`Somewhere` [3]
by Muhammad Aryanda.
—o0o—
Sekarang tangisan (namakamu) seperti rengek'an kalau saja
dia bisa menendang wajah laki-laki yang ada di hadapannya itu maka akan
(namakamu) lakukan sekarang.
”Pergi! Jangan ganggu hidup gue!”
Laki-laki itu menunduk. ”Bantuin aku, ya?”
”Gak!”
Kemudian dia kembali menengadah dan menatap lurus wajah
(namakamu). Sejenak (namakamu) terpaku mendapatkan pandangan seperti itu,
wajahnya yang pucat membuat bibir laki-laki itu mengering. Tapi bola matanya
yang indah seolah tak pernah hilang, (namakamu) tertegun saat bola mata itu
menatapnya dengan teduh. Tiba-tiba saja dada (namakamu) merasa kebas untuk
merasakan 'sakit', rasa sakitnya ketika melihat Aldi bersama gadis yang tak
dikenalnya itu langsung luntur tanpa sedikitpun tersisa.
*
”...gara-gara lo, gue kabur dari kantor dan di kira orang
gila! Dan gara-gara lo juga, gue ketemu Aldi!” (Namakamu) memutar badannya
untuk menatap laki-laki yang sedari tadi mengikutinya. ”Dan sekarang lo mau
minta tolong sama gue?!” Mata (namakamu) mendelik, tapi sungguh dia tidak
terlihat menakutkan.
Laki-laki itu mengangguk.
”Aku mohon,”
”Gak!” Tandas (namakamu) sambil berbalik lagi untuk
melangkahkan kakinya menjauh. Untung saja taman ini masih sepi, jadi tidak ada
orang yang melihat (namakamu) sedang... Berbicara sendiri?
”Aku bakalan ngelakuin apa aja buat kamu, asal kamu mau
bantu aku.” Seolah belum putus asa laki-laki yang sekarang sudah berada di
hadapan (namakamu) itu tetap keukeuh.
(Namakamu) terus berjalan seakan tidak mendengar sesuatu,
menabrak tubuh laki-laki itu yang berdiri di hadapannya seperti orang normal
lainnya—tidak melihat apa-apa. Sementara laki-laki itu terus memohon agar
(namakamu) mau membantunya.
*
Langkah (namakamu) kini memasuki lorong apartemennya, gadis
ini mendengus sebal karena tidak mungkin lagi kembali ke tempat kerjannya, dan
besok, siap-siap dia akan lembur sampai larut pagi—terdengar lebay, tapi
sepertinya sih akan begitu. Ada yang menggemuru di dalam dada (namakamu)
seketika saja dia sadar siapa yang patut dia salahkan atas kesialan beruntun
yang dia alami hari ini.
(Namakamu) memasuki apartemennya. Hawa pengap langsung
menyapa dirinya, sadarlah dia kalau apartemennya masih gelap tanpa sedikitpun
ada cahaya matahari. Tirai tertutup rapat, bantal kursi tergeletak sembarangan,
selimut tebal berceceran di lantai dan parahnya—(namakamu) meringis melihat
celena dalamnya tergantung di kepala tempat tidur. Dinding kaca yang
menghubungkan antar ruangan membuat (namakamu) tidak sulit untuk melihat seberapa
berantaknya apartemen ini.
(Namakamu) mendengus sebal, kalau saja dia ada pembantu atau
sejenisnya. (Namakamu) hendak membungkuk untuk melepas wedgesnya, tapi saat
sadar tangannya tidak mendapat apa-apa (namakamu) teringat tawa kekehan
orang-orang di jalan dan lobi apartemen.
Dia berjalan dengan kaki telanjang.
Tiba-tiba saja, (namakamu) kembali di ingatkan oleh sosok
Aldi dengan seorang gadis yang entah siapa namanya. Badan (namakamu)
merosot-merapat ke dinding. Kepalanya yang nyaris meledak itu dia tenggelamkan
di antara lututnya. (Namakamu) menangis tersedu sambil sesekali menggumamkan
'Laki-laki keparat, Laki-laki brengsek dan umpatan lainnya'
-o0o-
”Mau sampai kapan Mama gini terus? Kasian anak Mama pasti
dia gak tenang disana. Udahlah, Ma,” seorang pria paruh baya entah sudah
keberapa kalinya dia memasuki kamar bernuansa serba putih itu. Dan entah kenapa
dia seolah menyamarkan nama anaknya sekarang. ”Ma, Papa udah bawain makanan
untuk Mama. Ayolah, Ma, Mama belum makan dari kemarin.” Susah payah pria paruh
baya ini merayu wanita yang notabene-nya adalah istrinya.
Istrinya itu tampak pucat karena kurang istirahat. Goresan
hitam yang menggaris lingkaran matanya seolah menggambarkan dia tidak tidur
selama beberapa hari, matanya merah dan saat dia tersedak—yang padahal ingin
menangis, air sebening berlian itu tidak lagi meluncur membasahi pipinya.
”Ma..” Panggil pria itu lirih.
”Mama, eng-engga, lap-per, Pa.” Katanya terbata-bata.
”Tapi Mama harus makan. Papa gak mau Mama sakit.”
Istrinya itu menengadah, menatap lekat-lekat sepasang mata
suaminya yang sama seperti dirinya—belum bisa menerima kepergian anak mereka.
Anak satu-satunya.
Setiap orang tua pasti mewariskan sebagian dirinya untuk
sang anak. Dan, ketika pria paruh baya ini menatap lebih dalam mata istrinya,
dia seolah di putar dalam mesin waktu yang memperlihatkan wajah teduh anaknya.
Tak sanggup dengan semua ini, di rengkuhnya bahu istrinya lalu di peluk sangat
erat.
Pintu kamar terbuka, memperlihatkan seorang laki-laki tampan
dengan jas hitam dan kemeja biru yang tersemat di balik jas hitamnya.
Langkahnya yang anggun menimbulkan suara khas sepatu pantofel yang dia kenakan.
”Maaf, Om,” katanya, wajahnya tak jauh beda dari sepasang
suami-istri itu. Dia melirik jam sebelum berkata. ”Rapat akan di mulai sepuluh
menit lagi.” Tambahnya parau.
Pria yang masih merengkuh bahu istrinya itu perlahan menjauh
dan mendekati laki-laki tampan yang baru saja masuk.
”Om, gak bisa, Rel. Tante masih membutuhkan om, sepertinya
dia masih belum bisa melupakan sosok Iq..baal.” Papar pria paruh baya itu
sambil sesekali melirik kebelakang. Memperhatikan gelagat istrinya.
”Hm, yaudah, kalau gitu Karel berangkat sekarang.”
*
Ketika terbangun dari tidurnya, (namakamu) merasakan kedua
kelopak matanya tak bisa terbuka dan butuh waktu sekitar satu menit agar kedua
pupilnya menyesuaikan dengan ruangan gelap ini. Sudah malam. Dan sepertinya,
(namakamu) lupa untuk menyibak gorden di pagi hari. (Namakamu) berdiri untuk
menekan skalar agar lampu menyala. Begitu lampu menyala dan memperlihatkan
seberapa kacaunya apartemennya, (namakamu) serasa ingin membenturkan kepalanya
ke dinding.
(Namakamu) kembali merosot, dan—
”AAaa!!”
Seorang laki-laki tengah meringkuk memeluk lututnya sendiri
dan laki-laki itu membatu tepat di hadapan (namakamu). Sejak kapan laki-laki
itu berada di situ? Berarti ketika lampu belum menyala laki-laki itu sudah
berada disitu? Dan (namakamu) tertidur tepat di hadapan laki-laki itu? Akh!
Kepala (namakamu) seakan seperti di pukul oleh palu sebesar kaki gajah.
Laki-laki itu menengah, garis wajahnya terlihat beda dengan
yang tadi pagi. Dan (namakamu) langsung memakinya tanpa henti, tanpa jeda dan
tanpa ampun.
”Kalau gini terus lo bisa buat gue mati mendadak! Itu kan
yang lo mau? Lo mau bunuh gue secara perlahan? Supaya lo ada temen, gitu?! Ish!
Gak cukup apa lo buat gue seharian ini sengsara, dan sekarang lo mau bunuh gue?
Oh my god, gue belum nikah, belum ngerasain malam pertama, belum denger suara
tangisan bayi gue! Sementara lo udah ada niat buat bunuh gue secara mendad...”
Ucapan (namakamu) terhenti ketika laki-laki itu berdiri dan
mencondongkan wajah pucatnya lebih dekat ke wajah (namakamu). Sesaat (namakamu)
terdiam. Tangannya ingin bergerak, melayangkan satu buah tamparan, tapi yang
(namakamu) rasakan hanya seperti memukul angin kosong. (Namakamu) nyaris
terjerembab.
”Kamu bantu aku, aku janji gak bakalan ganggu kamu lagi.”
Suaranya yang lembut seperti melodi penenang bagi (namakamu). Kedua tangan
(namakamu) terjatuh di kedua sisi badannya, dia tidak tahu ada apa dengannya.
Kenapa dia seolah bisa merasakan sesuatu yang amat mengganjil ketika menatap
mata laki-laki itu. Kali ini mata laki-laki itu tidak indah, sungguh, malah
menyorotkan sebuah kepedihan yang belum pernah (namakamu) lihat.
”Minggir! Gue mau mandi! Awas lo kalo ngintip!” Ketus
(namakamu) sembari melangkah menuju kamar mandi, tak lupa dia menyabar handuk
yang tergelatak di lantai.
Laki-laki itu tersenyum menatap punggung (namakamu) yang
semakin lama semakin menjauh, dan kemudian hilang di balik daun pintu.
*
Air yang mengguyur tubuh (namakamu) selama beberapa menit
itu tampaknya sukses melunturkan segala kelelahan yang sedari tadi melekat pada
(namakamu). Langkah pertama (namakamu) langsung terhenti ketika telinganya
mendengar suara berisik yang bersumber dari televisinya. (Namakamu) mematung
sejenak, dia tidak ada menyalakan televisi sebelum masuk ke dalam kamar mandi.
Dan, susah payah (namakamu) menelan air liurnya, tapi ada kesenangan di raut
wajahnya saat mendapati apartemennya sudah tidak berantakkan lagi.
Siapa? Siapa yang melakukan semua ini? Seingatnya,
(namakamu) tidak jadi menyewa pembantu yang tersedia karena penghasilannya
belum terlalu besar.
”Udah selesai?”
!!!
Sebuah kepala menyembul dari balik dinding batu. Sekali
lagi, dinding batu! (Namakamu) memukul kepalanya berkali-kali. Ketika sudah
sadar sepenuhnya, dengan amarah yang sudah menginjak ubun-ubunnya, (namakamu)
melempar handuk yang sedaritadi melilik kepalanya.
”KE-LU-AR!”
Teriakan melengking (namakamu) sukses menghilangkan kepala
pucat itu. Sepertinya (namakamu) harus mulai terbiasa dengan sosok laki-laki
yang akan hampir setiap saat mengejutkannya. Tunggu, memangnya (namakamu)
sudah menyetujui permintaan laki-laki itu?
*
”Lo itu setan, udah mati, tapi masih aja sok romantis.” Itu
kalimat yang pertama kali keluar dari mulut (namakamu) saat laki-laki—yang di
ketahui bernama Iqbaal itu memintanya agar menyerahkan benda mungil yang
berkilauan kepada seorang gadis yang sama sekali tidak di kenal.
”Setelah ini aku pergi,”
”Kok gue ngerasa tolol gini ya, percaya sama lo.” Cibir
(namakamu) lagi, entah kenapa dia merasa tidak bisa menahan kata-katanya yang
menusuk kepada Iqbaal.
”Kamu cuma ketemu sama dia, terus ngasih cincin sama surat
ini, dan bilang kalau kamu itu temen aku. Engga susah, kan?”
”Seenak jidat lo aja ya, ngatur-ngatur gue.”
”Aku mohon..”
Yang membuat (namakamu) ingin menjerit adalah ketika tak
sadar kalau Iqbaal sudah berlutut di hadapannya. Akh! Laki-laki itu semua sama
saja, mereka memelas semelas-melasnnya melebihi wajah pemulung kalau sedang
menginginkan sesuatu.
*
”Ini rumahnya.”
(Namakamu) berdiri di depan pagar besi yang mengurung sebuah
rumah berdesain eropa. Melihat pintu pagar yang tidak di kunci, (namakamu)
segera melangkah masuk yang lebih mirip seperti pencuri di malam hari. Iqbaal
tetap setia mengikutinya dari belakang.
Sebelum mengetuk pintu, (namakamu) menghela napas panjang
sambil menanamkan kata 'gue tolol, gue tolol' berkali-kali dalam benaknya.
Ketukan kedua langsung membuahkan hasil, seseorang dari dalam membukakan pintu
untuknya. (Namakamu) sudah menyusun kata perkalimat yang efektif untuk gadis
yang bernama 'Bella' tapi kalimat yang sudah tersusun rapi itu buyar saat
seorang wanita paruh baya yang membukakan pintu untuknya.
”Malam, Bi.. Bellanya ada?” Tanya (namakamu) sambil
menyunggingkan senyuman terbaiknya, hitung-hitung untuk menyamarkan wajah
gugupnya.
Wanita paruh baya itu mengernyit sebelum menjawab. ”Ada, dia
ada di halaman belakang. Temennya ya, Non? Mau saya panggilkan atau Non yang
nyamperin Non Bella?”
Senyum (namakamu) menipis. ”Saya saja yang menemui non Bell,
eh, Bella.” (Namakamu) gelagapan, dia sendiri merasa jijik dengan kalimat
formalnya.
”Silahkan masuk.” Bibi yang mungkin saja pembantu rumah ini mempersilahkan
(namakamu) dengan ramah. (Namakamu) tersenyum sambil membungkuk sebagai tanda
hormat. Langkahnya langsung menerobos ke arah belakang. Iqbaal sesekali
berbisik agar (namakamu) tidak salah melangkah.
Langkah (namakamu) yang terkesan berantakkan gara-gara
Iqbaal yang sibuk memberikan arahan agar dia bisa menjalankan peran sebagai
'teman Iqbaal' dengan baik, tiba-tiba saja menjadi pelan dan satu langkah
membutuhkan lima detik. Tubuhnya membatu tepat di ambang pintu yang
menghubungkan antara dapur dan halaman belakang. Kedua alis (namakamu) berkerut
resah, sementara Iqbaal, suaranya sudah tidak terdengar lagi.
Sulit di percaya. Ini akan menjadi pengalaman kedua
(namakamu) melihat orang berciuman secara langsung. (Namakamu) bergidik jijik
saat bayang-bayang Aldi bersama kekasihnya menggeluyuti pikirannya. (namakamu)
pernah melihat ini sebelumnya, rasanya sakit seolah rongga dadanya ingin
meledak dan jantungnya berhenti bekerja.
Semua seakan berjalan begitu cepat. (Namakamu) tidak tahu
apa yang salah dengan dirinya, yang dia tahu dia sangat shock melihat laki-laki
tampan yang tadi tengah perpagut bersama seorang gadis cantik yang sepertinya
adalah Bella, kini tersungkur. Seorang pria paruh baya menindihnya—supir
pribadi—sambil menghujamkan tangan besarnya berkali-kali. Laki-laki tampan itu
tampak tak bisa berkutik seakan dia menerima dengan lapang dada. Dan semuanya
berakhir saat Bella melerai pria paruh baya itu.
”Mang Ujang!” Bella melerai dengan wajah meringis, mungkin
dia mengalami shock mendadak seperti hal-nya (namakamu). ”Mang Ujang apa-apaan
sih! Kalo Papa sampe tau, Mang Ujang bisa di pecat!”
Pria paruh baya itu—Mang Ujang—tak mengelakan matanya yang
berapi untuk terus menatap Laki-laki yang tengah tersungkur. Kepalan tangan
Mang Ujang masih mengeras, sorot matanya yang menggambarkan kebencian seolah
tak akan menyurutkan tindakkannya yang brutal tadi kalau saja Bella tidak
melerainya. Tiba-tiba tubuh Mang Ujang bergetar dan detik berikutnya langsung
membeku. Seolah baru saja terbangun dari tidurnya yang pulas, Mang Ujang
mengerjapkan matanya berkali-kali lalu menyapukan pandangan dengan ekspresi
linglung. Seketika (namakamu) paham.
”Kamu gak apa-apa, Rel?” Tanya Bella kepada laki-laki yang
baru saja beranjak dari posisi tersungkurnya. Luka lembab langsung menghiasi
sekitar pelipis dan bibirnya.
Rel—Karel meringis sambil mengusap ujung bibirnya yang mulai
meneteskan darah. ”Aduh, sakit banget. Supir kamu kenapa sih? Dia gila, ya?
Lain kali kalo milih supir yang bener dong, masa dia tiba-tiba nyerang aku.”
”Non, kok saya ada disini?” Tiba-tiba saja Mang Ujang
bertanya seperti itu, lagi-lagi memasang ekspresi linglung yang membuat Bella
tidak mengerti.
”Mang Ujang gimana sih, jelas-jelas tadi Mang Ujang yang
mukul Karel sampe memar gini.” Ada kebingungan di suara Bella yang khawatir
itu. Dia memandang Karel dan Mang Ujang saling bergantian.
Mata Mang Ujang melebar seakan dia begitu shock mendengar
penjelasan dari Bella. Pria paruh baya itupun bersimpuh di hadapan Karel sambil
dengan wajah melasnya. ”Saya gak sengaja tuan—itu bukan saya beneran, suerr
deh, engga mungkin saya ngelakuin itu kecuali kalo saya udah gak membutuhkan
pekerjaan ini lagi. Tapi saya masih membutuhkan pekerjaan ini karena istri saya
yang di kampung sedang hamil,” Mang Ujang menggeser posisinya, kali ini
menghadap Bella. ”Jangan pecat saya, Non. Saya mohon, kejadian tadi tanpa nalar
dan akal sehat saya. Saya berani sumpah kalau saya gak tau apa-apa...”
Bella mencoba menatap lebih dalam sepasang bola mata Mang
Ujang, dan dia tidak mendapatkan kedustaan disana. Bella mengangguk pertanda
kalau dia tidak akan mengadukan tindakkan Mang Ujang ke Papa atau Mama-nya,
apalagi sampai memecatnya. Bella benar-benar tidak tega.
”Kamu mau kan Rel maafin Mang Ujang?” Bella menatap Karel dengan
sorot mata memohon.
Karel yang masih meringis dan sesekali melirik Mang Ujang
dengan ekspresi kesal, akhirnya mengangguk juga karena ini permintaan dari
Bella.
*
Brak!
(Namakamu) membuka pintu apartemennya dengan seluruh tenaga
yang tersisah, asap nyaris keluar dari dalam kepalanya, bahu gadis ini
naik-turun dengan ritme yang kacau dan wajahnya, jangan di tanya, kali ini
(namakamu) benar-benar terlihat mengerikan. Langkah (namakamu) yang
tergesah-gesah itu langsung terhenti ketika mendapati seorang laki-laki yang
tengah duduk sambil menopang dagunya. Wajahnya murung, dia hanya menengadah
seolah memastikan siapa yang datang lalu pandangannya kembali dia tundukkan.
(Namakamu) tidak tahu atmosfer apa yang menyelubungi kamar
hatinya, tiba-tiba saja dia merasa iba. Dia pernah mengalami hal yang semacam
ini dan hatinya hancur berkeping-keping. Apa laki-laki itu juga merasakan hal
yang sama seperti yang pernah (namakamu) rasakan dulu?
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment