`Somewhere` [2]
Muhammad Aryanda
—OoO—
”Kalian sudah merusak kebahagiaan keluarga kami! Dan kalian
juga harus merasakannya! Ayah dan ibumu harus merasakan bagaimana rasanya di
tinggalkan oleh seseorang yang paling dia cintai!” Geram Karel semakin membabi
buta, pukulan terakhirnya berhasil membuat Iqbaal jatuh.
Dalam keadaan seperti ini, memori yang mengingatkan kejadian
masa lalu malah terputar di kepala Iqbaal. Saat dia dan Karel satu SMP, dulu
Karel sering di kucilan karena laki-laki itu lebih sering menyendiri dengan
buku di perpustakaan daripada bergabung dengan teman-teman lainnya, tapi dengan
senang hati Iqbaal melindungi Karel dari segala hinaan yang terlontar dari
teman-teman mereka. Menemani Karel membaca buku sampai malam karena pada saat
itu Karel dimarahi habis-habisan oleh ayahnya karena peringkatnya yang menurun,
Karel ini penakut, jadi Iqbaal selalu bersamanya. Dan yang paling tak
terlupakan dari segala tindakkan yang pernah Iqbaal lakukan untuk Karel adalah
dengan menolong Karel dari serangan kakak kelas mereka sewaktu SMA, Iqbaal
harus di larikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan atas hidungnya yang
pecah akibat pukulan dari tongkat bisbol.
Tapi semua itu sepertinya sudah berlalu dan sudah
terlupakan.
*
Iqbaal dalam keadaan setengah sadar, dia tidak tahu apa yang
sedang terjadi dengannya, tapi badannya seolah terasa perih, tubuhnya sulit
bergerak dan pandangannya sangat kabur. Walaupun dia begitu sulit menerawang,
tetapi dia masih yakin kalau dia masih berada di gedung tak berpenghuni itu.
”Akh!” Ringisan itu keluar begitu saja tanpa
sepengetahuannya. Ketika Iqbaal mencoba menggerakkan tangannya, tangannya
tidak bergerak hanya menghasilkan suara dentingan aneh.
”Sudah sadar?” Suara itu, Iqbaal mencoba mencari-cari dimana
asal suara itu, tapi tetap saja pandangannya sangat kabur. ”Tapi sayangnya
sebentar lagi matamu akan tertutup lagi. Maksudku tertutup untuk
selama-lamanya.”
Jantung Iqbaal berdebar, apa maksudnya? Suara itu, suara
Karel kan? Ya, Iqbaal tidak mungkin salah dan dia sangat yakin kalau suara itu
milik Karel. Karel ingin membunuhnya? Demi tuhan Iqbaal semakin tidak percaya
dengan kenyataan ini.
Seseorang meremas rambutnya, lalu menyodorkan sebuah ponsel.
”Katakan selamat tinggal pada ayahmu.”
”Hallo?.. Iqbaal..” Suara di sebrang sana milik ayahnya,
Iqbaal bisa merasakan sebuah nada kekhawatiran dari suara ayahnya. Dia tidak
tahu harus berbuat apa, mulutnya sangat sulit di gerakan bahkan untuk
mengembuskan napas saja sulit. Mulutnya terus bergetar tanpa henti, bukan hanya
itu, Iqbaal baru sadar kalau seluruh tubuhnya bergetar hebat. Apa yang terjadi
dengannya selama dia pingsan? Pingsan? Sepertinya itu perumpaan yang tepat.
Karel memukul kepala Iqbaal dengan ponsel yang berada dalam
genggamannya. Iqbaal meringis tapi tidak bisa melawan.
Semenit berlalu menyadarkan Iqbaal dalam kelingllungan ini.
Iqbaal baru sadar gerakkannya yang terbatas itu di sebabkan dari rantai-rantai
yang menjerat tangan dan kakinya, dan yang membuat Iqbaal sama sekali tidak
menyangka adalah lehernya juga ikut terjerat.
Tiba-tiba—Iqbaal tidak bisa bernapas, belasan remaja yang
masih mengisi gedung ini serempak menarik rantai-rantai yang menjerat leher,
tangan dan kakinya. Iqbaal benar-benar tidak bisa bernapas, seluruh tubuhnya
bergetar, terguncang seolah membutuhkan oksigen. Benar, Iqbaal membutuhkan
oksigen. Apa ini yang dinginkan Karel? Membunuh Iqbaal dengan cara perlahan
agar Iqbaal merasakan betapa sakitnya melewati masa-masa kritis. Tidak, ini
bahkan lebih parah, kau seperti di larang bernapas dan saat kau ingin menghirup
udara tenggorokanmu sudah sobek.
Semua terasa gelap, tidak ada lagi wajah Karel di
hadapannya, gedung jelek ini sudah tidak terlihat lagi, kulit Iqbaal terasa
kebas bahkan kalaupun sebuah truk menabrak dirinya saat ini, dia tidak akan
merasakan sakit. Apa itu sakit?
*
Dua bulan kemudian.
Pagi ini langit terlihat sangat cerah nyaris tak ada goresan
kapas di atas sana, sebulan yang terlalu mendung itu terlewati begitu saja dan
sekarang kota ini kembali di sinari oleh cahaya mentari. Orang-orang akan
sangat rela menghabiskan paginya yang mengantuk itu untuk menikmati sengatan
dari cahaya matahari.
(Namakamu) baru saja selesai memakai wedges pemberian
Aldi—mantan kekasihnya. Hadiah ulang tahun untuk dirinya. Ketika selesai
memakainya, (namakamu) beranjak berdiri lalu memutar badannya untuk mengunci
apartemen yang sudah lama sekali menjadi tempat kediamannya.
(Namakamu) tinggal seorang diri di kota besar metropolitran
ini, kedua orang tuanya berada di bandung sementara dia kuliah di kota ini dan
baru-baru ini selesai, dan seminggu yang lalu dia di terima bekerja di salah
satu perusahaan terkenal di Jakarta. Wedges berhak tujuh sentimeter itu
membuatnya terkesan lebih tinggi, sebenarnya (namakamu) enggan memakai sepatu ini,
tapi berkali-kali bertemu dengan Aldi, laki-laki itu selalu menanyai tentang
sepatu pemberiannya. Mantan kekasihnya itu sangat aneh dan tidak pernah tetap
pendirian, kalau melihat sifat Aldi yang sekarang, orang-orang akan mengira
(namakamu) lah yang telah mengakhiri hubungan mereka, padahal kenyataanya Aldi
yang meninggalkan (namakamu) demi gadis lain.
Aldi memang mengakhiri hubungan dengan damai; secara
terang-terangandia mengatakan kepada (namakamu) kalau dia mencintai gadis lain,
tapi sungguh, kejujurannya itu membuat (namakamu) semakin mencintainya
sekaligus merasakan kesakitan secara bersamaan.
(Namakamu) menghirup banyak-banyak udara segar pagi ini,
benar-benar segar dan mampu di terima langsung oleh paru-parunya. (Namakamu)
sudah tiba di persimpangan jalan pertama dekat apartemennya. Sambil menunggu
lampu merah dia mengambil kaca yang selalu tersimpan di tas kulitnya yang saat
ini sedang dia selempangkan di bahu kiri, (namakamu) melihat wajah ayu di
hadapannya dengan bibir tipis yang merona.
Selesai menata rambut dan wajahnya, (namakamu) yang masih
berdiri di sebuah zebra cross mengamati orang-orang di sekitarnya, mereka juga
sedang menunggu menyerbang, seperti (namakamu). Namun di antara mereka ada
seorang laki-laki yang tampak aneh. Pertama-tama (namakamu) pikir laki-laki itu
memakai masker, tapi wajahnya tampak kabur dan sungguh pucat, (namakamu)
mencoba mengamatinya tapi wajahnya sama sekali tidak berubah. (Namakamu) bahkan
tidak bisa mengenali wajahnya, dimana hidung, mata, dan telinganya. Anehnya,
orang-orang di sekitarnya tampak mengacuhkan laki-laki itu walaupun wajahnya
tampak mengerikan.
Lampu merah menyala.
Mobil-mobil berhenti dan orang-orang menyebrang. Begitupula
dengan (namakamu), namun (namakamu) mencoba menjauhi laki-laki aneh, yang
sepertinya semakin mendekatinya. Laki-laki itu berjalan di sebelah kanan zebra
cross hingga sebisa mungkin (namakamu) berjalan disisi sebelah kirinya. Namun
justru laki-laki itu pindah ke sisi yang sama dengan (namakamu).
Wajah laki-laki itu semakin menakutkan ketika mendekat. Di
suatu titik mereka berjalan berdampingan. (Namakamu) terus berjalan, malah
terkesan berlari tapi laki-laki itu semakin mempercepat langkahnya seolah
mengikuti (namakamu). Ya, dia mengikuti (namakamu).
Tubuh (namakamu) terbujur kaku, begitu dia sadar kalau
laki-laki itu sudah berada di belakangnya dan berbisik. ”Aku tahu kamu bisa
melihatku.”
-o0o-
(Namakamu) tahu sekarang dia pasti masih sedang tertidur
pulas di tempat tidurnya dan sedang bermimpi buruk. Tolong bangunkan aku!
(Namakamu) terduduk di kursi kerja biasanya yang menghadap ke monitor yang
memperlihatkan worksheet kerjanya yang belum sama sekali dia kerjakan.
(Namakamu) duduk bergeming sambil sesekali menampar pelan pipinya. Ini mimpi!
Ini mimpi! Tolong siapa saja bangunkan dia!
(Namakamu) tidak sadar kalau itu semua secara
sepengetahuannya sudah dia suarakan, orang-orang yang berlalu-lalang melintasi
biliknya menoleh dengan alis mengernyit, seolah berkata 'Cantik-cantik gila'
bukan itu saja bahkan di ruangan ini ada beberapa kepala menyembul untuk
mencari sumber suara—milik (namakamu) tentunya.
Monitor redup dan komputernya tiba-tiba saja mati.
(Namakamu) gelagapan, mati lampu? Lucu sekali di sebuah perusahaan besar dan
ternama ini bisa mati lampu juga. (Namakamu) mendengus dan dia berniat untuk
keluar dari biliknya, tapi saat melihat tidak ada karyawan yang beranjak dari
bilik mereka ataupun tanda-tanda kekesalan karena mati lampu.
(Namakamu) membungkuk untuk menekan tombol turn on di CPU
komputer, tapi niatnya langsung terurungkan saat sepasang matanya mendapati
laki-laki dengan kemeja putih kotor duduk di kursi kerjanya. Mata (namakamu)
melebar, tangannya gemetaran untuk menutup mulutnya.
”AAaa!!”
(Namakamu) memutar badannya, tanpa banyak pikir dia berlari
meninggalan ruangan ini. Mengabaikkan segala pandangan mengernyit yang
menghujam ke arahnya. Dentingan lift mendukung kekacauan yang sedang (namakamu)
alami, sekali lagi tanpa banyak pikir dia membungkuk untuk melepas wedges yang
sama sekali tidak mendukungnya untuk berlari. (Namakamu) masuk ke dalam lift
dengan napas tersengal-sengal, untungnya dia hanya sendiri di dalam sini.
Berselang beberapa detik, pintu lift terbuka membawa (namakamu) ke lantai
dasar. Sejurus kemudian (namakamu) kembali berlari menelusuri lobi dengan
sepasang wedges yang dia jinjing.
(Namakamu) menyetop taksi yang pertama kali melintas di
depannya, kemudian masuk dan menggerutu tidak jelas. Sopir itu mengangguk
pertanda mengerti walaupun terheran-heran melihat wajah penumpangnya di banjiri
oleh keringat, napas yang tersengal-sengal terlebih lagi gadis itu
terbatuk-batuk.
”Aku bakalan ngikutin kamu terus sampai kamu mau nolongi
aku.”
(Namakamu) sudah tidak bernapas lagi, dia tidak berani
menoleh ke sebelah kanannya, tempat dimana sumber suara tersebut.
”Pak! Pak! Berhenti disini!” Perintah (namakamu) sambil
menepuk-nepuk pundak sopir itu, sekali lagi sopir ini di buat heran dengan
tingkah (namakamu). Tapi dia menghentikan taksinya, (namakamu) mengambil uang
dalam sakunya lalu menyodorkan kepada sopir taksi itu.
(Namakamu) berada di pinggir jalan, pedagang kaki lima yang
berjualan di sekitar situ memandang (namakamu) dengan kening berkerut, mungkin
mereka pikir ini seperti sinetron. Sang penumpang tidak ada uang lalu sang
sopir menuruninya di tengah jalan. (Namakamu) berjalan setengah berlari, yang
semakin membuat orang-orang memandangnya miris adalah kakinya yang jenjang
tanpa alas.
”Mau sampai kapan kamu menghindar dari aku.” Suara itu
begitu halus, lembut seperti buludru dan terdengar jelas di telinga (namakamu).
Repleks (namakamu) menoleh ke sebelah kirinya lalu melayangkan sebelah
wedgesnya. Bodoh, ya, (namakamu) baru menyadari kalau dia bodoh saat wedges itu
melayang ke jalan yang di penuhi oleh belasan mobil-mobil lalu wedgesnya menghantam
salah satu kendaraan.
(Namakamu) memekik kemudian dia langsung berlari.
”Hei, berhenti, kamu hanya membuang-buang tenaga kamu,”
suara itu terdengar lagi, (namakamu) bisa merasakan kalau laki-laki itu
mengikutinya dari sebelah kanan. ”Aku cuma mau kamu tolongi aku, cuma itu.”
Tapi (namakamu) mengabaikankan,dia terus berlari sampai
kakinya membawa ke taman kota. Tempat ini tidak sedang ramainya pengunjung
membuat (namakamu) dengan leluasa berteriak kalau-kalau mendengar suara
laki-laki aneh tak berwajah itu, kalau saja ada orang waras yang melihat
(namakamu) saat ini pasti dia akan segera menghubungi rumah sakit jiwa terdekat
atau melaporkan kepada polisi yang sedang bertugas di jalanan, tapi sayang
sedari tadi yang melihat (namakamu) sambil terkekeh adalah orang yang tidak
punya nilai kewarasan. Dia duduk selonjoran di bawah pohon.
”Jangan ganggu gue!” Suara (namakamu) yang sekarang hanya
berupa desahan sengau, dia tidak tahu kenapa suaranya bisa seperti ini, mungkin
karena satu jam belakang ini dia terus berteriak tanpa memperdulikan pita
suaranya yang sudah mengeluh.
Tiba-tiba saja, langkah (namakamu) tidak terkesan berlari
lagi malah sepertinya gadis ini sudah tidak melangkah lagi. Sepasang matanya
menatap kosong sesuatu yang berada tak jauh di hadapannya, sepasang muda-mudi
duduk bersamaan dengan tangan sang laki-laki yang merengkul bahu gadisnya. Lalu
tiba-tiba saja laki-laki itu beranjak dari duduknya, mengecup kening gadisnya
kemudian kedua lututnya bertumpuh pada permukaan berumput.
Sebuah kotak kecil yang kemudian terbuka memperlihatkan
sebuah benda bekilauan karena tertimpa cahaya matahari. Laki-laki di ujung sana
tersenyum bangga, dan gadis itu sepertinya sedang terharu, dia menangis
sesegukan. (Namakamu) menunduk, melirik sebelah wedgesnya yang tersisa.
”Semua laki-laki itu sama aja! Brengsek! Muka dua! otak
sempit! Banyak omong! Gak bisa pegang janji! Sok tulus padahal tukang ingkar!
Tapi gue gatau besok apalagi!” (Namakamu) terus menggerutu di sepanjang jalan,
wedges yang masih dalam genggamannya itu dia hempaskan. (Namakamu) tersenyum
kecut ketika melihat wedges itu masuk ke dalam keranjang sampah. ”Wahai wanita
menjauhlah engkau dari benda menjijikan yang bernama 'mantan' dia itu seperti
virus yang mematikan!” (Namakamu) terus mendumel, atau lebih tepatnya
berkhotbah. Seketika saja dia langsung lupa sosok laki-laki aneh yang
mengikutinya.
(Namakamu) menghampiri sebatang pohon besar yang amat subur,
kemudian merapatan punggungnya lalu merosot. Aldi, laki-laki itu memang tidak
pernah konsisten! Labil! Dungu! Kemarin dia bilang kepada (namakamu) kalau dia
akan kembali kepelukan (namakamu) dan meninggalkan gadis yang
bernama—(namakamu) sudah lupa siapa nama gadis jalang itu.
Tanpa sadar jari-jari tangan (namakamu) merayap kepipinya,
menyeka air mata yang sudah membentuk aliran sungai. Buat apa menangis sih?
Sebenarnya (namakamu) tidak menangis untuk Aldi, tapi usahannya selama ini
untuk melupakan Aldi seketika saja hancur saat kemarin Aldi datang menemuinya
untuk mengatakan 'aku sadar, aku cuma cinta dan sayang sama kamu, kamu maukan
nunggu aku. Aku janji bakalan balik lagi sama kamu'
Shit!
Sesuatu yang aneh, pucat hinggap di hadapan (namakamu).
(Namakamu) memekik dan ingin berteriak, tapi niatnya langsung terurungkan saat
melihat kembali sosok itu dengan rinci.
Mata, hidung dan telinganya, kini sudah di posisi yang
benar. Wajahnya tidak kabur lagi walau masih sepucat mayat dan tetap saja
mengerikan.
”Itu tadi pacar kamu? Dia selingkuhin kamu? Apa dia itu
mantan kamu tapi kamu masih cinta?” Pertanyaan itu meluncur terus tanpa
memikirkan perasaan (namakamu) yang sekarang sudah mulai hancur
berkeping-keping.
Pertanyaan ketiga sepertinya benar dan mampu membuat dada
(namakamu) retak hendak pecah. Aduh, kenapa di saat seperti ini (namakamu)
malahh bermelow drama sih.
(Namakamu) bangkit sambil menyeka air matanya. ”Lo! Ish!
Sotoy! Gue engga cinta sama dia! Gue benci sama dia! Dan lo, gausah sok peduli
sama gue!” Tapi (namakamu) menangis, kali ini terdengar lebih perih.
”Tapi kamu nangis, berarti kamu bohong.” Kata laki-laki itu
jujur.
Sekarang tangisan (namakamu) seperti rengek'an kalau saja
dia bisa menendang wajah laki-laki yang ada di hadapannya itu maka akan
(namakamu) lakukan sekarang.
”Pergi! Jangan ganggu hidup gue!”
Laki-laki itu menunduk. ”Bantuin aku, ya?”
”Gak!”
Kemudian dia kembali menengadah dan menatap lurus wajah
(namakamu). Sejenak (namakamu) terpaku mendapatkan pandangan seperti itu,
wajahnya yang pucat membuat bibir laki-laki itu mengering. Tapi bola matanya
yang indah seolah tak pernah hilang, (namakamu) tertegun saat bola mata itu
menatapnya dengan teduh. Tiba-tiba saja dada (namakamu) merasa kebas untuk
merasakan 'sakit', rasa sakitnya ketika melihat Aldi bersama gadis yang tak
dikenalnya itu langsung luntur tanpa sedikitpun tersisa.
Bersambung...
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment