`Somewhere` [11]
by Muhammad Aryanda.
—oOo—
Mendesah, Karel mendekatkan wajahnya pada (namakamu) dan
berbisik. ”Arah jam sembilan.”
Sekujur tubuh (namakamu) menegang, dan perlahan kepalanya
memutar ke sisi kiri. Menuruti perintah Karel sama saja seperti
menginjak-nginjak harga diri sendiri, tapi (namakamu) penasaran dan dia
melakukannya. Menatap kesisi kirinya, dan langsung menemukan apa yang sedari
tadi dia harapkan.
Sosok itu..
Ada disana...
Dengan keadaaan...
Yang begitu mengenaskan...
(Namakamu) tersedak, dan merasakan sesuatu yang paling
sensitif yang ada di dasar hatinya seperti tercabik-cabik saat melihat sosok
Iqbaal bersimpuh di ujung sana, dengan masing-masing rantai menjerat tangan dan
kaki pria malang itu. Tapi (namakamu) mendapati selang infus pada tangan
Iqbaal. Apa maksud Karel? Apa dia berniat ingin menyelamatkan Iqbaal, tapi, ah!
”Salah satu hal yang paling menyenangkan di dunia ini adalah
balas dendam. Aku sengaja menyimpan mayat dia, karena setiap detik ketika aku
sedang kesal aku akan melampiaskan kekesalan padanya. Mau lihat?”
Tubuh Karel bergerak menjauh dari (namakamu) tapi pria itu
semakin dekat dengan sosok Iqbaal. Apa yang harus (namakamu) lakukan? Apa dia
harus memukul Karel dari belakang lalu menginjak-nginjak pria itu sampai mati
dengan wedgesnya atau tetap diam di tempat dengan sekujur tubuh yang gemetar
sambil menyaksikan Karel menyiksa Iqbaal? Tubuh (namakamu) hampir limbun
memikirkan dua opsi gila itu, kenapa di saat seperti ini seakan dia tidak
mendapatkan keberanian. Tidak, bukan itu, (namakamu) masih terlalu shock dengan
apa yang baru saja Karel lakukan kepada teman-temannya.
Samar-samar (namakamu) melihat tangan Karel merayap ke
dinding yang ada di sebelah Iqbaal, menekan tombol kasat mata itu dengan
lincah, dalam beberapa detik bunyi tombol yang di hasilkan oleh pergerakan
jari-jari Karel mengisi keheningan—priaitu sedang memasukan beberapa digit
password. Setelah Karel menjatuhkan tangannya, (namakamu) dapat melihat bagian
dinding berbentuk persegi panjang dengan garis terang bergeser. Ketika dinding
benar-benar terbuka dan memperlihatkan isi dalamnya, mulut (namakamu) menganga
dan (namakamu) rasakan kakinya tak mampu menahan bobot tubuhnya lagi,
(namakamu) jatuh dengan lutut yang bersimpuh.
Karel menekan saklar yang ada di dekatnya, dan semuanya
semakin terlihat jelas dan menyakitkan. (Namakamu) tidak terlalu paham dengan
alat-alat yang ada di balik tubuh Iqbaal itu, yang (namakamu) tahu hanyalah
mesin ECG pembaca detak jantung, dan di monitor itu terlihat jelas jantung
Iqbaal masih berdetak meskipun tidak terbaca jelas.
”Satu-satunya hal yang ngebuat aku curiga sama kamu adalah
cincin dan surat yang aku temui di tas kamu. Pasti kamu sudah mendengar cerita
dari sepupu tersayang aku itu kan? Kalau kami begitu dekat. Aku orang pertama
yang diberitahu Iqbaal soal cincin itu, tidak, bukan, bahkan dia memintaku
menulis sebagian isi surat itu,” Karel menghentikan ucapannya untuk melepas
tuksedo yang dia kenakan, mengambil sesuatu yang ada di dalam dinding itu lalu
menunjukannya pada (namakamu). ”Mau coba?”
Sebuah rantai.
(Namakamu) tersedak. ”Rel,” tanpa di perjelaspun siapa saja
bisa merasakan nada suara (namakamu) yang penuh permohonan. (Namakamu) menatap
Karel yang tengah tersenyum kemenangan dengan deraian air mata.
”Dan soal temen kamu itu, dia yang memperjelas keyakinan aku
selama ini,” senyum Karel bergantikan dengan seringaian sinis yang amat
menakutkan. ”Kalau kamu adalah seorang cenayang.” Kemudian Karel melenggangkan
langkahnya ke arah (namakamu), bertekuk di depan gadis cantik itu yang saat ini
terlihat begitu rapuh, senyum di wajah Karel tak pernah hilang bahkan ketika
(namakamu) meninjunya. ”Ketika kebanyakan cewek lebih suka menggunakan telapak
tangannya untuk menampar, berbeda dengan kamu yang lebih suka meninju. Hm?”
dengan akting kelas oscar Karel berlagak meringis akibat pukulan (namakamu)
yang barusan. (Namakamu) yakin kalau pukulannya tidak akan mempan bahkan untuk
sekedar melunturkan seringain di wajah Karel, malah tangannya yang terasa
sakit.
Karel mendekatkan wajahnnya, (namakamu) yang ketakutan pun
menghindari wajahnya, dan ekspresi ketakutan di wajah (namakamu) sukses membuat
Karel tertawa. Kemudian Karel beranjak berdiri.
”Beritahu aku dimana Iqbaal,” kata Karel, mendadak suaranya
berubah dingin, dan tatapannya mengeras. ”Aku tahu pasti dia ada disini,”
Dengan suara terbata-bata (namakamu) berkata. ”Dia nggak ada
disini,”
”Jangan bohongi aku, (namakamu). Aku nggak suka di bohongi,
atau kamu bakalan tanggung akibatnya sendiri,” ancam Karel dengan gigi yang
bergemeletukan di setiap katanya. (Namakamu) bergidik. Tiba-tiba saja Karel
membungkuk dan mencengkram bahu (namakamu), memaksa gadis itu berdiri. ”Soal
pernyataan cinta kamu kemarin, aku terima, jadi sekarang kita resmi
berpacaran.”
”A-aku,”
Karel menggeram, rahang pria itu mengeras membuat urat-urat
yang ada di lehernya menyembul mengerikan. ”Bagian dari rencana?” Senyum
mengerikan itu kembali tercipta. Karel menarik (namakamu) secara kasar ke arah
sosok Iqbaal. Jemari tangan Karel yang entah sejak kapan mengepal langsung
melayang ke perut tak berdaya itu.
(Namakamu) memekik. ”Kamu gila, Rel, Iqbaal itu ud..,”
”Mati,” Karel meneruskan, kemudian dia melayangkan pukulan
demi pukulan ke tubuh Iqbaal. (Namakamu) yang ada di dekat Karel tentu saja
tidak tinggal diam, dengan sekuat tenaga (namakamu) menarik Karel agar menjauh
dari Iqbaal.
”Nggak ada gunanya kamu ngelakuin itu sama Iqbaal!”
”Aku udah bilang sama kamu, saat aku kesal aku akan
melampiaskan kekesalan aku sama dia!” Karel menepis tangan (namakamu) untuk
yang kesekian kalinya.
(Namakamu) kebingungan, dia harus segera menghentikan aksi
gila Karel, bagaimana pun caranya. Tapi apa? Apa yang harus (namakamu) lakukan?
Mengajak Karel bertarung bukanlah ide bagus mengingat tenaga pria itu jauh di
atasnya.
Bugh!
Sekujur tubuh (namakamu) langsung lemas begitu dia
menghantamkan wedges berhak tebal itu ke kepala Karel. Tangan (namakamu)
bergetar dan seiring itu wedges yang ada di genggamanya terjatuh, bersamaan
dengan sosok Karel yang kelimpungan seperti orang mabuk.
Dengan sekuat tenaga (namakamu) mendorong badan Karel sampai
pria itu terjatuh. Karel tidak pingsan, pria itu hanya sedikit terkejut dengan
serangan dadakan (namakamu). Melihat ada kesempatan, (namakamu) langsung
mendekat pada Iqbaal, dan berusaha....ah!Sialan, bagaimana mungkin (namakamu)
bisa melepaskan rantai ini. (Namakamu) mencoba mencari-cari cara lain, dia
mendekat pada dinding yang terbuka itu, menarik sebuah laci dan berharap
menemukan sebuah kunci, tapi nihil, tidak ada apapun disana, kecuali sarung
tangan yang terbuat dari karet tipis. Sepasang mata (namakamu) mendapati Karel
sudah mulai bangkit, dengan gerakan waspada, (namakamu) mengambil rantai yang
ada di lantai, dan berdiri di depan Iqbaal dengan sikap melindungi.
”Berhenti, (namakamu), sebelum aku bener-bener marah sama
kamu dan kamu bakalan ngerasain apa yang seharusnya nggak terjadi,” dalam
keadaan seperti ini pun Karel tetap bisa mengancam, meskipun tak ada seringain
di wajah angkuhnya itu.
”Kamu yang berhenti atau aku bakalan menghantam rantai ini
ke wajah kamu!” (Namakamu) balik mengancam. Seperti tokoh perempuan yang ada di
film laga, (namakamu) memutar-mutar rantai itu hingga menimbulkan suara yang
begitu menakutkan, terlebih saat seseorang terkena ujung rantai itu.
Plsstt!
(Namakamu) meringis saat ujung rantai itu mengenai kaki
Karel hingga membuat pria itu jatuh berlutut. Sebenarnya (namakamu) tidak
berniat melakukan itu, dia hanya sedikit terpeleset.
”Agh,” antara menggeram atau meringis, (namakamu) tidak bisa
memahami, Karel langsung bangkit, beberapa detik setelah terjatuh. ”Oke, kalau
ini mau kamu,” Karel melangkah mundur menghampiri sosok Steffie, mencengkram
bahu gadis itu dan menghantamkan punggung Steffie ke dinding. ”Berhenti atau
dia bakalan mati?” Jemari Karel merayap ke leher Steffie, mencengkram leher
gadis itu sampai membuat wajah Steffie memerah. Pastilah Karel mencengkramnya
begitu kuat.
Tidak butuh waktu lama bagi Karel untuk melihat (namakamu)
menjatuhkan tangannya. Karel tersenyum merasa puas dengan apa yang baru saja
dia lakukan. Ternyata keberadaan dua teman (namakamu) disini ada gunanya juga.
Melihat (namakamu) sudah menjatuhkan rantai, Karel melangkahkan kakinya ke arah
(namakamu). Awalnya tak ada yang membuat (namakamu) terlalu takut, tapi melihat
jari-jari tangan Karel melucuti barisan kancing pada kemeja pria itu sendiri
membuat (namakamu) bergidik, dan melangkah mundur. Sadar kalau punggungnya
sudah menempel pada dinding, pertanda tak ada lagi jalan yang bisa (namakamu)
lalui, dengan gerakan cepat (namakamu) berlari mencoba kabur, tapi sayang,
tubuhnya dengan gampang tertangkap oleh Karel.
(Namakamu) mengangkat wajahnya, menatap Karel yang tengah
tersenyum penuh kemenangan ke arahnya. Kalau sudah seperti ini apa yang harus
(namakamu) lakukan? (Namakamu) tak sempat berpikir lebih jauh, jemari Karel
sudah bergerak, menelusuri lengannya, melepaskan blazer yang (namakamu) kenakan
dengan sekali gerakan, (namakamu) terlalu takut untuk bertindak, rasanya
seperti berjalan di kegalapan tanpa ada setitik pun cahaya yang menerangi. Satu
hal yang (namakamu) sadari saat tangannya mencengkram bahu kokoh Karel adalah,
dingin. Mata (namakamu) mengerjap, melihat Karel nyaris setengah telanjang
membuat (namakamu) bergidik, rasanya perutnya seperti di aduk dengan garpu.
”Sedikit lagi,” gumam Karel di telinga (namakamu), kedua
tangannya sudah berada di balik punggung (namakamu), bersiap-siap untuk merobek
sleeveless putih yang (namakamu) kenakan.
Krek!
(Namakamu) mendelik, suara robekan di punggungnya bersamaan
dengan suara dengung teratur yang di hasilkan oleh mesin ECG, yang ada tepat di
sebelahnya. Tiba-tiba saja (namakamu) merasakan tubuhnya terpelanting dan
kepalanya menghantam permukaan.
Pandangan (namakamu) kabur, tapi sebisa mungkin dia melihat
sekitar, dan di dapatinya Karel tengah mencari sesuatu di dalam lemari yang
sepertinya berada di dalam dinding itu. (Namakamu) terbatuk, kepalanya
benar-benar pusing. Ketika melihat Karel meraih sesuatu di dalam lemari, yang
terlihat seperti besi panjang nan runcing, dengan sisa tenaga yang ada
(namakamu) beranjak berdiri dan melemparkan tubuhnya secara asal ke arah Karel.
Membuat keduanya tertabrak dan terjatuh. Tapi (namakamu) merasakan sesuatu yang
amat perih terasa di perutnya, sesuatu yang membuat jantungnya gemetar hebat
saat matanya menatap sebuah besi menancap di perutnya.
Napas (namakamu) memburu, pandangannya semakin tidak jelas
tapi samar-samar dia melihat seorang pria menghantamkan pukulan begitu keras ke
wajah Karel, membuat Karel terjengkang kebelakang. Setelah memukul Karel, pria
itu berjalan mendekat pada (namakamu). (Namakamu) mengerjap, dan mengenali pria
itu sebagai Bastian.
”Maaf, (namakamu), obat tidur sialan yang dia taruh di
minuman gue bikin pala gue pusing,” awalnya suara Bastian terlihat santai, tapi
lama-kelamaan perubahan dapat (namakamu) lihat pada garis wajah pria itu ketika
menatap besi yang menancap di perut (namakamu).
”Tas gue, tolong,” suara (namakamu) nyaris tak terdengar,
tapi dengan jarak sedekat ini mampu di jangkau oleh telinga Bastian. Segera
mungkin Bastian menuruti perintah (namakamu), mungkin ini bisa di bilang
permintaan terakhir (namakamu).
Tangan (namakamu) merogo ke dalam tas, mencari-cari benda
jelek itu, sesaat setelah menemukan benda itu, tatapan (namakamu) menoleh pada
sosok Iqbaal yang masih belum bergerak, tapi senyum (namakamu) mengembang saat
menatap grafik yang tertera di layar monitor. Pandangan (namakamu) kembali
fokus pada layar ponsel jelek itu, menekan icon kontak, lalu mencari-cari nama
kontak yang sudah terpikir olehnya sejak beberapa detik yang lalu. Setelah itu
(namakamu) menghubungi kontak tersebut, saat mendengar sambungan, (namakamu)
langsung memutuskan sambungan dan menyalakan signal GPS.
Menggunakan ponsel Iqbaal, menghubungi nomor ayah pria itu,
lalu menyalakan signal GPS? Kenapa (namakamu) tidak memikirkan rencana itu
sejak tadi? (Namakamu) yakin sebentar lagi ayah Iqbaal akan melacak nomor
anaknya itu yang mendadak aktif.
Dan tiba-tiba saja semuanya menjadi sangat gelap.
***
Satu tahun kemudian.
Hari ini langit sangat gelap dan tiupan angin begitu
kencang, orang-orang yang sedang berkeliaran di luar langsung menyimpulkan
kalau sebentar lagi akan turun hujan. Suara gemuru awan dan di susul rintikan
air yang jatuh ke bumi membuat seakan membenarkan pemikiran para manusia. Hujan
turun, orang-orang yang ada di jalanan langsung menepi ke pinggiran toko,
begitu pun juga dengan pengendara motor. Dalam hitungan detik jalanan sudah
basah, dan hanya mobil saja yang terlihat melintasi jalanan basah itu.
”(Namakamu), pulang bareng aku ya?” Tanya seorang pria
ketika (namakamu) baru saja keluar dari kantor dan hendak membuka payung.
Sambil tersenyum meminta maaf, (namakamu) menggeleng.
”Aku pulang sendiri aja,”
”Tapi hujan,” pria itu menatap bingung (namakamu).
”Nggak pa-pa,” dengan sekali sentak, payung yang (namakamu)
genggam sudah terbuka. ”Aku duluan ya,” ketika pria itu mengangguk sebagai
jawaban, (namakamu) langsung menembus hujan dengan payungnya.
Ada banyak hal yang membuat (namakamu) menolak tawaran pria
tadi— Bidi. Pertama, entah sejak kapan dan entah sampai kapan (namakamu)
merasakan tempat tinggalnya tidak menjadi tempat yang benar-benar nyaman
seperti sebelumnya. Kedua, (namakamu) berusaha menghindari diri dari apartemen
itu, berusaha menutup hal lain yang sebenarnya adalah penyebab sesungguhnya,
kenapa (namakamu) tidak ingin berada di apartemen seorang diri—Steffie sudah
mendapatkan pekejaan delapan bulan yang lalu, dan seminggu kemudian dia pamit
pergi. Ketiga, sama seperti alasan sebelumnya, (namakamu) tidak ingin
cepat-cepat sampai ke apartemennya. Keempat, dia tak ingin menginjakan kakinya
di lantai apartemen itu. Kelima, dia tak ingin duduk di sofa apartemen itu
seorang diri. Keenam, dia tak ingin tertidur di tempat tidur yang ada di
apartemen itu, dan alasan lainnya yang intinya sama saja.
(Namakamu) benar-benar tak ingin ada di apartemen itu,
seorang diri, begitu menakutkan, dan sebisa mungkin dia menghindari apartemen
itu. Setiap harinya, selama hampir setahun, (namakamu) selalu menghabiskan
waktunya entah itu di kosan Steffie, kafe, rumah makan, taman, sampai larut
malam, sampai dia benar-benar sudah begitu mengantuk. Dan ketika merasa matanya
sudah tak sanggup terbuka lagi, baru (namakamu) memutuskan untuk kembali ke apartemennya
untuk tidur. Dan mungkin, kalau lagi sial, ketika sudah sampai di apartemen
matanya tak kunjung terpejam.
(Namakamu) terduduk di kursi halte sambil menatap kosong ke
arah jalanan yang hujan, menunggu bis yang selalu menjadi rutinitasnya setiap
dia pulang kerja.
'Ibaratkan orang yang mati suri, roh di bawa ke alam yang
tak pernah kita ketahui tempatnya, dan ketika dia hidup kembali, dia hanya
mengingat beberapa penggelan kisahnya,'
Jemari (namakamu) meremas ujung rok dengan kuat, berusaha
menepis kalimat Rachel yang selama beberapa bulan ini sukses membuatnya gila.
Apakah (namakamu) harus percaya kata-kata sinting yang keluar dari mulut gadis
aneh itu? (Namakamu) menggeleng frutasi, tapi tidak bisa di pungkiri kalau
memang di hadapannya sekarang, pada kenyataan yang ada, (namakamu) sedang
merasakan kalimat yang keluar dari mulut Rachel.
Apa pria itu lupa akan segalanya?
Lupa akan dirinya?
Lupa akan pengorbanan yang hampir setiap harinya (namakamu)
lakukan dulu?
(Namakamu) meringis, bahkan untuk sekedar menyebut nama pria
itu, (namakamu) tidak berani. Membayangkan wajah pucat jelek itu saja sudah
membuat hati (namakamu) tersiksa, bagaimana mungkin dia bisa melafalkan nama
pria itu? Mungkin (namakamu) akan mati.
”Udah nunggu lama?”
Kepala (namakamu) terangkat, dan menatap sosok pria yang
sekarang berdiri di hadapannya.
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment