Baiklah.” (Namakamu) mengambilkan bunga yang lain, menyodorkannya untuk Iqbaal pegang dan cium aromanya. “Yang ini bunga apa?” tanyanya.

“Coba kau tebak!” tantang (Namakamu).

“Apa kau sedang meledekku? Dalam keadaanku seperti ini aku tidak bisa terus-menerus menebak nama bunga.” Iqbaal mulai menggerutu. Niat sebenarnya hanya ingin menbercandai (Namakamu).

Sekonyong-konyong senyum (Namakamu) lenyap ketika mendengar apa yang Iqbaal katakan padanya. Meskipun becanda tapi (Namakamu) tidak mampu mengajak hatinya untuk bermain-main dalam hal ini. Kecelakaan dua minggu yang lalu terus-menerus menganggu (Namakamu). Membuatnya berpikir kalau Iqbaal seperti ini karena dirinya. Jika saja pada malam itu tidak ada rengekan manja dari bibir (Namakamu). Seandainya bila (Namakamu) tidak meminta ice cream itu, pasti tidak akan begini kejadiannya. Tidak akan ada yang merasa bersalah dan dirugikan. Rasa sakit dan ketakutan itu tentu tidak pernah menyapa kehidupannya.

`Pasien bernama Iqbaal Dhiafakhri mengalami buta permanent akibat pelipisnya yang menghantam keras trotoar jalan.` kalimat yang pernah diucapkan Dokter Ryzki—Dokter yang menangani Iqbaal setelah kecelakaan— terngiang jelas ditelinga (Namakamu). Menghadirkan kembali rasa bersalah yang terlalu besar untuk diabaikan.

“Maaf.” gumam (Namakamu).

“Apa?”

“T-tidak.” (Namakamu) menyengir kaku meskipun Iqbaal tidak akan bisa melihatnya lagi.

“(Namakamu).” Iqbaal masih bisa merasakan halusnya tangan (Namakamu) yang ia genggam. “Jangan pernah menyesal atas hal yang terjadi padaku. Apapun yang menimpaku, ini adalah takdir Tuhan. Kau tidak perlu cemas atau merasa bersalah, cukup tetap ada disisiku. Menjadi mata ketika aku ingin melihat. Ulurkan saja tanganmu, dan tuntun aku pada jalan yang sama. Temani aku sampai mataku terpejam. Aku, benar-benar mencintaimu.” ujar Iqbaal. Lalu mengecup lembut punggung tangan (Namakamu). Tak lupa senyuman tulus menghiasi wajahnya yang cerah gembira. Gembira karena ada (Namakamu) disisinya. Karena (Namakamu) masih setia dengannya.

“(Namakamu), apakah kau mau berjanji untuk selalu disisiku?” tanya Iqbaal. Kegelapan yang dirasakannya sudah tak berarti dengan kehadiran (Namakamu) disampingnya.

(Namakamu) tersenyum getir. “Ya. Janji!” terdengar nada ragu ketika ia mengatakan `Janji!`.

Flashback End~

“Bahkan kau mengingkari janjimu.” Iqbaal masih terus bergumam ketika pikirannya diajak terbang mengingat kenangan bersama (Namakamu). Menghembuskan nafas panjang. Berharap itu mampu membawa kesesakkan dalam dadanya keluar melalui hembusan nafas yang tersisa.

“Pria bodoh, apa yang kau lakukan dengan menangis disini?”

Iqbaal tercengang saat mendengar suara yang ia pikir hanya halusinasi akibat terlalu merindukan (Namakamu). Suara lembut seorang gadis yang memiliki kebiasaan mengatai Iqbaal pria bodoh. Gadis yang sudah hampir satu tahun meninggalkan Iqbaal seorang diri. Dia pergi tanpa kata-kata, berjalan menuju tangga yang pada akhirnya akan membawa siapapun kesebuah alam yang berbeda. Tanpa aba-aba Iqbaal menoleh kebelakang, melihat gadis mengenakan dress putih selutut dengan lengan panjang serta rambut tergerai indah. Gadis itu terlihat bercahaya dibalik senyuman manis yang memperlihatkan sederetan giginya yang rapih. Ceria. (Namakamu) tampak sangat ceria saat itu. Bahunya naik-turun lantaran (Namakamu) menahan tawa bahagianya.

“(Namakamu), benarkah ini kau?” Iqbaal bingung apakah dirinya sudah mulai gilak. Sedangkan gadis yang amat ia cintai itu sudah meninggal nyaris setahun yang lalu. Iqbaal mendengar kabar meninggal-nya (Namakamu) setelah berhasil menjalankan transplantasi mata.

Perlahan gadis cantik bak dewi surga itupun melangkah kehadapan Iqbaal. Menatap Iqbaal dan kembali terkekeh manis. “Apakah kau terlalu bodoh hingga tidak mengenaliku lagi, Tuan Iqbaal?” ejeknya.

Sudut-sudut mata Iqbaal yang semula mengering lantaran terlalu lelah menangis, seperti lupa cara mengeluarkan airmata, kini kembali mencair dan menjatuhkan sebulir airmata ambigu. Airmata yang terjatuh bersama rasa bahagia setelah lama mengandung kepedihan. “Aku merindukanmu. Tidakkah kau mengetahuinya?”suaranya terasa sulit keluar.

Senyum dibibir (Namakamu) meredup, sampai akhirnya hanya menyisakan garis kepiluan pada wajahnya. “Jangan siksa batinmu dengan cara seperti ini. Jangan terlalu larut dalam kesedihan!” katanya.

“Kau kesini untuk menjemputku?” Iqbaal menatap lekat wajah (Namakamu).

“Tentu saja tidak. Aku hanya ingin menyampaikan satu hal padamu.” elak (Namakamu). “Kau tidak perlu menjadikan kepergianku penderitaan besar, cukup jaga kedua mata yang ku titipkan padamu. Jangan biarkan mata itu terus menangis. Kelak aku ingin melihat binar kebahagiaan dibalik bola mata itu. Mengerti?” papar (Namakamu). Kedua alisnya berjengit naik.

“Bagaimana bisa aku berhenti menangis, sedangkan orang yang menitipkan matanya padaku sudah pergi dan meninggalkan apa yang seharusnya menjadi miliknya.” Iqbaal masih enggan menepis airmata yang mengalir.

“Seberapa banyak airmata yang kau keluarkan dari mata itu? Dan apakah kau tahu bahwa itu sia-sia? Aku tidak akan pernah kembali, meskipun kau menangis sebanyak sisa usiamu. Aku—benar-benaringin melihatmu bahagia.” (Namakamu) menarik kedua sudut bibirnya, mencoba untuk menciptakan senyum ditengah kepahitan.

“Apa kau juga bahagia disana?” tanya Iqbaal.

“Tentu.” (Namakamu). “Selama aku bisa melihatmu bahagia.” tambahnya.

“Kalau begitu— ajak aku pergi bersamamu.” pinta Iqbaal dengan nada sangat memohon.

“Yang membawamu pergi bukan aku. Akan ada saatnya meskipun bukan sekarang. Biarkan Tuhan saja yang menjawabnya.” balas (Namakamu).

Gadis itu sedikit membungkukkan badannya. Mengarahkan wajahnya tepat dihadapan Iqbaal. “Hiduplah sebaik mungkin disisa usiamu!” mohon (Namakamu). Dengan begitu lembut bibirnya sudah meraup bibir merah muda Iqbaal. Menekan bibirnya ketika sudah tertumpuk bibir pria itu. Mereka berdua memejamkan matanya. Merasakan hasrat memabukkan yang terjadi sekarang. Dari mulai jantung yang berdegup kencang, nafas yang memburu tidak beraturan, dan berakhir pada hembusan angin yang membawa pergi sosok (Namakamu) dari pelukan Iqbaal. Angin yang diutus oleh Tuhan itu telah merenggut (Namakamu) dari tangan Iqbaal. Membuat tubuh (Namakamu) berlalu seperti butiran-butiranpasir yang tertiup angin. Iqbaal mengerang dan meraung-raung pilu. Untuk yang kedua kalinya— (Namakamu) pergi meninggalkan yang membuat hati Iqbaal sangat terpiuh.

Beberapa saat kemudian, tidak selama setelah berlalunya (Namakamu), Iqbaal merasakan sesuatu menepuk bahunya. Suara-suara samar merasuki telinganya. Membuat Iqbaal sadar secara perlahan dan menyadari bahwa dirinya baru saja terlelap.

“Iqbaal?”

Iqbaal membuka matanya, lebih tepat mengerjap-erjapkannya. Ia lalu sadar bahwa dirinya sedang ada diruang melukis. Iqbaal ketiduran dengan posisi kepala tergeletak diatas meja. Saat menatap kaca jendela, ternyata sore ini sedang hujan.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Aldi, temannya. Iqbaal memijat matanya pelan, lalu mengangguk sebagai balasan atas pertanyaan Aldi. Ternyata, tentang (Namakamu) yang datang padanya hanyalah mimpi. Sebenarnya Iqbaal sangat bahagia karena dapat melihat (Namakamu) kembali. Namun sayangnya, itu hanya mimpi. Mimpi yang menjadikan satu-satunya interaksi bagi (Namakamu) jika ingin menyampaikan pesan pada Iqbaal.

“Ponselmu berdering. Aku rasa, ada pesan masuk.” ucap Aldi yang kemudian pergi dari ruang melukis itu. Iqbaal melirik ponselnya dan membaca pesan masuk.

`Waktu itu aku berpikir, bahwa mencintaimu hanyalah semudah ketika aku selalu ada disampingmu. Menjadi pelindung untukmu yang sudah tidak bisa melindungiku lagi. Mengulurkan tanganku untuk menuntunmu jalan pada satu arah yang sama. Menggantikan rasa ketakutanmu menjadi sekelumit ketenangan kecil. Menyatukan kembali keberanian yang pernah pecah dalam dirimu. Membayar setiap airmata yang mengalir dengan senyum-tawa yang tersisa. Namun ternyata... Itu tidak cukup. Inilah saat yang tepat untuk mengembalikan segala-galanya yang pernah hilang darimu. Aku mencintaimu, Iqbaal.

Kau ingat, dulu kau selalu bertanya-tanya apa arti bunga tulip sebenarnya. Sekarang akan ku katakan padamu, bahwa bunga tulip artinya; cinta sejati.

Kau— jadilah bunga tulip yang paling indah. Menjadi cinta sejati yang paling sempurna untuk gadis yang akan bersamamu kelak, meskipun sepenuhnya aku menyadari kita tak mungkin bersatu. Jadikan musim semi lebih indah dengan cinta tulus yang ada didalam hatimu. Satu yang aku inginkan, siapapun gadis beruntung yang akan bersatu denganmu, sisakan setidaknya satu celah terkecil untuk menyimpan namaku didalam hatimu. Sekedar mengingatkanmu bahwa akupun pernah ada dalam hidupmu. Pernah memenuhi hatimu, tertawa, bersedih, menangis, serta tersenyum bersamamu. Aku ada, jauh sebelum gadis lainnya merebut posisi terindah didalam hatimu—entah sekarang atau nanti?`

Iqbaal tersenyum. Tanpa ia sadari pipinya sudah basah dengan airmata yang bercucuran haru. Kemudian ia mendongak menatap hujan dari jendela. Apakah hujan yang turun itu merupakan tanda bahwa (Namakamu) sedang hadir? Sebenarnya itu suara hujan atau suara (Namakamu)?

Epilog~

Dimalam musim semi (Namakamu) menekur jalan seorang diri. Mengikuti langkah kaki yang entah akan mengajak tubuhnya pergi kemana? Langkahnya yang lambat itu seakan mewakili bahwa ia sangat dilanda keraguan. Dia menunduk dan terus berpikir. Berulang kali memikirkan satu hal yang menjadi beban diotaknya.

“Kau menderita karena aku, maka izinkanlah aku menebus semua kesalahanku.” ucap (Namakamu).

Tanpa pikir panjang gadis itu berjalan ditengah-tengahaspal jalan. Sengaja menabrakkan dirinya didepan mobil yang tengah melaju. Kemudian setelah itu (Namakamu) dilarikan ke Rumah Sakit oleh orang-orang sekitar.

Dan kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya?

(Namakamu) meminta Dokter agar bersedia memberikan mata (Namakamu) untuk Iqbaal. Menyerahkan dua benda titipan Tuhan yang paling berharga untuk diberikan kepada Iqbaal. Memberi Iqbaal kesempatan untuk dapat menikmati indahnya dunia sekali lagi. Dan (Namakamu) tidak menyesal telah melakukannya. Karena cinta sejati menurutnya ibarat uang dan barang. Butuh pengorbanan untuk mendapatkan keduanya.



TAMAT.



Karya : @mitapuspita98

Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya

Jangan lupa klik Share/Bagikan

No comments:

Post a Comment

Situs terkait