`Somewhere` [8]
by Muhammad Aryanda
— oOo —
”Fie, di sebelah lo..,” (namakamu) mengarahkan telunjuknya
tepat di sebelah Steffie. ”Ada arwah cewek yang gent,” belum sempat (namakamu)
menyelesaikan kalimatnya, Steffie sudah mencak-mencak seperti orang gila, dan
mengambur ke pelukan (namakamu).
Detik itu juga tawa (namakamu) meledak.
Sadar kalau (namakamu) baru saja mengerjainya, Steffie
langsung mencubit pipi gadis itu dan merepet tak jelas.
”Jahanam banget lo, (namakamu), gue udah ampir aja sport
jantung, seneng kan lo ngeliat gue menderita, gue sumpahin ya lo kawin sama
setan!”
Tapi (namakamu) tetap tertawa malah semakin menggelegar.
*
*flashback*
(Namakamu) menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan
tangan kanannya, pukul 14.26.
Waktu itu sedang hujan deras, beruntung (namakamu) sudah
berada di halte sehingga bisa menghindari air hujan. Sudah hampir setengah jam
(namakamu) menunggu bis namun benda kuning besar itu tak kunjung terlihat.
(Namakamu) mendesah, merasakan angin sedingin es menyengat kulitnya, bagaimana
pun cuaca seperti ini sangat menyiksa tubuh (namakamu) yang tak dilapisi oleh
sweter atau jaket tebal. Untuk kesekian kalinya (namakamu) kembali mendesah
kali ini lebih kentara dari sebelumnya, sampai gadis yang duduk di sebelah (namakamu)
menolehkan wajahnya.
Rachel? Kening (namakamu) berkerut dalam, sejak kapan gadis
itu duduk di sebelah kanannya dan kenapa dia hanya diam? (Namakamu)
mengangguk-ngangguk, gadis itu memang gadis yang aneh.
”Mau pulang?” Pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut
(namakamu), sedetik setelah dia mengetahui kalau Rachel duduk di sebelahnya.
Rachel mengangguk, angin yang berembus sesekali meniup
rambut Rachel yang tergerai membuat beberapa helai rambut menutup wajahnya.
Kemudian gadis itu menoleh ke kanan, menatap jalanan yang sudah tertutup oleh
hujan. (Namakamu) tidak tahu apa yang sedang di lihat Rachel, apakah dia juga
seperti (namakamu)? Ketika memikirkan itu, (namakamu) mencoba menoleh ke kanan
lebih detail, jalanan sepi itu sama sekali tidak memperlihatkan apapun.
”Tiga puluh enam,” tiba-tiba (namakamu) mendengar Rachel
meracau tak jelas, suara hujan dan angin membuat (namakamu) tidak bisa
mendengar dengan jelas apa yang gadis itu ucapan. Tapi sekilas dia menangkap
kalau Rachel baru saja bergumam tiga puluh enam, maksudnya? Sudahlah, tidak
penting sama sekali. Yang terpenting saat ini hanyalah bebas dari hujan deras.
Sepuluh menit kemudian (namakamu) mendengar suara derum
mesin dari kejauhan, suara mesin yang (namakamu) yakini berasal dari benda
kuning besar yang dia tunggu sejak tadi. Bis berhenti, (namakamu) dan Rachel
langsung beranjak dari posisi duduk mereka, berlari menembus hujan dengan
pelindung seadanya.
*flashback off*
Hal yang (namakamu) pikirkan saat ini adalah 26+10=36
walaupun itu terkesan sangat di paksakan tapi hanya itu suatu kemungkinan kalau
Rachel memang benar-benar membuktikann apa yang selama ini selalu di tudingkan
orang-orang kepadanya sebagai ejekan. (Namakamu) yakin, banyak kejutan yang
akan (namakamu) dapatkan nantinya.
'Rumahnya yang ada pagar kayu sama pohon besar'
Ucapan Steffie sebelum (namakamu) benar-benar lenyap di bawa
taksi masih tersimpan dengan baik di kepalanya. Dan sekarang (namakamu)
berjalan di sebuah jalan yang kosong akan kendaraan tapi banyak sekali anak-anak
kecil yang bermain, entah itu kejar-kejaran, pukul-pukulan, jambak-jambakan,
atau masak-masakan. (Namakamu) mengetuk-ngetukpermukaan tanah lembab dengan
alas flatshoes sambil menatap ke segala arah, kawasan ini lumayan jauh sama
perkotaan, masih banyak pepohonan yang tumbuh.
”...kata mamaku, aku harus pulang sebelum magrib,”
”Magribkan masih lama!”
”Tapi ini udah hampir gelap, dan magrib itu hampir gelap!”
”Kenapa sih kamu cepet banget pulangnya!”
”Memangnya kamu nggak takut kalau penunggu hutan itu bakalan
nangkep kamu?!”
”Hahahaha, itu cuma bualan orang dewasa supaya anak kecil
kayak kita nggak boleh pulang malam-malam!”
”Tapi gimana sama temen kita, yang hilang di sungai waktu
itu?”
”Dia kan tenggelem karena nggak bisa berenang!”
”Tapi air sungainya cuma selutut aku!”
”Dia nggak bisa berenang!”
Tak ada sahutan lagi, (namakamu) menggeleng-geleng geli
mendengar perdebatan dua orang anak tadi, yang mulutnya seperti orang dewasa,
padahalkan usia mereka paling 7-8 tahun.
Dan di saat seperti ini kenapa tiba-tiba saja muncul sebuah
pertanyaan di kepala (namakamu).
Kenapa gue disini?
Jalanan panjang yang sedaritadi (namakamu) tempuh terputus,
sekarang di hadapan (namakamu) ada banyak sekali rumah-rumah khas desa
pedalaman, rumah yang terbuat dari papan itu hampir terlihat sama. Kerutan
samar terlihat di kening (namakamu), Steffie bilang, yang ada pagar dan pohon
besar, tapi kenapa hampir setiap rumah ada pagarnya ToT.
Pagar kayu. Sepenggal kalimat Steffie bak suara bisikan di
telinga (namakamu). (Namakamu) menatap satu persatu rumah yang bisa di jangkau
oleh matanya, hampir semua rumah terpagar, tapi tidak dengan kayu tapi dengan
bambu-bambu kecil yang tumbuh mengelilingi rumah, atau pun dengan bunga asoka.
Tok! Tok!
(Namakamu) mengetuk pintu rumah yang dia yakini sebagai
rumah Rachel, sesekali (namakamu) melirik ke belakang menatap pohon besar yang
tumbuh di depan rumah ini, dan pagar kayu yang hampir ambruk. Bagaimana mungkin
bisa sang pemilik rumah membiarkan pagarnya tetap seperti itu? Dasar.
Pintu terbuka—setengah, seorang pria paruh bayah dengan
bulu-bulu hitam yang menutupi sekitar mulutnya berada di balik pintu. Tidakkah
dia ingin membuka sepenuhnya? Orang aneh.
”Cari siapa?” Suaranya parau dan tidak bersahabat, membuat
(namakamu) nyaris bergidik ketakutan.
”Saya temennya Rach..,”
”TIDAK ADA RACHEL!”
Suara bantingan pintu dan selaan membuat kalimat (namakamu)
terhenti, pria paruh bayah itu tiba-tiba saja seperti kesetanan saat (namakamu)
menyebut nama Rachel. Pria tua itu mengerang membuat urat-urat di sekitar
lehernya menyembul, kulit wajahnya yang cokelat juga berubah menjadi kemerahan
seiring semakin lama pria tua itu mengerang.
(Namakamu) melangkah mundur dengan sikap waspada dia belum
menunjukan tanda-tanda kalau dia akan segera pergi.
”Siapa kamu?! Apa tujuan kamu datang kemari, dan asal kamu
tahu! Rachel tidak pernah mempunyai seorang teman! Siapa Rachel?! Apa kamu tahu
dimana dia?!!”
Pria tua itu semakin terlihat tidak bisa mengendalikan
emosinya, dan itu membuat (namakamu) takut. (Namakamu) kembali melangkah mundur
saat pria tua itu berteriak menyuruhnya pergi. (Namakamu) baru saja akan
memutar badannya saat punggungnya menabrak seseorang, dengan gerakan cepat
(namakamu) menoleh kebelakang dan mendapati seorang wanita tua berdiri di
belakangnya dengan garis wajah tak bisa dipahami.
”Kamu temennya Rachel?” Suaranya pelan nan halus seperti
lonceng.
(Namakamu) mengangguk ragu. Detik berikutnya, wanita tua itu
mengangkat tangannya dan menudingkan telunjuknya ke arah jalan setapak yang
menuju ke dalam hutan.
”Rachel ada disana,” kata wanita tua itu. ”Saya harap kamu
mau maafin ulah suami saya yang barusan.” Tambahnya.
(Namakamu) melirik kebelakang, dan pria tua itu sudah tiak
ada. ”Ibu, ibunya Rachel?” Tanya (namakamu) was-was, tanpa (namakamu) sadari
suaranya gemetar dan titik-titik keringat mulai bermunculan di keningnya.
Wanita tua itu mengangguk, lalu berjalan masuk ke dalam
rumah, hanya butuh waktu sekitar tiga detik bagi (namakamu) untuk mendengar
suara pintu tertutup.
Gue di usir.
*
(Namakamu) tidak terlalu suka gelap tapi kenapa keadaan
selalu memaksanya menyaksikan kegelapan dengan cara yang amat menakutkan.
(Namakamu) tahu kalau dia sudah sinting dan begitu tolol, malah kalau ada kata
yang melebihi dua kata tadi, maka itu sebutan yang pantas untuknya. (Namakamu)
menatap kebelakang, melirik rumah orang tua Rachel yang benar-benar terlihat
seperti rumah kosong tak berpenghuni sebelum akhirnya kaki (namakamu) menginjak
ke dataran jalan setapak yang akan membawanya ke dalam hutan.
Benar-benar hutan, hanya jalan setapak ini saja yang tidak
di tumbuhi oleh pohon-pohon, selebihnya di sekeliling (namakamu) banyak sekali
pohon-pohon yang (namakamu) tidak ketahui namanya.
(Namakamu) terkesiap, dia hampir saja berteriak saat seorang
anak kecil dengan pakaian yang basah muncul dari balik pohon. Gadis kecil itu
tersenyum manis pada (namakamu).
”Kakak mau kemana?”
Berbicara dengan orang asing bukanlah perkara yang bagus,
tapi ini hanya anak kecil.
”Kamu orang sini kan, dik?”
Gadis kecil itu mengangguk. ”Iya, nama aku Thania.” Dia
memberitahu namanya sebelum (namakamu) bertanya, ciri khas orang desa pada
umumnya.
”Kenal kak Rachel dong?”
Sesaat wajah gadis itu terlihat kebingungan tapi akhirnya
dia mengangguk dengan senyum yang kembali terukir.
”Kata ibunya dia ada disana,” (namakamu) menunjuk ke dalam
hutan dengan asal. Memang seperti itu kan, yang wanita tua itu katakan pada
(namakamu)?
”Oh, iya, kakak mau aku tunjukin jalannya?” Tanpa ditanyapun
(namakamu) akan menyuruh gadis kecil itu menunjukan jalan padanya. ”Oke, ikutin
aku!” Kata gadis itu semangat setelah (namakamu) mengangguk.
*
(Namakamu) sudah berjalan hampir setengah jam tapi gadis
kecil itu tak kunjung berhenti dengan tanda-tanda kalau diia sudah menemukan
dimana posisi Rachel. (Namakamu) mengangkat wajahnya, menatap langit biru yang
mulai padam. Sulit di percaya kalau (namakamu) akan kembali di hadapkan dengan
kegelapan di tempat seperti ini.
”Masih jauh?” Tanya (namakamu) tanpa mengalihkan matanya
dari langit.
”Udah sampai,” serunya.
Cepat-cepat (namakamu) menunduk untuk menatap gadis kecil
itu. ”Mana?”
”Di dalam sana,” telunjuk Thania menuding ke arah gubuk
kecil yang terbuat dari bambu itu. ”Kalau gitu aku balik ya, kak!”
(Namakamu) yang terlalu fokus sampai-sampai mulutnya
menganga karena menatap gubuk jelek yang ada di ujung sana, sampai tidak sadar
kalau Thania sudah berlari meninggalkannya.
”Makas..,” mulut (namakamu) tertahan. Kemana sosok gadis
kecil itu? Sesaat dia termenung menatap tapak basah yang di hasilkan oleh kaki
gadis kecil tadi. Dengan perasaan jengkel setengah mati (namakamu) menggerutu.
”Gue nggak sadar daritadi gue jalan sama setan”
(Namakamu) rasa dia tidak perlu membesarkan perkara kecil
itu karena (namakamu) tahu dia sering mengalami hal gila seperti itu. Tiba-tiba
saja dia teringat sosok Iqbaal, yang ada di apartemennya(?)Benarkah pria itu
ada disana, atau sedang keluyuran?
Angin berembus pelan meniup dedaunan kering hingga terlepas
dari cabangnya, beberapa daun terjatuh di kepala (namakamu) meneteskan
sedikitnya air ke kening (namakamu). Tubuh (namakamu) gemeter sesaat merasakan
betapa dinginnya air itu. Apakah sebentar lagi akan turun hujan? Jangan
bercanda, (namakamu) masih di dalam hutan, seorang diri tanpa dia tahu apakah
di dalam sana ada Rachel atau tidak.
Menghela napas pendek, (namakamu) mengangkat tangannya untuk
mengetuk pintu yang terbuat dari bambu itu, tapi sebelum dia mengetuk pintu,
terdengar suara dari dalam.
”Silahkan masuk,”
Percis seperti yang ada di dalam pikiran (namakamu);
kebanyakan peramal bertingkah seperti ini.
(Namakamu) mendorong pintu dengan pangkal lengannya, lalu
melangkah masuk. Sesaat dia mematung setelah melangkah selangkah, sepasang mata
(namakamu) menatap ke dalam ruangan yang ada di dalam. Permukaan yang bertanah
itu membuat (namakamu) bergidik membayangkan bagaimana kalau dia harus
bermalaman di tempat ini, lalu dinding yang terbuat dari bambu itu terlihat
renggang, tentu saja angin sedingin es kala malam bisa menembus. Kemudian mata
(namakamu) terfokus pada Rachel yang duduk di tengah-tengah ruangan, dengan
kaki yang terjerat oleh rantai.
Astaga! Apa yang terjadi dengan wanita itu.
”Nggak perlu khawatir,” Rachel memberitahu sebelum
(namakamu) sempat menyuarakan pertanyaanya. ”Aku udah memprediksi kedatangan
kamu setahun setelah aku menatap di tempat ini.” (Namakamu) di buat kaget
dengan ucapan Rachel.
”Setahun? Lo—kamu tinggal disini?” Sulit untuk
menyembunyikan ekspresi tak percaya, bagaimana mungkin Rachel tinggal seorang
diri di tempat ini?
”Keluargaku di cemooh oleh banyak orang karenaku, ayahku tak
tahan dan menyuruhku untuk menetap di hutan ini, ibu yang setiap saat datang
untuk memberiku makan. Dan ayah juga yang merantai kakiku, agar aku tidak
kemana-mana. Memangnya siapa yang mau pergi? Aku sedang menunggumu,” Rachel
tertawa pelan, sungguh, dia berbicara tanpa menunjukan kesedihan sedekit pun.
”Apa kamu udah tau maksud kedatanganku?” (Namakamu) mengigit
lidahnya, tidak bisakah dia berbicara normal saja? Ini seperti mendengar Iqbaal
berbicara dengannya.
”Ibaratkan orang yang mati suri, roh di bawa ke alam yang
tak pernah kita ketahui tempatnya, dan ketika dia hidup kembali, dia hanya
mengingat beberapa penggelan kisahnya,”
”Gue nggak ngerti,” (namakamu) mengakui.
”Pikirkan nanti di rumah. Ceritakan padaku lebih detail,”
pinta Rachel ramah.
(Namakamu) terdiam selama beberapa saat, dia bingung harus
menceritakannyadarimana, tapi akhirnya. ”Ada arwah gentayangan yang minta
bantuan sama aku,” kata (namakamu), Rachel tak menunjukan tanda-tanda akan
berbicara, jadi (namakamu) melanjutkan kalimatnya. ”Awalnya aku pikir dia udah
mati, tapi ngeliat dia bisa berkeliaran sesukanya ngebuat aku berpikir kalau
sebenernya dia belum mati. Kamu ngerti?” (Namakamu) rasa penjelasannya sedikit
berbelit-belit.
”Apakah dia di bunuh?” Pertanyaan Rachel sukses membuat
(namakamu) bergidik, dia tak ingin mengingat cerita Iqbaal. Dengan sangat berat
hati (namakamu) mengangguk.
”Dia bilang, seseorang menjerat lehernya sampai dia tidak
bisa bernapas, dan sekarang aku lagi menjalin pertemanan dengan orang yang
melakukan tindakan keji itu.”
”Dia memang belum meninggal. Tidak ada roh yang bisa
benar-benar bertahan begitu lama di dunia. Dia hanya tersesat mencari
tubuhnya.”
(Namakamu) mendesah mengusap wajahnya dengan cepat, entah
kenapa dia senang mengetahui kalau ternyata Iqbaal memang belum sepenuhnya
meninggal. Meskipun beberapa tempo lalu dia sempat memprediksi kalau Iqbaal
memang belum meninggal, tapi kali ini, ketika tahu kalau ada orang yang
berpendapat sama dengannya, rasanya lebih dari sebelumnya.
”Jadi aku harus apa?”
”Mencari jasadnya, dan hanya ada satu orang yang tahu,”
tanpa diberitahupun (namakamu) tahu siapa orang yang di maksud.
”Bagaimana caranya?”
”Ada dua cara; pertama, ikuti terus setiap gerak-gerik
pembunuh itu atau kedua, menanyakan langsung dengannya,” jawab Rachel santai.
”Nggak ada cara lain?” Kedua pilihan sama-sama sulit di
lakukan.
”Ada saat situasi dimana kalian berada dalam satu titik yang
sama, dan bisa memahami satu sama lain, jarak yang dekat di antara kalian akan
membuahkan hasil yang tak terduga, dan bersamaan dengan itu rasa takut
kehilangan akan muncul,” Rachel menjeda kalimatnya untuk menghela napas. ”Sudah
hampir malam, lebih baik kamu pulang, ada sesuatu yang menunggumu di rumah.”
Gadis ini memang penuh kejutan di setiap kalimat yang dia
lontarkan. (Namakamu) menunduk, memikirkan apa sesuatu yang di maksud oleh
Rachel? Dia harap bukan sesuatu yang buruk.
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
Lucky Club Casino Site Review and Rating - LuckyClub.live
ReplyDeleteLucky Club Casino site review · Lucky Club Casino is a licensed online gambling site for the luckyclub UK and Europe countries. · Lucky Club Casino uses SSL encryption. · Lucky