Wednesday, September 30, 2015

Cerbung Somewhere - Part 11



`Somewhere` [11]


by Muhammad Aryanda.

—oOo—

Mendesah, Karel mendekatkan wajahnya pada (namakamu) dan berbisik. ”Arah jam sembilan.”
Sekujur tubuh (namakamu) menegang, dan perlahan kepalanya memutar ke sisi kiri. Menuruti perintah Karel sama saja seperti menginjak-nginjak harga diri sendiri, tapi (namakamu) penasaran dan dia melakukannya. Menatap kesisi kirinya, dan langsung menemukan apa yang sedari tadi dia harapkan.

Sosok itu..
Ada disana...
Dengan keadaaan...
Yang begitu mengenaskan...
(Namakamu) tersedak, dan merasakan sesuatu yang paling sensitif yang ada di dasar hatinya seperti tercabik-cabik saat melihat sosok Iqbaal bersimpuh di ujung sana, dengan masing-masing rantai menjerat tangan dan kaki pria malang itu. Tapi (namakamu) mendapati selang infus pada tangan Iqbaal. Apa maksud Karel? Apa dia berniat ingin menyelamatkan Iqbaal, tapi, ah!
”Salah satu hal yang paling menyenangkan di dunia ini adalah balas dendam. Aku sengaja menyimpan mayat dia, karena setiap detik ketika aku sedang kesal aku akan melampiaskan kekesalan padanya. Mau lihat?”
Tubuh Karel bergerak menjauh dari (namakamu) tapi pria itu semakin dekat dengan sosok Iqbaal. Apa yang harus (namakamu) lakukan? Apa dia harus memukul Karel dari belakang lalu menginjak-nginjak pria itu sampai mati dengan wedgesnya atau tetap diam di tempat dengan sekujur tubuh yang gemetar sambil menyaksikan Karel menyiksa Iqbaal? Tubuh (namakamu) hampir limbun memikirkan dua opsi gila itu, kenapa di saat seperti ini seakan dia tidak mendapatkan keberanian. Tidak, bukan itu, (namakamu) masih terlalu shock dengan apa yang baru saja Karel lakukan kepada teman-temannya.

Samar-samar (namakamu) melihat tangan Karel merayap ke dinding yang ada di sebelah Iqbaal, menekan tombol kasat mata itu dengan lincah, dalam beberapa detik bunyi tombol yang di hasilkan oleh pergerakan jari-jari Karel mengisi keheningan—priaitu sedang memasukan beberapa digit password. Setelah Karel menjatuhkan tangannya, (namakamu) dapat melihat bagian dinding berbentuk persegi panjang dengan garis terang bergeser. Ketika dinding benar-benar terbuka dan memperlihatkan isi dalamnya, mulut (namakamu) menganga dan (namakamu) rasakan kakinya tak mampu menahan bobot tubuhnya lagi, (namakamu) jatuh dengan lutut yang bersimpuh.
Karel menekan saklar yang ada di dekatnya, dan semuanya semakin terlihat jelas dan menyakitkan. (Namakamu) tidak terlalu paham dengan alat-alat yang ada di balik tubuh Iqbaal itu, yang (namakamu) tahu hanyalah mesin ECG pembaca detak jantung, dan di monitor itu terlihat jelas jantung Iqbaal masih berdetak meskipun tidak terbaca jelas.
”Satu-satunya hal yang ngebuat aku curiga sama kamu adalah cincin dan surat yang aku temui di tas kamu. Pasti kamu sudah mendengar cerita dari sepupu tersayang aku itu kan? Kalau kami begitu dekat. Aku orang pertama yang diberitahu Iqbaal soal cincin itu, tidak, bukan, bahkan dia memintaku menulis sebagian isi surat itu,” Karel menghentikan ucapannya untuk melepas tuksedo yang dia kenakan, mengambil sesuatu yang ada di dalam dinding itu lalu menunjukannya pada (namakamu). ”Mau coba?”
Sebuah rantai.
(Namakamu) tersedak. ”Rel,” tanpa di perjelaspun siapa saja bisa merasakan nada suara (namakamu) yang penuh permohonan. (Namakamu) menatap Karel yang tengah tersenyum kemenangan dengan deraian air mata.
”Dan soal temen kamu itu, dia yang memperjelas keyakinan aku selama ini,” senyum Karel bergantikan dengan seringaian sinis yang amat menakutkan. ”Kalau kamu adalah seorang cenayang.” Kemudian Karel melenggangkan langkahnya ke arah (namakamu), bertekuk di depan gadis cantik itu yang saat ini terlihat begitu rapuh, senyum di wajah Karel tak pernah hilang bahkan ketika (namakamu) meninjunya. ”Ketika kebanyakan cewek lebih suka menggunakan telapak tangannya untuk menampar, berbeda dengan kamu yang lebih suka meninju. Hm?” dengan akting kelas oscar Karel berlagak meringis akibat pukulan (namakamu) yang barusan. (Namakamu) yakin kalau pukulannya tidak akan mempan bahkan untuk sekedar melunturkan seringain di wajah Karel, malah tangannya yang terasa sakit.
Karel mendekatkan wajahnnya, (namakamu) yang ketakutan pun menghindari wajahnya, dan ekspresi ketakutan di wajah (namakamu) sukses membuat Karel tertawa. Kemudian Karel beranjak berdiri.

”Beritahu aku dimana Iqbaal,” kata Karel, mendadak suaranya berubah dingin, dan tatapannya mengeras. ”Aku tahu pasti dia ada disini,”
Dengan suara terbata-bata (namakamu) berkata. ”Dia nggak ada disini,”
”Jangan bohongi aku, (namakamu). Aku nggak suka di bohongi, atau kamu bakalan tanggung akibatnya sendiri,” ancam Karel dengan gigi yang bergemeletukan di setiap katanya. (Namakamu) bergidik. Tiba-tiba saja Karel membungkuk dan mencengkram bahu (namakamu), memaksa gadis itu berdiri. ”Soal pernyataan cinta kamu kemarin, aku terima, jadi sekarang kita resmi berpacaran.”
”A-aku,”
Karel menggeram, rahang pria itu mengeras membuat urat-urat yang ada di lehernya menyembul mengerikan. ”Bagian dari rencana?” Senyum mengerikan itu kembali tercipta. Karel menarik (namakamu) secara kasar ke arah sosok Iqbaal. Jemari tangan Karel yang entah sejak kapan mengepal langsung melayang ke perut tak berdaya itu.
(Namakamu) memekik. ”Kamu gila, Rel, Iqbaal itu ud..,”
”Mati,” Karel meneruskan, kemudian dia melayangkan pukulan demi pukulan ke tubuh Iqbaal. (Namakamu) yang ada di dekat Karel tentu saja tidak tinggal diam, dengan sekuat tenaga (namakamu) menarik Karel agar menjauh dari Iqbaal.
”Nggak ada gunanya kamu ngelakuin itu sama Iqbaal!”
”Aku udah bilang sama kamu, saat aku kesal aku akan melampiaskan kekesalan aku sama dia!” Karel menepis tangan (namakamu) untuk yang kesekian kalinya.
(Namakamu) kebingungan, dia harus segera menghentikan aksi gila Karel, bagaimana pun caranya. Tapi apa? Apa yang harus (namakamu) lakukan? Mengajak Karel bertarung bukanlah ide bagus mengingat tenaga pria itu jauh di atasnya.
Bugh!

Sekujur tubuh (namakamu) langsung lemas begitu dia menghantamkan wedges berhak tebal itu ke kepala Karel. Tangan (namakamu) bergetar dan seiring itu wedges yang ada di genggamanya terjatuh, bersamaan dengan sosok Karel yang kelimpungan seperti orang mabuk.
Dengan sekuat tenaga (namakamu) mendorong badan Karel sampai pria itu terjatuh. Karel tidak pingsan, pria itu hanya sedikit terkejut dengan serangan dadakan (namakamu). Melihat ada kesempatan, (namakamu) langsung mendekat pada Iqbaal, dan berusaha....ah!Sialan, bagaimana mungkin (namakamu) bisa melepaskan rantai ini. (Namakamu) mencoba mencari-cari cara lain, dia mendekat pada dinding yang terbuka itu, menarik sebuah laci dan berharap menemukan sebuah kunci, tapi nihil, tidak ada apapun disana, kecuali sarung tangan yang terbuat dari karet tipis. Sepasang mata (namakamu) mendapati Karel sudah mulai bangkit, dengan gerakan waspada, (namakamu) mengambil rantai yang ada di lantai, dan berdiri di depan Iqbaal dengan sikap melindungi.
”Berhenti, (namakamu), sebelum aku bener-bener marah sama kamu dan kamu bakalan ngerasain apa yang seharusnya nggak terjadi,” dalam keadaan seperti ini pun Karel tetap bisa mengancam, meskipun tak ada seringain di wajah angkuhnya itu.
”Kamu yang berhenti atau aku bakalan menghantam rantai ini ke wajah kamu!” (Namakamu) balik mengancam. Seperti tokoh perempuan yang ada di film laga, (namakamu) memutar-mutar rantai itu hingga menimbulkan suara yang begitu menakutkan, terlebih saat seseorang terkena ujung rantai itu.
Plsstt!
(Namakamu) meringis saat ujung rantai itu mengenai kaki Karel hingga membuat pria itu jatuh berlutut. Sebenarnya (namakamu) tidak berniat melakukan itu, dia hanya sedikit terpeleset.
”Agh,” antara menggeram atau meringis, (namakamu) tidak bisa memahami, Karel langsung bangkit, beberapa detik setelah terjatuh. ”Oke, kalau ini mau kamu,” Karel melangkah mundur menghampiri sosok Steffie, mencengkram bahu gadis itu dan menghantamkan punggung Steffie ke dinding. ”Berhenti atau dia bakalan mati?” Jemari Karel merayap ke leher Steffie, mencengkram leher gadis itu sampai membuat wajah Steffie memerah. Pastilah Karel mencengkramnya begitu kuat.
Tidak butuh waktu lama bagi Karel untuk melihat (namakamu) menjatuhkan tangannya. Karel tersenyum merasa puas dengan apa yang baru saja dia lakukan. Ternyata keberadaan dua teman (namakamu) disini ada gunanya juga. Melihat (namakamu) sudah menjatuhkan rantai, Karel melangkahkan kakinya ke arah (namakamu). Awalnya tak ada yang membuat (namakamu) terlalu takut, tapi melihat jari-jari tangan Karel melucuti barisan kancing pada kemeja pria itu sendiri membuat (namakamu) bergidik, dan melangkah mundur. Sadar kalau punggungnya sudah menempel pada dinding, pertanda tak ada lagi jalan yang bisa (namakamu) lalui, dengan gerakan cepat (namakamu) berlari mencoba kabur, tapi sayang, tubuhnya dengan gampang tertangkap oleh Karel.
(Namakamu) mengangkat wajahnya, menatap Karel yang tengah tersenyum penuh kemenangan ke arahnya. Kalau sudah seperti ini apa yang harus (namakamu) lakukan? (Namakamu) tak sempat berpikir lebih jauh, jemari Karel sudah bergerak, menelusuri lengannya, melepaskan blazer yang (namakamu) kenakan dengan sekali gerakan, (namakamu) terlalu takut untuk bertindak, rasanya seperti berjalan di kegalapan tanpa ada setitik pun cahaya yang menerangi. Satu hal yang (namakamu) sadari saat tangannya mencengkram bahu kokoh Karel adalah, dingin. Mata (namakamu) mengerjap, melihat Karel nyaris setengah telanjang membuat (namakamu) bergidik, rasanya perutnya seperti di aduk dengan garpu.
”Sedikit lagi,” gumam Karel di telinga (namakamu), kedua tangannya sudah berada di balik punggung (namakamu), bersiap-siap untuk merobek sleeveless putih yang (namakamu) kenakan.
Krek!

(Namakamu) mendelik, suara robekan di punggungnya bersamaan dengan suara dengung teratur yang di hasilkan oleh mesin ECG, yang ada tepat di sebelahnya. Tiba-tiba saja (namakamu) merasakan tubuhnya terpelanting dan kepalanya menghantam permukaan.
Pandangan (namakamu) kabur, tapi sebisa mungkin dia melihat sekitar, dan di dapatinya Karel tengah mencari sesuatu di dalam lemari yang sepertinya berada di dalam dinding itu. (Namakamu) terbatuk, kepalanya benar-benar pusing. Ketika melihat Karel meraih sesuatu di dalam lemari, yang terlihat seperti besi panjang nan runcing, dengan sisa tenaga yang ada (namakamu) beranjak berdiri dan melemparkan tubuhnya secara asal ke arah Karel. Membuat keduanya tertabrak dan terjatuh. Tapi (namakamu) merasakan sesuatu yang amat perih terasa di perutnya, sesuatu yang membuat jantungnya gemetar hebat saat matanya menatap sebuah besi menancap di perutnya.
Napas (namakamu) memburu, pandangannya semakin tidak jelas tapi samar-samar dia melihat seorang pria menghantamkan pukulan begitu keras ke wajah Karel, membuat Karel terjengkang kebelakang. Setelah memukul Karel, pria itu berjalan mendekat pada (namakamu). (Namakamu) mengerjap, dan mengenali pria itu sebagai Bastian.
”Maaf, (namakamu), obat tidur sialan yang dia taruh di minuman gue bikin pala gue pusing,” awalnya suara Bastian terlihat santai, tapi lama-kelamaan perubahan dapat (namakamu) lihat pada garis wajah pria itu ketika menatap besi yang menancap di perut (namakamu).
”Tas gue, tolong,” suara (namakamu) nyaris tak terdengar, tapi dengan jarak sedekat ini mampu di jangkau oleh telinga Bastian. Segera mungkin Bastian menuruti perintah (namakamu), mungkin ini bisa di bilang permintaan terakhir (namakamu).
Tangan (namakamu) merogo ke dalam tas, mencari-cari benda jelek itu, sesaat setelah menemukan benda itu, tatapan (namakamu) menoleh pada sosok Iqbaal yang masih belum bergerak, tapi senyum (namakamu) mengembang saat menatap grafik yang tertera di layar monitor. Pandangan (namakamu) kembali fokus pada layar ponsel jelek itu, menekan icon kontak, lalu mencari-cari nama kontak yang sudah terpikir olehnya sejak beberapa detik yang lalu. Setelah itu (namakamu) menghubungi kontak tersebut, saat mendengar sambungan, (namakamu) langsung memutuskan sambungan dan menyalakan signal GPS.
Menggunakan ponsel Iqbaal, menghubungi nomor ayah pria itu, lalu menyalakan signal GPS? Kenapa (namakamu) tidak memikirkan rencana itu sejak tadi? (Namakamu) yakin sebentar lagi ayah Iqbaal akan melacak nomor anaknya itu yang mendadak aktif.
Dan tiba-tiba saja semuanya menjadi sangat gelap.

***
Satu tahun kemudian.
Hari ini langit sangat gelap dan tiupan angin begitu kencang, orang-orang yang sedang berkeliaran di luar langsung menyimpulkan kalau sebentar lagi akan turun hujan. Suara gemuru awan dan di susul rintikan air yang jatuh ke bumi membuat seakan membenarkan pemikiran para manusia. Hujan turun, orang-orang yang ada di jalanan langsung menepi ke pinggiran toko, begitu pun juga dengan pengendara motor. Dalam hitungan detik jalanan sudah basah, dan hanya mobil saja yang terlihat melintasi jalanan basah itu.
”(Namakamu), pulang bareng aku ya?” Tanya seorang pria ketika (namakamu) baru saja keluar dari kantor dan hendak membuka payung. Sambil tersenyum meminta maaf, (namakamu) menggeleng.
”Aku pulang sendiri aja,”
”Tapi hujan,” pria itu menatap bingung (namakamu).
”Nggak pa-pa,” dengan sekali sentak, payung yang (namakamu) genggam sudah terbuka. ”Aku duluan ya,” ketika pria itu mengangguk sebagai jawaban, (namakamu) langsung menembus hujan dengan payungnya.
Ada banyak hal yang membuat (namakamu) menolak tawaran pria tadi— Bidi. Pertama, entah sejak kapan dan entah sampai kapan (namakamu) merasakan tempat tinggalnya tidak menjadi tempat yang benar-benar nyaman seperti sebelumnya. Kedua, (namakamu) berusaha menghindari diri dari apartemen itu, berusaha menutup hal lain yang sebenarnya adalah penyebab sesungguhnya, kenapa (namakamu) tidak ingin berada di apartemen seorang diri—Steffie sudah mendapatkan pekejaan delapan bulan yang lalu, dan seminggu kemudian dia pamit pergi. Ketiga, sama seperti alasan sebelumnya, (namakamu) tidak ingin cepat-cepat sampai ke apartemennya. Keempat, dia tak ingin menginjakan kakinya di lantai apartemen itu. Kelima, dia tak ingin duduk di sofa apartemen itu seorang diri. Keenam, dia tak ingin tertidur di tempat tidur yang ada di apartemen itu, dan alasan lainnya yang intinya sama saja.
(Namakamu) benar-benar tak ingin ada di apartemen itu, seorang diri, begitu menakutkan, dan sebisa mungkin dia menghindari apartemen itu. Setiap harinya, selama hampir setahun, (namakamu) selalu menghabiskan waktunya entah itu di kosan Steffie, kafe, rumah makan, taman, sampai larut malam, sampai dia benar-benar sudah begitu mengantuk. Dan ketika merasa matanya sudah tak sanggup terbuka lagi, baru (namakamu) memutuskan untuk kembali ke apartemennya untuk tidur. Dan mungkin, kalau lagi sial, ketika sudah sampai di apartemen matanya tak kunjung terpejam.
(Namakamu) terduduk di kursi halte sambil menatap kosong ke arah jalanan yang hujan, menunggu bis yang selalu menjadi rutinitasnya setiap dia pulang kerja.
'Ibaratkan orang yang mati suri, roh di bawa ke alam yang tak pernah kita ketahui tempatnya, dan ketika dia hidup kembali, dia hanya mengingat beberapa penggelan kisahnya,'
Jemari (namakamu) meremas ujung rok dengan kuat, berusaha menepis kalimat Rachel yang selama beberapa bulan ini sukses membuatnya gila. Apakah (namakamu) harus percaya kata-kata sinting yang keluar dari mulut gadis aneh itu? (Namakamu) menggeleng frutasi, tapi tidak bisa di pungkiri kalau memang di hadapannya sekarang, pada kenyataan yang ada, (namakamu) sedang merasakan kalimat yang keluar dari mulut Rachel.

Apa pria itu lupa akan segalanya?
Lupa akan dirinya?
Lupa akan pengorbanan yang hampir setiap harinya (namakamu) lakukan dulu?
(Namakamu) meringis, bahkan untuk sekedar menyebut nama pria itu, (namakamu) tidak berani. Membayangkan wajah pucat jelek itu saja sudah membuat hati (namakamu) tersiksa, bagaimana mungkin dia bisa melafalkan nama pria itu? Mungkin (namakamu) akan mati.
”Udah nunggu lama?”
Kepala (namakamu) terangkat, dan menatap sosok pria yang sekarang berdiri di hadapannya.



Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

No comments:

Post a Comment

Situs terkait