Tuesday, September 29, 2015

Cerbung Somewhere - Part 8



`Somewhere` [8]


by Muhammad Aryanda


— oOo —

”Fie, di sebelah lo..,” (namakamu) mengarahkan telunjuknya tepat di sebelah Steffie. ”Ada arwah cewek yang gent,” belum sempat (namakamu) menyelesaikan kalimatnya, Steffie sudah mencak-mencak seperti orang gila, dan mengambur ke pelukan (namakamu).
Detik itu juga tawa (namakamu) meledak.

Sadar kalau (namakamu) baru saja mengerjainya, Steffie langsung mencubit pipi gadis itu dan merepet tak jelas.
”Jahanam banget lo, (namakamu), gue udah ampir aja sport jantung, seneng kan lo ngeliat gue menderita, gue sumpahin ya lo kawin sama setan!”
Tapi (namakamu) tetap tertawa malah semakin menggelegar.

*
*flashback*
(Namakamu) menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, pukul 14.26.
Waktu itu sedang hujan deras, beruntung (namakamu) sudah berada di halte sehingga bisa menghindari air hujan. Sudah hampir setengah jam (namakamu) menunggu bis namun benda kuning besar itu tak kunjung terlihat. (Namakamu) mendesah, merasakan angin sedingin es menyengat kulitnya, bagaimana pun cuaca seperti ini sangat menyiksa tubuh (namakamu) yang tak dilapisi oleh sweter atau jaket tebal. Untuk kesekian kalinya (namakamu) kembali mendesah kali ini lebih kentara dari sebelumnya, sampai gadis yang duduk di sebelah (namakamu) menolehkan wajahnya.
Rachel? Kening (namakamu) berkerut dalam, sejak kapan gadis itu duduk di sebelah kanannya dan kenapa dia hanya diam? (Namakamu) mengangguk-ngangguk, gadis itu memang gadis yang aneh.
”Mau pulang?” Pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut (namakamu), sedetik setelah dia mengetahui kalau Rachel duduk di sebelahnya.
Rachel mengangguk, angin yang berembus sesekali meniup rambut Rachel yang tergerai membuat beberapa helai rambut menutup wajahnya. Kemudian gadis itu menoleh ke kanan, menatap jalanan yang sudah tertutup oleh hujan. (Namakamu) tidak tahu apa yang sedang di lihat Rachel, apakah dia juga seperti (namakamu)? Ketika memikirkan itu, (namakamu) mencoba menoleh ke kanan lebih detail, jalanan sepi itu sama sekali tidak memperlihatkan apapun.
”Tiga puluh enam,” tiba-tiba (namakamu) mendengar Rachel meracau tak jelas, suara hujan dan angin membuat (namakamu) tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang gadis itu ucapan. Tapi sekilas dia menangkap kalau Rachel baru saja bergumam tiga puluh enam, maksudnya? Sudahlah, tidak penting sama sekali. Yang terpenting saat ini hanyalah bebas dari hujan deras.
Sepuluh menit kemudian (namakamu) mendengar suara derum mesin dari kejauhan, suara mesin yang (namakamu) yakini berasal dari benda kuning besar yang dia tunggu sejak tadi. Bis berhenti, (namakamu) dan Rachel langsung beranjak dari posisi duduk mereka, berlari menembus hujan dengan pelindung seadanya.

*flashback off*
Hal yang (namakamu) pikirkan saat ini adalah 26+10=36 walaupun itu terkesan sangat di paksakan tapi hanya itu suatu kemungkinan kalau Rachel memang benar-benar membuktikann apa yang selama ini selalu di tudingkan orang-orang kepadanya sebagai ejekan. (Namakamu) yakin, banyak kejutan yang akan (namakamu) dapatkan nantinya.
'Rumahnya yang ada pagar kayu sama pohon besar'
Ucapan Steffie sebelum (namakamu) benar-benar lenyap di bawa taksi masih tersimpan dengan baik di kepalanya. Dan sekarang (namakamu) berjalan di sebuah jalan yang kosong akan kendaraan tapi banyak sekali anak-anak kecil yang bermain, entah itu kejar-kejaran, pukul-pukulan, jambak-jambakan, atau masak-masakan. (Namakamu) mengetuk-ngetukpermukaan tanah lembab dengan alas flatshoes sambil menatap ke segala arah, kawasan ini lumayan jauh sama perkotaan, masih banyak pepohonan yang tumbuh.
”...kata mamaku, aku harus pulang sebelum magrib,”
”Magribkan masih lama!”
”Tapi ini udah hampir gelap, dan magrib itu hampir gelap!”
”Kenapa sih kamu cepet banget pulangnya!”
”Memangnya kamu nggak takut kalau penunggu hutan itu bakalan nangkep kamu?!”
”Hahahaha, itu cuma bualan orang dewasa supaya anak kecil kayak kita nggak boleh pulang malam-malam!”
”Tapi gimana sama temen kita, yang hilang di sungai waktu itu?”
”Dia kan tenggelem karena nggak bisa berenang!”
”Tapi air sungainya cuma selutut aku!”
”Dia nggak bisa berenang!”
Tak ada sahutan lagi, (namakamu) menggeleng-geleng geli mendengar perdebatan dua orang anak tadi, yang mulutnya seperti orang dewasa, padahalkan usia mereka paling 7-8 tahun.
Dan di saat seperti ini kenapa tiba-tiba saja muncul sebuah pertanyaan di kepala (namakamu).
Kenapa gue disini?
Jalanan panjang yang sedaritadi (namakamu) tempuh terputus, sekarang di hadapan (namakamu) ada banyak sekali rumah-rumah khas desa pedalaman, rumah yang terbuat dari papan itu hampir terlihat sama. Kerutan samar terlihat di kening (namakamu), Steffie bilang, yang ada pagar dan pohon besar, tapi kenapa hampir setiap rumah ada pagarnya ToT.
Pagar kayu. Sepenggal kalimat Steffie bak suara bisikan di telinga (namakamu). (Namakamu) menatap satu persatu rumah yang bisa di jangkau oleh matanya, hampir semua rumah terpagar, tapi tidak dengan kayu tapi dengan bambu-bambu kecil yang tumbuh mengelilingi rumah, atau pun dengan bunga asoka.
Tok! Tok!
(Namakamu) mengetuk pintu rumah yang dia yakini sebagai rumah Rachel, sesekali (namakamu) melirik ke belakang menatap pohon besar yang tumbuh di depan rumah ini, dan pagar kayu yang hampir ambruk. Bagaimana mungkin bisa sang pemilik rumah membiarkan pagarnya tetap seperti itu? Dasar.
Pintu terbuka—setengah, seorang pria paruh bayah dengan bulu-bulu hitam yang menutupi sekitar mulutnya berada di balik pintu. Tidakkah dia ingin membuka sepenuhnya? Orang aneh.
”Cari siapa?” Suaranya parau dan tidak bersahabat, membuat (namakamu) nyaris bergidik ketakutan.
”Saya temennya Rach..,”
”TIDAK ADA RACHEL!”
Suara bantingan pintu dan selaan membuat kalimat (namakamu) terhenti, pria paruh bayah itu tiba-tiba saja seperti kesetanan saat (namakamu) menyebut nama Rachel. Pria tua itu mengerang membuat urat-urat di sekitar lehernya menyembul, kulit wajahnya yang cokelat juga berubah menjadi kemerahan seiring semakin lama pria tua itu mengerang.
(Namakamu) melangkah mundur dengan sikap waspada dia belum menunjukan tanda-tanda kalau dia akan segera pergi.

”Siapa kamu?! Apa tujuan kamu datang kemari, dan asal kamu tahu! Rachel tidak pernah mempunyai seorang teman! Siapa Rachel?! Apa kamu tahu dimana dia?!!”
Pria tua itu semakin terlihat tidak bisa mengendalikan emosinya, dan itu membuat (namakamu) takut. (Namakamu) kembali melangkah mundur saat pria tua itu berteriak menyuruhnya pergi. (Namakamu) baru saja akan memutar badannya saat punggungnya menabrak seseorang, dengan gerakan cepat (namakamu) menoleh kebelakang dan mendapati seorang wanita tua berdiri di belakangnya dengan garis wajah tak bisa dipahami.
”Kamu temennya Rachel?” Suaranya pelan nan halus seperti lonceng.
(Namakamu) mengangguk ragu. Detik berikutnya, wanita tua itu mengangkat tangannya dan menudingkan telunjuknya ke arah jalan setapak yang menuju ke dalam hutan.
”Rachel ada disana,” kata wanita tua itu. ”Saya harap kamu mau maafin ulah suami saya yang barusan.” Tambahnya.
(Namakamu) melirik kebelakang, dan pria tua itu sudah tiak ada. ”Ibu, ibunya Rachel?” Tanya (namakamu) was-was, tanpa (namakamu) sadari suaranya gemetar dan titik-titik keringat mulai bermunculan di keningnya.
Wanita tua itu mengangguk, lalu berjalan masuk ke dalam rumah, hanya butuh waktu sekitar tiga detik bagi (namakamu) untuk mendengar suara pintu tertutup.
Gue di usir.

*
(Namakamu) tidak terlalu suka gelap tapi kenapa keadaan selalu memaksanya menyaksikan kegelapan dengan cara yang amat menakutkan. (Namakamu) tahu kalau dia sudah sinting dan begitu tolol, malah kalau ada kata yang melebihi dua kata tadi, maka itu sebutan yang pantas untuknya. (Namakamu) menatap kebelakang, melirik rumah orang tua Rachel yang benar-benar terlihat seperti rumah kosong tak berpenghuni sebelum akhirnya kaki (namakamu) menginjak ke dataran jalan setapak yang akan membawanya ke dalam hutan.
Benar-benar hutan, hanya jalan setapak ini saja yang tidak di tumbuhi oleh pohon-pohon, selebihnya di sekeliling (namakamu) banyak sekali pohon-pohon yang (namakamu) tidak ketahui namanya.
(Namakamu) terkesiap, dia hampir saja berteriak saat seorang anak kecil dengan pakaian yang basah muncul dari balik pohon. Gadis kecil itu tersenyum manis pada (namakamu).
”Kakak mau kemana?”
Berbicara dengan orang asing bukanlah perkara yang bagus, tapi ini hanya anak kecil.
”Kamu orang sini kan, dik?”
Gadis kecil itu mengangguk. ”Iya, nama aku Thania.” Dia memberitahu namanya sebelum (namakamu) bertanya, ciri khas orang desa pada umumnya.
”Kenal kak Rachel dong?”
Sesaat wajah gadis itu terlihat kebingungan tapi akhirnya dia mengangguk dengan senyum yang kembali terukir.
”Kata ibunya dia ada disana,” (namakamu) menunjuk ke dalam hutan dengan asal. Memang seperti itu kan, yang wanita tua itu katakan pada (namakamu)?
”Oh, iya, kakak mau aku tunjukin jalannya?” Tanpa ditanyapun (namakamu) akan menyuruh gadis kecil itu menunjukan jalan padanya. ”Oke, ikutin aku!” Kata gadis itu semangat setelah (namakamu) mengangguk.

*
(Namakamu) sudah berjalan hampir setengah jam tapi gadis kecil itu tak kunjung berhenti dengan tanda-tanda kalau diia sudah menemukan dimana posisi Rachel. (Namakamu) mengangkat wajahnya, menatap langit biru yang mulai padam. Sulit di percaya kalau (namakamu) akan kembali di hadapkan dengan kegelapan di tempat seperti ini.
”Masih jauh?” Tanya (namakamu) tanpa mengalihkan matanya dari langit.
”Udah sampai,” serunya.
Cepat-cepat (namakamu) menunduk untuk menatap gadis kecil itu. ”Mana?”
”Di dalam sana,” telunjuk Thania menuding ke arah gubuk kecil yang terbuat dari bambu itu. ”Kalau gitu aku balik ya, kak!”
(Namakamu) yang terlalu fokus sampai-sampai mulutnya menganga karena menatap gubuk jelek yang ada di ujung sana, sampai tidak sadar kalau Thania sudah berlari meninggalkannya.
”Makas..,” mulut (namakamu) tertahan. Kemana sosok gadis kecil itu? Sesaat dia termenung menatap tapak basah yang di hasilkan oleh kaki gadis kecil tadi. Dengan perasaan jengkel setengah mati (namakamu) menggerutu. ”Gue nggak sadar daritadi gue jalan sama setan”
(Namakamu) rasa dia tidak perlu membesarkan perkara kecil itu karena (namakamu) tahu dia sering mengalami hal gila seperti itu. Tiba-tiba saja dia teringat sosok Iqbaal, yang ada di apartemennya(?)Benarkah pria itu ada disana, atau sedang keluyuran?
Angin berembus pelan meniup dedaunan kering hingga terlepas dari cabangnya, beberapa daun terjatuh di kepala (namakamu) meneteskan sedikitnya air ke kening (namakamu). Tubuh (namakamu) gemeter sesaat merasakan betapa dinginnya air itu. Apakah sebentar lagi akan turun hujan? Jangan bercanda, (namakamu) masih di dalam hutan, seorang diri tanpa dia tahu apakah di dalam sana ada Rachel atau tidak.
Menghela napas pendek, (namakamu) mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu yang terbuat dari bambu itu, tapi sebelum dia mengetuk pintu, terdengar suara dari dalam.
”Silahkan masuk,”
Percis seperti yang ada di dalam pikiran (namakamu); kebanyakan peramal bertingkah seperti ini.
(Namakamu) mendorong pintu dengan pangkal lengannya, lalu melangkah masuk. Sesaat dia mematung setelah melangkah selangkah, sepasang mata (namakamu) menatap ke dalam ruangan yang ada di dalam. Permukaan yang bertanah itu membuat (namakamu) bergidik membayangkan bagaimana kalau dia harus bermalaman di tempat ini, lalu dinding yang terbuat dari bambu itu terlihat renggang, tentu saja angin sedingin es kala malam bisa menembus. Kemudian mata (namakamu) terfokus pada Rachel yang duduk di tengah-tengah ruangan, dengan kaki yang terjerat oleh rantai.
Astaga! Apa yang terjadi dengan wanita itu.
”Nggak perlu khawatir,” Rachel memberitahu sebelum (namakamu) sempat menyuarakan pertanyaanya. ”Aku udah memprediksi kedatangan kamu setahun setelah aku menatap di tempat ini.” (Namakamu) di buat kaget dengan ucapan Rachel.
”Setahun? Lo—kamu tinggal disini?” Sulit untuk menyembunyikan ekspresi tak percaya, bagaimana mungkin Rachel tinggal seorang diri di tempat ini?
”Keluargaku di cemooh oleh banyak orang karenaku, ayahku tak tahan dan menyuruhku untuk menetap di hutan ini, ibu yang setiap saat datang untuk memberiku makan. Dan ayah juga yang merantai kakiku, agar aku tidak kemana-mana. Memangnya siapa yang mau pergi? Aku sedang menunggumu,” Rachel tertawa pelan, sungguh, dia berbicara tanpa menunjukan kesedihan sedekit pun.
”Apa kamu udah tau maksud kedatanganku?” (Namakamu) mengigit lidahnya, tidak bisakah dia berbicara normal saja? Ini seperti mendengar Iqbaal berbicara dengannya.
”Ibaratkan orang yang mati suri, roh di bawa ke alam yang tak pernah kita ketahui tempatnya, dan ketika dia hidup kembali, dia hanya mengingat beberapa penggelan kisahnya,”
”Gue nggak ngerti,” (namakamu) mengakui.

”Pikirkan nanti di rumah. Ceritakan padaku lebih detail,” pinta Rachel ramah.
(Namakamu) terdiam selama beberapa saat, dia bingung harus menceritakannyadarimana, tapi akhirnya. ”Ada arwah gentayangan yang minta bantuan sama aku,” kata (namakamu), Rachel tak menunjukan tanda-tanda akan berbicara, jadi (namakamu) melanjutkan kalimatnya. ”Awalnya aku pikir dia udah mati, tapi ngeliat dia bisa berkeliaran sesukanya ngebuat aku berpikir kalau sebenernya dia belum mati. Kamu ngerti?” (Namakamu) rasa penjelasannya sedikit berbelit-belit.
”Apakah dia di bunuh?” Pertanyaan Rachel sukses membuat (namakamu) bergidik, dia tak ingin mengingat cerita Iqbaal. Dengan sangat berat hati (namakamu) mengangguk.
”Dia bilang, seseorang menjerat lehernya sampai dia tidak bisa bernapas, dan sekarang aku lagi menjalin pertemanan dengan orang yang melakukan tindakan keji itu.”
”Dia memang belum meninggal. Tidak ada roh yang bisa benar-benar bertahan begitu lama di dunia. Dia hanya tersesat mencari tubuhnya.”
(Namakamu) mendesah mengusap wajahnya dengan cepat, entah kenapa dia senang mengetahui kalau ternyata Iqbaal memang belum sepenuhnya meninggal. Meskipun beberapa tempo lalu dia sempat memprediksi kalau Iqbaal memang belum meninggal, tapi kali ini, ketika tahu kalau ada orang yang berpendapat sama dengannya, rasanya lebih dari sebelumnya.
”Jadi aku harus apa?”
”Mencari jasadnya, dan hanya ada satu orang yang tahu,” tanpa diberitahupun (namakamu) tahu siapa orang yang di maksud.
”Bagaimana caranya?”
”Ada dua cara; pertama, ikuti terus setiap gerak-gerik pembunuh itu atau kedua, menanyakan langsung dengannya,” jawab Rachel santai.
”Nggak ada cara lain?” Kedua pilihan sama-sama sulit di lakukan.
”Ada saat situasi dimana kalian berada dalam satu titik yang sama, dan bisa memahami satu sama lain, jarak yang dekat di antara kalian akan membuahkan hasil yang tak terduga, dan bersamaan dengan itu rasa takut kehilangan akan muncul,” Rachel menjeda kalimatnya untuk menghela napas. ”Sudah hampir malam, lebih baik kamu pulang, ada sesuatu yang menunggumu di rumah.”
Gadis ini memang penuh kejutan di setiap kalimat yang dia lontarkan. (Namakamu) menunduk, memikirkan apa sesuatu yang di maksud oleh Rachel? Dia harap bukan sesuatu yang buruk.

Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

1 comment:

  1. Lucky Club Casino Site Review and Rating - LuckyClub.live
    Lucky Club Casino site review · Lucky Club Casino is a licensed online gambling site for the luckyclub UK and Europe countries. · Lucky Club Casino uses SSL encryption. · Lucky

    ReplyDelete

Situs terkait