`Pinocchio` 15
Part 10
Muhammad Aryanda.
O-o-o-o-O
”(Namakamu).” Sebenarnya Iqbaal tidak tega membangunkan (namakamu) yang masih dalam keadaan tidur, apalagi mengingat bagaimana polosnya wajah (namakamu) saat tertidur.
Tidak ada respon dari (namakamu), Iqbaal menggoyang-goyangkan bahu (namakamu) sambil memanggil nama wanita itu.
(Namakamu) mengerang, matanya mengerjap berkali-kali. Sedangkan Iqbaal yang menyaksikan betapa lucunya (namakmu) saat ingin bangun tidur hanya terkekeh tanpa suara. Berselang beberapa detik, Iqbaal membawa (namakamu) dalam pelukkannya dan membisikkan sesuatu, yang terdengar seperti....
”Maafin aku.”
(Namakamu) yang masih dalam keadaan setengah sadar hanya bisa membalas pelukkan Iqbaal. Wanita itu kembali memejamkan matanya. Samar-samar (namakamu) merasakan sesuatu yang hangat dan basah menempel di keningnya.
*
”Hm, eh—hai.” (Namakamu) baru saja keluar dari dalam kamar, dan menemukan Jessica sedang membuka jendela-jendelarumah, dia menyapa Jessica gugup.
”Oh, hai.”
(namakamu) tersenyum, wajahnya terlihat kaku. Dia berjalan ke arah Jessica sambil mengetuk satu sama lain jari telunjuknya.
”Yang kemarin....maaf, lagi badmood.” Kata (namakamu) nyengir.
”Engga pa-pa. Bawaan ibu hamil.”
Detik itu juga pintu kamar terbuka, sosok Iqbaal muncul dari balik pintu.
Iqbaal tak langsung berjalan untuk menghampiri kedua wanita itu. Dia berdiri di hadapan pintu sambil mengernyitkan wajahnya. Kebingungan tergores jelas di wajahnya. Maksudnya, bagaimana bisa Jessica bisa ada di rumah ini? Bukannya kemarin gadis itu pamit dan setelah itu Iqbaal tidak ada bertemu dengan Jessica.
”Jessica?” Panggil Iqbaal linglung.
Jessica yang sedang menyibak gorden menoleh ke arah Iqbaal dengan wajah bertanya.
”Sejak..,” Iqbaal menjeda ucapannya, dia mengalihkan pandangannya ke (namakamu) dengan sikap bertanya. (Namakamu) yang juga tidak tahu ceritanya bagaimana, hanya bisa mengangkat kedua bahunya. ”Kok bisa disini?”
Jessica tersennyum tipis, dia masih ingat betul bagaimana kejadian kemarin, bagaimana keadaan Iqbaal yang cukup mengenaskan, jadi Jessica memaklumi saja. Jessica menarik kursi yang tak berada jauh dari jangkauannya. Setelah duduk, dia menjelaskan kepada Iqbaal kenapa dia bisa berada disini.
”Aku engga sengaja ketemu sama kamu di club bersama teman-temanmu. Kalian mabuk dan, yah, seperti itu. Aku mengantar kamu pulang.” Jelas Jessican, walaupun dia tahu penjelasannya terdengar terlalu aneh, namun sepasang suami istri ini tidak ada yang berkomentar.
Mengedarkan pandangannya, Jessica tanpa sengaja bertemu pandang dengan Iqbaal. Hanya sekilas, laki-laki itu tersenyum kecil bahkan sampai (namakamu) tidak menyadarinya.
*
”Terima kasih untuk yang tadi. Aku tau, cerita sebenarnya engga kayak gitu.” Iqbaal sedang berada dalam mobil untuk mengantar Jessica ke kota. Dia mengatakan untuk berterimakasih kepada Jessica karena Iqbaal tahu kalau cerita sebenarnya tidak seperti itu.
Jessica tersenyum. Dan Iqbaal bisa melihat itu dari kaca spion yan tergantung di atas kepalanya.
Iqbaal sudah membuat surat izin dalam waktu seminggu—kuranglebih. Tadinya dia ingin menggunakan alasan pergi ke kantor untuk mengantar Jessica, tapi saat teringat dengan surat izin itu, Iqbaal mengurungkan niatnya. Dia meminta izin pada (namakamu) walau butuh waktu untuk memikirkan hal itu, Iqbaal tidak ingin mereka bertengkar lagi. Tapi, ternyata (namakamu) mengizinkan. Agaknya mood (namakamu) sudah membaik.
Sementara Iqbaal yang mengantar Jessica ke kota. (Namakamu) di rumah sedang menyaksikan drama di temani suara berisik daridapur yang di hasilkan oleh Bi Inah. Fokus (namakamu) hilang pada drama di televisi saat menyadari kalau suara kebisingan di dapur tidak terdengar lagi.
Dengan susah payah (namakamu) beranjak dari posisi duduknya, dia berjalan ke arah dapur dengan langkah yang sangat pelan bahkan dia menyeret kakinya, terlebih sambil memegang setiap benda yang bisa di jadikan pencagak.
(Namakamu) terkejut saat tiba di dapur dan tidak menemukan Bi Inah.
”Bi..” Panggil (namakamu), dia berjalan ke arah kompor yang masih menyala cukup besar lalu mematikannya.
Bi Inah belum selesai memasak, masih banyak bahan-bahan di meja yang belum di masak. Apa Bi Inah ke kamar mandi? (Namakamu) berjalan pelan ke arah kamar mandi sambil sesekali memanggil Bi Inah. Sesampainya disana dia tidak menemukan Bi Inah bahkan pintu kamar mandi terbuka lebar.
Tap! Tap! Tap!
Suara langkah kaki yang mengisi telinga (namakamu), (namakamu) yakin kan sebagai langkah Bi Inah. Jadi (namakamu) memutar badannya dengan susah payah.
”Bi...” Belum sempat (namakamu) menyelesaikan ucapannya, wanita paruh bayah yang ada di hadapannya melayangkann sebuah tamparan cukup kuat hingga membuat tubuh (namakamu) bergeser.
”Bi!” (Namakamu) memegang pipinya, dia ingin menangis, rasanya cukup sakit.
Tapi seakan tidak mendengar perkataan (namakamu), wanita paruh bayah itu malah tertawa melengking seperti orang gila. Dia melempar benda-benda ke arah (namakamu) sambil terus tertawa. (Namakamu) berusaha menghindar walau sesekali benda itu mengenai dirinya.
Tidak ada lagi benda yang terlempar ke arah (namakamu), tapi yang (namakamu) rasakan saat ini adalah sesak karena Bi Inah tiba-tiba mencengkram lehernya. Dalam waktu beberapa detik saja wajah (namakamu) sudah memerah, bibirnya pucat. Dalam keadaan hampir tidak sadar dan berusaha meronta-ronta, (namakamu) melihat sesuatu yang aneh pada wajah Bi Inah.
Wanita itu terlihat pucat, terlebih bibirnya. Bola matanya bergerak-gerak tak karuan dan sesekali mendelik hendak keluar. Semua itu terlihat mengerikan di tambah rambut Bi Inah yang berantakkan.
”Bi.. Sa...kit.” Suara (namakamu) tertahan, dia tidak cukup kuat untuk melawan tenaga Bi Inah.
Wanita itu terus tertawa mengerikan, dan tiba-tiba saja sebelah tangannya yang bebas merayap ke perut (namakamu) yang buncit, lalu....
”Aaaaa!!” Teriakan itu keluar secara spontan saat dengan sengaja Bi Inah meremas-remas perutnya. Air mata sudah merembas ke luar saking sakitnya, tapi wanita yang tengah ke surupan itu tak urung berhenti menyiksa (namakamu).
Perlahan semua mulai gelap dan dunia terasa berputar-putar,(namakamu) merasakan pusing sekaligus sakit yang amat sangat. (Namakamu) tersadar kalau dia terjatuh saat pipinya bersentuhan dengan lantai. Dan menyadari sesuatu yang seperti air keluar sampai membasahi betisnya.
Hal yang terakhir (namakamu) lihat adalah boneka pinokio yang duduk di sudut ruangan.
*
Perjalanan sebentar lagi akan berakhir, tak ada percakapan yang tercipta di antara keduanya setelah percakapan pengucapan terima kasih dari Iqbaal kepada Jessica. Iqbaal fokus pada setir dan jalan raya, sedangkan Jessica pada ponselnya. Iqbaal walaupun begitu sesekali melirik spion dan mendapati wajah gelisah Jessica.
Iqbaal tidak tahan kalau hanya diam saja.
”Ada sesuatu?” Tanya Iqbaal memandang Jessica melalui spion.
Jessica tidak langsung menjawab, dia merogo sesuatu dalam tasnya dan setelah menemukan apa yang dia inginkan, Jessica melemparkan benda itu ke kursi depan tepat di sebelah Iqbaal. Detik berikutnya mobil berhenti, lampu lalu lintas menunjukan merah.
Iqbaal mengambil koran yang di berikan Jessica, dia tidak tahu apa yang di inginkan gadis ini dengan caranya yang memberikan Iqbaal sebuah koran—yang sudah lecek.
Di halaman pertama ada sebuah foto. Di foto itu terdapat rumah dengan halaman luas, disana banyak terdapat orang-orang kampung. Foto lama. Gambarnya saja hitam putih. Kening Iqbaal berkerut saat membaca judul untukk foto itu 'PEMBUNUHAN BERANTAI MENEWASKAN SEKELUARGA', dan Iqbaal begitu shock saat melihat tanggal pelirisan koran yang ada dalam genggamannya.
”I994?” Kata Iqbaal sambil menole heran pada gadis di belakangnya. Untuk apa Jessica menyimpan koran ini?
”Kamu tidak mengenali tempat itu ya?” Jessica merasa kecewa. Pandangannya yang selalu datar dan wajah dingin membuat Iqbaal semakin penasaran apa maksud dan tujuan Jessica tentang koran dan memberitahunya.”Kamu harus teliti. Amatilah.”
Lampu sudah hijau, Iqbaal menyalakan mesin dan melajukan mobil sederhana. Saat melintasi tempat yang pantas untuk memarkirkan sembarang mobil, Iqbaal berhenti dan mulai memfokuskan matanya pada koran jaman itu.
Yang dia lihat di koran itu adalah. Rumah dengan halaman luas tanpa embel-embel ada tanaman di halamannya, kerumunan orang yang memperkuat kalau ini memang tentang kasus pembunuhan berantai, Reporter-reporter berserta wartawan juga terlhat di foto itu.
Lalu apa masalahnya?
”Sudah?” Tiba-tiba Jessica bersuara dengan nada seolah bertanya.
”Aku gak ngerti.”
Jessica mendengus, sungguh Iqbaal tidak suka dengan Jessica yang mendengus dalam keadaan seperti ini. Dia seolah menganggap kalau Iqbaal tidak cukup pintar menjawab atau sekedar menerka sesuatu yang sedang di ajukan oleh Jessica.
”Lihat pohon besar itu.”
Sepasang mata Iqbaal langsung mengarah ke foto lagi. Dan tertumbuk pada pohon yang cukup besar, bahkan kalau pohon itu tersambar petir dan tumbang akan memungkin kan untuk menghancurkan sebagian rumah yang terbuat dari kayu itu.
Hening. Tidak ada yang bersuara dalam beberapa detik. Jessica tersenyum simpul saat melihat telunjuk Iqbaal bergerak ke pohon dan rumah secara bergantian. Laki-laki itu mulai paham.
”Ini...rumah yang ku tempati sekarang.” Iqbaal mendesah, dia menyenderkan punggungnya ke jok lebih dalam.
”Akhirnya,” kata Jessica seakan begitu meremehkan otak lulusan S2 ini. ”Dan lihat gadis kecil yang berada di sudut foto.”
Iqbaal buru-buru menegakkan bahunya dan melakukan apa yang di perintahkan Jessica.
Seorang gadis kecil sedang menangis dan berbicara dengan seorang polisi yang memunggungi kamera.
Iqbaal menoleh ke arah Jessica. ”Dia yang tersisa?”
Jessica tersenyum penuh arti. ”Lihat gelang di lengan kanannya.”
Kali ini Iqbaal melihat koran itu tanpa perlu menolehkan wajahnya, dia menemukan tulisan 'penyelidik belum menemukan mayat' yang mengusik pikirannya. Setelah melihat gelang bermotif batik pada lengan kanan gadis kecil itu, Iqbaal menengadah.
”Lal...”
Belum sempat Iqbaal menyelesaikan pertanyaannya, sebuah benda seakan tergantung di depan matanya. Yang membuat Iqbaal terbelalak adalah saat menyadari kalau bendda itu adalah gelang yang bermotif batik dan begitu percis dengan yang ada di foto.
”Aku sudah pernah cerita padamu kan, aku di besarkan di panti asuhan,” kata Jessica sambil menyimpan gelang di tasnya. ”Pamanku yang gila membunuh semua keluargaku.”
*
Iqbaal tidak menduga hal seperti ini akan terjadi padanya. Dia sama sekali tidak menyangka saat tiba di rumah dia mendapati potongan mayat Bi Inah, kepala dan badannya terpisah dan hal yang semakin membuat Iqbaal shock adalah saat mendapati (namakamu) sedang terbaring di lantai dapur dengan darah yang mengalir di sekujur kakinya. Iqbaal panik dan langsung membawa (namakamu) ke rumah sakit, dia meninggalkan Bi Inah di rumahnya dan menelpon polisi.
Ceklek!
Pintu ruang UDG terbuka, Iqbaal beserta teman-temannya langsung bangkit dari posisi duduk mereka.
”Kondisi (namakamu) sangat mengenaskan,” beritahu seorang wanita yang mengenakan tuksedo putih yang hampir menyentuh pahanya, dia berjalan ke arah Iqbaal dan yang lain dengan wajah seakan berhenti khawatir. ”(Namakamu) harus melahirkan bayinya secara prematur.”
”Tapi (namakamu) selamat kan, Sha?”
Salsha tersenyum, hanya sekilas. ”(Namakamu) selamat, tapi yang engga gue sangka, kenapa keadaan (namakamu) begitu mengkhawatirkan. (Namakamu) mengalami depresi, gue gatau penyebabnya apa, mungkin lo tau?” Salsha ini adalah sahabat (namakamu) yang paling dekat, jadi entah kenapa respon yang Iqbaal dapatkan dari Salsha saat ini adalah sebagaimana Salsha melempiaskan perasaan kesalnya kepada Iqbaal karena ketidakbecusannya mengurus (namakamu).
”Gue udah ngelarang dia kerja. Gue se..lalu sama dia.”
”Kalian punya masalah belakangan ini?” Tanya Salsha seakan sedang mengintrogasi. Aldi yang sudah berada di sebelah Salsha sudah risih daritadi karena sikap Salsha.
Iqbaal menunduk, dia agak lama menjawab. ”Kemarin kita bertengkar karena gue ngajak Jessica nginep di rumah.”
”Bego.” Celetuk Bastian, sebaliknya dari Salsha, Bastian adalah sahabat yang paling dekat dengan Iqbaal. Jadi dia hampir mengetahui kisah-kasih perjalanan laki-laki itu.
Salsha tersenyum sinis, lalu pergi sambil berkata. ”(Namakamu) masih lemah, sekitar 3 jam lagi mungkin kalian bisa masuk.” Tubuh Salsha hilang di tikungan koridor.
”Soal sikap Salsha tadi sori.” Kata Aldi meminta maaf pada Iqbaal, setelah Iqbaal mengangguk, Aldi berjalan meninggalkan yang lain sepertinya dia ikut menyusul Salsha.
Iqbaal tidak peduli dengan omongan Salsha. Jadi dia tetap masuk ke dalam ruangan UGD itu.
Tidak ada orang lagi, Bastian menjatuhkan badannya di kursi tunggu lalu merangkul Steffi yang Bastian rasa wanita itu tidak bersuara sejak beberapa jam yang lalu.
”Serius banget sih, Beb, baca apaan?” Tanya Bastian sambil mencondongkan badannya ke arah koran yang sedang di baca oleh Steffie.
”Biasa aja sih liatnya,” celetuk Steffie, lalu menjauhkan wajah Bastian. ”Pasien rumah sakit jiwa ada yang kabur—bukan kabur sih tepatnya, ini di karenakan kurangnya penjagaan, mana mungkin orang gila kabur, palingan mereka cuma iseng mau ke Mall. Ya kan bosen gila kali seharian di rumah sakit...gila lagi.” Steffie ngaur.
”Emang gila keles. Lo yang ngaur.”
”Biasa aja keles lo jawabnya.”
”Gue kan udah biasa.”
”Woi! Kayaknya lo mau liat pertumpahan dari disini?!” Steffie mengancam Bastian dengan tinju.
Bastian kicep.
Bastianbung (Read: Bersambung.)
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com /OfficialAryanda?refid=52& _ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_ke y.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment