Wednesday, September 30, 2015

Cerbung Somewhere - Part 9



`Somewhere` [9]

by Muhammad Aryanda.

— oOo —


”Jadi aku harus apa?”
”Mencari jasadnya, dan hanya ada satu orang yang tahu,” tanpa diberitahupun (namakamu) tahu siapa orang yang di maksud.

”Bagaimana caranya?”
”Ada dua cara; pertama, ikuti terus setiap gerak-gerik pembunuh itu atau kedua, menanyakan langsung dengannya,” jawab Rachel santai.
”Nggak ada cara lain?” Kedua pilihan sama-sama sulit di lakukan.
”Ada saat situasi dimana kalian berada dalam satu titik yang sama, dan bisa memahami satu sama lain, jarak yang dekat di antara kalian akan membuahkan hasil yang tak terduga, dan bersamaan dengan itu rasa takut kehilangan akan muncul,” Rachel menjeda kalimatnya untuk menghela napas. ”Sudah hampir malam, lebih baik kamu pulang, ada sesuatu yang menunggumu di rumah.”
Gadis ini memang penuh kejutan di setiap kalimat yang dia lontarkan. (Namakamu) menunduk, memikirkan apa sesuatu yang di maksud oleh Rachel? Dia harap bukan sesuatu yang buruk.


*
Suara dentingan menyadarkan (namakamu) dari lamunannya, dengan lemas (namakamu) mengangkat wajahnya dan menatap pintu lift yang sudah terbuka, dua orang pria dan seorang gadis yang mengapitnya segera melangkah keluar, sedetik setelah tiga orang itu keluar, baru (namakamu) melenggangkan kakinya.
Derap langkah (namakamu) terkesan lamban dan terdengar seperti ketukan. Apa yang sedang gadis itu pikirkan? Kalau kalian menebak yang sedang (namakamu) pikirkan saat ini adalah 'apakah Steffie sudah makan' sungguh itu adalah lelucon yang harus memaksakan (namakamu) untuk tertawa. Langkah (namakamu) yang lamban, dan berangsur lama itu tanpa sadar sudah membawanya ke depan pintu apartemennya.
Ketika pintu terbuka, yang pertama kali (namakamu) pikirkan adalah 'apa yang sedang menunggunya di dalam?' Setelah masuk dan mengunci pintu, (namakamu) langsung berjalan ke arah kamar, tapi sebelum itu, dia mendapati Steffie dan pacarnya—Bastian, tengah duduk di ruang televisi dengan tangan Steffie yang melingkar di leher Bastian dan bibir mereka yang saling menempel. (Namakamu) mencebik, dan melanjutkan langkahnya. Dalam hati dia merepet tak jelas; sejak kapan apartemennya jadi tempat memadu kasih seperti ini?
Dengan kasar (namakamu) membuka pintu kamarnya dan menutupnya dengan cara dibanting. Biar saja Steffie dan Bastian terkejut malah (namakamu) berharap kalau secara tidak sengaja Bastian mengigit bibir Steffie. Tolol.
”Kenapa marah-marah?”
(Namakamu) terkesiap, dia yang baru saja ingin meraih handuk di balik pintu mendapati sebuah suara mengisi telinganya. (Namakamu) berbalik dan menatap sosok Iqbaal yang entah sejak kapan duduk di ujung tempat tidurnya.
Tidak bersuara. (Namakamu) hanya memasang tampang sekesal mungkin lalu menujuk tangannya kebelakang, maksudnya ke arah Steffie dan Bastian.
”Oh, kenapa, kamu kepengen juga?”
Sambil tetap menutup mulutnya, (namakamu) mengibas tangannya.
”Sayangnya kita nggak bisa bersentuhan,” wajah Iqbaal terlihat menyesal.
”Iqbaal!” Suara (namakamu) tertahan karena dia memang tidak ingin berteriak.
”Gimana kalau aku pakai tubuh atasan kamu untuk ngelakuin itu?”
(Namakamu) langsung mengangkat tinju, tapi sepertinya itu saja tidak akan cukup untuk menakut-nakuti Iqbaal. Ingat, dia tidak bisa menyentuhnya.
(Namakamu) yang sudah menyematkan handuk di bahunya berniat mengabaikan Iqbaal dengan cara masuk ke kamar mandi, tapi tiba-tiba saja pria itu beranjak dari posisi duduknya dan berjalan beriringan dengan (namakamu).
”Jangan gila, ya, Iqbaal,”
”Kamu pikir aku mau ngapain?” Kening Iqbaal berkerut samar, sejenak garis wajahnya seperti anak kecil yang kebingungan.
(Namakamu) mendelik. ”Mana gue tau!”
”Kenapa marah-marah?”
”Siapa yang marah?”
”Tadi,”
”Itu bukan marah tapi capek!”
”Sama aja!”
”Tuh kan, kamu marah lagi,”
”Gausah sok kayak anak kecil deh!”
”Siapa yang kayak anak kecil, aku udah besar!”
”Iya, badan doang besar, otak lo kecil,”

Sebelah alis (namakamu) terangkat saat melihat sudut-sudut bibir Iqbaal terangkat dan tak membutuhkan waktu lama bagi (namakamu) untuk melihat sebuah senyuman di wajah pucat itu.
”Kamu lucu,” kata Iqbaal, sesaat (namakamu) rasakan seperti ada yang dengan sengaja menghentikan pergerakan jarum jam. Wajah pucat, mata gelap dengan ketenagan yang dapat (namakamu) rasakan serta senyuman yang begitu menawan. Bagaimana bisa seperti ini? (Namakamu) mmeperhatikan dengan seksama setiap lekukan wajah pria ini!
Sepasang mata (namakamu) menatap kosong ke arah Iqbaal, tapi dia bisa melihat dengan jelas bagaimana tangan pria itu terangkat dan hendak menyentuhnya namun gagal. Senyum di wajah Iqbaal lenyap seketika, seakan ingin membantu apa yang di inginkan oleh pria itu, tangan (namakamu) juga terangkat untuk menggapai wajah pria itu, tapi nihil, hasilnya sama saja, (namakamu) hanya bisa merasakan udara kosong.
”Besok pernikahan Aldi,” tiba-tiba saja (namakamu) mendengar Iqbaal berucap.
(Namakamu) menunduk.
”Kalau kamu nggak bisa hadir, nggak usah di paksain,” Iqbaal mengingatkan, kemudian dia melihat (namakamu) mengambil ponsel di saku dan menunjukan padanya room chat antara (namakamu) dan Karel.
Iqbaal terbelalak setelah membaca pesan-pesan itu.
”Ka-kamu serius?”
(Namakamu) menganguk cepat. ”Gue mau semuanya cepat selesai,”
”Tapi apa ini nggak kecepatan?”
(Namakamu) mengangkat bahunya, bingung.
”Terus kalau kamu udah berhasil jadi kekasihnya Karel, apa yang bakalan kamu lakuin?”
”Itu yang lagi gue pikirin,” (namakamu) menghela napas pendek, dan memutar badannya. Dia merasakan badannya sudah cukup lengket dengan keringat.
”(Namakamu),” panggil Iqbaal ketika (namakamu) baru saja mendaratkan tangannya di kenop pintu. ”Aku nggak tau gimana caranya ngebales semua kebaikan kamu selama ini, dan kalau ini berhasil, aku janji bakalan dateng kesini dan tanya sama kamu, apa yang kamu mau, segila apapun keingin kamu itu bakalan aku penuhi.”
(Namakamu) terkekeh. ”Kalau gue maunya Aldi balik sama gue, apa lo bisa ngelakuin itu?”
”Kecuali itu,” sahut Iqbaal. ”Karena aku maunya kamu hanya untuk aku.” Tandas Iqbaal.
Punggung (namakamu) menegang, secepatnya (namakamu) memutar badannya untuk melihat sosok Iqbaal dibelakang sana, tapi sial, Iqbaal sudah menghilang entah kemana.
Menghilang dengan cara meninggalkan ribuan pertanyaan yang sekarang mulai menyumbat kepala (namakamu) sangatlah tidak bagus dalam kondisi seperti ini.

*
”Lo emang bener-bener ya, (namakamu)! Ngapain sih lo tadi pake acara ngebanting pintu segala, gara-gara lo, gue hampir aja nonjok mukanya sih Babas! Lagi asik juga ih, gue itu udah lama nggak ketemu dia, hampir seminggu, gilirin ketemu dan mengeluarkan segala kerinduan, lo malah dateng sebagai pengganggu!”
”Lo nyadar nggak sih, lo ngomong kayak gitu sama yang punya tempat (¬_¬")”
”Kita singkirkan urusan itu untuk sementara,” Steffie berkacak pinggang dan mendelik menatap (namakamu) yang duduk di sofa sambil memeluk lutut. ”Masalahnya, gara-gara lo it..,”
”Apasih, gitu doang juga, monyong lo kan juga udah nempel ke monyongnya sih Bastian. Masalahnya apalagi?” Sela (namakamu).
”Masalahnya adalah lo menghancurkan suasana yang sudah tercipta, ish! Kayak nggak pernah ngelakuin aja deh!”
”Asal lo tau, monyong gue masih ada segelnya,”
”NGGAK PERCAYA!”
(Namakamu) menghela napas malas. ”Yang nyuruh lo percaya sama gue siapa?” Lalu (namakamu) meraih remote yang ada di lantai untuk menyalakan televisi.
Rahang Steffie mengeras, perlahan kedua tangannya yang ada di sisi tubuh mengepal kuat, kalau saja yang ada di hadapannya saat ini bukan (namakamu) maka dengan senang hati Steffie akan melayangkan pukulan terbaiknya. Dengan kasar Steffie menghempaskan tubuhnya ke sofa tepat di sebelah (namakamu). Hal itu membuat (namakamu) hampir terjerembab.
”Biasa aja!”
”Gue udah biasa,” sahut Steffie lalu merampas remote dari genggaman tangan (namakamu). ”Apasih nonton berita, kayak ibu-ibu kantoran aja lo!”
”Kenyataannya emang gue begitu,” (namakamu) sedikit menggeser karena tubuh Steffie begitu mengapit dirinya.
Hening lalu beberapa saat kemudian, ruangan ini hanya di isi oleh suara tawa bodoh Steffie yang begitu terkesima dengan acara komedi yang ada di televisi. (Namakamu) mendengus, lalu bergumam tak jelas yang kedengarannya seperti 'ketawa aja nggak ada seni. Berisik!'
”Besok Aldi nikah, Fie,” ucapan (namakamu) sukses membuat Steffie menghentikan tawa bodohnya dan menoleh penuh minat ke arah (namakamu).
”Serius lo?!” Wajah Steffie yang berbinar membuat kening (namakamu) berkerut. ”Harus dateng! Terus kita nyanyi.... Ma Boy gimana? Atau Touch My Body!”
”(¬_¬") otak lo dimana sih? Ngapain gue nyanyi begituan!”
”Jadi maksud lo kita harus nyanyi balonku ada lima?”

Senyum (namakamu) melebar. ”Gimana kalo cicak-cicak di dinding?”
”Atau Satu Nusa Satu Bangsa?”
Bugh!
(Namakamu) sudah mengancang-ancang untuk menimpuk kepala Steffie dengan bantal sofa tapi gadis itu malah melakukannya lebih dulu. Dia ini? Kenapa?
”Dasar bego, lo harus tetep hepi walaupun sebenernya kagak, lo harus tetap kuat dan jangan mau keliatan lemah di depan cowok. Lo tau kagak, sifat lo yang kayak gitu malah bikin sih Aldi ge-er, dia merasa kalau lo emang nggak bisa hidup tanpa dia!” Papar Steffie, gadis ini memasang wajah sekesal mungkin agar gadis yang ada di sebelahnya sadar dengan tndakan bodohnya itu.
”Gue nggak mau dateng!” Putus (namakamu).
”Itu lebih parah, tindakan idiot lo itu malah makin buat Aldi yakin kalo lo nggak bisa hidup tanda dia,” saking kesalnya Steffie sampai menunjuk-nunjukwajah (namakamu).
”Jadi gimana? Gue harus dateng? Sama Bastian?”
Steffie menggeram, sahabatnya ini memang idiot.
”Sama gue lah!”
”Iya, terus lo juga ajak sih Bastian, dan lo dengan senang hati bakalan ngebiarin gue duduk di kursi undangan sambil ngeliatin Aldi sama pacarnya nyalami tamu!”
”Terus nggak sengaja mereka ciuman!” Steffie bertepuk tangan, lalu dia memukul kepala (namakamu) dengan bantal sofa. ”Ajak Karel aja!”
”Dia orang sibuk,” ujar (namakamu).
”Udah lo coba?”
(Namakamu) menggeleng. Dan untuk kesekian kalinya Steffie memukul (namakamu) dengan bantal sofa. Dua detik berlalu, isi dalam kepala Steffie tidak sengaja menemukan sebuah ide berlian dan dengan gerakan cepat dia langsung merealisasikan idenya tersebut. Steffie mengambil ponsel (namakamu) yang ada di meja dan berniat untuk memberitahu Karel soal acara besok, tapi sebelum Steffie mengetik pesan, tanpa sengaja room chat antara (namakamu) dan Karel menarik perhatiannya.
Sungguh, Steffie tidak berniat membacanya tapi pesan yang di kirim (namakamu) pada Karel sungguh membuatnya terkejut.
`aku suka sama kamu`

Hanya itu tapi kenapa Steffie seperti menemukan sisi lain dari (namakamu). Benarkah ini (namakamu)?
”(Namakamu),” Steffie ragu tapi dia harus melakukannya, dengan tangan gemetar Steffie menghadapkan layar ponsel milik (namakamu) pada yang empunya. (Namakamu) terbelalak, tapi hanya sesaat selebihnya gadis itu hanya menunduk lesuh. ”Lo mau jadiin Karel pelampiasan?”
(Namakamu) tidak menjawab. Gadis itu hanya diam saja. Kalau sudah seperti ini Steffie malah jadi bingung harus melakukan apa. Lima detik berlalu tidak ada yang berbicara, tiba-tiba saja suara bel terdengar.
”Biar gue yang buka,” (namakamu) langsung beranjak dan berjalan dengan tergesah-gesah.
Sesampainya di depan pintu (namakamu) langsung membuka pintu tanpa sempat memikirkan siapa yang ada di balik pintu, dan betapa kagetnya (namakamu) saat mendapati Aldi yang ada di balik pintu dan langsung menghambur memeluknya. (Namakamu) mendesah, dia harap Steffie tidak melihat ini.
”Besok hari pernikahan aku, (namakamu), aku belum siap. Aku belum siap jadi milik gadis lain seutuhnya selain kamu. Apa yang harus aku lakuin, (namakamu)?”
Aldi bertanya padanya? Apakah pria itu sungguh tidak mengerti bagaimana perasaan (namakamu) saat dia bertanya seperti itu, dengan kata lain, Aldi secara tidak sadar meminta saran pada (namakamu) bagaimana caranya melupakan gadis yang tengah dia peluk ini.
”Aku nggak tau, Al,” aku (namakamu).
Aldi merenggangkan pelukannya dan langsung mendapati setitik air jatuh dari sudut mata (namakamu). Dengan gerakan lembut Aldi menyeka air mata yang hendak membasahi wajah (namakamu).
”Atau mungkin kamu harus menghabisi lebih banyak waktu bareng Salsha, supaya kamu bisa melalui semuanya dengan lan...,” kalimat (namakamu) terputus, tangan Aldi merayap ke tengkuknya dan langsung mendorongnya mendekat ke arah wajah pria itu, sedetik sebelum bibir mereka saling bersentuhan bayangan wajah Iqbaal mendadak menyelusup masuk ke dalam pikiran (namakamu).
(Namakamu) mematung membiarkan bibir Aldi bermain lembut di bibirnya tanpa perlawanan, mencoba menyingkirkan bayangan wajah Iqbaal di kepalanya yang terus mendesak masuk mengusik pikiran (namakamu) saat ini. Tanpa (namakamu) sadar punggungnnya sudah bertabrakan dengan dinding. Dengan pagutan yang juga belum terlepas, tangan Aldi yang bebas merayap di pinggang (namakamu) membuat tubuh mereka semakin merapat. (Namakamu) nyaris kehabisan napas.
”...soal yang tadi lupain aja, (namakamu), mungkin otak aku emang lagi ng...”

Suara itu..
Badan (namakamu) menegang.
Perlahan tangan (namakamu) terangkat untuk mendorong badan Aldi, dengan tenggorokan tercekat (namakamu) menoleh ke sisi kanannya, dan di dapatinya sosok Iqbaal dengan tatapan penuh luka yang belum pernah (namakamu) lihat sebelumnya. Tatapan yang sebelumnya pernah (namakamu) lihat dan tertuju pada gadis lain—Bella. Dan saat ini, tatapan itu mengarah padanya, seiring dengan kesesakan yang terus mendesak di hatinya, samar-samar sosok Iqbaal menghilang entah kemana.


Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

No comments:

Post a Comment

Situs terkait