Wednesday, September 30, 2015

Cerbung Somewhere - Part 10



`Somewhere` [10]


by Muhammad Aryanda.


—oOo—


(Namakamu) mematung membiarkan bibir Aldi bermain lembut di bibirnya tanpa perlawanan, mencoba menyingkirkan bayangan wajah Iqbaal di kepalanya yang terus mendesak masuk mengusik pikiran (namakamu) saat ini. Tanpa (namakamu) sadar punggungnnya sudah bertabrakan dengan dinding. Dengan pagutan yang juga belum terlepas, tangan Aldi yang bebas merayap di pinggang (namakamu) membuat tubuh mereka semakin merapat. (Namakamu) nyaris kehabisan napas.
”...soal yang tadi lupain aja, (namakamu), mungkin otak aku emang lagi ng...”

Suara itu..
Badan (namakamu) menegang.
Perlahan tangan (namakamu) terangkat untuk mendorong badan Aldi, dengan tenggorokan tercekat (namakamu) menoleh ke sisi kanannya, dan di dapatinya sosok Iqbaal dengan tatapan penuh luka yang belum pernah (namakamu) lihat sebelumnya. Tatapan yang sebelumnya pernah (namakamu) lihat dan tertuju pada gadis lain—Bella. Dan saat ini, tatapan itu mengarah padanya, seiring dengan kesesakan yang terus mendesak di hatinya, samar-samar sosok Iqbaal menghilang entah kemana.

*
POV Iqbaal
Aku sedang duduk di pohon pada batang yang paling atas sambil menatap penuh minat ke arah kota. Dari atas sini, kota Jakarta seperti bertabur oleh bintang, kelap-kelip lampu yang di hasilkan oleh berbagai jenis kendaraan dan hal lainnya membuatku betah berlama-lama duduk disini. Membiarkan isi dalam kepalaku berdebat untuk sementara waktu sementara mataku mengarah pada kota membuatku merasakan sesuatu sensasi yang aneh.
”Dasar payah!” Gerutuku pada diri sendiri.
Mengingat kejadian beberapa jam lalu dan langsung pergi tanpa mengatakan apa-apa pada (namakamu) membuatku semakin terlihat seperti pria pecundang.
Akhirnya pikiranku menang dan mataku tak terlalu fokus pada lampu di pusat kota itu. Aku kembali terlarut pada kejadian beberapa jam itu lalu mendesah frustasi.
Sedetik setelah menggerutu kemudian aku tertawa aneh. Untuk apa? Untuk apa memberitahu gadis itu? Tidak ada gunanya, aku tertawa lagi, dan terdengar menyakitkan. Yang dia inginkan bukan aku, yang dia inginkan hanya pria bodoh yang selalu menyia-nyiakannya tanpa tahu bagaimana caranya memberikan sedikit ukiran senyum di wajah (namakamu). Setiap kali aku membahas tentang pria itu, wajah (namakamu) langsung berubah murung. Kuakui aku tidak terlalu suka melihat ekspresi (namakamu) yang seperti itu.
Ada apa denganku? Aku bersikap seolah-olah aku menyukai (namakamu). Kenapa aku tiba-tiba begitu peduli dengannya? Kami hanya makhluk yang beda alam dan di pertemukan dengan tidak sengaja.
Waktu itu aku sedang berjalan di jalan yang di sesaki oleh belasan mobil, aku mengangkat wajah dan menatap satu persatu mobil yang mulai mengarah kepadaku, dan melintasiku tanpa aku merasakan sedikitpun apa yang harus di rasakan manusia normal lain. Aku bukan manusia, aku mengingatkan diriku sendiri sambil meringis kala itu. Dan traffic light menyala merah, mobil dan kendaraan lain berhenti, orang-orang menyeberang dengan hati-hati, detik itu juga salah satu gadis yang berada di dalam kerumunan itu menatap padaku, aku terkesiap, jelas itu bukan tatapan sembarangan, dengan arti lain dia bisa melihatku. Lalu aku menghampirinya dan membuatnya takut, dia menghindar sebisa mungkin, menyelipkan tubuh kecilnya dengan susah payah. Tindakannya membuatku semakin yakin kalau dia memang bisa melihatku.

Aku tersadar dari lamunan masa lalu dan kembali tertawa aneh. Bahkan aku mengingat dengan jelas bagaimana pertemuan pertama kami. Menyakitkan bahwa mungkin hanya aku yang mengingatnya.
Tanpa aku sadari seiring berjalannya waktu, hampir setiap detik waktuku yang tak berharga ini kuhabiskan bersamanya. Aku berusaha sekuat mungkin agar selalu di dekatnya, entah itu saat dia bekerja, saat dia menonton televisi, saat dia bercerita pada teman satu-satunya, saat dia berpura-pura menjadi gadis sialan di depan pria yang namanya tidak ingin aku sebut, atau ketika malam telah larut dan dia sedang tidur pulas, diam-diam aku menyelinap ke kamarnya, memperhatikan dia ketika tidur, menggerak-gerakan tangan ke wajahnya dengan harapan bisa menyentuh wajahnya. Memikirkan itu membuatku hatiku semakin sakit.
Kebanyakan tindakan yang aku lakukan tanpa sepengatuan (namakamu). Dia beranggapan aku selalu pergi entah kemana tanpa dia tahu aku nyaris hampir setiap detik di dekatnya.
Aku menatap langit yang semakin gelap dan bulan yang semakin bersinar terang. Kurasakan sesuatu seperti pusaran angin menyedotku dan detik itu juga pandangan pusat kota langsung menghilang.
Ketika aku membuka mata, hal yang pertama kali ku sadari adalah kalau kamar (namakamu) tidak seperti biasanya. Gadis itu tidak menyalakan lampu kamarnya, padahal hampir setiap malam dia selalu menyalakan lampu kamarnya, tidak perduli ketika dia sudah tertidur atau pun belum karena (namakamu) sangat benci gelap. Kusimpulkan seperti itu, walaupun dia tidak pernah mengatakan padaku. Dan saat ini kamarnya terlihat gelap, hanya di terangi oleh cahaya bulan yang tembus dari dinding kaca kamarnya.
Aku melenggangkan kakiku, mendekati tempat tidur (namakamu) dengan gadis itu yang sudah terbaring dengan mata terpejam. Aku tergelak, kudapati sisa-sisa air mata terlihat jelas di pipinya. Apa (namakamu) menangis? Apa yang dilakukan pria brengsek itu setelah mencium (namakamu)? Memikirkan itu membuat sesuatu dalam diriku seperti terbakar. Dan untuk kesekian kalinya, aku menunduk, mendekatkan wajahku dengan wajah (namakamu) dengan pemikiran kalau aku bisa mengecup keningnya. Aku tersenyum miring. (Namakamu) sama sekali tidak bisa kugapai.
Apakah ini yang di sebut cinta? Aku benar-benar bisa merasakannya namun tak bisa untuk menyentuhnya.

*
Author POV
Ketika cahaya matahari menerobos kelopak mata dan perlahan mata mulai terbuka, satu hal yang (namakamu) sadari adalah waktu berlalu begitu cepat. (Namakamu) belum siap untuk hari ini, dengan segala kejutan-kejutanyang akan dunia berikan padanya, kejutan yang kebanyakan seperti boomerang bagi (namakamu). Tapi dengan sangat terpaksa (namakamu) harus segera beranjak dari tempat tidurnya yang nyaman ini. Mengharuskan kakinya melangkah ke kamar mandi dan mengguyur badannya dengan air dingin, bayangan itu sukses membuat (namakamu) bergidik. Sebelum masuk ke kamar mandi, (namakamu) sempat mengedarkan pandangan ke segala arah berharap menemukan sosok pucat itu atau wajah jelek itu ketika tertimpa cahaya matahari. Nihil, sudah hampir satu menit (namakamu) mematung menatap kamarnya, tapi dia tidak mendapatkan apa-apa. Hanya kesepian yang begitu mengerikan.
Dua puluh menit kemudian..
”Lo udah kerja?” Tanya (namakamu) pada Steffie, gadis itu pagi ini terlihat beda, tidak seperti biasanya. Hanya dengan memadukan sleeveless abu-abu dan blazer hitam serta rok a-line di atas lutut sudah membuat Steffie terlihat cantik.
”Belum, tapi mau,” kata Steffie sambil tersenyum lebar.
”Lo lempar lamaran kemana?” (Namakamu) penasaran karena Steffie tidak pernah cerita padanya soal ini.
”Nggak ada,” dengan bangganya Steffie menjawab, seakan-akan yang sedang butuh bukan dia melainkann perusahaan yang sedang membuka lowongan kerja itu.
(Namakamu) menghela napas, mencoba mengabaikan kesongongan Steffie yang masih pagi.”Terus?”
”Ada yang sms gue,” cerita Steffi terjeda karena memang gadis itu tengah menata habis-habisan wajahnya dengan alat make up (namakamu) tanpa memperdulikan yang empunya. ”Katanya ada lowongan kerja, entah dimana tempatnya gue lupa, gue udah kasih tau Bastian, dan dia bilang 'terserah kamu sayang, asalkan itu yang terbaik buat kamu'” cerita Steffie terjeda lagi, kali ini dia tengah memoles lipgloss milik (namakamu) ke bibirnya dengan biadab. ”Kita dateng kepernikahan Aldi sorean aja ya, habis lo pulang kerja gitu. Jangan lupa aja Karel, kayaknya gue emang pergi sama Bastian deh. Duh, gue emang gak bisa jauh dari tuh cowok.”
”Masih pagi jangan bahas Aldi,” gerutu (namakamu) sebal.
Steffie memutar badannya lalu mendelik ke arah (namakamu) sambil berkacak pinggang. ”Emangnya kenapa kalo gue ngomongi Aldi, masalah buat lo? Gini ya (namakamu), gue itu capek banget setiap hari nasehati nenek kayak lo. Hubungan lo sama si Aldi itu udah selese! Jadi nggak perlu lagi ada yang namanya cinta dan sayang di antara kalian, oke, kalo emang itu sulit, tapi inget, kasih rasa sayang sama dia sewajarnya, dan gak perlu pake bonus cinta segala. Lo nggak akan pernah berhasil sampai finish kalau kerjaan lo itu cuma liat kebelakang!”
(Namakamu) mendesah, mencoba untuk tidak meledak-ledak seperti orang gila karena ucapan Steffie, selain itu, ini masih terlalu pagi berteriak.
”Lo ngomong kayak gitu karena lo belum ngerasain, Fie. Seandainya lo udah pisah sama Bastian, gue yakin lo bakalan paham sama apa yang saat ini gue rasain.”
”Doa lo jelek banget sih! Secara nggak langsung lo nyumpahi gue sama Bastian cepet selesai, ya ampun, jahat banget lo, (namakamu), gue itu udah naruh sepenuhnya sisa hidup gue yang nggak guna ini sama Bastian, dan lo sebagai temen gue doanya malah kay...,”
”LO SADAR NGGAK SIH, NYET, KALO LO ITU LEBAY!” (Namakamu) sudah tak tahan, jadi dengan sekuat tenaga dia berteriak di wajah Steffie, meraih blush on yang ada di genggaman Steffie dan menjejalkannya ke mulut gadis itu.

*
Steffie sudah pergi sepuluh menit yang lalu, dan disini, di ruang utama apartemennya, (namakamu) duduk seperti gadis sinting. (Namakamu) tidak akan sesinting itu, jadi dia menyalakan televisi dan menonton acara dalam diam. Televisi hanya mampu mengalihkan fokusnya dua menit saja, berikutnya (namakamu) kembali di lenyapkan oleh pikirannya tentang pria itu. Pria pucat yang tak kunjung menampakan sosoknya.
Kemudian sepasang mata (namakamu) tertumbuk pada ponsel jelek, yang beberapa hari lalu (namakamu) minta dari Steffie. Dengan berbagai alasan dan rayuan menjijikan, akhirnya (namakamu) bisa mendapatkan ponsel jelek itu. (Namakamu) sempat memberitahu Iqbaal dan pria itu dengan santainya mengatakan pada (namakamu) kalau ponsel itu sama sekali tidak ada gunanya. Sebuah alasan kalau Iqbaal tidak pernah benar-benar peduli pada ponsel itu semasa hidupnya cukup membuat (namakamu) bungkam.
(Namakamu) terkesiap saat merasakan sesuatu dalam tasnya bergetar, sambil melemparkan pandangan ke arah jam dinding yang sudah menunjukan pukul sembilan, (namakamu) meraih ponselnya yang masih bergetar di dalam tas.
Karel Calling's
Astaga. Tiba-tiba saja (namakamu) teringat dengan pesan yang dia kirimkan pada Karel kemarin, yang isinya adalah pernyataan cinta dirinya pada pria itu. Dan sekarang, (namakamu) di buat kelimpungan dengan kebodohannya.
”Halo?” Dengan susah payah (namakamu) menyuarakan suaranya agar terdengar senetral mungki, dan gagal.
”Kamu udah di kantor?” Suara Karel terdengar santai. Berarti (namakamu) tidak cukup menarik baginya.
”Belum,” tolol. Seharusnya (namakamu) mengatakan sebaliknya saja, karena (namakamu) takut apa yang tidak di inginkannya akan terjadi.
”Kalau gitu aku jemput,” dan ketakutan (namakamu) menjadi kenyataan. Karel langsung mengakhiri sambungan tanpa berusaha untuk mendengar respon (namakamu).
Dan sekarang (namakamu) merasakan sekujur tubuhnya bergetar, bagaimana mungkin dia bertemu dengan pria itu? Pria yang sama sekali belum merespon rasa cinta (namakamu), meskipun ini hanya bagian dari rencana (namakamu), tapi tetap saja, (namakamu) bisa merasakan degup jantungnya semakin membabi buta. Bayangan kengerian saat Karel berdiri di hadapannya membuat jemari (namakamu) yang sedari tadi menggenggam remote ikut bergetar, dan tanpa (namakamu) sadari chanel televisi sudah masuk ke angka dua ratusan.
Menghela napas pendek, (namakamu) menyambar ponsel jelek itu dan memasukannya ke dalam tas.

*
”Aku lama?” Pria yang sedang mengemudi itu bertanya pada seorang gadis yang duduk di sebelahnya, gadis itu tampak melamun dengan tatapan kosong yang mengarah ke depan. ”(Namakamu)?” Panggilnya berusaha menyadarkan gadis itu.
”Hm?” (Namakamu) menoleh dengan wajah tidak berminat.
Karel mengulum senyum tipis sebelum mengulang pertanyaanya. ”Apa aku kelamaan?”
”Engga,” balas (namakamu) pelan, dia melirik arloji di tangan kanannya yang menunjukan pukul 9.15.
”Apa kamu keberatan kalau hari ini kamu sedikit telat masuk kantor?” Tanya Karel. Traffic light di depan sana menyala merah mengharuskan Karel untuk menghentikan mobilnya, lalu sepenuhnya dia memandang ke arah (namakamu).
”Telatnya nggak masalah, tapi kalau aku di tegur, itu yang jadi masalah,” jelas (namakamu), sebisa mungkin dia mengeluarkan senyum terbaiknya. Rasanya tersenyum di antara perasaan sedang gemetaran dan malas-dengan-hidup membuat tubuh (namakamu) seperti merasakan sensasi yang aneh.
”Kalau urusan itu biar aku nanti yang bicara sama Pak Roy,” kata Karel bersungguh-sungguh.
(Namakamu) sih mau saja kalau dia telat masuk ke kantor atau mungkin tidak masuk sama sekali? Kedengarannya sangat baik untuk mood (namakamu) hari ini. Tapi, ngomong-ngomong, Karel mau membawanya kemana?
”Memangnya mau kemana?” Bersamaan dengan pertanyaan yang keluar dari mulut (namakamu), detik itu juga (namakamu) mendapati tatapan Karel mengarah ke pahanya, yang memang sebagian terekspos karena (namakamu) sengaja memakai rok tujuh centi di atas lutut. Pakaian biadab ini sengaja (namakamu) kenakan hanya supaya Karel benar-benar tergoda dengannya, hah, memikirkan itu membuat (namakamu) seperti gadis murahan.
”Nanti kamu bakalan tau sendiri,” Karel tersenyum, seakan tak ada yang salah. Traffic light menyala hijau dan dengan perlahan kaki Karel menginjak pedal gas.


*
Biasanya sesuatu yang menyenangkan akan berlangsung begitu cepat, dan begitu pun sebaliknya. (Namakamu) tidak tahu apakah perjalanan dia dan Karel ke 'suatu tempat' ini masuk kategori yang mana. Yang jelas awalnya (namakamu) sangat menikmati perjalanan ini, namun sayangnya lama kelamaan (namakamu) menjadi sangat bosan karena mobil yang dia tunggangi ini tak kunjung sampai ke tempat tujuan. Kelopak mata (namakamu) mulai berat, dan lama-kelamaan udara di sekitarnya mendadak dingin, dengan sisa kesadaran yang ada (namakamu) menatap keluar jendela dan mendapati belasan pohon rimbun tumbuh di sekitar jalanan. Satu hal lainnya yang (namakamu) sadari sebelum matanya benar-benar tertutup adalah jalanan mulai menanjak.
Sekarang sudah pukul berapa? Pertanyaan itu yang pertama kali terlintas di kepala (namakamu) saat seorang pria, yang tak lain adalah Karel menepuk-nepuk pipinya pelan guna untuk membangunkannya. (Namakamu) mengerjap, dan mendapati dirinya masih di dalam mobil dengan kepala yang tersender di bahu Karel. (Namakamu) terkesiap, dan menjauhkan kepalanya dari bahu Karel.
Bodoh. Satu kata yang pantas di lontarkan (namakamu) untuk tindakannya yang barusan. Apakah itu reaski seseorang yang tahu kalau dia baru saja terbangun dari sandaran bahu pria yang dia cintai?
”Maaf, aku ketiduran,” ujar (namakamu) tergagap, sebisa mungkin dia mengekspresikanwajahnya semenyesal mungkin.
”Maaf juga kalau aku baru banguni kamu,” Karel menunjuk jam tangan (namakamu).
(Namakamu) yang masih dalam keadaan setengah sadar mengikuti kemana telunjuk Karel mengarah. Apa maksud pria itu menunjuk ke jam tangannya? (Namakamu) belum bisa mengerti, yang dia ketahui hanya jam tangannya menunjukan pukul tiga sore. Hah, memang itu kan gunanya jam, menunjukan waktu? Dasar idiot.
Menghela napas, (namakamu) baru saja akan mengeluarkan pertanyaan untuk Karel tapi bayangan jarum jam pada jam tangannya mendadak mengusik. Siapa saja tolong katakan pada (namakamu), jam berapa tadi? hei, katakan padanya, jangan sibuk membaca.
”JAM TIGA?” Mata dan mulut (namakamu) membulat sempurna
”Kamu tidur terlalu nyenyak. Aku nggak tega banguni kamu,” jelas Karel lalu membuka pintu dan keluar, dia mengitari mobil untuk membukakan pintu untuk (namakamu).
(Namakamu) mendengus dan melangkah keluar setelah melihat Karel membuka pintu untuknya.
”Sebisa mungkin aku bakalan jelasin sama Pak Roy supaya kamu nggak kena marah,” ujar Karel seakan dia bisa mengetahui dengan sangat jelas maksud garis kegelisahan di wajah (namakamu).
”Bukan cuma itu, kerjaan aku juga bakalan numpuk!”
”Kita selesain sama-sama,”
”Ngerjain sama-sama dengan kamu? Dan membuat karyawan yang ada di kantor berpikir yang engga-engga?” Bibir (namakamu) mencebik kesal.
”Kita bisa bawa pulang kerjaan kamu dan ngerjainnya sama-sama. Gimana? Masih ada yang salah?” sekak Karel sarkas, dia tersenyum penuh kemenangan melihat (namakamu) yang bungkam. ”Ada berkas yang mau aku ambil di dalam.” Dengan sekali gerakan, jemari Karel merayap dan menggenggam jemari (namakamu) yang dingin. Lalu dia melangkah ke bangunan mewah yang sejak tadi mereka abaikan.

Villa? Pikir (namakamu) sambil menatap bangunan mewah yang sekarang ada di hadapannya.
(Namakamu) seperti merasakan kalau nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. Dia menampar-namparpipinya dengan harapan kalau dia bisa mendapatkan kesadarannya. Tempat ini begitu indah. Mata (namakamu) berbinar menatap rumput hijau yang terawat tumbuh di halaman rumah, dan pepohon setinggi sepuluh meter tumbuh mengelilingi halaman rumah. Bau khas pergunugan tercium jelas di tempat ini, di tambah udara yang sangat sejuk membuat (namakamu) ingin berlama-lama berada di luar. Ada beberapa jenis bunga yang tidak (namakamu) kenali, tapi terlihat indah karena bunga itu berwarna-warni,begitu serasi dengan tempat ini yang berdomain berwarna hijau.
Suara pintu terbuka dan kehampaan dari dalam rumah membuyarkan fokus (namakamu) dari keindahan tempat ini. Di dalam gelap, tapi dengan tangan Karel yang menekan saklar membuat kegelapan di dalam sana langsung tergantikan dengan pencahayaan dari lampu-lampu yang ada.
Seperti halnya kebanyakan rumah yang ada, tataan di rumah ini juga sama. Sofa putih yang mengeliling meja menghadap pada televisi 41 inc, lemari yang tingginya hampir menyentuh atap rumah itu membatasi antara ruang televisi dan ruang tamu. Rumah ini hanya berlantai satu, jadi jangan harap (namakamu) menengadahkan kepalanya.
(Namakamu) dan Karel melangkah masuk secara bersamaan, dengan tangan mereka yang masih saling bertautan. (Namakamu) memperhatikan sekitar dan berdecak, ternyata dia melewati beberapa guci dan vas bunga setinggi satu meter yang terletak di sudut ruangan. (Namakamu) tidak asing dengan guci itu, guci yang terbuat dari keramik zaman dinasti ming itu sepertinya favorit orang-orang seperti Pak Roy dan Karel.
”Kamu tunggu disini sebentar,” kata Karel saat mereka melintasi sofa. (Namakamu) mengangguk dan segera duduk, sedangkan Karel berjalan menuju kamar yang letaknya lumayan jauh dari tempat yang (namakamu) duduki saat ini.
Selama Karel di dalam sana, (namakamu) hanya bisa duduk dengan sikap menunggu. Isi dalam rumah ini tidak terlalu membuat (namakamu) sampai mengangkan mulutnya, tidak ada yang spesial selain guci setinggi satu meter itu. (Namakamu) menengadahkan wajah menatap langit-langit rumah, hanya ada lampu biasa bukan lampu berhias mewah seperti yang (namakamu) harapkan. Dan mata (namakamu) tak lagi mengedar karena memang benda-benda disini hampir serupa dengan yang ada di apartemennya. Suara tapak sepatu pantofel milik Karel yang terdengar mendekat satu-satunya yang membuat (namakamu) bernapas legah. Akhirnya urusan pria itu selesai juga. (namakamu) langsung beranjak dari posisi duduknya.
”Nggak ada,”
Kabar buruk, sialan.
”Maksudnya? Kamu lupa naruh berkas itu dimana?”
”Kayaknya sih gitu, soalnya aku ngerjainnya sendirian disini, dan aku lupa dimana aku letakin berkas itu,” Kael menatap (namakamu) dengan ekspresi minta maaf. ”Kamu masih mau nunggukan?”
”Mungkin aku bisa bantu kamu. Duduk diem kayak patung cuma bikin aku bosen,” gerutu (namakamu).
Karel terkekeh. ”Oke, kalau gitu kamu bisa periksa ruangan yang ada di sebelah dapur,” Karel merogo saku celannya dann memberikan sebuah kunci pada (namakamu).
(Namakamu) langsung menyambar kunci dari tangan Karel dan menyeret langkahnya menuju dapur. Ada-ada saja sih, kenapa pria itu bisa lupa dimana dia meletakan berkas sialan itu, dan oh! Mengingat kata sialan membuat isi dalam kepala (namakamu) teraduk dan menemukan nama Iqbaal disana. Semenjak kejadian tadi malam yang begitu membingungkan, (namakamu) tak lagi menemukan sosok Iqbaal, padahal baru hitungan jam, tapi kenapa rasanya pria pucat itu seperti sudah pergi selama bertahun-tahun.Ah, dasar gila. Cara (namakamu) memikirkan dan mengkhawatirkanpria itu seakan-akan dia menyukai pria bodoh itu. Dan sejak kapan (namakamu) menyebut setan sialan itu menjadi pria? O'oh. Ada yang tidak beres dengan isi kapalanya.
(Namakamu) memutar kunci lalu membuka pintu. Gelap. Itu yang (namakamu) lihat, (namakamu) mencoba meraba-raba dinding di dekat pintu berharap menemukan saklar, tapi tak kunjung ketemu.
”Tempatnya gelap, Rel!” (Namakamu) berteriak (marah) pada pria itu. ”Dimana sih saklarnya!”
”Di bawah tangga, (namakamu)!” Karel balas berteriak tapi nadanya tetap terdengar ramah, tidak seperti ini yang terkesan ingin meledak-ledak.

Di bawah tangga? Dengan arti lain kalau ruangan di dalam sana adalah ruangan bawah tanah. (Namakamu) bergidik semoga saja tempatnya tidak seperti yang ada di dalam pikirannya. Dengan hati-hati (namakamu) melangkah, dan dia rasakan wedges yang dia kenakan beradu pada permukaan kayu, menghasilkan suara ketukan yang begitu khas. Tangan kanan (namakamu) berpegangan pada pembatas yang terbuat dari kayu sementara tangan kirinya meraba dinding dingin.
Di bawah sana begitu gelap dan dingin, iris mata (namakamu) nyaris tak menemukan setitik cahayapun disana, selain cahaya yang di hasilkan oleh pintu yang terbuka. Tapi tetap saja, cahaya itu seakan tak ada gunanya, kegelapan yang begitu pekat tetap menanti (namakamu).
(Namakamu) terus melangkah dengan hati-hati sampai akhirnya, alas wedgesnya menyentuh permukaan sama rata. Tangan kiri (namakamu) meraba-raba, mencari-cari saklar di dinding dingin itu, dan, tap. Ruangan gelap ini langsung bermandikan cahaya dari lampu yang ada di tengah ruangan.
Seharusnya (namakamu) bisa bernapas legah karena sejak tadi tanpa dia sadari dia menahan napas. Tapi ada apa dengan dirinya saat ini? Kenapa dia merasakan sekujur sel dalam tubuhnya mendadak kaku? Kenapa saat ini dia begitu sulit menghirup udara? Seperti ada yang dengan sengaja merusak paru-parunya, (namakamu) begitu sulit menerima udara. Ketika menggerakan kakinya untuk melangkah lebih dalam, kaki (namakamu) seperti di paku membuat (namakamu) kesulitan bergerak. Sekali lagi, ada apa dengan dirinya saat ini?
Mata (namakamu) mengerjap, menatap sebuah tempat tidur kecil yang sering dia temukan di rumah sakit. Tempat tidur itu berada di tengah-tengah ruangan tepat di bawah lampu yang menyinari tempat ini. Kalau hanya tempat tidur saja sungguh (namakamu) tidak peduli, akan tetapi di tempat itu ada sesuatu yang di tutupi oleh selimut tipis. Apakah itu manusia? Tidak mungkin. Kalaupun itu manusia seharusnya orang itu beranjak pergi, bukan tertidur seperti orang mati.
Bibir (namakamu) bergetar. Bagaimana kalau itu memang manusia? Dan memang sudah mati? Apakah itu...

Dengan kasar (namakamu) menghentakan kakinya dan sejurus kemudian dia sudah berada di samping tempat tidur, menatap tempat tidur itu dengan bibir bergetar dan pupil yang hendak meledakan cairan. Tangan (namakamu) bergerak kasar menyingkirkan selimut yang menutupi, dan apa yang ada di hadapannya adalah—
—Boneka.
Tidak, kenapa, kenapa malah ini yang dia dapatkan? (Namakamu) menunduk lesuh sambil menangkup wajahnya dengan tangan, dan menangis sesegukan. Bayangan kalau dia bisa menyentuh sosok pria itu sekejap lenyap seperti debu yang di embus oleh angin. (Namakamu) menjatuhkan tangannya ke sisi tubuh, mencengkram ujung tempat tidur dengan marah.
Ketika (namakamu) hendak menelusuri ruang bawah tanah ini lebih jauh, suara gaduh di atas menarik perhatiannya. Semuanya seperti berlangsung dengan cepat, dua orang yang tak (namakamu) ketahui siapa, jatuh dari atas dan mendarat di kaki tangga dengan sangat mengenaskan. (Namakamu) meneliti dua orang yang terbaring tak berdaya itu. Sedetik setelah menyadari siapa dua orang manusia yang terjatuh di kaki tangga, (namakamu) memekik, berteriak histeris, kepalanya langsung menengadah menatap sosok manusia yang dengan sengaja menjatuhkan mereka—
—Steffie dan Bastian. Dan orang yang dengan sengaja menjatuhkan mereka adalah—Karel. (Namakamu) tidak kaget saat mengetahui kalau sosok Karel-lah yang melakukan itu pada Steffie dan Bastian. Sebenarnya (namakamu) sudah mencium rencana Karel saat dia mengharapkan sesuatu di tempat tidur adalah sosok Iqbaal.
”Seharusnya ada Aldi, tapi aku nggak berhasil,” suara itu berasal dari atas dan tentunya bersumber pada mulut Karel. Mata gelap pria itu menatap penuh penyesalan ke arah (namakamu). Sambil melangkah turun, Karel berkata. ”Aku nggak suka liat ekspresi takut dan kebingungan di wajah kamu. Jadi, aku harus ngejelasinnya dari mana? Dari aku tau kamu simpan cincin dan surat Iqbaal atau handphone milik Iqbaal yang ada di tas kamu?” Karel menjeda kalimatnya untuk memperlihatkan seringain liciknya. ”Atau pesan bodoh tentang lowongan pekerjaan untuk temen kamu?”
Untuk saat ini, (namakamu) akui kalau Karel terlihat menyeramkan. Dengan suara dingin dan gerak tubuh yang begitu hati-hati mengingatkan (namakamu) pada pembunuh kelas atas. Karel sudah berdiri di hadapan (namakamu), dan tatapannya kembali dingin.
”Kecewa dengan apa yang ada di balik selimut itu?” Tanya Karel pelan, dan sukses membuat bulu kuduk (namakamu) meremang. ”Udah aku bilang sama kamu kalau aku nggak suka lihat ekspresi kekececawaan di wajah kamu. Jadi, tolong, tersenyumlah,” Karel tersenyum dan berharap (namakamu) melakukan hal yang sama dengannya, tapi nyatanya gadis itu tetap memandangnya dengan tatapan tanpa ekspresi. Mendesah, Karel mendekatkan wajahnya pada (namakamu) dan berbisik. ”Arah jam sembilan.”
Sekujur tubuh (namakamu) menegang, dan perlahan kepalanya memutar ke sisi kiri. Menuruti perintah Karel sama saja seperti menginjak-nginjak harga diri sendiri, tapi (namakamu) penasaran dan dia melakukannya. Menatap kesisi kirinya, dan langsung menemukan apa yang sedari tadi dia harapkan.
Sosok itu..
Ada disana...
Dengan keadaaan...
Yang begitu mengenaskan...
(Namakamu) tersedak, dan merasakan sesuatu yang paling sesitif yang ada di dasar hatinya seperti tercabik-cabik saat melihat sosok Iqbaal bersimpuh di ujung sana, dengan masing-masing rantai menjerat tangan dan kaki pria malang itu. Tapi (namakamu) mendapati selang infus pada tangan Iqbaal. Apa maksud Karel? Apa dia berniat ingin menyelamatkan Iqbaal, tapi, ah!
”Salah satu hal yang paling menyenangkan di dunia ini adalah balas dendam. Aku sengaja menyimpan mayat dia, karena setiap detik ketika aku sedang kesal aku akan melampiaskan kekesalan padanya. Mau lihat?”


Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C


No comments:

Post a Comment

Situs terkait