`Somewhere` [4]
by Muhammad Aryanda.
—o0o—
Brak!
(Namakamu) membuka pintu apartemennya dengan seluruh tenaga
yang tersisah, asap nyaris keluar dari dalam kepalanya, bahu gadis ini
naik-turun dengan ritme yang kacau dan wajahnya, jangan di tanya, kali ini
(namakamu) benar-benar terlihat mengerikan.
(Namakamu) tidak tahu atmosfer apa yang menyelubungi kamar
hatinya, tiba-tiba saja dia merasa iba. Dia pernah mengalami hal yang semacam
ini dan hatinya hancur berkeping-keping. Apa laki-laki itu juga merasakan hal
yang sama seperti yang pernah (namakamu) rasakan dulu?
”Nggak usah cengeng! Lo itu cowok!” (Namakamu) sulit
mengartikan dirinya sendiri, kenapa malah kalimat semacam itu yang keluar,
padahal niatnya hanya ingin berbasa-basi tapi kenapa kalimat bernada ketus itu
yang keluar?
(Namakamu) berjalan ke arah sofa lalu duduk tepat di sebelah
Iqbaal.
”Dia pacar lo?” Seperti yang sudah (namakamu) pikirkan, dia
hanya ingin berbasa-basi.
Iqbaal menggeleng lemah, dan entah kenapa (namakamu) sangat
tidak menyukai respon Iqbaal yang seperti itu. (Namakamu) rasa lelaki ini
seperti orang yang sudah kehilangan hasrat untuk hidup, eh? Bukannya dia sudah
mati? Baiklah, (namakamu) harus membiasakan diri kalau sekarang dia berteman
dengan seorang hantu yang bergentayangan,yang tidak tahu kapan akan menyingkir
dari hidupnya.
”Terus kenapa lo sedih? Lo suka sama dia tapi belum sempet
nyatain cinta karena keburu mati?” (Namakamu) terkejut saat Iqbaal mengangkat
wajah dan menatap ke arahnya dengan pandangan tak suka, (namakamu) tidak
menyangka kalau lelaki ini bisa bersikap menyeramkan juga.
Iqbaal mendesah sebelum berkata. ”Aku bukan tipe laki-laki
yang mau berpacaran sampai bertahun-tahun,saat aku menyukai seorang wanita, aku
berpikir kalau besok aku bakalan melamarnya,”
”Dan kalau ceweknya nolak? Kelar hidup lo,” Sahut (namakamu)
masam, lalu dia beranjak dari sofa dan berjalan ke lemari es untuk mengambil
soft drink, niatnya (namakamu) ingin mengambil dua soft drink tapi mengingat
kalau sekarang dia sedang mengobrol dengan hantu gentayangan, dengan senang
hati dia urungkan niatnya.
”Itu adalah salah satu resiko yang harus aku tanggung,”
Balas Iqbaal, yang tahu-tahu sudah berada di dekat (namakamu), (namakamu)
mengumpat sebal karena kaget.
”Jangan sekali-kali lo ngagetin gue lagi. Ngerti?”
Iqbaal tidak menjawab, lelaki itu hanya tersenyum dan
berjalan mengekori (namakamu).
”Terus sekarang lo mau ngapain?” Tanya (namakamu), yang
sudah duduk di sofa. Dia menatap kesal ke arah Iqbaal yang tak kunjung
bersuara. ”Ngunjungi orang tua lo atau apa kek, dasar anak durhaka, baru
bangkit dari kubur langsung nyari doi.”
”Udah,”
”Jadi sekarang lo mau ngapain? Kan nggak mungkin lo selalu
sama gue, gue juga punya kehidupan, gue juga mau hidup tenang kayak manusia
lain, bukan ngurusi setan nggak jelas kayak lo.”
”Kamu cerewet!”
Bugh!
(Namakamu) terkesiap saat telinganya menangkap bunyi benda
terjatuh, yang sepertinya berasal dari balik jendela apartemennya.
Sebenarnya (namakamu) tidak terlalu peduli kalaupun ada
tetangganya yang kemalingan atau apartemen sebelahnya terbakar, tapi kali ini
dia merasakan kalau ada seseorang di balik jendela apartemennya. (Namakamu)
bangkit dan berjalan ke arah jendela dengan waspada. Iqbaal tetap setiap
mengekorinya, tapi kali ini, pria itu tidak berjalan melainkan
melayang-layangdi sebelahnya, seolah pamer kepada (namakamu). Sialan, memangnya
siapa yang akan iri? Tolol.
(Namakamu) menyibak sedikitnya tirai gorden untuk melihat
keadaan diluar. Awalnya dia tidak menemukan siapa-siapa, tapi saat matanya
terangkat ke atas untuk mengecek, di dapatinya sebuah kain putih
melambai-lambaidi atas sana, awalnya (namakamu) pikir kalau kain itu adalah
jemuran milik yang empunya apartemen di lantai tiga—apartemen (namakamu) di
lantai dua—tapi saat mata (namakamu) menilik lebih cermat, sebuah kaki
menyembul dari kain putih itu, yang membuat (namakamu) bergidik adalah tidak
adanya jari-jari kaki di kaki itu, dan cairan merah pekat melumuri kaki itu.
(Namakamu) buru-buru menutup tirai jendela dengan rapat.
”Maling?”
(Namakamu) tidak tahu darimana asal suara itu, tapi yang
jelas dia tahu kalau itu suara Iqbaal.
”Temen lo.” Jawab (namakamu) asal. Tiba-tiba saja ada hasrat
untuk mengangkat kepala untuk menatap langit-langit apartemen, dan dia
menemukan Iqbaal di atas kepalanya dengan kepala yang menembus ke dinding untuk
mengintip keadaan diluar.
”Kayaknya dia mati karena kecelakaan.” Komentar Iqbaal, pria
itu sudah kembali duduk di sofa.
Bayangan kaki mengerikan itu masih saja terngiang di kepala
(namakamu), bagaimana kalau yang di bilang Iqbaal itu benar atau yang lebih
parahnya. ”Mungkin beranak dalam kubur.”
”Kalau dia kemari gimana?”
(Namakamu) mendelik. ”Mulut lo!”
”Apartemen di atas kosong?”
”Kayaknya sih, tapi gue nggak terlalu tau, mending lo liat
gih sana!”
”Terus aku ketemu sama dia?”
”Sama-sama setan apa masalahnya?”
”Terus kalau dia ngekori aku gimana?”
”Bagus dong, jadi lo punya temen dan nggak bakal ngekori gue
terus!”
Perdebatan (namakamu) dan Iqbaal langsung terhenti begitu
suara bel menggema di ruang utama. (Namakamu) berdecak dan melirik sekilas ke
arah jam dinding yang menunjukan pukul sembilan malam. Sebenarnya siapa yang
bertamu malam-malam seperti ini? Terbesit satu nama pria di kepalanya,
(namakamu) buru-buru menggeleng, entahlah, kalau pun memang benar pria itu yang
akan bertamu malam-malam seperti ini apakah tidak terlalu lucu kalau hanya
ingin menyampaikan kepada (namakamu) kalau dia akan menikah besok. Tapi dari
hati (namakamu) yang paling terdalam, dia mengharapkan kehadiran pria itu.
”Jangan di buka.”
(Namakamu) melamun, sekilas dia melihat tubuh Iqbaal
menembus dari dinding, sepertinya pria itu baru saja mengecek siapa orang yang
ada di balik pintu. (Namakamu) tidak perlu bertanya 'siapa' karena wajahnya
sudah sangat mencerminkan kata penasaran itu.
”Aldi,” Beritahu Iqbaal pelan. ”Sama pacarnya.” Iqbaal
menambahkan dengan sangat amat pelan.
”Biasa aja sih,” (namakamu) menatap kecut Iqbaal lalu dengan
sekali gerakan dia memutar kenop pintu yang belum di kunci, dan sekarang
(namakamu) dengan sangat jelas bisa melihat Aldi dan pacarnya, cantik, tapi
menurut (namakamu), dia lebih cantik dari gadis itu.
Tatapan (namakamu) tidak mengarah pada wajah Aldi maupun
gadis di sebelah Aldi, melainkan ke tangan mereka yang saling bertautan. Dengan
susah payah (namakamu) menelan air liurnya, tidak, tidak apa-apa, sejak semenit
yang lalu (namakamu) sudah menetapkan pada hatinya kalau dia akan mengenyahkan
nama pria di hadapannya ini sekarang.
Dengan senyum ceria, (namakamu) berkata. ”Hai.”
*
POV (namakamu).
Hidup adalah lelucon tolol yang baru saja di mulai.
Aku tidak terlalu kaget saat mendengar maksud kedatangan
Aldi dan pacarnya, yang namanya baru kuketahui adalah Salsha. Tidak terlalu
kaget sampai kakiku nyaris kebas dan tak bisa menyeret langkah ke kamar. Dasar
sinting! Dia datang kemari hanya untuk mengatakan padaku kalau dua minggu lagi
pernikahan mereka akan segera di laksanakan. Dua minggu lagi? Apakah itu tidak
terlalu cepat? Sungguh, aku bahkan belum berlatih bagaimana caranya tetap tersenyum
seceria mungkin di depan banyak orang dengan keadaan hati yang sangat kacau.
Dan sekarang, dengan selimut tebal serta tisue yang terus
menerus menyeka air mata tolol yang tak kunjung berhenti; aku menyesali
keputusanku yang sudah mau membuka pintu dan mengabaikan peringatan setan
sinting itu.
”Kan aku udah bilang sama kamu, jangan di buka, tapi kam..,”
”Diem!” Suaraku seperti tertahan di tenggorokan, dengan
kesal ku lempar tisue yang sudah basah karena air mata ke wajah Iqbaal, dan
meleset. Oh! Tentu saja, seperti yang kubilang, dia adalah setan sinting yang
tadi kumaksud.
”Kamu terlalu naif. Kamu tahu kalau kamu itu masih mencintai
sih Aldi itu tapi kamu mencoba untuk mengabaikannya,dan memendam perasaan itu
sampai kamu nggak sadar kalau sesuatu yang kamu pendam itu akan tumbuh semakin
besar dengan seiringnya berjalannya waktu.”
Aku mendengarkan ceramahnya sambil masih terus menangis
merutuki siapa saja yang patut di salahkan atas ketololan ku malam ini yang mau
membukakan pintu untuk Aldi. Iqbaal ada benarnya, aku memang terlalu naif, tapi
apakah dia tidak bisa berbohong sedikit untuk sekedar menghibur diriku? Setan
sialan ini memang selalu jujur. Ugh!
*
Ketika pagi menyambut, aku tak benar-benar yakin akan
berangkat ke kantor tapi mau bagaimana lagi, kemarin aku sudah tidak masuk
karena serangan setan sinting yang sekarang sedang berjalan mengekoriku di lobi
kantor. Perkataan Aldi tadi malam entah mengapa masih belum bisa aku lupakan,
pria idiot itu memang masih seperti dulu; idiot, labil dan tidak peka terhadap
perasaan lawan jenisnya.
Aku mencoba tersenyum pada siapapun yang kutemui di kantor
pagi ini, dan berkali-kali kudapati Iqbaal berbisik di telingaku untuk tidak
selalu tersenyum karena menurutnya senyumku terlihat aneh dan mengerikan. Oh,
demi apapun sejak kapan setan sinting ini menjadi sangat cerewet, tapi
sepertinya dia ada benarnya, ketika aku masuk ke dalam toilet hanya untuk
sekedar mematut diri; kudapati mataku yang memerah dan kantung hitam yang tidak
terlalu kelihatan, tapi tetap saja, itu terlihat mengerikan saat aku tersenyum.
”Kayaknya kamu harus cari cowok baru, atau kumpul sama
temen-temen kamu supaya nggak terus kepikiran sama mantan kesayanganmu yang mau
nikah itu,”
Aku sedang berada di ruang bagian fotocopy, dan kudapati
Iqbaal bersender di pintu masuk sambil menatapku iba. Separah itukah keadaanku?
Aku tidak langsung menjawab karena pernyataan Iqbaal masih
dalam tahap pencernaan. Dan setelah kupikir-pikir ucapannya memang ada
benarnya. Mungkin aku hanya perlu membaur pada teman-teman kantor, atau mungkin
aku mengikuti opsi pertama yang sangat terdengar gila?
”Gue pikir-pikir dulu.” Kataku pelan saat keluar dari
ruangan. Di ruangan ini sedang tidak ada orang jadi aku tidak terlalu
mempermasalahkan volume suaraku.
”Cari cowok baru? Kayaknya banyak deh cowok disini yang suka
sama kamu. Cowok yang ada di bilik belakang kamu hampir setiap menitnya
ngelirik ke bilik kerja kamu,” Oh, yang benar saja? Aku tidak tahu kalau Bidi
sering melakukan itu, diakan tidak pernah berbicara denganku. Aku menunggu
sambungan kalimatnya karena mengingat perkataanya kalau 'banyak cowok disini'
tapi aku tidak mendengar apa-apa lagi.
Langkahku terhenti, aku menatap Iqbaal yang ada di
belakangku dengan sebelah alis terangkat.
Dia nyengir. ”Kayaknya cuma itu deh, soalnya aku kan belum
tau siapa aja temen kamu.” Kemudian tanpa berkata apa-apa aku memutar badanku
dan segera melenggang pergi. Tidak baik kalau terlalu banyak bicara dengan
Iqbaal disini, mengingat wujudnya yang tidak terlihat akan membuat orang-orang
yang melihatku berpikir ngeri.
Kemarin pagi-pagi sekali seorang karyawan yang tak kuketahui
namanya menyuruhku untuk men-doublekan berkas laporan ke uangan bulan ini dan
juga memerintahkan ku menyerahkan pada Pak Roy—direktur, dan Pak Al selaku CEO
di perusahaan ini. Aku tidak tahu kenapa karyawan itu menyuruhku, padahal aku
yakin sekali kalau tugas ini pasti ditujukan padanya.
Aku mengetuk pintu yang terbuat dari kaca buram itu dengan
hati-hati, sekilas ku lirik meja assistent yang ada di depan ruangan Pak Roy
dengan bibir mencebik. Apakah assistentnya belum datang? Aku menatap arloji
yang ada di pergelangan tanganku dengan kesal—10 pagi—mungkin kalau jabatanku
sudah tinggi sedikit aku akan datang lima menit lagi kantor akan bubar.
”Masu,” Ku dengar suara Pak Roy dari dalam. Segera ku dorong
pintu lalu masuk.
Aku berjengit saat sepasang mataku mendapati seorang pria
yang tak kukenal namun sangat familier di mataku sedang mengobrol dengan pak
Roy. Sungguh, aku tidak mengenalinya, tapi kenapa wajahnya begitu tak asing di
mataku. Aku diam selama beberapa detik sambil mencoba mengorek isi kepalaku,
namun tak kunjung menemukan siapa pria yang ada bersama pak Roy sekarang.
Pak Roy berdeham, aku buru-buru melangkah ke arahnya.
”Ini hasil laporan bulan ini. Seharusnya berkas ini saya
berikan kemarin, tapi karena kemarin saya tidak masuk, makanya baru bisa saya
antar sekarang.” Kataku seraya menjelaskan secara singkat pada pak Roy kenapa
berkasnya bisa datang terlambat.
Kupikir dia akan komplain, nyatanya, dia hanya mengangguk
dengan sikap menyuruhku keluar. Dengan senang hati kulayangkan langkah
lebar-lebar agar secepat mungkin keluar dari ruangan ini, namun sebelum itu
iris mataku bergerak ke sudut mata untuk melihat pria yang tengah duduk di seberang
meja pak Roy. Aku mencoba tersenyum namun gagal. Sudahlah tidak terlalu
penting.
Tiba saat tanganku hendak mendorong pintu, suara pecahan
dari belakang langsung membuat tanganku terjatuh. Kupalingkan wajahku
kebelakang dan mendapati wajah pak Roy dan patner kerjanya sama kagetnya
denganku. Mata mereka membulat tak percaya saat melihat guci-guci di sudut
ruangan, yang sepertinya terbuat dari keramik dinasti ming itu hancur
berantakan. Pak Roy bangkit dan berjalan ke arah guci-guci itu, kepalanya mengedar
kesegala arah seolah mencari jejak makhluk yang pantas di salahkan.
Aku ingin keluar dari ruangan, namun langsung ku batalkan
saat melihat sosok Iqbaal di belakang patner kerja pak Roy. Aku bergidik,
cahaya matahari yang masuk dari ventilasi udara menerpa wajah Iqbaal dan
membuat wajah pria itu menjadi seperti saat pertama kali aku melihatnya; tidak
berbentuk dan mengerikan. Aku bahkan nyaris ingin berteriak namun sekuat
mungkin tidak aku lakukan.
”Mungkin kucing,” kata pak Roy. Dia sudah hampir duduk di
kursi semula namun langsung tertahan saat melihat patner kerjanya terjatuh.
Aku berasumsi kalau Iqbaal yang melakukannya!
”Eh?” Pak Roy kebingungan.
”No problem,” pria itu berusaha bangkit dan mencoba duduk,
namun kursi yang hendak dia duduki tiba-tiba menggeser dengan sendirinya,
membuat bokongnya langsung menghantam lantai.
Aku meringis. Wajahnya terlihat kecut dan menahan malu.
Sebelum pak Roy melihat aku yang ternyata belum keluar dari ruangannya,
cepat-cepat aku menyingkir.
*
Apakah itu kita; saling merindukan namun saling takut
terluka?
Iqbaal tidak terlihat lagi sejak kejadian di ruangan pak Roy
beberapa jam yang lalu. Aku tidak terlalu mau ikut campur masalahnya karena aku
sendiri sudah di buat kelimpungan dengan lika-liku hidupku.
Seperti yang ku bilang kemarin, hari ini aku pulang lebih
lama dari hari sebelumnya. Hal itu di sebabkan oleh kerjaan yang kemarin tidak
terselesaikan dan harus di selesaikan hari ini juga; karena para senior sudah
terus menagih-nagih kerjaan mereka yang di titipkan padaku. Malangnya nasibku!
Aku bekerja dalam diam dan mencoba mengabaikan segala
hal-hal yang tidak penting, yang nantinya akan mengganggu pekerjaanku. Ketika
teringat dengan perkataan Iqbaal kalau pria yang ada di belakangku sering
mmeperhatikanku—Bidi. Aku secara diam-diam melirik kebelakang untuk memastikan,
dan tak menemukan apa-apa. Pria itu menunduk dan fokus pada kerjaanya.
Setan pembohong sialan.
Drrt! Drrt!
Perhatianku dari monitor langsung pecah begitu ponsel yang
ada di sebelah tanganku bergetar. Aku mendesah frustasi lalu menggeser layar
ponsel.
[Pesan]
From: Aldi.
- nanti malm bisa ketemuan? -
Aku menutup mulut secepat mungkin, ada yang tidak beres
dengan jantungku yang berdebar tak menentu, dan hal itu berakibat pada mulut
yang bergerak-gerak ingin tertawa cekikian. Tolol.
[Pesan]
To: Aldi
- ada hal pntng? -
Meskipun dalam hati terlalu berharap ada baiknya untuk
sedikit jual mahal....ponselku bergetar semenit kemudian.
[Pesan]
•From: Aldi
- ada. Bisa kan? -
•To: Aldi
- oke -
•From: Aldi
- aku jempt -
•To: Aldi
- katnya ketemuan, tp kok di jmpt? -
Balasanku benar-benar terlihat bodoh.
Lima menit tak ada balasan.
Delapan menit..
Sepuluh menit..
Duabelas menit...
Enambelas menit..
Dua puluh menit..
BODO AMAT!!!
*
Aku keluar dari kantor pukul enam sore, ku putuskan untuk
meninggalkan pekerjaanku yang masih belum selesai juga. Karena percaya atau
tidak, aku benar-benar sudah tidak sabar dengan acara ketemuan yang di janjikan
oleh Aldi. Jujur, aku masih ingin bersama pria idiot itu.
”(Namakamu)..,”
Jalanan sepi, dan kuputuskan untuk segera menyeberang tapi
langkahku langsung tertahan saat seseorang dari belakang menyuarakan namaku.
Aku memutar badan dan mematung.
Eh?
Pria di hadapanku terlihat sama gugupnya denganku, tapi
suaranya terdengar normal saat berbicara.
”Mau pulang bareng?” Katanya, lalu dia mengedarkan kepala
kebelakangku guna melihat jalanan sepi itu. ”Kayaknya taksi udah nggak ada.”
Aku menengok kebelakang, dan percis seperti apa yang dia
bilang.
”Tapi..,”
”Tenang aja, aku nggak ada niat jahat sama kamu kok,”
Aku tersenyum malu. ”Bukan gitu,”
Tiba-tiba saja garis wajahnya berubah, dan sulit untuk ku
pahami. ”Kamu di jemput sama pacar?”
Dan detik itu juga wajah Aldi menelusup ke dalam kepalaku.
Aku menggeleng aneh. ”Ng..nggak,”
”Oke. Udah selesai main tebak-tebakkannya, jadi kamu mau apa
enggak pulang bareng sama aku?” Sepertinya dia mulai lelah dengan permainan
tebak-tebakan ini.
Kepalaku mengangguk sendiri dan detik berikutnya kurasakan
tangan pria itu merayap ke pergelangan tanganku dan menariknya. Dalam
bayanganku, aku seperti di tarik paksa oleh pria ini, meninggalkan berbagai hal
menyakitkan yang ada di belakang sana. Terdengar tolol, tapi satu hal yang sama
kembali aku terapkan dalam benakku; setan sialan itu tidak pernah berbohong.
*
Setibanya di apartemen, aku tidak mendapatkan Iqbaal. Aku
tidak tahu kemana setan itu menghilang, yang jelas setengah hari tanpa
kehadirannya sedikit membuatku tenang walaupun terbesit di benak kalau aku ingin
bertanya kepadanya tentang kejadian di ruangan pak Roy.
Pukul tujuh malam aku mendapatkan pesan dari Aldi, dia
bilang kalau sebentar lagi dia akan segera datang kesini. Apakah itu tidak
terlalu cepat? Mengingat kalau aku baru saja bernapas legah dari berkas-berkas
aneh di kantor. Akan tetapi, walaupun aku menggerutu, kakiku langsung
melenggang ke kamar mandi. Aku tidak pernah mengerti dengan diriku sendiri dan
aku memang tidak pernah memahami diriku.
”Hai,”
Aldi datang lebih cepat dari perkiraanku. Pria itu datang
tepat setelah aku selesai mengenakan dress hitam selutut dengan bagian punggung
berbentuk V. Aldi yang memintaku agar aku memakai dress pemberiannya ini; dress
yang dia berikan kepadaku sebagai peringatan setahun kami berpacaran. Aku meringis,
bukan karena mengingat dress ini melainkan saat mataku menilik lebih cermat
pakaian yang Aldi kenakan malam ini.
Kemeja hitam berlengan panjang membalut badan atlis Aldi,
lengan kemeja itu sengaja di gulung sampai batas siku, dan jeans senada yang
dikenakannya semakin membuat kepalaku hendak meledak. Aku memang tidak terlalu
ingat dengan hal sepele yang terjadi dalam hidupku, dan sungguh, ini memang
bukan hal sepele yang patut aku lupakan.
Pakaian yang kami kenakan malam ini adalah pakaian yang sama
yang kami kenakan pada malam memperingati satu tahun kami berpacaran.
Tolol.
Aldi menarik lenganku dan hampir saja membuatku terjerembab
karena ketidaklucuan ini masih belum bisa menyadarkanku. Aku kembali di buat
kaget saat aroma parfum Black Code menyeruak masuk ke hidungku, selama beberapa
detik aku terenyak dari fantasi masa lalu ini. Aldi....ugh!
”Kita mau kemana?” Tanyaku setibanya masuk ke dalam Lexus
Silver milik Aldi.
Aldi tidak langsung menjawab, karena sekarang dia sibuk
memasangkan seat belt di badanku dengan benar. Dari jarak sedekat ini aku
nyaris tidak bisa membendung napsu untuk tidak menyentuh pipinya. Tiba-tiba
saja suasana mendadak pahit dan air mata nyaris menetes. Aku masih belum bisa
menerima kenyataan kalau hanya tinggal hitungan hari lagi Aldi akan menjadi
milik gadis lain.
”Nanti kamu bakalan tau.”
Mesin menyala dan mobil langsung melaju dengan sederhana.
Di perjalanan yang hampa ini, kami tidak mengobrol
sedikitpun. Aldi sibuk dengan stir dan fokus matanya hanya ke depan saja. Aku
pun begitu, aku hanya fokus pada keadaan di depan sana dengan tatapan kosong
yang amat menyedihkan.
Aku mengetuk-ngetukwedges karena iseng.
”Itu kayak bukan pemberian aku.” Aldi menatap wedges silver
yang kupakai dari sudut mata.
”Em, ya, bukan, punya kamu ada di apartemen.” Sebisa mungkin
aku terdengar normal, tapi suaraku tidak terdengar seperti yang aku harapkan.
”Aku harap kamu nggak ngebuang hadiah yang pernah aku kasih
ke kamu.” Kata Aldi dengan nada suara yang amat sangat membuatku ingin keluar
dari tempat ini. Sekilas dia menoleh ke arahku hanya untuk melempar senyum.
*
Aku turun dari mobil sedetik setelah Aldi membukakan pintu
untukku. Aku terlalu di buat terkejut dengan keberadaan kami saat ini sampai
tidak sadar kalau perlakuan Aldi barusan juga sama gilanya dengan apa yang ada
di hadapanku sekarang.
Aku menoleh pada Aldi yang berdiri di sebelahku dengan
tatapan minta penjelasan.
Aldi sedikit tersipu. ”Aku cuma mau mengulang sedikit
kenangan,” jelasnya tanpa ragu.
Aku sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran Aldi.
Apa katanya tadi? Dia hanya ingin sedikit mengulang kenangan? Lucu sekali, di
saat aku berusaha melupakan kenangan bersamanya selama ini tapi dengan
gampangnya malam ini dia menunjukannya lagi padaku.
”Al,” suaraku terdengar lirih, dan aku terkejut dengan
terangkatnya kepala Aldi secara cepat. ”Kayaknya aku nggak bisa, aku
belum—maaf,” aku kesulitan mencari kalimat yang benar, aku menunduk menahan
sekuat mungkin agar air mata tak jatuh.
”(Namakamu),” panggil Aldi merasa bersalah. ”Aku cuma mau
malam ini kamu jadi milik aku.”
Kepalaku terangkat, merasa tak mengerti dengan kalimat yang
barusan keluar dari mulut Aldi.
”Aku nggak ngerti,” kataku jujur.
Senyum tiba-tiba mengembang di wajah Aldi. ”Nanti kamu
bakalan ngerti. Setelah ini aku bakalan jelasin semuanya sama kamu.” Kemudian
aku merasakan jemari tangan Aldi menyelusup di setiap jemari tangan kananku,
dia menggengam tanganku, percis seperti tiga tahun yang lalu, menggenggamnya
seolah-olah tak ingin kehilangannya.
Dan kami melangkah bersama percis seperti sepasang kekasih
menuju rumah makan yang terletak di pinggir pantai, yang ada di hadapan kami.
Orang-orang menatap ke arah kami dengan tatapan iri, seolah kami adalah
sepasang kekasih yang bahagia, saling melengkapi satu sama lain tanpa tahu
kalau di setiap detik pergerakan jarum jam ada kepedihan yang tak bisa di
jelaskan.
”Aku nggak ngerti sama tujuan kamu,” agaknya aku masih belum
bisa main rahasia-rahasian dalam keadaan seperti ini. Aku menatap steak di
hadapanku yang masih utuh dengan murung.
Ku lihat tangan Aldi bergerak ke arah steakku dan berusaha
memotongnya lalu menyodorkannya padaku. Sejenak aku memandangnya, semoga saja
ini bukan sebuah sogokan.
”Aa,” perintah Aldi sambil membuka lebar mulutnya. Aku menghela
napas pendek, dan berpikir kalau aku bukanlah gadis sialan yang suka merajuk
berlama-lama kepada kekas—mantan, oke, lupakan saja, jadi ku buka mulutku dan
mengigit daging nyaris gosong itu pelan-pelan.
Aldi tersenyum lebar, dan, ah, tentu saja, jantungku
berdebar tak karuan melihat senyuman itu.
”Aku kira kamu dimana, dari tadi aku nyariin kamu, eh,
ternyata kamu disini sama mantan kamu, kan udah aku bilang kamu harus move on
dan berbaur sama temen--temen kamu bukan reuni sama mantan kamu kayak gini,”
(¬˛¬") suara sialan darimana itu...
Aku tersedak, dan Aldi secara spontan menyodorkan tisue
padaku.
”Kenapa?” Tanya Aldi. Aku sedang tidak fokus dengan pria
yang sedang duduk berseberangan denganku, melainkan dengan makhluk entah apa
namanya sedang duduk di sebelah meja kami sambil menompang dagunya dengan
tangan, jari telunjuknya mengetuk-ngetukmeja di hadapannya dengan ekspresi
paling malas yang pernah ku lihat.
”Kamu ngeliatin apa?” Aldi ikut menengok ke meja sebelah
kami yang kosong.
Aku memalingkan wajahku ke Aldi. ”Bu-bukan, bukan apa-apa,”
!!!
Aku nyaris berteriak namun kutahan saat Iqbaal menyampurkan
pasir keminuman cola Aldi.
Tolol.
”Minum pasir nggak bakal bikin dia mati,” kata Iqbaal,
sekarang dia berada di sebelah Aldi, dan entah apa maksudnya, kemudian dia
mengembuskan napasnya ke leher Aldi.
Sinting.
”Berhenti,” gumamku, kurasakan gigiku gemeletukan dan Aldi
langsung mengangkat wajahnya menatapku dengan dahi mengkerut.
”Kamu mau?” Dia menawarkan empal daging pesanannya.
Aku menggeleng kaku, dan Aldi kembali melanjutkan
makanannya, tapi tiba-tiba saja tangan Iqbaal merayap ke kursi Aldi hendak
menariknya. Oh! Apa yang akan dia lakukan.
”Jangan, idiot,” kubuat suarakku agar sepelan mungkin, tapi
Aldi kembali menengadah dan menghentikan aktivitas makanannya.
”Kamu kalau mau nggak usah malu-malu, (namakamu). Aku suapin
ya?” Kuabaikan ucapan Aldi, karena setan sialan itu sudah hendak menarik kursi
gunna untuk menjatuhkan Aldi, dan kulihat dia merapal sebuah kalimat di
mulutnya.
”Bantu aku,” katanya.
Aku tak sempat berpikir karena takut kalau dia akan
mempermalukan Aldi di tempat umum seperti ini, jadi aku mengangguk menyetujui
permintaannya, detik itu juga kurasakan gumpalan daging terjejal ke mulutku dan
Iqbaal menghilang.
(-̩̩-̩̩-̩̩__-̩̩-̩̩-̩̩)
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment