Wednesday, September 30, 2015

Cerbung Somewhere - Part 12 (Tamat)



`Somewhere` [12]

by Muhammad Aryanda

-o0o-

(Namakamu) terbangun di sebuah ruangan serba putih yang terang serta bau obat-obatan kimia menusuk hidungnya, bau aneh itu mengantarkan signal aneh ke dalam perutnya—rasanya perut (namakamu) seperti di aduk dengan garpu. Dengan susah payah (namakamu) mencoba duduk.
Dengan punggung yang bersender pada kepala tempat tidur, sekali lagi (namakamu) menatap ruangan serba putih ini, rasanya ada yang aneh saat menatap segala sesuatu dengan mata yang kabur. (Namakamu) mengerjap, memaksa indra penglihatannya untuk berfungsi senormal mungkin, dan itu membutuhkan waktu sekitar lima menit.
Pintu terbuka, memunculkan sosok Steffie dengan wajah sebal, tapi wajah sebal itu langsung tergantikan dengan wajah ceria saat mendapati sosok (namakamu) yang entah sejak kapan terbangun dari komanya selama beberapa minggu.
”(Namakamu)?”
Gadis yang saat ini sedang memakai piyama rumah sakit itu mengernyit. ”Muka lo kayak udah nggak jumpa gue selama bertahun-tahun!” Cibir (namakamu), detik berikutnya dia rasakan tubuh Steffie terhempas ke arahnya dan memeluknya. (Namakamu) berjengit saat sesuatu di perutnya terasa sangat sakit.
”Fie,” rintih (namakamu), mencoba menjauhkan badan Steffie.
Steffie tergagap dan menepuk keningnya. ”Maaf, gue lupa, ya ampun! Tolol banget! Sakit nggak?” Sorot mata Steffie memandang ngeri ke arah perut (namakamu).
Mendapati tatapan yang tak biasa dari Steffie membuat (namakamu) penasaran, apa yang sebenarnya gadis itu pikirkan. Dan (namakamu) juga penasaran apa yang membuat perutnya mendadak perih. Secara perlahan (namakamu) menyikap sedikitnya baju yang dia kenakan, dan di dapatinya bekas luka memerah serta bekas jahitan. Sedetik (namakamu) terdiam untuk mencerna semuanya, dan detik berikutnya gadis itu berteriak histeris.

”STEFFIE!! KENAPA SAMA PERUT GUE?!!!”
”Bastian bilang perut lo ke tusuk sama besi, gitu deh, katanya,” jawab Steffie santai. ”Gue seneng deh lo udah sadar, tapi gue ngeri ngebayanginya,”telunjuk Steffie mengarah pada perut (namakamu).
”Gue ke tusuk? Kok nggak mati?”
Plak!
Tangan Steffie terayun untuk menampar wajah (namakamu) dengan tasnya.
”Jadi lo mau mati, hah?”
Sambil meringis, (namakamu) mengerucutkan bibirnya sebal. ”Biasanya kan kalau di drama-drama kayak gitu,”
”What the? Berasa aktis korea lo!” Cibir Steffie, lalu dia menarik kursi untuk di dudukinya, sebelum berbicara dia menghela napas panjang. ”DASAR KAREL SINTING!” Katanya. Kening (namakamu) berkerut, sekelebat kejadian entah beberapa hari, minggu atau mungkin bulan terbayang di kepalanya. ”Padahal gue seneng banget udah dapet kerjaan, tapi nggak taunya sampe sana gue malah di siksa, di paksa ngasih tau rahasia lo, dan tololnya gue langsung jawab kalo lo itu cenayang, gue bego, tolol, maapin gue, (namakamu), reflek gue, terus gue di racun sampe nggak sadar, malah bangun-bangun leher gue sakit lagi. Babi banget kan, Karel? -..-”
”Apasih, Fie, mulut lo!” (Namakamu) sedang tidak fokus dengan ucapan Steffie, isi kepalanya terus menerus mengeluarkan penggalan kejadian di bawah tanah itu, walaupun tak begitu jelas tapi sedikit demi sedikit (namakamu) mulai ingat.
”Jangan bilang kalau lo masih suka sama Karel setelah kejadian tiga minggu yang lalu!” Dengan sangat histeris telunjuk Steffie menuding ke wajah (namakamu).
(Namakamu) menggeleng tidak jelas.
”Bastian mana?”
Wajah histeris Steffie digantikan dengan garis-garis tekukan sebal. ”Jamban,” gerutunya.
”Gue serius!”
”Gue kesel sama dia, nyet, nggak usah tanya-tanya dia deh!”
”Kenapa bisa kesel, lay? Dia selingkuh?”
Mata Steffie menyipit. ”Doa lo nggak ada yang bagusan dikit apa buat hubungan gue sama dia?!”
”Yah, semoga kalian cepet nikah terus di karuniai sepuluh anak,” (namakamu) nyengir.
”Sepuluh anak? Doa lo kebagusan!”
Rasanya (namakamu) ingin mencabik-cabik wajah Steffie dengan garpu saat ini.
Tidak ada yang bersuara lagi setelah itu, karena tiba-tiba saja pintu terbuka dan memperlihatkan seorang pria berjas putih lengkap dengan kacamata serta stetoskop yang melekat di leher, sekilas (namakamu) menatap ke arah dokter itu dan mendapati nametag yang tertera di dada kirinya bertulisan 'dr.Rizky'
”Sudah sadar ternyata,” katanya seraya melempar senyum khas kebanyakan dokter.
(Namakamu) balas tersenyum kikuk, lalu matanya melirik Steffie yang langsung beranjak. Sepertinya gadis itu tahu apa yang seharusnya dia lakukan, dan tak lama (namakamu) mendapati suara pintu tertutup. Steffie sudah keluar.

*
(Namakamu) benar-benar tak suka berlama-lama berada di rumah sakit, bau obat-obatan yang hampir setiap saat mampir di hidungnya membuat (namakamu) tersiksa, dan ketika dia meminta izin untuk keluar hari ini, dr. Rizky tidak mengizinkan permintaan (namakamu) itu, pria itu bilang sekitar dua atau tiga hari lagi, mengingat (namakamu) baru sadar dari komanya, dan masih membutuhkan perawatan dari pihak rumah sakit agar luka tusuk di perutnya benar-benar pulih.
(Namakamu) bersyukur Steffie tidak memberitahu kejadian bodoh ini kepada kedua orang tuanya. (Namakamu) tak bisa membayangkan bagaimana reaksi ibunya saat mengetahui kalau perut anaknya tertusuk besi dan koma selama tiga minggu. Bisa-bisa (namakamu) di suruh pulang detik ini juga. Memikirkan itu membuat kepala (namakamu) sakit.
Tadi (namakamu) juga sempat bertanya dengan Steffie tentang keberadaan Karel, dan dengan sangat antusias gadis itu menjawab kalau sih Karel sialan itu sudah di ringkus oleh polisi. Karel menjadi tersangka sebagai pelaku percobaan pembunuhan dan penipuan terhadap dirinya, Steffie dan Bastian. Dan yang menjadi pertanyaan (namakamu) sekarang, dimana Iqbaal? Bagaimana keadaan pria itu? Apakah dia baik-baik saja?
(Namakamu) membuka pintu dan melangkah keluar, selama hampir sebulan berada di kamar itu membuat kepalanya sakit. (Namakamu) harus melihat keadaan diluar, siapa tahu ada yang berubah. Ketika (namakamu) berhasil menginjakan kakinya di luar kamar rawatnya, sepasang suami-istri yang duduk di kursi tunggu yang ada di depan kamar rawatnya menatapnya dengan sangat antusias.
”(Namakamu) kan?” Wanita itu beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiri (namakamu).
”I-iya,” (namakamu) tak kenal mereka.
Sudut-sudut mata wanita itu berkerut-kerut dan beberapa detik kemudian (namakamu) bisa melihat sebuah cairan bening keluar dari sudut mata wanita itu. (Namakamu) dibuat bingung oleh wanita itu, belum lagi ketika (namakamu) merasakan wanita itu memeluk dirinya. Hei, dia ini siapa?
Seperti sudah merasakan puas dalam diri istrinya, pria nyaris tua yang sedari tadi hanya duduk sambil memperhatikan adegan tangis-peluk itu beranjak dari duduknya, lalu berdeham.
”Supaya kamu juga mengenal kami, saya Herry dan ini istri saya Rike,” kata pria itu yang ternyata bernama Herry. ”Nak, (namakamu) pasti bingung. Istri saya cuma mau mengatakan banyak terima kasih sama kamu, karena menurut penjelasan teman kamu, kamulah yang sudah menghubungi nomor saya dengan ponsel Iqbaal. Sekali lagi, kami mengucapkan terima kasih. Kami sudah sangat menanti Nak (namakamu) beberapa minggu yang lalu,”
(Namakamu) terdiam sesaat, melihat dimana posisi duduk mereka tadi, apa berarti Iqbaal ada di dalam ruangan yang bertepatan di depan ruang rawatnya?
”Iqbaal ada di dalam?” Tanya (namakamu) dengan sepasang mata yang terfokus pada jendela kamar di depannya.
”Ya, tapi dia belum sadar,” jawab Herry sambil tersenyum.
”Saya boleh lihat?”

Sepasang suami-istri itu mengangguk secara bersamaan. Herry yang berada paling dekat dengan pintu segera membukakan pintu untuk (namakamu), sebelum melangkah masuk, (namakamu) melempar senyum pada keduanya.
(Namakamu) pikir kedua orang tua Iqbaal akan ikut masuk bersamanya, tapi ternyata tidak, mengetahui itu membuat perasaan (namakamu) sedikit senang. Entahlah, mungkin dia hanya ingin berdua saja dengan Iqbaal di ruangan ini.
Sejak masuk ke ruangan ini, sepasang mata (namakamu) seakan tak pernah lepas dari sosok pria yang terbaring di atas tempat tidur kecil itu, meskipun pikirannya sibuk berkelana entah kemana.
Wajah pria itu masih pucat, tidak berbeda dari sebelumnya, dengan mata pria itu yang masih terpejam, (Namakamu) bisa melihat selang infus tertancam di tangan kanan Iqbaal, alat bantu pernapasan di hidung pria itu, kepala yang dibalut perban, dan selimut tebal yang menutupi hampir seluruh tubuh. Dan yang paling membuat (namakamu) senang adalah saat monitor di sebelah tempat tidur Iqbaal memperlihatkan grafik beraturan. Tangan (namakamu) yang semula hanya mencengkram ujung tempat tidur perlahan mulai mendekat, meraih tangan dingin pria itu lalu menggenggamanya. (Namakamu) senang bukan kepalang mengatahui kalau dia bisa menyentuh pria ini. Apakah dia harus membangunkan Iqbaal untuk memberitahu tentang ini?
”Ng,”

Mata (namakamu) mengerjap tidak percaya, sosok yang terbaring tak berdaya itu melenguh tak jelas dan perlahan mata pria itu juga mengerjap, dan terbuka dengan susah payah.
”Iqbaal?” (Namakamu) menangkup mulutnya saking tidak percayanya. ”Kamu udah sadar?” Suara (namakamu) terdengar meringis, jelas-jelas Iqbaal memangg sudah sadar jadi kenapa (namakamu) malah bertanya lagi? Ah, seperti di sinetron saja. ”Aku bakalan panggil orang tua kamu,” dengan berat hati (namakamu) melepas genggaman tangannya. Tapi belum sempat (namakamu) melangkah keluar untuk memanggil orang tua Iqbaal, dia menangkap suara dari mulut pria itu, walaupun tak jelas tapi (namakamu) bisa mendengarnya.
”Sa-saya dimana? Kenapa saya disini? Apa yang sebenarnya terjadi? Dimana orang tua saya? Dan kamu ini siapa?” Suara pria itu terbata-bata.
Pertanyaan terakhir itu sukses membuat (namakamu) mengurungkan niatnya. Tubuhnya langsung membatu, sekujur tubuhnya seperti di pukul dengan ribuan tongkat bisbol, dan berbagai kesakitan kini hinggap di hatinya, mengrogoti ruang-ruang di hatinya dengan liar. (Namakamu) mengerjap tak percaya, setelah selama ini usaha yang dia lakukan untuk pria ini dengan gampangnya dia melupakan semua itu? Baiklah, tidak masalah kalau Iqbaal melupakan pengorbanan (namakamu) selama ini, tapi kenapa Iqbaal juga harus melupakan dirinya? Bahkan namanya?

*
”Udah nunggu lama?”
Kepala (namakamu) terangkat, dan menatap sosok pria yang sekarang berdiri di hadapannya. Kening (namakamu) mengernyit sesaat setelah dia tersadar kalau atasannya lah yang berdiri di hadapannya sekarang. Apa yang dia lakukan disini? Berhujan-hujanan?
”Saya nggak ngerti apa maksud dari pertanyaan Pak Al,”
Sekarang gantian kening atasannya itu yang berkerut. ”Nggak ngerti?” Al menatap bingung (namakamu), mencoba mencari gurauan di wajah (namakamu). Al tercenung lalu dia merogo saku untuk mengambil ponselnya, lama dia memperhatikan ponselnya dan tiba-tiba tertawa. ”Ternyata pesan saya belum terkirim,”
(namakamu) memutar bola matanya. Berselang lima detik dia merasakan sesuatu dalam tasnya bergetar, segara saja (namakamu) mengambil ponselnya dan terlihat di layar ada sebuah pesan dari—(namakamu)mengklik—Al.
From: Al (atasan gue yang lumayan ganteng)
- undangan makan malam di rumah Om Herry. Mereka nyuruh saya untuk menjemput kamu sepulang dari kantor-
(Namakamu) mengangkat wajahnya, menatap rinci wajah atasannya itu. (Namakamu) tidak menyangka kalau ayah orang ini—pak Roy—adalah teman ayahnya DIA—(namakamu) menggerutu dalam hati, dirinya belum berani menyebut nama pria itu.
”Ayo,” kata Al.
”Saya nggak berniat pergi,”
Perubahan tampak jelas di wajah Al, dari yang ceria berubah menjadi murung.
”Om Herry pasti nunggu kedatengan kamu,”
Urusan gue? (Namakamu) menatap kecut Al. Kalau saja ini masih di kantor pasti (namakamu) tidak akan berani menatap Al seperti tiu.
”Kamu juga udah lama nggak ketemu sama Iqbaal kan?”
Jantung (namakamu) tersentak, seperti ada yang dengan sengaja menghantamnya dengan tongkat golf saat pria di hadapannya ini menyebutkan nama pria itu dengan sangat jelas. (Namakamu) menggeram, berusaha sekuat mungin agar tidak meledak-ledak karena sesuatu di ujung matanya nyaris keluar. Lagi. (Namakamu) memilih untuk memalingkan wajahnya pada hujan, menatap hujan yang belum berhenti.
”Saya nggak kenal sama dia, saya cuma kebetulan ketemu handphone dia sewaktu nemeni temen saya nyari gedung untuk atasannya, dan gedung itu untuk proyek baru. Beberapa minggu kemudian temen saya di pecat, dan dia ngadu sama saya, berselang seminggu, temen saya dapat sms dari nomor yang nggak dia kenal, menawarkan dia sebuah pekerjaan, tapi sayang dia di tipu, dan penipu itu adalah Karel.” (namakamu) menghela napas, ini adalah cerita paling tolol yang pernah keluar dari mulutnya. Dan cerita tolol ini entah sudah berapa kali dia paparkan. ”Karel adalah orang yang pernah menyatakan cinta pada saya, dan saya tolak, mungkin dia nggak bisa terima, maka dia membuat rencana ini, menjebak teman saya. Saya di ajak ke Villa dia dengan alasan untuk mencari berkas, tapi sewaktu sampai disana, dia malah mendorong saya ke sebuah ruang bawah tanah yang gelap, sewaktu saya menyalakan lampu saya melihat sosok seorang pria mengenaskan, yang sama seperti yang ada di foto handphone yang saya temukan di gedung tua itu. Selebihnya mungkin saya tidak perlu menceritakan pada Pak Al.” (Namakamu) menutup ceritanya dengan helaan napas pendek. Cerita ini adalah cerita yang sama, yang (namakamu) ceritakan pada polisi dan keluarga Iqbaal. Tapi kenapa sih tolol atasannya ini seakan tidak tahu apa-apa?
”Saya dan Iqbaal belum pernah ketemu, kami hanya tau nama satu sama lain dari mulut ke mulut. Saya baru tahu kalau ceritanya seperti itu. Mungkin Om Herry akan tertarik dengan cerita kamu, hm?”
”Mereka sudah tahu, hanya Pak Al mungkin yang belum,”
”Saya selalu sibuk,” wajahnya terlihat menyesal, lalu dia menarik tangan (namakamu) secara paksa.
”Lepasin, Pak,” (namakamu) hendak menepis tapi langsung dia batalkan saat pria itu mengancam. Penolakan dari (namakamu) tentu membuat orang-orang yang sedang menunggu bis atau sekedar numpang berteduh menoleh ke arah mereka dengan tatapan tak biasa.
”Atau saya pecat?”
(Namakamu) menunduk, dan membiarkan tubuhnya di tarik dengan seenaknya. Kalau sudah seperti ini, (namakamu) hanya bisa pasrah, melawan pun percuma, kecuali kalau dia sudah tidak membutuhkan pekerjaan itu lagi, dengan senang hati (namakamu) akan menerjang pria ini.

*
(Namakamu) berusaha mengatur napas saat kakinya menginjak dataran halaman rumah Iqbaal yang hijau itu dengan Al yang berjalan beriringan dengannya.
”Saya minta maaf soal tadi,” kata Al menyesal, dari ekspresi wajah dan nada suaranya tak ada sedikitpun kebohongan disana.
(Namakamu) mengangguk.
”Kamu deg-deg-an?” Tanya Al tiba-tiba.
(Namakamu) menghentikan langkahnya, bukan karena pertanyaan sok tahu yang di lontarkan oleh Al, melainkan kata 'kamu' yang terdengar jelas pada kalimat pria itu.
Paham dengan keterkejutan (namakamu), Al buru-buru menjelaskan. ”Ini bukan kantor, nggak seharusnya kita berbicara terlalu formal seperti beberapa menit yang lalu,” Al tersenyum sambil melanjutkan langkahnya. Dia membiarkan (namakamu)?
”Iya, gue mah nurut aja, takut di pecat,” (namakamu) memutar bola matanya sebal, lalu melenggangkan kakinya menyusul Al.
Bruk!
Pria di hadapannya tiba-tiba berhenti, membuat (namakamu) yang sedang melangkah dengan biada menabrak punggung pria itu. Reflek saja (namakamu) meninju punggung pria itu.
”Jangan bicara kayak gitu lagi!” Al memutar badannya, menatap (namakamu) yang sibuk mengelus kening dengan garang.
”Iya, iya,” gerutu (namakamu).
Setelah mendengar balasan (namakamu), Al memutar badannya untuk melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Lalu dia tertawa pelan, melihat ekspresi wajah (namakamu) yang tengah merengut sambil mengelus kening itu membuat Al gemas ingin menarik pipi gadis itu.
(Namakamu) menghela napas dan berjalan mengekori Al. Perasaan cemas mulai menyentuh permukaan hati (namakamu) sesaat dia merasakan langkahnya semakin dekat dengan pintu masuk, bayangan orang-orang disana yang mungkin saja tengah memperbincangkan masalah apapun yang tak ingin di ketahui mulai mengisi kepalanya, atau mungkin mereka tengah membahas topik 'pertunangan antara Iqbaal dan Bella? Atau juga mungkin di dalam ada kedua orang tua Bella? Seluruh keluarga mereka? Orang-orang yang sudah sering mereka temui? Lalu apa gunanya (namakamu) di undang ke acara makan malam ini? Menjadi photograper handal, membidik setiap moment yang tercipta di ruang bahagia itu?
”Aduh,” untuk kedua kalinya (namakamu) merasakan keningnya terantuk dengan punggung, yang kali ini entah milik siapa, (namakamu) sih berfirasat kalau ini punggung atasan bodohnya itu. Sambil mengelus keningnya, (namakamu) kembali menghantamkan tinju ke punggung pria itu, kalau nanti dia marah, (namakamu) dengan senyum tololnya akan menjawab kalau dirinya tidak sengaja.
Pria itu memutar badannya. (Namakamu) bisa merasakan itu, meskipun dia hanya menunduk sambil mengelus dan hanya menatap kaki pria itu.
”Kamu pasti yang namanya (namakamu), kan?”
Suara itu...(Namakamu) berhenti mengelus kening bodohnya itu, dan cepat-cepat mengangkat wajahnya, menatap pria yang sekarang berdiri di hadapannya. Dengan senyum menawan serta tatapan teduh yang indah, pria itu balas menatap (namakamu).
”Aku Iqbaal,” Iqbaal mengulurkan tangannya.
Bukannya segara menyambut uluran tangan Iqbaal, (namakamu) malah diam seperti orang tolol, dengan mata berkedut-kedut resah, mulut yang terbuka, serta tangan yang terkepal kuat siap menonjok wajah pria di hadapannya ini.
”(Namakamu),” tangan (namakamu) terangkat gemetar, dengan susah payah dia menggenggam tangan Iqbaal, dan pria itu balas menggenggamnya dengan lembut.
”Loh, bukannya kalian temen ya?” Tiba-tiba seorang gadis cantik dengan bando pink yang melekat di kepalanya, muncul dari dalam sambil membawa dua gelas minuman.
Kening Iqbaal berkerut resah, dia menatap (namakamu) dan Bella secara bergantian.
”Temen SD tepatnya,” Bella menambahkan, lalu menyerahkan segelas minuman kepada (namakamu). (Namakamu) menerimanya dengan gugup.
”Temen SD?” Kepala Iqbaal sedikit miring memandang wajah (namakamu) yang kali ini terlihat sangat gugup.
”I-iya, tapi beda kelas,” (namakamu) menunduk, berusaha sekuat mungkin untuk tidak gugup di depan mereka (Bella dan Iqbaal), hei, dan dimana atasan bodohnya itu?
”Oh,” Bella mengangguk-ngangguk sok paham.
”Kamu temen SD aku?” Tanya Iqbaal seakan dia begitu tidak mengenali wajah gadis di hadapannya ini, gadis yang katanya sudah menyelamatkan hidupnya dan mengaku menjadi teman SDnya tapi mengapa tak ada sedikit pun gambaran wajah gadis ini di kepalanya?
”Iya,” (namakamu) sudah mengangkat wajahnya. Entahlah, (namakamu) berharap ini adalah mimpi, mimpi buruk yang terasa begitu nyata, rasanya... Tidak bisa di jelaskan antara kesal dan ingin menghantamkan kepalanya ke tembok, (namakamu) sangat geram dengan pria yang bodoh, tolol, sinting, dan idiot-nya ini melebihi Aldi.
”Kamu kenal sama dia?” Iqbaal bertanya pada Bella.
”Sebelumnya pernah jumpa. Dia temennya Karel,” ada sedikit keraguan di suara Bella saat menyebutkan nama Karel.

Hening. Tidak terdengar suara lagi setelah itu, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Bella yang sibuk dengan perasaannya antara percaya dan tidak mengetahui kalau Iqbaal sekarang telah kembali setelah dinyatakan tewas dalam kecelakaan, meskipun sudah hampir setahun berlalu, Bella tetap tidak bisa mempercayai keajaiban ini. Orang yang dia cintai telah kembali. Sementara (namakamu), entahlah gadis itu tidak ada pikiran apa-apa selain ingin melayangkan tinju terbaiknya ke wajah Iqbaal. APAKAH DIA BERSUNGGUH-SUNGGUH TIDAK MENGENAL (NAMAKAMU)??!!!Dan Iqbaal, matanya yang hanya terfokus pada (namakamu) tetap masih berusaha mencari-cari gambaran wajah gadis ini di masa lalunya. Teman SD-nya?
”Kenapa kamu baru dateng sekarang?” Tanya Iqbaal setelah Bella izin ke dapur untuk kembali membantu orang-orang dapur.
”Eh?” (Namakamu) yang semula hanya menatap sembarang arah kini menatap Iqbaal.
”Kenapa bingung gitu? Kamu (namakamu) kan? Gadis yang takut gelap, gadis yang nggak bisa move on dari Aldi, gadis yang nggak suka berpakain sexy, gadis yang sinis banget, gadis yang kasar, gadis yang drama queen abis, gadis yang diem-diem suka sama Iqbaal, gadis yang tidur dalam gelap saat sedih, gadis yang...,” Iqbaal tak meneruskan kalimatnya, bukan karena ada yang menyela, melainkan, dia seperti melihat (namakamu) dengan gerakan slowmotion; membungkuk dengan tatapan membunuh ke arahnya, melepaskan wedges di kaki, lalu berdiri dan menghantamkan wedges berhak tebal itu ke perut, tangan, kaki, dan hampir saja ke antara dua paha Iqbaal, kalau saja Iqbaal tidak secepat mungkin menghindar.
”IQBAAL!” (Namakamu) berteriak marah, air mata yang sudah berkumpul di sudut mata langsung mengalir deras dan dalam tiga detik saja sudah membasahi pipi (namakamu).
”Jangan!” Iqbaal menepis pukulan terakhir (namakamu) yang mengarah ke wajahnya.
”Dasar orang gila! Lo tau nggak, gue itu benci banget sama lo, gara-gara lo gue hampir mati, gara-gara lo gue kayak cewek murahan, gara-gara lo gue nggak bisa tidur, gara-gara lo gue nggak selera makan, gara-gara lo gue nggak selera hidup, gara-gara lo..,” ucapan (namakamu) terhenti, gadis itu kini menunduk, menyeka air matanya, tapi tak terlhat sedikit pun dari dirinya untuk mengecilkan suara tangisannya.
”Dan gara-gara itu, kamu cinta sama aku?”
(Namakamu) tersedak, mengusap wajahnya yang basah karena air mata dan kembali menatap Iqbaal dengan derain air mata.
”Setahun! Lo bisa bayangi nggak, nyet? Setahun!” (Namakamu) mengacungkan telunjuknya kesal ke wajah pria itu.
”Setahun nungguin aku dateng?” Iqbaal balik bertanya dengan polosnya.
Rahang (namakamu) mengeras mendengar pertanyaan idiot yang keluar dari mulut Iqbaal, dengan sekali gerakan dia menampar wajah Iqbaal dengan wedges. (Namakamu) tersenyum kemudian.
”Akhirnya gue bisa nyentuh lo juga! BHAHAHAK!” (Namakamu) tertawa lepas, mengabaikan sosok Iqbaal yang kali ini meringis sambil mengelus wajahnya.
”Ah, ya, sentuh, aku baru inget!”

(Namakamu) yang masih menikmati lelucon yang dia buat sendiri tak henti-hentinya tertawa, sampai akhirnya tawa biadab itu terhenti, dengan mendaratnya bibir Iqbaal di bibirnya. Tawa (namakamu) berhenti beriringan dengan tubuhnya yang terbujur kaku. (Namakamu) membatu tak percaya, dengan pasrahnya tangannya jatuh ke sisi tubuh, membiarkan tangan Iqbaal kini menyentuh lehernya, mendorong tengkuknya agar kecupan itu tak akan selesai dengan cepat. Seakan juga menikmati apa yang Iqbaal lakukan padanya, (namakamu) memejamkan matanya, membiarkan pria itu menguasai permainan tanpa perlawanan.
Berselang beberapa detik kecupan itu berakhir bersamaan dengan wajah Iqbaal yang menjauh.
”Besok kita nikah,”
Mata dan mulut (namakamu) terbuka.
”Kenapa kaget gitu? Cincin aku udah sama kamu kan? Dasar maling!”
Tidak bisa di pungkiri kalau (namakamu) senang mendengar Iqbaal akan menikahinya, tapi demi apa pria itu menyebutnya maling dan darimana Iqbaal tahu kalau (namakamu) memang maling atascincin dan surat yang dia titipkan pada dirinya? -..-
Bugh!
(Namakamu) langsung meninju perut Iqbaal membuat pria itu membungkuk dan...kembali mengecupnya. Kali ini bibir Iqbaal mendarat di kening (namakamu), dan tak lama kemudian, tangan pria itu meraih tubuh (namakamu), menarik (namakamu) kedalam pelukannya.

 TAMAT...

Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C


Somewhere; ”Terkadang lebih gampang marah pada orang yang kau percaya karena kau tahu mereka akan terus mencintaimu tak peduli apa yang sudah kau ucapkan.”

No comments:

Post a Comment

Situs terkait