`Somewhere` [9]
by Muhammad Aryanda.
— oOo —
”Jadi aku harus apa?”
”Mencari jasadnya, dan hanya ada satu orang yang tahu,”
tanpa diberitahupun (namakamu) tahu siapa orang yang di maksud.
”Bagaimana caranya?”
”Ada dua cara; pertama, ikuti terus setiap gerak-gerik
pembunuh itu atau kedua, menanyakan langsung dengannya,” jawab Rachel santai.
”Nggak ada cara lain?” Kedua pilihan sama-sama sulit di
lakukan.
”Ada saat situasi dimana kalian berada dalam satu titik yang
sama, dan bisa memahami satu sama lain, jarak yang dekat di antara kalian akan
membuahkan hasil yang tak terduga, dan bersamaan dengan itu rasa takut
kehilangan akan muncul,” Rachel menjeda kalimatnya untuk menghela napas. ”Sudah
hampir malam, lebih baik kamu pulang, ada sesuatu yang menunggumu di rumah.”
Gadis ini memang penuh kejutan di setiap kalimat yang dia
lontarkan. (Namakamu) menunduk, memikirkan apa sesuatu yang di maksud oleh
Rachel? Dia harap bukan sesuatu yang buruk.
*
Suara dentingan menyadarkan (namakamu) dari lamunannya, dengan
lemas (namakamu) mengangkat wajahnya dan menatap pintu lift yang sudah terbuka,
dua orang pria dan seorang gadis yang mengapitnya segera melangkah keluar,
sedetik setelah tiga orang itu keluar, baru (namakamu) melenggangkan kakinya.
Derap langkah (namakamu) terkesan lamban dan terdengar
seperti ketukan. Apa yang sedang gadis itu pikirkan? Kalau kalian menebak yang
sedang (namakamu) pikirkan saat ini adalah 'apakah Steffie sudah makan' sungguh
itu adalah lelucon yang harus memaksakan (namakamu) untuk tertawa. Langkah
(namakamu) yang lamban, dan berangsur lama itu tanpa sadar sudah membawanya ke
depan pintu apartemennya.
Ketika pintu terbuka, yang pertama kali (namakamu) pikirkan
adalah 'apa yang sedang menunggunya di dalam?' Setelah masuk dan mengunci pintu,
(namakamu) langsung berjalan ke arah kamar, tapi sebelum itu, dia mendapati
Steffie dan pacarnya—Bastian, tengah duduk di ruang televisi dengan tangan
Steffie yang melingkar di leher Bastian dan bibir mereka yang saling menempel.
(Namakamu) mencebik, dan melanjutkan langkahnya. Dalam hati dia merepet tak
jelas; sejak kapan apartemennya jadi tempat memadu kasih seperti ini?
Dengan kasar (namakamu) membuka pintu kamarnya dan
menutupnya dengan cara dibanting. Biar saja Steffie dan Bastian terkejut malah (namakamu)
berharap kalau secara tidak sengaja Bastian mengigit bibir Steffie. Tolol.
”Kenapa marah-marah?”
(Namakamu) terkesiap, dia yang baru saja ingin meraih handuk
di balik pintu mendapati sebuah suara mengisi telinganya. (Namakamu) berbalik
dan menatap sosok Iqbaal yang entah sejak kapan duduk di ujung tempat tidurnya.
Tidak bersuara. (Namakamu) hanya memasang tampang sekesal
mungkin lalu menujuk tangannya kebelakang, maksudnya ke arah Steffie dan
Bastian.
”Oh, kenapa, kamu kepengen juga?”
Sambil tetap menutup mulutnya, (namakamu) mengibas
tangannya.
”Sayangnya kita nggak bisa bersentuhan,” wajah Iqbaal
terlihat menyesal.
”Iqbaal!” Suara (namakamu) tertahan karena dia memang tidak
ingin berteriak.
”Gimana kalau aku pakai tubuh atasan kamu untuk ngelakuin
itu?”
(Namakamu) langsung mengangkat tinju, tapi sepertinya itu
saja tidak akan cukup untuk menakut-nakuti Iqbaal. Ingat, dia tidak bisa
menyentuhnya.
(Namakamu) yang sudah menyematkan handuk di bahunya berniat
mengabaikan Iqbaal dengan cara masuk ke kamar mandi, tapi tiba-tiba saja pria
itu beranjak dari posisi duduknya dan berjalan beriringan dengan (namakamu).
”Jangan gila, ya, Iqbaal,”
”Kamu pikir aku mau ngapain?” Kening Iqbaal berkerut samar,
sejenak garis wajahnya seperti anak kecil yang kebingungan.
(Namakamu) mendelik. ”Mana gue tau!”
”Kenapa marah-marah?”
”Siapa yang marah?”
”Tadi,”
”Itu bukan marah tapi capek!”
”Sama aja!”
”Tuh kan, kamu marah lagi,”
”Gausah sok kayak anak kecil deh!”
”Siapa yang kayak anak kecil, aku udah besar!”
”Iya, badan doang besar, otak lo kecil,”
Sebelah alis (namakamu) terangkat saat melihat sudut-sudut
bibir Iqbaal terangkat dan tak membutuhkan waktu lama bagi (namakamu) untuk
melihat sebuah senyuman di wajah pucat itu.
”Kamu lucu,” kata Iqbaal, sesaat (namakamu) rasakan seperti
ada yang dengan sengaja menghentikan pergerakan jarum jam. Wajah pucat, mata
gelap dengan ketenagan yang dapat (namakamu) rasakan serta senyuman yang begitu
menawan. Bagaimana bisa seperti ini? (Namakamu) mmeperhatikan dengan seksama
setiap lekukan wajah pria ini!
Sepasang mata (namakamu) menatap kosong ke arah Iqbaal, tapi
dia bisa melihat dengan jelas bagaimana tangan pria itu terangkat dan hendak
menyentuhnya namun gagal. Senyum di wajah Iqbaal lenyap seketika, seakan ingin
membantu apa yang di inginkan oleh pria itu, tangan (namakamu) juga terangkat
untuk menggapai wajah pria itu, tapi nihil, hasilnya sama saja, (namakamu)
hanya bisa merasakan udara kosong.
”Besok pernikahan Aldi,” tiba-tiba saja (namakamu) mendengar
Iqbaal berucap.
(Namakamu) menunduk.
”Kalau kamu nggak bisa hadir, nggak usah di paksain,” Iqbaal
mengingatkan, kemudian dia melihat (namakamu) mengambil ponsel di saku dan
menunjukan padanya room chat antara (namakamu) dan Karel.
Iqbaal terbelalak setelah membaca pesan-pesan itu.
”Ka-kamu serius?”
(Namakamu) menganguk cepat. ”Gue mau semuanya cepat
selesai,”
”Tapi apa ini nggak kecepatan?”
(Namakamu) mengangkat bahunya, bingung.
”Terus kalau kamu udah berhasil jadi kekasihnya Karel, apa
yang bakalan kamu lakuin?”
”Itu yang lagi gue pikirin,” (namakamu) menghela napas
pendek, dan memutar badannya. Dia merasakan badannya sudah cukup lengket dengan
keringat.
”(Namakamu),” panggil Iqbaal ketika (namakamu) baru saja
mendaratkan tangannya di kenop pintu. ”Aku nggak tau gimana caranya ngebales
semua kebaikan kamu selama ini, dan kalau ini berhasil, aku janji bakalan
dateng kesini dan tanya sama kamu, apa yang kamu mau, segila apapun keingin
kamu itu bakalan aku penuhi.”
(Namakamu) terkekeh. ”Kalau gue maunya Aldi balik sama gue,
apa lo bisa ngelakuin itu?”
”Kecuali itu,” sahut Iqbaal. ”Karena aku maunya kamu hanya
untuk aku.” Tandas Iqbaal.
Punggung (namakamu) menegang, secepatnya (namakamu) memutar
badannya untuk melihat sosok Iqbaal dibelakang sana, tapi sial, Iqbaal sudah
menghilang entah kemana.
Menghilang dengan cara meninggalkan ribuan pertanyaan yang
sekarang mulai menyumbat kepala (namakamu) sangatlah tidak bagus dalam kondisi
seperti ini.
*
”Lo emang bener-bener ya, (namakamu)! Ngapain sih lo tadi
pake acara ngebanting pintu segala, gara-gara lo, gue hampir aja nonjok mukanya
sih Babas! Lagi asik juga ih, gue itu udah lama nggak ketemu dia, hampir
seminggu, gilirin ketemu dan mengeluarkan segala kerinduan, lo malah dateng
sebagai pengganggu!”
”Lo nyadar nggak sih, lo ngomong kayak gitu sama yang punya
tempat (¬_¬")”
”Kita singkirkan urusan itu untuk sementara,” Steffie
berkacak pinggang dan mendelik menatap (namakamu) yang duduk di sofa sambil
memeluk lutut. ”Masalahnya, gara-gara lo it..,”
”Apasih, gitu doang juga, monyong lo kan juga udah nempel ke
monyongnya sih Bastian. Masalahnya apalagi?” Sela (namakamu).
”Masalahnya adalah lo menghancurkan suasana yang sudah
tercipta, ish! Kayak nggak pernah ngelakuin aja deh!”
”Asal lo tau, monyong gue masih ada segelnya,”
”NGGAK PERCAYA!”
(Namakamu) menghela napas malas. ”Yang nyuruh lo percaya
sama gue siapa?” Lalu (namakamu) meraih remote yang ada di lantai untuk
menyalakan televisi.
Rahang Steffie mengeras, perlahan kedua tangannya yang ada
di sisi tubuh mengepal kuat, kalau saja yang ada di hadapannya saat ini bukan
(namakamu) maka dengan senang hati Steffie akan melayangkan pukulan terbaiknya.
Dengan kasar Steffie menghempaskan tubuhnya ke sofa tepat di sebelah
(namakamu). Hal itu membuat (namakamu) hampir terjerembab.
”Biasa aja!”
”Gue udah biasa,” sahut Steffie lalu merampas remote dari
genggaman tangan (namakamu). ”Apasih nonton berita, kayak ibu-ibu kantoran aja
lo!”
”Kenyataannya emang gue begitu,” (namakamu) sedikit
menggeser karena tubuh Steffie begitu mengapit dirinya.
Hening lalu beberapa saat kemudian, ruangan ini hanya di isi
oleh suara tawa bodoh Steffie yang begitu terkesima dengan acara komedi yang
ada di televisi. (Namakamu) mendengus, lalu bergumam tak jelas yang kedengarannya
seperti 'ketawa aja nggak ada seni. Berisik!'
”Besok Aldi nikah, Fie,” ucapan (namakamu) sukses membuat
Steffie menghentikan tawa bodohnya dan menoleh penuh minat ke arah (namakamu).
”Serius lo?!” Wajah Steffie yang berbinar membuat kening
(namakamu) berkerut. ”Harus dateng! Terus kita nyanyi.... Ma Boy gimana? Atau
Touch My Body!”
”(¬_¬") otak lo dimana sih? Ngapain gue nyanyi
begituan!”
”Jadi maksud lo kita harus nyanyi balonku ada lima?”
Senyum (namakamu) melebar. ”Gimana kalo cicak-cicak di dinding?”
”Atau Satu Nusa Satu Bangsa?”
Bugh!
(Namakamu) sudah mengancang-ancang untuk menimpuk kepala
Steffie dengan bantal sofa tapi gadis itu malah melakukannya lebih dulu. Dia
ini? Kenapa?
”Dasar bego, lo harus tetep hepi walaupun sebenernya kagak,
lo harus tetap kuat dan jangan mau keliatan lemah di depan cowok. Lo tau kagak,
sifat lo yang kayak gitu malah bikin sih Aldi ge-er, dia merasa kalau lo emang
nggak bisa hidup tanpa dia!” Papar Steffie, gadis ini memasang wajah sekesal
mungkin agar gadis yang ada di sebelahnya sadar dengan tndakan bodohnya itu.
”Gue nggak mau dateng!” Putus (namakamu).
”Itu lebih parah, tindakan idiot lo itu malah makin buat
Aldi yakin kalo lo nggak bisa hidup tanda dia,” saking kesalnya Steffie sampai
menunjuk-nunjukwajah (namakamu).
”Jadi gimana? Gue harus dateng? Sama Bastian?”
Steffie menggeram, sahabatnya ini memang idiot.
”Sama gue lah!”
”Iya, terus lo juga ajak sih Bastian, dan lo dengan senang
hati bakalan ngebiarin gue duduk di kursi undangan sambil ngeliatin Aldi sama
pacarnya nyalami tamu!”
”Terus nggak sengaja mereka ciuman!” Steffie bertepuk
tangan, lalu dia memukul kepala (namakamu) dengan bantal sofa. ”Ajak Karel
aja!”
”Dia orang sibuk,” ujar (namakamu).
”Udah lo coba?”
(Namakamu) menggeleng. Dan untuk kesekian kalinya Steffie
memukul (namakamu) dengan bantal sofa. Dua detik berlalu, isi dalam kepala
Steffie tidak sengaja menemukan sebuah ide berlian dan dengan gerakan cepat dia
langsung merealisasikan idenya tersebut. Steffie mengambil ponsel (namakamu) yang
ada di meja dan berniat untuk memberitahu Karel soal acara besok, tapi sebelum
Steffie mengetik pesan, tanpa sengaja room chat antara (namakamu) dan Karel
menarik perhatiannya.
Sungguh, Steffie tidak berniat membacanya tapi pesan yang di
kirim (namakamu) pada Karel sungguh membuatnya terkejut.
`aku suka sama kamu`
Hanya itu tapi kenapa Steffie seperti menemukan sisi lain
dari (namakamu). Benarkah ini (namakamu)?
”(Namakamu),” Steffie ragu tapi dia harus melakukannya,
dengan tangan gemetar Steffie menghadapkan layar ponsel milik (namakamu) pada
yang empunya. (Namakamu) terbelalak, tapi hanya sesaat selebihnya gadis itu
hanya menunduk lesuh. ”Lo mau jadiin Karel pelampiasan?”
(Namakamu) tidak menjawab. Gadis itu hanya diam saja. Kalau
sudah seperti ini Steffie malah jadi bingung harus melakukan apa. Lima detik
berlalu tidak ada yang berbicara, tiba-tiba saja suara bel terdengar.
”Biar gue yang buka,” (namakamu) langsung beranjak dan
berjalan dengan tergesah-gesah.
Sesampainya di depan pintu (namakamu) langsung membuka pintu
tanpa sempat memikirkan siapa yang ada di balik pintu, dan betapa kagetnya
(namakamu) saat mendapati Aldi yang ada di balik pintu dan langsung menghambur
memeluknya. (Namakamu) mendesah, dia harap Steffie tidak melihat ini.
”Besok hari pernikahan aku, (namakamu), aku belum siap. Aku
belum siap jadi milik gadis lain seutuhnya selain kamu. Apa yang harus aku
lakuin, (namakamu)?”
Aldi bertanya padanya? Apakah pria itu sungguh tidak
mengerti bagaimana perasaan (namakamu) saat dia bertanya seperti itu, dengan
kata lain, Aldi secara tidak sadar meminta saran pada (namakamu) bagaimana
caranya melupakan gadis yang tengah dia peluk ini.
”Aku nggak tau, Al,” aku (namakamu).
Aldi merenggangkan pelukannya dan langsung mendapati setitik
air jatuh dari sudut mata (namakamu). Dengan gerakan lembut Aldi menyeka air
mata yang hendak membasahi wajah (namakamu).
”Atau mungkin kamu harus menghabisi lebih banyak waktu
bareng Salsha, supaya kamu bisa melalui semuanya dengan lan...,” kalimat
(namakamu) terputus, tangan Aldi merayap ke tengkuknya dan langsung
mendorongnya mendekat ke arah wajah pria itu, sedetik sebelum bibir mereka
saling bersentuhan bayangan wajah Iqbaal mendadak menyelusup masuk ke dalam
pikiran (namakamu).
(Namakamu) mematung membiarkan bibir Aldi bermain lembut di
bibirnya tanpa perlawanan, mencoba menyingkirkan bayangan wajah Iqbaal di
kepalanya yang terus mendesak masuk mengusik pikiran (namakamu) saat ini. Tanpa
(namakamu) sadar punggungnnya sudah bertabrakan dengan dinding. Dengan pagutan
yang juga belum terlepas, tangan Aldi yang bebas merayap di pinggang (namakamu)
membuat tubuh mereka semakin merapat. (Namakamu) nyaris kehabisan napas.
”...soal yang tadi lupain aja, (namakamu), mungkin otak aku
emang lagi ng...”
Suara itu..
Badan (namakamu) menegang.
Perlahan tangan (namakamu) terangkat untuk mendorong badan
Aldi, dengan tenggorokan tercekat (namakamu) menoleh ke sisi kanannya, dan di
dapatinya sosok Iqbaal dengan tatapan penuh luka yang belum pernah (namakamu)
lihat sebelumnya. Tatapan yang sebelumnya pernah (namakamu) lihat dan tertuju
pada gadis lain—Bella. Dan saat ini, tatapan itu mengarah padanya, seiring
dengan kesesakan yang terus mendesak di hatinya, samar-samar sosok Iqbaal
menghilang entah kemana.
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment