`Somewhere` [12]
by Muhammad Aryanda
-o0o-
(Namakamu) terbangun di sebuah ruangan serba putih yang
terang serta bau obat-obatan kimia menusuk hidungnya, bau aneh itu mengantarkan
signal aneh ke dalam perutnya—rasanya perut (namakamu) seperti di aduk dengan
garpu. Dengan susah payah (namakamu) mencoba duduk.
Dengan punggung yang
bersender pada kepala tempat tidur, sekali lagi (namakamu) menatap ruangan
serba putih ini, rasanya ada yang aneh saat menatap segala sesuatu dengan mata
yang kabur. (Namakamu) mengerjap, memaksa indra penglihatannya untuk berfungsi
senormal mungkin, dan itu membutuhkan waktu sekitar lima menit.
Pintu terbuka, memunculkan sosok Steffie dengan wajah sebal,
tapi wajah sebal itu langsung tergantikan dengan wajah ceria saat mendapati sosok
(namakamu) yang entah sejak kapan terbangun dari komanya selama beberapa
minggu.
”(Namakamu)?”
Gadis yang saat ini sedang memakai piyama rumah sakit itu
mengernyit. ”Muka lo kayak udah nggak jumpa gue selama bertahun-tahun!” Cibir
(namakamu), detik berikutnya dia rasakan tubuh Steffie terhempas ke arahnya dan
memeluknya. (Namakamu) berjengit saat sesuatu di perutnya terasa sangat sakit.
”Fie,” rintih (namakamu), mencoba menjauhkan badan Steffie.
Steffie tergagap dan menepuk keningnya. ”Maaf, gue lupa, ya
ampun! Tolol banget! Sakit nggak?” Sorot mata Steffie memandang ngeri ke arah
perut (namakamu).
Mendapati tatapan yang tak biasa dari Steffie membuat
(namakamu) penasaran, apa yang sebenarnya gadis itu pikirkan. Dan (namakamu)
juga penasaran apa yang membuat perutnya mendadak perih. Secara perlahan
(namakamu) menyikap sedikitnya baju yang dia kenakan, dan di dapatinya bekas
luka memerah serta bekas jahitan. Sedetik (namakamu) terdiam untuk mencerna
semuanya, dan detik berikutnya gadis itu berteriak histeris.
”STEFFIE!! KENAPA SAMA PERUT GUE?!!!”
”Bastian bilang perut lo ke tusuk sama besi, gitu deh,
katanya,” jawab Steffie santai. ”Gue seneng deh lo udah sadar, tapi gue ngeri
ngebayanginya,”telunjuk Steffie mengarah pada perut (namakamu).
”Gue ke tusuk? Kok nggak mati?”
Plak!
Tangan Steffie terayun untuk menampar wajah (namakamu)
dengan tasnya.
”Jadi lo mau mati, hah?”
Sambil meringis, (namakamu) mengerucutkan bibirnya sebal.
”Biasanya kan kalau di drama-drama kayak gitu,”
”What the? Berasa aktis korea lo!” Cibir Steffie, lalu dia
menarik kursi untuk di dudukinya, sebelum berbicara dia menghela napas panjang.
”DASAR KAREL SINTING!” Katanya. Kening (namakamu) berkerut, sekelebat kejadian
entah beberapa hari, minggu atau mungkin bulan terbayang di kepalanya. ”Padahal
gue seneng banget udah dapet kerjaan, tapi nggak taunya sampe sana gue malah di
siksa, di paksa ngasih tau rahasia lo, dan tololnya gue langsung jawab kalo lo
itu cenayang, gue bego, tolol, maapin gue, (namakamu), reflek gue, terus gue di
racun sampe nggak sadar, malah bangun-bangun leher gue sakit lagi. Babi banget
kan, Karel? -..-”
”Apasih, Fie, mulut lo!” (Namakamu) sedang tidak fokus
dengan ucapan Steffie, isi kepalanya terus menerus mengeluarkan penggalan
kejadian di bawah tanah itu, walaupun tak begitu jelas tapi sedikit demi
sedikit (namakamu) mulai ingat.
”Jangan bilang kalau lo masih suka sama Karel setelah
kejadian tiga minggu yang lalu!” Dengan sangat histeris telunjuk Steffie
menuding ke wajah (namakamu).
(Namakamu) menggeleng tidak jelas.
”Bastian mana?”
Wajah histeris Steffie digantikan dengan garis-garis tekukan
sebal. ”Jamban,” gerutunya.
”Gue serius!”
”Gue kesel sama dia, nyet, nggak usah tanya-tanya dia deh!”
”Kenapa bisa kesel, lay? Dia selingkuh?”
Mata Steffie menyipit. ”Doa lo nggak ada yang bagusan dikit
apa buat hubungan gue sama dia?!”
”Yah, semoga kalian cepet nikah terus di karuniai sepuluh
anak,” (namakamu) nyengir.
”Sepuluh anak? Doa lo kebagusan!”
Rasanya (namakamu) ingin mencabik-cabik wajah Steffie dengan
garpu saat ini.
Tidak ada yang bersuara lagi setelah itu, karena tiba-tiba
saja pintu terbuka dan memperlihatkan seorang pria berjas putih lengkap dengan
kacamata serta stetoskop yang melekat di leher, sekilas (namakamu) menatap ke
arah dokter itu dan mendapati nametag yang tertera di dada kirinya bertulisan
'dr.Rizky'
”Sudah sadar ternyata,” katanya seraya melempar senyum khas
kebanyakan dokter.
(Namakamu) balas tersenyum kikuk, lalu matanya melirik
Steffie yang langsung beranjak. Sepertinya gadis itu tahu apa yang seharusnya
dia lakukan, dan tak lama (namakamu) mendapati suara pintu tertutup. Steffie
sudah keluar.
*
(Namakamu) benar-benar tak suka berlama-lama berada di rumah
sakit, bau obat-obatan yang hampir setiap saat mampir di hidungnya membuat
(namakamu) tersiksa, dan ketika dia meminta izin untuk keluar hari ini, dr.
Rizky tidak mengizinkan permintaan (namakamu) itu, pria itu bilang sekitar dua
atau tiga hari lagi, mengingat (namakamu) baru sadar dari komanya, dan masih
membutuhkan perawatan dari pihak rumah sakit agar luka tusuk di perutnya
benar-benar pulih.
(Namakamu) bersyukur Steffie tidak memberitahu kejadian
bodoh ini kepada kedua orang tuanya. (Namakamu) tak bisa membayangkan bagaimana
reaksi ibunya saat mengetahui kalau perut anaknya tertusuk besi dan koma selama
tiga minggu. Bisa-bisa (namakamu) di suruh pulang detik ini juga. Memikirkan
itu membuat kepala (namakamu) sakit.
Tadi (namakamu) juga sempat bertanya dengan Steffie tentang
keberadaan Karel, dan dengan sangat antusias gadis itu menjawab kalau sih Karel
sialan itu sudah di ringkus oleh polisi. Karel menjadi tersangka sebagai pelaku
percobaan pembunuhan dan penipuan terhadap dirinya, Steffie dan Bastian. Dan
yang menjadi pertanyaan (namakamu) sekarang, dimana Iqbaal? Bagaimana keadaan
pria itu? Apakah dia baik-baik saja?
(Namakamu) membuka pintu dan melangkah keluar, selama hampir
sebulan berada di kamar itu membuat kepalanya sakit. (Namakamu) harus melihat
keadaan diluar, siapa tahu ada yang berubah. Ketika (namakamu) berhasil
menginjakan kakinya di luar kamar rawatnya, sepasang suami-istri yang duduk di
kursi tunggu yang ada di depan kamar rawatnya menatapnya dengan sangat
antusias.
”(Namakamu) kan?” Wanita itu beranjak dari duduknya dan
berjalan menghampiri (namakamu).
”I-iya,” (namakamu) tak kenal mereka.
Sudut-sudut mata wanita itu berkerut-kerut dan beberapa
detik kemudian (namakamu) bisa melihat sebuah cairan bening keluar dari sudut
mata wanita itu. (Namakamu) dibuat bingung oleh wanita itu, belum lagi ketika (namakamu)
merasakan wanita itu memeluk dirinya. Hei, dia ini siapa?
Seperti sudah merasakan puas dalam diri istrinya, pria
nyaris tua yang sedari tadi hanya duduk sambil memperhatikan adegan
tangis-peluk itu beranjak dari duduknya, lalu berdeham.
”Supaya kamu juga mengenal kami, saya Herry dan ini istri
saya Rike,” kata pria itu yang ternyata bernama Herry. ”Nak, (namakamu) pasti
bingung. Istri saya cuma mau mengatakan banyak terima kasih sama kamu, karena
menurut penjelasan teman kamu, kamulah yang sudah menghubungi nomor saya dengan
ponsel Iqbaal. Sekali lagi, kami mengucapkan terima kasih. Kami sudah sangat
menanti Nak (namakamu) beberapa minggu yang lalu,”
(Namakamu) terdiam sesaat, melihat dimana posisi duduk
mereka tadi, apa berarti Iqbaal ada di dalam ruangan yang bertepatan di depan
ruang rawatnya?
”Iqbaal ada di dalam?” Tanya (namakamu) dengan sepasang mata
yang terfokus pada jendela kamar di depannya.
”Ya, tapi dia belum sadar,” jawab Herry sambil tersenyum.
”Saya boleh lihat?”
Sepasang suami-istri itu mengangguk secara bersamaan. Herry
yang berada paling dekat dengan pintu segera membukakan pintu untuk (namakamu),
sebelum melangkah masuk, (namakamu) melempar senyum pada keduanya.
(Namakamu) pikir kedua orang tua Iqbaal akan ikut masuk
bersamanya, tapi ternyata tidak, mengetahui itu membuat perasaan (namakamu)
sedikit senang. Entahlah, mungkin dia hanya ingin berdua saja dengan Iqbaal di
ruangan ini.
Sejak masuk ke ruangan ini, sepasang mata (namakamu) seakan
tak pernah lepas dari sosok pria yang terbaring di atas tempat tidur kecil itu,
meskipun pikirannya sibuk berkelana entah kemana.
Wajah pria itu masih pucat, tidak berbeda dari sebelumnya,
dengan mata pria itu yang masih terpejam, (Namakamu) bisa melihat selang infus
tertancam di tangan kanan Iqbaal, alat bantu pernapasan di hidung pria itu,
kepala yang dibalut perban, dan selimut tebal yang menutupi hampir seluruh
tubuh. Dan yang paling membuat (namakamu) senang adalah saat monitor di sebelah
tempat tidur Iqbaal memperlihatkan grafik beraturan. Tangan (namakamu) yang
semula hanya mencengkram ujung tempat tidur perlahan mulai mendekat, meraih
tangan dingin pria itu lalu menggenggamanya. (Namakamu) senang bukan kepalang
mengatahui kalau dia bisa menyentuh pria ini. Apakah dia harus membangunkan
Iqbaal untuk memberitahu tentang ini?
”Ng,”
Mata (namakamu) mengerjap tidak percaya, sosok yang
terbaring tak berdaya itu melenguh tak jelas dan perlahan mata pria itu juga
mengerjap, dan terbuka dengan susah payah.
”Iqbaal?” (Namakamu) menangkup mulutnya saking tidak
percayanya. ”Kamu udah sadar?” Suara (namakamu) terdengar meringis, jelas-jelas
Iqbaal memangg sudah sadar jadi kenapa (namakamu) malah bertanya lagi? Ah,
seperti di sinetron saja. ”Aku bakalan panggil orang tua kamu,” dengan berat hati
(namakamu) melepas genggaman tangannya. Tapi belum sempat (namakamu) melangkah
keluar untuk memanggil orang tua Iqbaal, dia menangkap suara dari mulut pria
itu, walaupun tak jelas tapi (namakamu) bisa mendengarnya.
”Sa-saya dimana? Kenapa saya disini? Apa yang sebenarnya
terjadi? Dimana orang tua saya? Dan kamu ini siapa?” Suara pria itu
terbata-bata.
Pertanyaan terakhir itu sukses membuat (namakamu)
mengurungkan niatnya. Tubuhnya langsung membatu, sekujur tubuhnya seperti di
pukul dengan ribuan tongkat bisbol, dan berbagai kesakitan kini hinggap di
hatinya, mengrogoti ruang-ruang di hatinya dengan liar. (Namakamu) mengerjap
tak percaya, setelah selama ini usaha yang dia lakukan untuk pria ini dengan
gampangnya dia melupakan semua itu? Baiklah, tidak masalah kalau Iqbaal
melupakan pengorbanan (namakamu) selama ini, tapi kenapa Iqbaal juga harus
melupakan dirinya? Bahkan namanya?
*
”Udah nunggu lama?”
Kepala (namakamu) terangkat, dan menatap sosok pria yang
sekarang berdiri di hadapannya. Kening (namakamu) mengernyit sesaat setelah dia
tersadar kalau atasannya lah yang berdiri di hadapannya sekarang. Apa yang dia
lakukan disini? Berhujan-hujanan?
”Saya nggak ngerti apa maksud dari pertanyaan Pak Al,”
Sekarang gantian kening atasannya itu yang berkerut. ”Nggak
ngerti?” Al menatap bingung (namakamu), mencoba mencari gurauan di wajah
(namakamu). Al tercenung lalu dia merogo saku untuk mengambil ponselnya, lama
dia memperhatikan ponselnya dan tiba-tiba tertawa. ”Ternyata pesan saya belum
terkirim,”
(namakamu) memutar bola matanya. Berselang lima detik dia
merasakan sesuatu dalam tasnya bergetar, segara saja (namakamu) mengambil
ponselnya dan terlihat di layar ada sebuah pesan dari—(namakamu)mengklik—Al.
From: Al (atasan gue yang lumayan ganteng)
- undangan makan malam di rumah Om Herry. Mereka nyuruh saya
untuk menjemput kamu sepulang dari kantor-
(Namakamu) mengangkat wajahnya, menatap rinci wajah
atasannya itu. (Namakamu) tidak menyangka kalau ayah orang ini—pak Roy—adalah
teman ayahnya DIA—(namakamu) menggerutu dalam hati, dirinya belum berani
menyebut nama pria itu.
”Ayo,” kata Al.
”Saya nggak berniat pergi,”
Perubahan tampak jelas di wajah Al, dari yang ceria berubah
menjadi murung.
”Om Herry pasti nunggu kedatengan kamu,”
Urusan gue? (Namakamu) menatap kecut Al. Kalau saja ini
masih di kantor pasti (namakamu) tidak akan berani menatap Al seperti tiu.
”Kamu juga udah lama nggak ketemu sama Iqbaal kan?”
Jantung (namakamu) tersentak, seperti ada yang dengan
sengaja menghantamnya dengan tongkat golf saat pria di hadapannya ini
menyebutkan nama pria itu dengan sangat jelas. (Namakamu) menggeram, berusaha
sekuat mungin agar tidak meledak-ledak karena sesuatu di ujung matanya nyaris
keluar. Lagi. (Namakamu) memilih untuk memalingkan wajahnya pada hujan, menatap
hujan yang belum berhenti.
”Saya nggak kenal sama dia, saya cuma kebetulan ketemu
handphone dia sewaktu nemeni temen saya nyari gedung untuk atasannya, dan
gedung itu untuk proyek baru. Beberapa minggu kemudian temen saya di pecat, dan
dia ngadu sama saya, berselang seminggu, temen saya dapat sms dari nomor yang
nggak dia kenal, menawarkan dia sebuah pekerjaan, tapi sayang dia di tipu, dan
penipu itu adalah Karel.” (namakamu) menghela napas, ini adalah cerita paling
tolol yang pernah keluar dari mulutnya. Dan cerita tolol ini entah sudah berapa
kali dia paparkan. ”Karel adalah orang yang pernah menyatakan cinta pada saya,
dan saya tolak, mungkin dia nggak bisa terima, maka dia membuat rencana ini,
menjebak teman saya. Saya di ajak ke Villa dia dengan alasan untuk mencari
berkas, tapi sewaktu sampai disana, dia malah mendorong saya ke sebuah ruang
bawah tanah yang gelap, sewaktu saya menyalakan lampu saya melihat sosok
seorang pria mengenaskan, yang sama seperti yang ada di foto handphone yang saya
temukan di gedung tua itu. Selebihnya mungkin saya tidak perlu menceritakan
pada Pak Al.” (Namakamu) menutup ceritanya dengan helaan napas pendek. Cerita
ini adalah cerita yang sama, yang (namakamu) ceritakan pada polisi dan keluarga
Iqbaal. Tapi kenapa sih tolol atasannya ini seakan tidak tahu apa-apa?
”Saya dan Iqbaal belum pernah ketemu, kami hanya tau nama
satu sama lain dari mulut ke mulut. Saya baru tahu kalau ceritanya seperti itu.
Mungkin Om Herry akan tertarik dengan cerita kamu, hm?”
”Mereka sudah tahu, hanya Pak Al mungkin yang belum,”
”Saya selalu sibuk,” wajahnya terlihat menyesal, lalu dia
menarik tangan (namakamu) secara paksa.
”Lepasin, Pak,” (namakamu) hendak menepis tapi langsung dia
batalkan saat pria itu mengancam. Penolakan dari (namakamu) tentu membuat
orang-orang yang sedang menunggu bis atau sekedar numpang berteduh menoleh ke
arah mereka dengan tatapan tak biasa.
”Atau saya pecat?”
(Namakamu) menunduk, dan membiarkan tubuhnya di tarik dengan
seenaknya. Kalau sudah seperti ini, (namakamu) hanya bisa pasrah, melawan pun
percuma, kecuali kalau dia sudah tidak membutuhkan pekerjaan itu lagi, dengan
senang hati (namakamu) akan menerjang pria ini.
*
(Namakamu) berusaha mengatur napas saat kakinya menginjak
dataran halaman rumah Iqbaal yang hijau itu dengan Al yang berjalan beriringan
dengannya.
”Saya minta maaf soal tadi,” kata Al menyesal, dari ekspresi
wajah dan nada suaranya tak ada sedikitpun kebohongan disana.
(Namakamu) mengangguk.
”Kamu deg-deg-an?” Tanya Al tiba-tiba.
(Namakamu) menghentikan langkahnya, bukan karena pertanyaan
sok tahu yang di lontarkan oleh Al, melainkan kata 'kamu' yang terdengar jelas
pada kalimat pria itu.
Paham dengan keterkejutan (namakamu), Al buru-buru
menjelaskan. ”Ini bukan kantor, nggak seharusnya kita berbicara terlalu formal
seperti beberapa menit yang lalu,” Al tersenyum sambil melanjutkan langkahnya.
Dia membiarkan (namakamu)?
”Iya, gue mah nurut aja, takut di pecat,” (namakamu) memutar
bola matanya sebal, lalu melenggangkan kakinya menyusul Al.
Bruk!
Pria di hadapannya tiba-tiba berhenti, membuat (namakamu)
yang sedang melangkah dengan biada menabrak punggung pria itu. Reflek saja
(namakamu) meninju punggung pria itu.
”Jangan bicara kayak gitu lagi!” Al memutar badannya,
menatap (namakamu) yang sibuk mengelus kening dengan garang.
”Iya, iya,” gerutu (namakamu).
Setelah mendengar balasan (namakamu), Al memutar badannya
untuk melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Lalu dia tertawa pelan,
melihat ekspresi wajah (namakamu) yang tengah merengut sambil mengelus kening
itu membuat Al gemas ingin menarik pipi gadis itu.
(Namakamu) menghela napas dan berjalan mengekori Al.
Perasaan cemas mulai menyentuh permukaan hati (namakamu) sesaat dia merasakan
langkahnya semakin dekat dengan pintu masuk, bayangan orang-orang disana yang
mungkin saja tengah memperbincangkan masalah apapun yang tak ingin di ketahui
mulai mengisi kepalanya, atau mungkin mereka tengah membahas topik 'pertunangan
antara Iqbaal dan Bella? Atau juga mungkin di dalam ada kedua orang tua Bella?
Seluruh keluarga mereka? Orang-orang yang sudah sering mereka temui? Lalu apa
gunanya (namakamu) di undang ke acara makan malam ini? Menjadi photograper
handal, membidik setiap moment yang tercipta di ruang bahagia itu?
”Aduh,” untuk kedua kalinya (namakamu) merasakan keningnya
terantuk dengan punggung, yang kali ini entah milik siapa, (namakamu) sih
berfirasat kalau ini punggung atasan bodohnya itu. Sambil mengelus keningnya,
(namakamu) kembali menghantamkan tinju ke punggung pria itu, kalau nanti dia
marah, (namakamu) dengan senyum tololnya akan menjawab kalau dirinya tidak
sengaja.
Pria itu memutar badannya. (Namakamu) bisa merasakan itu,
meskipun dia hanya menunduk sambil mengelus dan hanya menatap kaki pria itu.
”Kamu pasti yang namanya (namakamu), kan?”
Suara itu...(Namakamu) berhenti mengelus kening bodohnya
itu, dan cepat-cepat mengangkat wajahnya, menatap pria yang sekarang berdiri di
hadapannya. Dengan senyum menawan serta tatapan teduh yang indah, pria itu
balas menatap (namakamu).
”Aku Iqbaal,” Iqbaal mengulurkan tangannya.
Bukannya segara menyambut uluran tangan Iqbaal, (namakamu)
malah diam seperti orang tolol, dengan mata berkedut-kedut resah, mulut yang
terbuka, serta tangan yang terkepal kuat siap menonjok wajah pria di hadapannya
ini.
”(Namakamu),” tangan (namakamu) terangkat gemetar, dengan
susah payah dia menggenggam tangan Iqbaal, dan pria itu balas menggenggamnya
dengan lembut.
”Loh, bukannya kalian temen ya?” Tiba-tiba seorang gadis
cantik dengan bando pink yang melekat di kepalanya, muncul dari dalam sambil
membawa dua gelas minuman.
Kening Iqbaal berkerut resah, dia menatap (namakamu) dan
Bella secara bergantian.
”Temen SD tepatnya,” Bella menambahkan, lalu menyerahkan
segelas minuman kepada (namakamu). (Namakamu) menerimanya dengan gugup.
”Temen SD?” Kepala Iqbaal sedikit miring memandang wajah
(namakamu) yang kali ini terlihat sangat gugup.
”I-iya, tapi beda kelas,” (namakamu) menunduk, berusaha
sekuat mungkin untuk tidak gugup di depan mereka (Bella dan Iqbaal), hei, dan
dimana atasan bodohnya itu?
”Oh,” Bella mengangguk-ngangguk sok paham.
”Kamu temen SD aku?” Tanya Iqbaal seakan dia begitu tidak
mengenali wajah gadis di hadapannya ini, gadis yang katanya sudah menyelamatkan
hidupnya dan mengaku menjadi teman SDnya tapi mengapa tak ada sedikit pun
gambaran wajah gadis ini di kepalanya?
”Iya,” (namakamu) sudah mengangkat wajahnya. Entahlah,
(namakamu) berharap ini adalah mimpi, mimpi buruk yang terasa begitu nyata,
rasanya... Tidak bisa di jelaskan antara kesal dan ingin menghantamkan
kepalanya ke tembok, (namakamu) sangat geram dengan pria yang bodoh, tolol,
sinting, dan idiot-nya ini melebihi Aldi.
”Kamu kenal sama dia?” Iqbaal bertanya pada Bella.
”Sebelumnya pernah jumpa. Dia temennya Karel,” ada sedikit
keraguan di suara Bella saat menyebutkan nama Karel.
Hening. Tidak terdengar suara lagi setelah itu,
masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Bella yang sibuk dengan
perasaannya antara percaya dan tidak mengetahui kalau Iqbaal sekarang telah kembali
setelah dinyatakan tewas dalam kecelakaan, meskipun sudah hampir setahun
berlalu, Bella tetap tidak bisa mempercayai keajaiban ini. Orang yang dia
cintai telah kembali. Sementara (namakamu), entahlah gadis itu tidak ada
pikiran apa-apa selain ingin melayangkan tinju terbaiknya ke wajah Iqbaal.
APAKAH DIA BERSUNGGUH-SUNGGUH TIDAK MENGENAL (NAMAKAMU)??!!!Dan Iqbaal, matanya
yang hanya terfokus pada (namakamu) tetap masih berusaha mencari-cari gambaran
wajah gadis ini di masa lalunya. Teman SD-nya?
”Kenapa kamu baru dateng sekarang?” Tanya Iqbaal setelah
Bella izin ke dapur untuk kembali membantu orang-orang dapur.
”Eh?” (Namakamu) yang semula hanya menatap sembarang arah
kini menatap Iqbaal.
”Kenapa bingung gitu? Kamu (namakamu) kan? Gadis yang takut
gelap, gadis yang nggak bisa move on dari Aldi, gadis yang nggak suka berpakain
sexy, gadis yang sinis banget, gadis yang kasar, gadis yang drama queen abis,
gadis yang diem-diem suka sama Iqbaal, gadis yang tidur dalam gelap saat sedih,
gadis yang...,” Iqbaal tak meneruskan kalimatnya, bukan karena ada yang
menyela, melainkan, dia seperti melihat (namakamu) dengan gerakan slowmotion;
membungkuk dengan tatapan membunuh ke arahnya, melepaskan wedges di kaki, lalu
berdiri dan menghantamkan wedges berhak tebal itu ke perut, tangan, kaki, dan
hampir saja ke antara dua paha Iqbaal, kalau saja Iqbaal tidak secepat mungkin
menghindar.
”IQBAAL!” (Namakamu) berteriak marah, air mata yang sudah
berkumpul di sudut mata langsung mengalir deras dan dalam tiga detik saja sudah
membasahi pipi (namakamu).
”Jangan!” Iqbaal menepis pukulan terakhir (namakamu) yang
mengarah ke wajahnya.
”Dasar orang gila! Lo tau nggak, gue itu benci banget sama
lo, gara-gara lo gue hampir mati, gara-gara lo gue kayak cewek murahan,
gara-gara lo gue nggak bisa tidur, gara-gara lo gue nggak selera makan,
gara-gara lo gue nggak selera hidup, gara-gara lo..,” ucapan (namakamu)
terhenti, gadis itu kini menunduk, menyeka air matanya, tapi tak terlhat
sedikit pun dari dirinya untuk mengecilkan suara tangisannya.
”Dan gara-gara itu, kamu cinta sama aku?”
(Namakamu) tersedak, mengusap wajahnya yang basah karena air
mata dan kembali menatap Iqbaal dengan derain air mata.
”Setahun! Lo bisa bayangi nggak, nyet? Setahun!” (Namakamu)
mengacungkan telunjuknya kesal ke wajah pria itu.
”Setahun nungguin aku dateng?” Iqbaal balik bertanya dengan
polosnya.
Rahang (namakamu) mengeras mendengar pertanyaan idiot yang
keluar dari mulut Iqbaal, dengan sekali gerakan dia menampar wajah Iqbaal
dengan wedges. (Namakamu) tersenyum kemudian.
”Akhirnya gue bisa nyentuh lo juga! BHAHAHAK!” (Namakamu)
tertawa lepas, mengabaikan sosok Iqbaal yang kali ini meringis sambil mengelus
wajahnya.
”Ah, ya, sentuh, aku baru inget!”
(Namakamu) yang masih menikmati lelucon yang dia buat
sendiri tak henti-hentinya tertawa, sampai akhirnya tawa biadab itu terhenti,
dengan mendaratnya bibir Iqbaal di bibirnya. Tawa (namakamu) berhenti
beriringan dengan tubuhnya yang terbujur kaku. (Namakamu) membatu tak percaya,
dengan pasrahnya tangannya jatuh ke sisi tubuh, membiarkan tangan Iqbaal kini
menyentuh lehernya, mendorong tengkuknya agar kecupan itu tak akan selesai
dengan cepat. Seakan juga menikmati apa yang Iqbaal lakukan padanya, (namakamu)
memejamkan matanya, membiarkan pria itu menguasai permainan tanpa perlawanan.
Berselang beberapa detik kecupan itu berakhir bersamaan
dengan wajah Iqbaal yang menjauh.
”Besok kita nikah,”
Mata dan mulut (namakamu) terbuka.
”Kenapa kaget gitu? Cincin aku udah sama kamu kan? Dasar
maling!”
Tidak bisa di pungkiri kalau (namakamu) senang mendengar
Iqbaal akan menikahinya, tapi demi apa pria itu menyebutnya maling dan darimana
Iqbaal tahu kalau (namakamu) memang maling atascincin dan surat yang dia
titipkan pada dirinya? -..-
Bugh!
(Namakamu) langsung meninju perut Iqbaal membuat pria itu
membungkuk dan...kembali mengecupnya. Kali ini bibir Iqbaal mendarat di kening
(namakamu), dan tak lama kemudian, tangan pria itu meraih tubuh (namakamu),
menarik (namakamu) kedalam pelukannya.
TAMAT...
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
Somewhere; ”Terkadang lebih gampang marah pada orang yang
kau percaya karena kau tahu mereka akan terus mencintaimu tak peduli apa yang
sudah kau ucapkan.”
No comments:
Post a Comment