`Somewhere` [7]
by Muhammad Aryanda.
—oOo—
”Aku Karel, dan kamu?”
”(Namakamu),”
Ketika (namakamu) masuk ke dalam mobil Karel, hal yang
pertama kali (namakamu) pikirkan adalah kalau dia sedang duduk di sebelah
seorang pembunuh. (Namakamu) bergidik, di saat seperti ini dia mengharapkan
kalau pria di sebelahnya ini masih memiliki sedikitnya sifat manusiawi.
”Kayaknya aku pernah liat kamu deh,” tanya Karel saat mobil
berhenti di traffic light.
”Oh ya?” Saatnya berakting pikun, pikir (namakamu), seraya
menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.
”Iya, wajah kamu kayak nggak asing,” Karel menoleh ke arah
(namakamu), dan meneliti wajah (namakamu) lama.
”Dimana? Mungkin kalau kamu rinciin tempatnya aku bakalan
inget,”
”Aku juga lupa,”
LO SODARANYA IQBAAL KAN? NGGAK HERAN! Geram (namakamu) dalam
hati.
”Kamu kenapa?” Karel bingung melihat perubahan ekspresi
(namakamu), dan secepatnya (namakamu) menggeleng, traffic light menyala hijau,
Karel langsung menginjak pedal gas dan mobil berlalu.
*
(Namakamu) berjalan menelusuri lobi kantor dengan mata berat
dan kepala yang sangat tidak bisa di ajak berkompromi. Sebisa mungkin
(namakamu) membalas sapaan ”selamat pagi” yang di lontarkan oleh karyawan, yang
berpas-pasan dengannya.
Tadi malam jelas dia menghambiskan waktunya dengan sangat
tidak berguna; pergi ke club malam dan bertingkah seperti gadis murahan. Tanpa
(namakamu) ketahui apa imbalan yang akan dia dapatkan setelah bertingkah
seperti itu. Meskipun (namakamu) tidak terlalu memfokuskan penglihatannya pada
sekitar, tapi sesekali dia menangkap tatapan aneh karyawan yang menusuk ke
arahnya. (Namakamu) tidak perduli, yang dia inginkan saat ini hanyalah
berbaring di tempat tidur sambil memejamkan mata. Hal itu sepertinya
benar-benar (namakamu) realisasikan di kantor. Setelah memastikan kalau
bokongnya sudah terjatuh di kursi kerja, dengan sekali gerakan (namakamu)
menjatuhkan kepalanya di meja di hadapannya, menggunakan tangan sebagai alas
tidak terlalu buruk.
”Permisi,”
Demi tuhan, siapa saja tolong tendang pemilik suara itu.
Dengan sangat berat hati (namakamu) mengangkat wajahnya dan
menatap pria di hadapannya dengan mata blur. Sungguh, (namakamu) benar-benar
ngantuk. Belum lagi luka di lututnya yang tergores aspal semalam dan kaki
kanannya yang masih terasa ingin patah karena tertabrak dengan sangaja.
”Ya?”
”Berkas yang kemarin udah selesai?”
Mata (namakamu) terpejam dan terbuka dengan sangat cepat,
dia berusaha menjernihkan penglihatannya.
Jari-jari tangan (namakamu) segera merayap ketumpukan map yang
ada di mejanya, menatap sekali lagi wajah pria di hadapannya untuk mengingat
warna map, yang tempo hari pria itu berikan.
”Ini,” setelah mengingat dan menemukan map itu, (namakamu)
menyerahkan map berwarna hijau kepada pria itu.
”Tolong antarkan ke ruangan Pak Al,” katanya, ”saya ada
urusan yang belum saya selesaikan.” Dan pria itu segera menghambur tanpa
memperdulikan wajah ngantuk (namakamu) yang berubah masam.
(Namakamu) menghela napas panjang lalu menyenderkan
punggungnya lebih dalam ke kursi kerja, membiarkan sel-sel dalam tubuhnya
tenang sejenak.
*
Suara dentingan lift langsung menyadarkan (namakamu) dari
keadaan setengah sadarnya. Orang-orang yang berada di ruangan 2m x 2m itu
langsung membludak keluar, begitu pun juga dengan (namakamu).(namakamu)
melangkah keluar dengan langkah yang sangat mengkhawatirkan, jujur saja,
(namakamu) sangat tidak suka dengan keadaanya yang seperti ini; mata berat dan
kepala pusing.
Berkali-kali (namakamu) mengerjapkan matanya untuk
menghilangkan kesan kantuk di wajahnya, ruang CEO berada beberapa meter lagi di
hadapannya. (Namakamu) tidak mau kalau atasannya itu akan meliriknya dengan
tatapan kurang senonoh dan mengecapnya sebagai karyawan tidak becus.
Setelah berdiri selama hampir satu menit di depan pintu,
(namakamu) memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Berselang tiga detik
(namakamu) mendengar suara dari dalam menyuruhnya untuk masuk.
Setelah berada di dalam ruangan pak Al, (namakamu) mendapati
pria itu tengah duduk di kursi kerjanya yang menghadap ke computer. Pria itu
tampak fokus dengan worksheet yang di tampilkan monitor, sampai-sampai ketika
(namakamu) meletakan map hijau di meja, pria itu tak sedikitpun memalingkan
wajahnya.
”Saya permisi,” ucap (namakamu), lumayan kesal karena
atasannya itu seperti bertingkah kalau di ruangan ini tidak ada siapa-siapa.
Oke, itu bukan urusan (namakamu), tugas (namakamu) hanya mengantar map hijau
ini lalu pergi. Kenapa repot-repot memikirkan atasannya itu? Tolol.
(Namakamu) hendak mendorong pintu kaca itu dengan pangkal
lengannya saat seseorang di belakang sana memanggil dirinya.
”(Namakamu),”
(Namakamu) memutar badannya, cukup di buat terkejut karena
mendengar atasannya itu menyebut namanya.
”Ya?” Suara (namakamu) nyaris tak terdengar.
Pria itu beranjak dari posisi duduknya, menarik simpul dasi
yang melenceng, lalu berjalan menghampiri (namakamu). Hening. Selama pria itu
melangkah menghampiri (namakamu), keheningan tercipta begitu saja, hanya di isi
oleh suara langkah sepatu pantofel milik pria itu.
Ketika Al sudah benar-benar berada di hadapannya, tiba-tiba
saja pria itu berjongkok di depan (namakamu) dan yang membuat (namakamu) kaget
adalah saat jemari tangan Al merayap ke kaki kanannya, menyentuh pinggiran luka
dengan hati-hati seakan tak ingin menyakiti yang empunya.
”Maaf,”
(Namakamu) mengernyit. ”U-untuk apa?” Sekarang (namakamu)
sudah benar-benar tidak mengantuk lagi.
”Soal yang tadi malam,”
Balasan pria itu semakin membuat kerutan di kening
(namakamu) semakin dalam. (Namakamu) benar-benar tak mengerti dengan apa yang
sedang di bicarakan oleh atasannya.
”Gara-gara kamu nolongi aku, kamu sampe luka kayak gini,” Al
berdiri dari posisi jongkoknya, meraih tangan kiri (namakamu) dan memandang
luka goresan di siku (namakamu) dengan tatapan bersalah.
”Iqbaal?” Sesaat ekspresi wajah (namakamu) seperti orang
paling tolol saat menyebut nama itu.
Tapi pria di hadapannya tersenyum. Jadi, benar? Ini Iqbaal?
Memikirkan itu membuat aliran darah (namakamu) mengalir deras.
Bugh! Bugh! Bugh!
Entah setan apa yang merasuki tubuh (namakamu) saat ini,
tahu-tahu tangannya sudah terkepal kuat dan melayang menghantam perut pria di
hadapannya berkali-kali.
”(Namakamu), berhenti!” Al atau Iqbaal itu mencoba menepis
pukulan (namakamu) yang semakin membabi buta. ”Kamu kenapa sih!”
Tiba-tiba (namakamu) berhenti dan menyunggingkan senyum
paling tolol. ”Nggak pa-pa, selama ini gue sering kesel sama lo, dan nggak tau
gimana caranya ngelapiasin kekeselan gue itu. Jadi, yah sekarang berhubung lo
lagi di tubuh seseorang, ada baiknya gue langsung melampiaskannya,” ucap
(namakamu) santai, garis wajah gadis itu sama sekali tidak menunjukan kalau dia
menyesal telah melakukan tindakannya.
”Sshh, nanti kalau aku udah nggak di tubuh ini lagi, atasan
kamu bakalan ngerasain sakit di perutnya loh,” Iqbaal mencoba menakut-nakuti.
”Urusan gue?” Tanya (namakamu) sinis, lalu matanya memicing
ke arah lantai, tidak, bukan, bukan ke arah lantai melainkan ke kaki pria di
hadapannya karena detik berikutnya (namakamu) langsung menendang lutut pria
itu.
Iqbaal meringis. ”Sshh, kamu kayaknya benci banget sama aku
ya,”
”Yang bilang gue suka sama lo siapa?” Lagi-lagi (namakamu)
menendang kaki Iqbaal.
”Jangan dong,”
”Mampus, mampu, mampus,” sebanyak itu (namakamu) mengumpat,
sebanyak itu juga dia menendang kaki Iqbaal.
Meskipun Iqbaal sudah mengaduh kesakitan dan meminta pada
(namakamu) agar menghentikan aksi gilanya, tapi (namakamu) tetap tak
menghentikannya.
*
”(Namakamu)?”
(Namakamu) baru saja keluar dari lift dan mendengar
seseorang menyuarakan namanya. Tatapan (namakamu) segera mengedar kesegala arah
untuk mencari sumber suara itu, dan dia menemukan Karel berada tepat di
belakangnya. ToT # AdaAqua?
”Sekarang aku baru inget, kalau kita pernah ketemu di kantor
ini, waktu itu...,”
”Oh! Iya! Yang kamu jatuh itu kan?” Sela (namakamu),
suaranya yang kelewat semangat itu membuat Karel menyembunyikan wajahnya dengan
cara menunduk malu.
”Ya,” Karel mengakui dengan malu-malu. ”Luka kamu gimana?”
Sepertinya Karel tak ingin (namakamu) membahas lebih lanjut tentang kejadian
tempo hari itu, sekarang sepasang mata Karel mengarah pada lengan dan kaki
(namakamu).
”Udah mendingan,” jawab (namakamu) seraya
menggoyang-goyangkan kakinya.
Senyum Karel mengembang. ”Sekarang kamu mau kemana?”
Pertanyaan bodoh, pikir (namakamu).
”Ke ruangan kerja, masih banyak kerjaan yang belum aku
selesain,” (namakamu) menunduk, menatap jam tangan yang menunjukan pukul 9.45
pagi.
”Hmm, kalau gitu selamat bekerja,” kata Karel, senyum yang
terukir di wajahnya seakan tak pernah hilang.
”Dah!” Balas (namakamu) sambil tersenyum kecil. Tujuan
(namakamu) adalah agar Karel terpikat dengannya, dan (namakamu) yakin tipe
cewek yang Karel sukai adalah gadis-gadis sexy nan genit.
*
”Yang lain udah pada keluar untuk makan siang, kenapa kamu
belum?” (Namakamu) nyaris membanting mos yang ada dalam genggaman tangan
kanannya saat suara parau menusuk gendang telingannya.
Kepala (namakamu) terangkat untuk melihat orang itu, dan dia
mendapati Karel sedang berdiri di depan biliknya dengan kedua tangan menyentuh
pembatas bilik.
”Seperti yang aku bilang tadi, kerjaan aku banyak,” ucap
(namakamu) seraya tersenyum.
”Kalau aku minta kamu nemeni aku makan siang bareng, apa
kamu mau ninggalin kerjaan kamu?”
SIAPA ELO???!!! -..-
”Hmm, boleh,” dengan gerakan singkat (namakamu) langsung
menutup data yang tertera di monitor, dan mematikan komputer.
Ruang divisi yang sudah kosong membuat keheningan langsung
tercipta begitu keduanya melangkah. Tidak ada yang berbicara selama mereka
berjalan, tapi tiba-tiba saja (namakamu) menanggkap sosok Iqbaal yang
bersidekap di depan lift. Sorot mata yang keras, ekspresi wajah yang dingin
membuat (namakamu) seperti benar-benar melihat makhluk halus lainnya. Meskipun
Iqbaal tidak menatap ke arah (namakamu) melainkan ke pria yang ada di
sebelahnya, tapi tetap saja, (namakamu) bisa merasakan kengerian itu.
Pintu lift terbuka, (namakamu) dan Karel masuk ke dalam
lift, sebelum pintu lift benar-benar tertutup (namakamu) sempat melemparkan
tatapan cemas pada Iqbaal.
*
(Namakamu) tidak tahu kalau semuanya akan berjalan selancar
dan segampang ini. Seminggu sudah dia dan Karel menjalin pertemanan, dan itu
semua (namakamu) lalui tanpa menimbulkan sedikitpun masalah, seperti kengerian
yang selama ini dia takutkan pada Karel yang nyatanya pernah melakukan
pembunuhan. Sejauh (namakamu) mengenal Karel sampai sekarang, dia tidak pernah
mendapati pria itu bertingkah aneh-aneh padanya, padahal (namakamu) pikir Karel
akan semenakut dan seberengsek yang ada dalam pikirannya.
”Bella,” gadis berbando itu mengulurkan tangannya kepada
(namakamu), dan tak butuh lama baginya untuk mendapatkan sambutan dari
(namakamu).
”(Namakamu),”
(Namakamu) sekarang sedang berada di cafe yang ada di depan
kantor Karel, sore ini, seperti yang sudah (namakamu) janjikan pada Karel kalau
dia akan menerima ajakan pria itu untuk mengenalkan dia pada seorang gadis.
Karel sendiri belum datang, tapi (namakamu) sudah memberi tahu Karel kalau
mereka berada di meja tujuh.
Ada sebuah ide yang terlintas di benak (namakamu), dan sebelum
dia merealisasikan ide tersebut, (namakamu) mengedarkan pandangannya ke segala
arah termasuk pintu masuk, setelah meyakinkan kalau sosok Karel tidak ada,
(namakamu) mulai beraksi.
”Kamu temennya Iqbaal kan?”
Gadis yang duduk berseberangan dengan (namakamu) tampak
kaget mendengar pertanyaan (namakamu), dia bahkan nyaris tersedak karena
minumannya.
”I-iya, kenapa?”
”Aku temen sd nya Iqbaal, dan baru tau beberapa hari yang
lalu kalau dia,” (namakamu) tak melanjutkan kalimatnya, karena gadis di hadapanya
ini tiba-tiba saja menunduk gelisah seakan topik ini tak sehat bagi kesehatan
jantungnya. Tapi ini (namakamu), gadis yang tak pernah perduli terhadap orang
yang belum dia kenal. ”Aku cuma pengen tau penyebabnya,”
Kening Bella berkerut. ”Jadi kamu belum tau penyebab
tewasnya Iqbaal? Mobil yang dia tumpangi masuk jurang saat perjalanan menuju
gedung yang bakalan di jadikan proyek baru,”
Jurang? (Namakamu) pernah ke gedung itu, tapi sungguh, dia
tidak mendapati kalau disana ada kawasan jurang atau apapun, tapi (namakamu)
tidak bisa memastikan juga karena banyak jalan yang menuju gedung tua itu.
Suara lonceng yang ada di pintu masuk berbunyi pertanda
kalau ada pengunjung yang datang, (namakamu) terkesiap, dan mendapati sosok
Karel sedang berdiri di depan pintu, dan tak lama mata mereka bertemu.
*
”Bella bilang lo mati karena kecelakaan,” (namakamu) menatap
pantulan dirinya di cermin kamar mandi, meskipun dia tak bisa melihat sosok
Iqbaal disana, tapi (namakamu) bisa merasakan kehadiran pria itu. Entah saja
kapan, (namakamu) bisa merasakan keberadaan pria itu.
”Hari itu salah satu anak buah Karel yang membawa pulang
mobil aku. Aku selalu nitipin kunci mobil sama satpam,”
(Namakamu) memutar badannya untuk melihat ekspresi Iqbaal.
Pria itu menatap kosong ke arah lantai, rahangnya yang pucat mengeras.
”Sekarang gue harus apa?” Tanya (namakamu) seraya meremas
benda yang ada di dalam saku celananya.
Iqbaal sudah menatap (namakamu) ketika berkata. ”Nggak ada,
aku cuma mau bilang makasih sama kamu karena udah ngebantu aku sampai sejauh
ini, tapi, apa kamu udah serahin cincin dan surat aku ke Bella?”
Dengan susah payah (namakamu) menelan air liurnya. ”U-udah,”
”Terima kasih, sekali lagi,” senyum terukir mantap di wajah
pucat Iqbaal, tapi tidak mengurangkan garis menawan pada senyum itu.
(Namakamu) hanya mengangguk lalu melangkah keluar.
*
”Fie, lo masih inget nggak sama Rachel temen SMA kita?”
Steffie yang sedang bersantai ria di sofa sambil menikmati
mie cup langsung tersedak saat mendengar pertanyaan (namakamu). Gadis itu baru
saja keluar dari toilet, dan tiba-tiba saja menanyai tentang teman SMA mereka?
”Maksud lo Rachel sih anak dukun itu?” Tatapan Steffie
menerawang ke masa lalu.
”Apapun sebutan yang lo buat untuk dia,” ucap (namakamu)
malas.
”Ya, ingetlah! Siapa yang ngggak inget coba sama orang aneh
kayak dia, gue paling ngakak waktu di kelas dia secara
terang-teranganngeramalin cuaca kalau sebentar lagi bakalan turun hujan, tapi
nyat..,” Steffie tak melanjutkan kalimatnya, ekspresi asdfghjkl yang terpampang
jelas di wajah (namakamu) saat ini membuatnya kalut. ”Emangnya kenapa?”
”Lo kan pernah sekelompok sama dia, dan perna kerja kelompok
di rumah dia, bisa lo kasih tau sama gue alamat rumah dia?”
Tiba-tiba saja tawa Steffie meledak. ”Ya ampun, kalau inget
kerja kelompok waktu itu, gue makin ngakak, lo mau tau apa yang dia ramalin
wak...,” tawa dan kalimat ejekan Steffie lenyap.
”Gue lagi serius -..-”
”Jangan bilang kalo lo sama dia mau ngaduk kekuatan (¬˛¬')”
tebak Steffie masam.
”Apasih, Fie! Gue serius nih, gue minta alamatnya. Gue ada
urusan sama dia!”
”Atau lo mau nyuruh dia ngeramal masa depan lo sama Karel?
-__-”
”GUE MAU NANYA SAMA DIA, KAPAN LO PUTUS SAMA BASTIAN KARENA
NGGAK TAU KENAPA TIBA-TIBA AJA GUE KAYAK SUKA GITU SAMA BASTIAN!”
”(Namakamu), Lo mau liat pertumpahan darah disini? :3”
Tiba-tiba saja wajah (namakamu) menegang dan itu membuat
Steffie berhenti bertingkah gila.
”Fie, di sebelah lo..,” (namakamu) mengarahkan telunjuknya
tepat di sebelah Steffie. ”Ada arwah cewek yang gent,” belum sempat (namakamu)
menyelesaikan kalimatnya, Steffie sudah mencak-mencak seperti orang gila, dan
mengambur ke pelukan (namakamu).
Detik itu juga tawa (namakamu) meledak.
Sadar kalau (namakamu) baru saja mengerjainya, Steffie
langsung mencubit pipi gadis itu dan merepet tak jelas.
”Jahanam banget lo, (namakamu), gue udah ampir aja sport
jantung, seneng kan lo ngeliat gue menderita, gue sumpahin ya lo kawin sama
setan!”
Tapi (namakamu) tetap tertawa malah semakin menggelegar.
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment