Sunday, December 7, 2014
Cerbung Pinocchio - Part 4
Muhammad Aryanda.
oOo
Tempat itu gelap tanpa ada penerang sedikitpun, tak ada setitik cahayapun yang terlihat di tempat itu. (Namakamu) tidak tahu dia sekarang berada dimana, dan harus melangkah kemana. Dia benar-benar takut, selain gelap tempat ini juga begitu pengap. Dia seakan dipaksa buta lantaran gelapnya tempat ini.
Dan tiba-tiba saja (namakamu) terbangun dari mimpinya. Seorang wanita paruh bayah dengan celemek yang terletak di bahunya, sepertinya dia yang membangunkan (namakamu).
(Namakamu) menguap, ”udah jam berapa, Bi? Maaf saya ketiduran.”
”Seharusnya saya yang minta maaf, neng. Saya mau pulang makanya saya banguni neng. Sekarang jam empat sore.”
(Namakamu) merubah posisi tidurnya menjadi duduk, dia kembali menguap lalu berkata. ”Gak apa-apa, Bi, lagian saya kebo banget udah sore gini belum bangun,” (namakamu) tertawa aneh, kemudian dia berjalan menuju cermin untuk menyisir rambutnya yang sedikit berantakan karena tertidur. ”Oh ya, Pak Iqbaal udah pulang?”
”Belum, neng. Tapi tadi Pak Iqbaal nelpon, karena neng lagi tidur jadi saya angkat, terus Pak Iqbaal nanyain kabar neng. Saya bilang neng lagi tidur, lalu Pak Iqbaal titip pesan sama saya untuk sampein sama neng (namakamu) kalau tadi Pak Iqbaal nelpon.” Agak sedikit belibet dan susah berbicara, ucapan Bi Inah membuat (namakamu) ingin tertawa tapi (namakamu) mengurungkan niatnya, takut Bi Inah tersinggung lagian menertawakan orang tua itu kan tidak sopan.
”Hm, kalau gitu. Bibi sama siapa?”
”Sama anak, tuh dia udah nunggu di depan.”
(Namakamu) celingak-celinguk kearah jendela, barusaha melihat seseorang diluar sana, namun tirai jendela yang hampir tertutup itu membuat (namakamu) tidak bisa melihat keluar dengan jelas.
”Kalau gitu Bibi pulang terus, kasian anaknya udah nungguin.” (Namakamu) nyengir, sedangkan Bi Inah sedikit membungkuk kepada (namakamu) sebagai rasa hormat kepada majikan, lalu wanita paruh bayah itu berpamitan dan menghambur keluar.
*
Walaupun Bi Inah sempat telat satu jam, karena kata Iqbaal Bi Inah akan datang jam sembilan tapi nyatanya wanita paruh bayah itu datang jam 10, dengan alasan rumah (namakamu) yang terlalu jauh. (Namakamu) bisa menerima alasan itu, karena memang benar rumahnya jauh dari perkotaan.
(Namakamu) baru selesai mandi dan langsung keluar dari kamar. Dia hanya mengenakan baju terusan berwarna cream dan rambutnya dia biarkan tergerai indah. Rumahnya sudah rapi, bersih, sejuh dan sangat layak untuk di tempati.
Saat sedang berjalan ke ruang keluarga, (namakamu) baru teringat sesuatu kalau dia harus menghubungi Iqbaal. Di ambilnya, ponsel yang tergeletak di meja kecil dekat sofa yang paling panjang. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk tersambung, tiga kali bunyi sambungan terdengar seseorang di sebrang sana langsung mengangkat panggilan dari (namakamu).
”Halo..” Sapa (namakamu) kikuk.
Tidak ada suara.
”Halo Iqbaal?” (Namakamu) kembali memanggil seseorang di sebrang sana, namun sama sekali tidak ada jawaban. Tiba-tiba setelah hampir sepuluh detik (namakamu) membiarkan sambungan ponselnya, terdengar suara ketukan, seperti ada seseorang yang sedang menancapkan paku ke papan dengan martil. Dan sambungan terputus.
(Namakamu) memperhatikan ponselnya. Mengigit bibir bawahnya dengan gelisah, (namakamu) barusaha berpikir kalau mungkin saja Iqbaal sedang berada di salah satu gedung yang sedang di bangun, menangkat panggilan darinya, kemudian seseorang memanggil, dan Iqbaal meninggalkan ponselnya dengan sengaja.
Tepat! Mungkin itu adalah salah satu pemikiran yang cerdas. (Namakamu) kembali meraih ponselnya untuk menghubungi Iqbaal lagi. Siapa tahu laki-laki itu sudah ada di dekat ponselnya. Belum sempat (namakamu) menyalakan ponselnya, tiba-tiba ponselnya berdering dan tertera nama Iqbaal di layar ponselnya.
Tuh kan! Pasti benar dugaan (namakamu).
”(Namakamu), maaf, tadi aku lagi bicara sama atasan aku,” Iqbaal menjeda kalimatnya, laki-laki itu menghela napas berat. Sepertinya dia sedang mengalami masalah di kantor. ”Aku tau kalau kamu nelpon, tapi gak mungkin kan aku angkat sementara aku lagi bicara sama atasan aku? Terus sewaktu aku mau angkat, eh malah mati. Maaf ya.”
(Namakamu) mengangguk tapi percuma saja, Iqbaal tidak bisa melihat. Sebuah perasaan aneh yang tiba-tiba saja menyerang pikirannya membuat (namakamu) linglung. (Namakamu) yakin sekali kalau panggilannya tadi tersambung, tapi nyatanya Iqbaal mengatakan kalau dia tidak sempat mengangkat panggilan dari (namakamu) sampai akhirnya panggilan terputus.
”Halo, (namakamu)?” Dalam lamunannya, samar-samar (namakamu) mendengar panggilan dari Iqbaal. ”Kamu marah sama aku?”
(Namakamu) menggeleng lagi. (Namakamu) menghela napas pendek. Mungkin tadi hanya halusinasinya saja, dia sedang hamil tua, mudah lelah, dan gampang sekali terbawa oleh hal-hal yang aneh. Sekarang (namakamu) meyakinkan pada dirinya kalau tadi hanyalah halusinasinya; suara martil itu.
”Sshh, (namakamu) kalau kamu marah sama aku oke, aku minta maaf, tapi aku cuma mau sampein sama kamu kalau aku pulangnya bakalan larut malam. Jangan tunggu aku, itu pun kalau kamu ada niat kayak gitu. Habis magrib nanti aku ada meeting sama klien di bandung, tapi aku janji gak bakal nginap disana.” Penjelasan Iqbaal yang panjang lebar itu terekam dengan jelas di dalam kepala (namakamu).
Kembali menghela napas pendek, akhirnya (namakamu) bersuara. ”Ya, hati-hati.” Terdengar suara kursi yang berderit di sebrang sana.
”Kamu sakit? Suara kamu aneh, bi Inah tadi dateng kan? Kamu gak ngerjain pekerjaan rumah atau ngurus bunga-bunga itu kan? Kalau sampai aku pulang dan dapati kamu kecapean karena ngerjain hal-hal yang gak penting...,” kalimat panjang Iqbaal terjeda, yang terdengar hanya suara napas Iqbaal yang memburu. Mungkin laki-laki itu teramat kesal atau takut kelakuan tolol (namakamu) kumat.
”Aku kangen sama kamu,” sela (namakamu) datar. Di sebarang sana tidak ada lagi suara gaduh. Hening. ”Makanya suara aku aneh, kalau kamu bisa cepet pulang ya sayang. Aku kangen banget sama kamu.” Kalau saja (namakamu) bisa melihat kelakuan Iqbaal di tempatnya, yang sudah senyum-senyum tidak jelas karena ucapannya, pasti (namakamu) akan tertawa.
”Gombal,” celetuk Iqbaal. (Namakamu) mendengus sebal. ”Kamu beraninya ngomong 'sayang' di telpon, kalau berani ngomong langsung di depan orangnya. Huh!” Sindir Iqbaal, yang nyatanya memang (namakamu) selalu memanggil 'sayang' kepadanya hanya melalui telepon atau surat/sms/bm/line/wechat/fb/twitter/beetalk/YM etc.
”Hihihi. Hm, kamu lagi ngapain? Sibuk? Ada masalah di kantor? Capek gak kerja? Kangen sama aku gak?”
Terdengar suara tarikan napas di sebrang sana. ”Napas. Lumayan. Engga. Engga. Banget,” jawab Iqbaal sekali helaan napas. ”Kamu apa kabar? Seharian ngapain aja? Anak kita gimana? Kangen sama aku gak? Baju aku apa kabarnya?”
Sebelum menjawab pertanyaan dari Iqbaal, (namakamu) terkekeh geli. ”Baik. Tidur. Baik. Kangen, cepet pulang ya. Soal baju...,” (namakamu) bingung harus menjawab apa, kemarin dia benar-benar melakukan bohong besar kepada Iqbaal. Dia tidak meletakan semua baju Iqbaal di mesin cuci, tapi di bawah tempat tidur.
”Jangan bilang kalau Bi Inah hari ini gak nyuci!” Sergah Iqbaal kelewat histeris membuat (namakamu) menjauhkan ponselnya dari telinga.
”Bi Inah nyuci kok,” Terdengar helaan napas legah di sebrang sana. ”Tapi kemarin baju kamu aku letakin di bawah tempat tidur. Jadinya eng..,”
”Astagfirullah,(namakamu)! Jadi nanti aku gak pake baju lagi?! Kamu gak takut apa kalau aku sakit? Kamu udah gak sayang lagi sama aku?”
”Ih, bukan gitu, aku kan gak sengaja.” Suara (namakamu) sangat pelan, mungkin dia merasa takut dengan Iqbaal karena kehisterisan laki-laki itu.
”Pokoknya aku nanti malem pake baju kaos kamu!”
”Enak aja! Itu tetep gak boleh! Kalau mau pake baju beli sana! Kalau gak ada duit, yang dua puluh ribu kan ada!” Entah kenapa, tiba-tiba saja hasrat takutnya kepada Iqbaal menghilang. (Namakamu) kan masih ingin menantikan laki-laki itu bertelanjang dada di dekatnya! Sekali lagi! Tanpa malu-malu (namakamu) mengungkapkan kepada siapa saja yang bisa membaca hatinya, kalau dia menginginkan laki-laki itu bertelanjang di dekatnya! -,-
”Curang!” Umpat Iqbaal kesal.
”Kerja sana!”
”Katanya kangen sama aku!”
”Iya sih.”
Iqbaal tertawa lepas di sebrang sana. Mendengar suara tawa Iqbaal, mau tidak mau (namakamu) juga ikut tertawa walau tidak seabnormal Iqbaal.
*
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tapi lukisan awan di langit masih memperlihatkan indahnya langit sore. (Namakamu) terduduk diam sambil memandangi langit jingga yang hampir punah itu, di sebuah kursi santai yang terbuat dari bambu yang cukup kokoh. Mungkin tempat ini benar-benar sepi, sedari tadi yang terdengar hanyalah dengungan di kepalanya dan sekilas juga terdengar suara binatang malam.
Setelah usai berbicara dengan Iqbaal melalui telepon, (namakamu) masih belum ingin memutuskan koneksi dengan laki-laki itu, dia sesekali mengirimkan pesan pada Iqbaal. Walaupun Iqbaal membalasnya cukup lama, namun (namakamu) sabar menunggu. Daripada dia hanya duduk diam, dan larangan Iqbaal masih terngiang jelas di kepalanya.
Prash!
Ketenangan (namakamu) harus terganggu ketika terdengar sebuah pecahan yang berasal dari dalam rumah, hal itu bersamaan dengan padamnya listrik. (Namakamu) terkesiap, dan segera masuk ke dalam rumah.
Gelap. Jendela dan tirai yang sudah tertutup menghalangi cahaya rembulan masuk. Untungnya ada serbekas cahaya yang masuk melalui pintu utama. Dengan penerangan sekedarnya, (namakamu) berjalan hati-hati menuju kamar.
Memakan waktu hampir lima menit bagi (namakamu) untuk tiba di kamar. Setibanya di kamar, dia langsung mengambil senter dan berjalan keluar. Diluar begitu terang namun sepi, dan mendadak (namakamu) sangat membutuhkan seorang teman. (Namakamu) belum ingin keluar, dia ingin memeriksa benda apa tadi yang terjatuh.
(Namakamu) menerangi ruang keluarga dengan senter, dan mencari-cari benda yang terjatuh di lantai. Dia tak menemukannya, kemudian (namakamu) berjalan ke meja makan, memeriksa dengan detail setiap sudutnya, dan lagi-lagi dia tak menemukan pecahan apapun. (Namakamu) berjalan ke dapur, langkahnya baru saja ingin menginjak lantai dapur, namun sesuatu yang tajam menusuk telapak kakinya.
”Aw!” (Namakamu) meringis, dia mundur dan terjegal dengan kursi. (Namakamu) terduduk begitu saja, dan tanpa sadar senter dalam genggamannya terjatuh.
(Namakamu) tidak peduli dengan alat penerang itu, yang dia pedulikan saat ini adalah kakinya yang terasa perih.
Tap! Tap! Tap! Tap!
(Namakamu) menengadah, jantungnya berdebar tak karuan. Derap langkah kaki, yang lebih tepatnya berlari terdengar di ruang keluarga.
Seseorang masuk ke dalam rumah ini!
Bersambung...
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment