Muhammad Aryanda.
oOo
Teriknya siang, sekarang sudah di gantikan oleh dinginnya malam. Langit di atas sana sudah bertaburan ribuan bintang yang berkelap-kelip,suara kicauan burung yang merdu sudah di gantikan dengan suara-suara binatang malam.
(Namakamu) masih dengan perutnya yang besar itu baru saja mencul dari balik pintu. Wanita itu baru saja mengambil secangkir kopi dari dapur, yang siap dia hidangkan untuk suaminya yang berada di atas tempat tidur.
Iqbaal dengan selimut tebalnya, membaringkan setengah tubuhnya, kepala dan punggungnya dia senderkan pada kepala tempat tidur. Di tangannya ada sebuah berkas dan dokumen lainnya, yang harus dia presentasikan besok di kantor.
Melihat (namakamu) yang berjalan susah payah, Iqbaal bangkit dari tempat tidur dan menghampiri (namakamu).
”Maaf, ya, (namakamu), sebenernya aku juga gak tega harus nyuruh kamu.” Kata Iqbaal merasa bersalah, dia langsung mengambil alih atas gelas yang di pegang (namakamu) kemudian menuntunnya ke tempat tidur.
”Gak apa-apa kok, Baal, lagian aku kalau duduk diem terus lama-lama bakalan bosen juga, kamu sih gak ngizini aku ngelakuin ini-itu.” (Namakamu) yang sudah duduk di ujung tempat tidur itu mengerucutkan bibirnya, Iqbaal yang tidak tahan untuk tidak menarik bibir (namakamu) langsung ia lakukan.
”Harus berapa kali aku bilang sama kamu, (namakamu), aku gamau kalau kamu itu kecapean, bahaya buat anak kita.”
Mendengar perkataan Iqbaal, (namakamu) mengalihkan wajahnya kearah laki-laki itu dengan senyum yang mengembang.
”Kamu tahu gak, ini pertama kalinya kamu nyebutin kata 'anak kita'” kata (namakamu) masih tersenyum kepada Iqbaal, jari-jari tangan (namakamu) segera merayap ke perutnya dan membelai.
”Masa sih?” Iqbaal yang tak menyangka kalau (namakamu) memperhatikann setiap ucapannya mengerutkan kening.
”Iya, biasanya kan kamu selalu ngucapin 'bayi kita'” (namakamu) nyengir bodoh.
”Sama aja kali (namakamu).” Beranjak dari tempat tidur, Iqbaal merapikan berkas yang berserakan di tempat tidur lalu memindahkannya di meja kerja yang terletak dekat jendela. Sebenarnya Iqbaal ingin mengerjakan tugas-tugasnya di meja kerjanya, tapi (namakamu) memaksanya untuk mengerjakannya di tempat tidur. Cewek hamil.
”Beda tau. Anak kita, rasanya itu aneh tapi seneng.” Ujar (namakamu) sambil bergeser ke tengah tempat tidur, membenarkan bantal yang ada di kepala tempat tidur lalu berbaring.
”Ternyata kamu masih peduli ya sama aku, aku kira kamu malah tambah benci sama aku,” Iqbaal sudah merapikan seluruh berkasnya, dia berjalan menuju jendela lalu menutupnya. ”Aku tutup ya, dingin.” Lagi-lagi permintaan aneh (namakamu), (namakamu) selalu ingin jendela kamarnya terbuka sewaktu sebelum tidur.
(Namakamu) mengangguk cepat. Iqbaal cukup terkejut melihat respon (namakamu), biasanya (namakamu) bawaanya nyolot, emosian, suka ngajak ribut, tapi hari ini wanita itu menunjukan sisi bedanya, yang menurut Iqbaal lebih baik.
”Aku gak benci sama kamu. Mana mungkin aku benci sama Ayah dari anak yang aku kandung.”
Selesai menutup jendela, Iqbaal berjalan mendekati (namakamu) lalu tanpa sepengatahuan (namakamu), Iqbaal langsung mengecup keningnya. Lama sekali Iqbaal menempelkan bibirnya di kening (namakamu), baru sekitar hampir setengah menit dia melepaskannya, tapi tanpa Iqbaal perkira, tangan (namakamu) bergerak cepat meraih tengkuknya dan mendorongnya dengan lembut. Bibir (namakamu) langsung menyelusup ke dalam mulut Iqbaal.
Tidak sampai dua detik, suara klackson dari halaman rumah langsung menghentikan aktivitas keduanya. (Namakamu) menjauhkan wajahnya lalu menolehkan wajahnya ke arah jendela. Begitu pun dengan Iqbaal.
”Udah ada yang tau alamat rumah kita?” Tanya (namakamu) datar.
”Salsha, Aldi, Bastian, Steffie, Bang Kiki, Mama kamu, papa kamu, Bundaku, ayahku.” Jawab Iqbaal tanpa mengalihkan tatapannya dari jendela.
”Yaudah, kalau gitu kenapa kamu malah diem aja? Sambut gih.” Ujar (namakamu) seraya beranjak dari tempat tidur.
”Sambut gimana, gak ada baju gini.” Iqbaal menggeliat seperti anak kecil di tempat tidur dengan selimut yang membalut tubuhnya.
”Pake baju aku.” Kata (namakamu) datar. Dia berjalan ke arah cermin, menyisir rambutnya lalu memoles sedikit wajahnya dengan bedak.
Iqbaal langsung menyibak selimut yang membalut tubuhnya hingga jatuh ke lantai. Dengan ekspresi wajah yang seolah berkata 'kenapa-gak-bilang-dari-tadi-nyet!' Dia berjalan menuju lemari, dengan sekali teliti dia langsung menemukan baju kaos milik (namakamu). Sebenarnya bukan kaos, tepatnya jersey Real Madrid, tim sepak bola favorit (namakamu) dan Iqbaal.
Ketika Iqbaal membuka pintu kamar, tiba-tiba (namakamu) bersuara.
”Tamu pulang, lepas bajunya.”
Iqbaal langsung memutar badannya dan memandang (namakamu) tak percaya.
”Ya ampun, (namakamu), nanggung udah kepake juga.”
”Nanti melar. Itu kan baju favorit aku!” (Namakamu) sudah selesai berdandan sederhana, tak lupa dia mengikat rambutnya hingga membentuk buntut kuda.
Wajah ceria Iqbaal berubah menjadi kusut. ”Iya.” Katanya lemas, lalu berjalan cepat menuju pintu utama karena suara bel sudah menggema kesegala seantero rumah.
Pintu terbuka.
Empat orang dewasa. Dua orang anak kecil yang berusia sekitar empat-lima tahun.
Dengan serempak mereka berkata. ”Kejutan! (Namakamu)! Iqbaal!”
Iqbaal memandang bosan keempat manusia di hadapannya. ”Kejutan apaan? Gue sama (namakamu) gak lagi hbd.”
”Bukan itu oon!” Yang paling semak (rambutnya) langsung nyelonong masuk sambil noyor kepala Iqbaal. ”Tapi kejutan karena kita berempat jadi tamu pertama kalian.”
”Kejutan pala lo, gue sama (namakamu) lagi cium*n eh lo semua dateng. Lebih tepatnya perusak suasana.” Gerutu Iqbaal asal, yang langsung di hadiahi gebukan dari keempat manusia itu.
”Kita gak disuruh masuk?” Tanya laki-laki bermata sipit, malam ini dia tumben tidak mengenakan kacamatanya.
”Yaelah, kayak tamu luar kota aja pake acara di suguhi kalimat gituan. Kalau mau masuk, masuk aja, tapi duduknya di lantai.” Iqbaal kembali dengan kalimat asalnya, tapi ketika mereka ingin menimpuknya dengan linggis, (namakamu) sudah berdiri di sebelah Iqbaal dengan wajah ceria dan langsung mempersilahkan mereka masuk.
*
”Baal, rumahnya apa engga kekecilan? Halamanya luas banget loh.” Aldi sepertinya baru selesai mengamati setiap inci rumah ini. Mereka semua sedang berkumpul di ruang keluarga, tiga pasutri itu duduk saling berpasangan.
”Ini sesuai permintaan (namakamu).” Jawab Iqbaal.
Aldi mengangkat bahunya. ”Its ok, kalau (namakamu).”
”Lo mau buat lapangan sepak bola selebihnya?” Bastian dengan pertanyaan gak pentingnya ikut nimbrung.
”Gue mau buat kebun yang jenis tumbuhannya kayak rambut lo.” Celetuk Iqbaal, lalu dia tertawa pendek.
”Gak lucu.” Bastian langsung menimpali.
”Jadi, sisa halaman yang luas itu mau lo apain?” Aldi yang sedari tadi hanya mondar-mandir, akhirnya duduk.
”Bagi-bagi-in ke anak yatim-piatu,” Celetuk Iqbaal lagi. Kali ini Bastian yang tertawa. ”Gak lucu.” Iqbaal buru-buru menimpali, yang langsung di susul oleh tawa aneh Aldi.
Tawa mereda, seluruh pasang mata mereka langsung menoleh ke arah (namakamu) yang beranjak dari sofa dengan susah payah sambil berkata. ”Kalian mau minum apa?”
Iqbaal yang berada di sebelah (namakamu) langsung meraih pergelangan tangan wanita itu. ”Gausah (namakamu), biar aku aja.”
”Tapi kan, Baal..”
”Demi anak kita.”
Anak kita? Yowes, (namakamu) langsung duduk saat mendengar kalimat pendek itu. Iqbaalpun berlalu menuju dapur.
”Segitunya ya sih Iqbaal.” Ujar Bastian sambil memperhatikan punggung Iqbaal yang kian menjauh.
”Yah, gitulah, Bas, gue di larang ngerjain apapun.”
”Bagus dong, (namakamu), itu tandanya kalau Iqbaal bener-bener mengharapkan keturunan dari lo.” Steffie yang sedari tadi diam akhirnya membuka suara, sedangkan wanita satunya, Salsha, tampaknya mimpi indah bisa datang ke rumah (namakamu) malah menjadi buruk karena tiba-tiba saja anaknya menangis, dan begitu susah di tenangkan. Padahal anak itu tadi baik-baik saja.
”Sori ya, (namakamu), rumah lo jadi berisik.” Kata Salsha merasa bersalah.
”Gak apa-apa, Sha, lagian sejak kami pindah kesini yang aku denger cuma suara Iqbaal mulu. Bosen.”
”Ternyata penyakit anti Iqbaal lo belum sembuh, padahalkan bayi lo sebentar lagi keluar.” Celetuk Bastian.
”Kok bisa ya lo benci sama sih Iqbaal, untung aja gue gak ngalami hal kayak gitu.” Steffie menoleh ke arah Bastian yang juga menoleh ke arahnya.
”Halah, gak susah pake begituan juga kamu udah sering nimpuki aku pake bantal, getokin kepala aku pake spatula sewaktu masak.”
”Sshh, apa-apaan sih kamu, bas.” Steffie yang salah tingkah lantaran aibnya di buka dengan Bastian dengan sekenak jidatnya, hanya bisa melempar cengiran kepada yang lain.
”Kejam banget lo, Fie. Kalau gue sih paling cuma dapet aungan singa doang.” Ujar Aldi sambil mengedipkan mata ke arah Salsha, yang langsung Salsha ancam dengan tinju.
(Namakamu) tertawa lepas menyaksikan keluarga sahabat-sahabatnya. Mereka saling berteriak satu sama lain, tapi sesungguhnya mereka juga saling mencintai. Entah sudah berapa lama (namakamu) tidak tertawa, rasanya kebahagian itu semakin lama semakin bertambah saja.
*
Dulu (namakamu) sangat menanti hari senin, hari senin sampai jumat adalah hari favoritnya lantaran karena hari-hari itu dia jarang bertemu dengan Iqbaal. Dan sebaliknya, (namakamu) sangat benci dengan hari sabtu-minggu karena pada hari itu dia selalu bertemu dengan Iqbaal dan setiap beberapa menitnya (namakamu) harus bertatap muka dengan Iqbaal.
Akan tetapi, hari ini dia merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu ini seperti dejavu, seakan dia baru saja mengenal Iqbaal dan langsung mencintai laki-laki itu. Dia ingin terus melihatnya dan bersamanya.
”Kalau bukan karena permintaan kamu, aku gak bakal mau tinggal di daerah kayak gini.” Ujar Iqbaal saat mereka berdua sudah berada di teras rumah.
(Namakamu) yang sedang membenarkan simpul dasi Iqbaal langsung terkejut mendengar perkataan Iqbaal.
”Kenapa?”
”Kamu bisa lihat sendiri kan, tempat ini sepi, jarang orang yang berlalu-lalang di tempat kayak gini. Aku cuma khawatir sama kamu.” Di raihnya jemari (namakamu) yang masih berkutat dengan dasinya, lalu di genggamnya.
”Jam berapa Bi Inah kemari?”
”Sekitar jam sembilan.” Jawab Iqbaal.
”Nah, berarti aku gak bakal sendiri, kan ada Bi Inah.”
”Kalau ada orang jahat, Bi Inah bisa apa?” Sergah Iqbaal, yang secara tidak langsung dia meremehkan wanita paruh bayah itu.
”Gini ya, tuan Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan, segala sesuatu di dunia ini sudah di atur oleh Yang Maha Kuasa, jadi kamu gak perlu khawatir sama aku. Kalau memang takdir aku mati di tangan orang jahat, aku bisa apa?”
”Dan juga tolong dingat ya, Nyonya (namakamu), takdir adalah segala sesuatu yang kita perbuat kalau kamu gak hati-hati, hal buruk apa aja bisa menimpah kamu. Ngerti?” Iqbaal menegaskan kepada (namakamu) dengan rahang yang mendadak mengeras. Laki-laki ini benar-benar khawatir dengan istri beserta anaknya yang masih dalam kandungan.
(Namakamu) mengembuskan napas asal. Dia benci kalau harus kalah berdebat dengan siapapun. Tapi peringatan Iqbaal memang ada benarnya, tempat ini sepi, cukup sepi malah. Sejenak (namakamu) terdiam, membayangkan peringatan yang di katakan Iqbaal benar-benar terjadi kepadanya. Bagaimana nasib anaknya? Dirinya?, tiba-tiba (namakamu) bergidik.
Imajinasi-imajinasi mengerikan yang masih terngiang di kepalanya mendadak punah saat dengan sadar dia tahu Iqbaal mendorongnya ke dalam pelukan.
”Aku sayang sama kamu, (namakamu), aku gak mau sesuatu yang buruk menimpah kamu. Apalagi sekarang ini usia kandungan kamu semakin menua,” Kata Iqbaal, yang memang benar-benar khawatir dengan (namakamu). ”Gimana kalau aku suruh Bastian kesini buat jagain kamu?”
Mendengar usulan Iqbaal, (namakamu) merenggangkan pelukan.
Dengan bibir yang mengerucut, (namakamu) berkata. ”Kamu pikir dia gak kerja? Inget ya! Bastian itu punya istri dan anak, dia udah punya kewajiban yang kamu gatau. Jadi, jangan nyuruh-nyuruh orang seenak jidat kamu.”
”Yah, kan aku cuma usul, dan belum tentu juga kalau Bastiannya bisa.” Alih-alih Iqbaal membela diri.
”Lagian aku gak enak sama Steffie. Ada suami sendiri malah pinjem suami orang.” Celetuk (namakamu).
”(Namakamu),” Iqbaal menggeram. ”Awas kalau kamu sekali lagi ngomong kayak gitu, itu sama aja kalau kamu rela ngebagi-bagi diri kamu sama orang lain!”
”Ye! Lo duluan yang ngebagi-bagi gue!” Ups! Setelah mengatakan itu, (namakamu) buru-buru membungkam mulutnya.
”Dua kali kamu udah ngelanggar Undang-undang dalam pernikahan kita. Dan kamu tau kan apa hukumannya?” Meraih pinggang (namakamu), Iqbaal mendorong (namakamu) dengan sangat hati-hati sampai punggung wanita itu berimpitan dengan pencagak teras.
(Namakamu) yang masih memasang wajah terkejut karena gerakkan Iqbaal yang tiba-tiba, reflek menginjak kaki Iqbaal.
”Aw! Shh!” Iqbaal meringis tepat di hadapan (namakamu), serangan (namakamu) bahkan tak membuat Iqbaal mundur sedikitpun.
”Aduh, Iqbaal, kamu kerja sana, udah jam sepuluh, nanti kamu telat.” Mencoba melarikan diri, lagi-lagi dengan sekali gerakan Iqbaal kembali menyudutkan punggung (namakamu) dan mengurung wajah wanita itu dengan dua tangannya.
Cup!
Sebuah kecupan bibir dari Iqbaal mendarat mulus dan terasa kenyal di bibir (namakamu).
”Itu untuk sambungan yang tadi malam,” kata Iqbaal. ”Dan ini untuk kamu yang udah rela bagi-bagiin diri sama orang lain,” wajah yang begitu dekat membuat Iqbaal sangat gampang menabrak bibirnya ke bibir (namakamu) lalu melumatnya dengan lembut. Berselang sepuluh detik Iqbaal melepaskan pagutannya. Belum selesai (namakamu) meraup oksigen sebanyak-banyaknya, tiba-tiba tangan Iqbaal bergerak ke dagu (namakamu), membuat wajah (namakamu) menengadah.
Iqbaal tersenyum lebar, matanya yang menggambarkan sorot menginginkan itu semakin lama semakin dekat dengan wajah 'pasrah' (namakamu). Belum sempat Iqbaal menyentuh bibir (namakamu), tiba-tiba saja mata dan hidung (namakamu) berkerut resah, tangan wanita itu yang semulanya berada di sisinya mendadak merayap ke perut. (Namakamu) meringis.
”(Namakamu) kamu kenapa?”
(Namakamu) hampir membungkuk. ”Aduh, perih,”
Iqbaal gelagapan karena bingung harus melakukan apa, (namakamu) yang masih merintih, pelan-pelan berjalan ke arah kursi dekat pintu masuk. Setelah sadar dari kelinglungannya, Iqbaal baru sadar kalau dia harus menghubungi dokter! Iqbaal mengeluarkan ponsel dalam sakunya, menekan beberapa digit nomor lalu bergeser sedikit menjauh. Akan tetapi, belum sempat panggilan tersambung, dengan mata-kepala-otak-dengkul-kakinya sendiri Iqbaal melihat (namakamu) berjalan nyaris berlari masuk ke dalam rumah.
Pintu di kunci. Tirai jendela terbuka. Wajah menyebalkan (namakamu) yang sedang memeletkan lidahnya terpampang nyata di jendela itu.
Merasa di bodohi dengan (namakamu), Iqbaal berjalan menuju pintu, mengetuk pintu berulang kali sambil berteriak minta dibuka, tapi (namakamu) tetap saja hanya diam di depan jendela sambil memeletkan lidahnya. Jendela yang terbuat dari kaca jelas akan menulikan suara luar ke dalam.
”(Namakamu)! Rese! Awas kamu, tunggu pembalasan aku nanti malam!” Walaupun kemungkinan kecil (namakamu) bisa mendengar, tapi melihat (namakamu) yang menyubat telinganya dengan jari tangan, Iqbaal merasa kalau (namakamu) mendengar ucapanya.
Masih memasang wajah bete karena tingkah (namakamu), Iqbaal sekilas melirik jam tangannya. Agaknya keributan yang dia lakukan dengan (namakamu) membuat jam kerjanya telat tanpa di sadarinya.
Iqbaal melihat ke jendela, disana sudah tidak ada (namakamu). Tidak mungkin kan dia pergi tanpa pamit kepada (namakamu). Meskipun berlebihan tetap saja itu akan melanggar undang-undang dalam pernikahannya.
Tok! Tok!
Iqbaal mengetuk jendela yang berbahan dari kaca dengan jarinya, ternyata (namakamu) masih berada di dekat pintu. Dia hanya sedang membenahi rambutnya. Satu lagi! Sejak kapan (namakamu) berlaku (sok) cantik seperti itu, tapi nevermind, (namakamu) memang cantik.
Saat (namakamu) menengadah karena mendengar ketukan di jendela, dia langsung sarkastik dengan tatapan seolah berkata 'ada apa' kemudian tanpa perlu berlama-lama, dia sudah mendapatkan jawabannya. Iqbaal tanpa membuka mulutnya menyuruh (namakamu) mendekat ke jendela, (namakamu) yang masih bingung malah menabrakkan wajahnya pelan ke jendela, lalu melet ke arah Iqbaal, Iqbaal tersenyum.
Meskipun terlihat aneh, tapi Iqbaal mengecup bagian kaca yang letaknya tepat di kening (namakamu). Dan tak lama dia bergerak mundur, melambaikan tangan kepada (namakamu) sambil melemparkan senyum yang mampu membuat jantung (namakamu) berdetak lebih heboh.
Tubuh Iqbaal hilang di balik pintu mobil. Suara klackson mobil berbunyi dan mobilpun berlalu semakin jauh dari perkarangan rumah.
Bersambung!
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya (Bayu Aji Afakhri Prasetya)
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment