Wednesday, August 26, 2015

Cerbung Somewhere - Part 2



`Somewhere` [2]

Muhammad Aryanda

—OoO—

”Kalian sudah merusak kebahagiaan keluarga kami! Dan kalian juga harus merasakannya! Ayah dan ibumu harus merasakan bagaimana rasanya di tinggalkan oleh seseorang yang paling dia cintai!” Geram Karel semakin membabi buta, pukulan terakhirnya berhasil membuat Iqbaal jatuh.

Dalam keadaan seperti ini, memori yang mengingatkan kejadian masa lalu malah terputar di kepala Iqbaal. Saat dia dan Karel satu SMP, dulu Karel sering di kucilan karena laki-laki itu lebih sering menyendiri dengan buku di perpustakaan daripada bergabung dengan teman-teman lainnya, tapi dengan senang hati Iqbaal melindungi Karel dari segala hinaan yang terlontar dari teman-teman mereka. Menemani Karel membaca buku sampai malam karena pada saat itu Karel dimarahi habis-habisan oleh ayahnya karena peringkatnya yang menurun, Karel ini penakut, jadi Iqbaal selalu bersamanya. Dan yang paling tak terlupakan dari segala tindakkan yang pernah Iqbaal lakukan untuk Karel adalah dengan menolong Karel dari serangan kakak kelas mereka sewaktu SMA, Iqbaal harus di larikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan atas hidungnya yang pecah akibat pukulan dari tongkat bisbol.
Tapi semua itu sepertinya sudah berlalu dan sudah terlupakan.

*
Iqbaal dalam keadaan setengah sadar, dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dengannya, tapi badannya seolah terasa perih, tubuhnya sulit bergerak dan pandangannya sangat kabur. Walaupun dia begitu sulit menerawang, tetapi dia masih yakin kalau dia masih berada di gedung tak berpenghuni itu.
”Akh!” Ringisan itu keluar begitu saja tanpa sepengetahuannya. Ketika Iqbaal mencoba menggerakkan tangannya, tangannya tidak bergerak hanya menghasilkan suara dentingan aneh.
”Sudah sadar?” Suara itu, Iqbaal mencoba mencari-cari dimana asal suara itu, tapi tetap saja pandangannya sangat kabur. ”Tapi sayangnya sebentar lagi matamu akan tertutup lagi. Maksudku tertutup untuk selama-lamanya.”
Jantung Iqbaal berdebar, apa maksudnya? Suara itu, suara Karel kan? Ya, Iqbaal tidak mungkin salah dan dia sangat yakin kalau suara itu milik Karel. Karel ingin membunuhnya? Demi tuhan Iqbaal semakin tidak percaya dengan kenyataan ini.
Seseorang meremas rambutnya, lalu menyodorkan sebuah ponsel. ”Katakan selamat tinggal pada ayahmu.”
”Hallo?.. Iqbaal..” Suara di sebrang sana milik ayahnya, Iqbaal bisa merasakan sebuah nada kekhawatiran dari suara ayahnya. Dia tidak tahu harus berbuat apa, mulutnya sangat sulit di gerakan bahkan untuk mengembuskan napas saja sulit. Mulutnya terus bergetar tanpa henti, bukan hanya itu, Iqbaal baru sadar kalau seluruh tubuhnya bergetar hebat. Apa yang terjadi dengannya selama dia pingsan? Pingsan? Sepertinya itu perumpaan yang tepat.
Karel memukul kepala Iqbaal dengan ponsel yang berada dalam genggamannya. Iqbaal meringis tapi tidak bisa melawan.
Semenit berlalu menyadarkan Iqbaal dalam kelingllungan ini. Iqbaal baru sadar gerakkannya yang terbatas itu di sebabkan dari rantai-rantai yang menjerat tangan dan kakinya, dan yang membuat Iqbaal sama sekali tidak menyangka adalah lehernya juga ikut terjerat.
Tiba-tiba—Iqbaal tidak bisa bernapas, belasan remaja yang masih mengisi gedung ini serempak menarik rantai-rantai yang menjerat leher, tangan dan kakinya. Iqbaal benar-benar tidak bisa bernapas, seluruh tubuhnya bergetar, terguncang seolah membutuhkan oksigen. Benar, Iqbaal membutuhkan oksigen. Apa ini yang dinginkan Karel? Membunuh Iqbaal dengan cara perlahan agar Iqbaal merasakan betapa sakitnya melewati masa-masa kritis. Tidak, ini bahkan lebih parah, kau seperti di larang bernapas dan saat kau ingin menghirup udara tenggorokanmu sudah sobek.
Semua terasa gelap, tidak ada lagi wajah Karel di hadapannya, gedung jelek ini sudah tidak terlihat lagi, kulit Iqbaal terasa kebas bahkan kalaupun sebuah truk menabrak dirinya saat ini, dia tidak akan merasakan sakit. Apa itu sakit?

*
Dua bulan kemudian.
Pagi ini langit terlihat sangat cerah nyaris tak ada goresan kapas di atas sana, sebulan yang terlalu mendung itu terlewati begitu saja dan sekarang kota ini kembali di sinari oleh cahaya mentari. Orang-orang akan sangat rela menghabiskan paginya yang mengantuk itu untuk menikmati sengatan dari cahaya matahari.
(Namakamu) baru saja selesai memakai wedges pemberian Aldi—mantan kekasihnya. Hadiah ulang tahun untuk dirinya. Ketika selesai memakainya, (namakamu) beranjak berdiri lalu memutar badannya untuk mengunci apartemen yang sudah lama sekali menjadi tempat kediamannya.
(Namakamu) tinggal seorang diri di kota besar metropolitran ini, kedua orang tuanya berada di bandung sementara dia kuliah di kota ini dan baru-baru ini selesai, dan seminggu yang lalu dia di terima bekerja di salah satu perusahaan terkenal di Jakarta. Wedges berhak tujuh sentimeter itu membuatnya terkesan lebih tinggi, sebenarnya (namakamu) enggan memakai sepatu ini, tapi berkali-kali bertemu dengan Aldi, laki-laki itu selalu menanyai tentang sepatu pemberiannya. Mantan kekasihnya itu sangat aneh dan tidak pernah tetap pendirian, kalau melihat sifat Aldi yang sekarang, orang-orang akan mengira (namakamu) lah yang telah mengakhiri hubungan mereka, padahal kenyataanya Aldi yang meninggalkan (namakamu) demi gadis lain.
Aldi memang mengakhiri hubungan dengan damai; secara terang-terangandia mengatakan kepada (namakamu) kalau dia mencintai gadis lain, tapi sungguh, kejujurannya itu membuat (namakamu) semakin mencintainya sekaligus merasakan kesakitan secara bersamaan.
(Namakamu) menghirup banyak-banyak udara segar pagi ini, benar-benar segar dan mampu di terima langsung oleh paru-parunya. (Namakamu) sudah tiba di persimpangan jalan pertama dekat apartemennya. Sambil menunggu lampu merah dia mengambil kaca yang selalu tersimpan di tas kulitnya yang saat ini sedang dia selempangkan di bahu kiri, (namakamu) melihat wajah ayu di hadapannya dengan bibir tipis yang merona.
Selesai menata rambut dan wajahnya, (namakamu) yang masih berdiri di sebuah zebra cross mengamati orang-orang di sekitarnya, mereka juga sedang menunggu menyerbang, seperti (namakamu). Namun di antara mereka ada seorang laki-laki yang tampak aneh. Pertama-tama (namakamu) pikir laki-laki itu memakai masker, tapi wajahnya tampak kabur dan sungguh pucat, (namakamu) mencoba mengamatinya tapi wajahnya sama sekali tidak berubah. (Namakamu) bahkan tidak bisa mengenali wajahnya, dimana hidung, mata, dan telinganya. Anehnya, orang-orang di sekitarnya tampak mengacuhkan laki-laki itu walaupun wajahnya tampak mengerikan.
Lampu merah menyala.
Mobil-mobil berhenti dan orang-orang menyebrang. Begitupula dengan (namakamu), namun (namakamu) mencoba menjauhi laki-laki aneh, yang sepertinya semakin mendekatinya. Laki-laki itu berjalan di sebelah kanan zebra cross hingga sebisa mungkin (namakamu) berjalan disisi sebelah kirinya. Namun justru laki-laki itu pindah ke sisi yang sama dengan (namakamu).
Wajah laki-laki itu semakin menakutkan ketika mendekat. Di suatu titik mereka berjalan berdampingan. (Namakamu) terus berjalan, malah terkesan berlari tapi laki-laki itu semakin mempercepat langkahnya seolah mengikuti (namakamu). Ya, dia mengikuti (namakamu).
Tubuh (namakamu) terbujur kaku, begitu dia sadar kalau laki-laki itu sudah berada di belakangnya dan berbisik. ”Aku tahu kamu bisa melihatku.”


-o0o-
(Namakamu) tahu sekarang dia pasti masih sedang tertidur pulas di tempat tidurnya dan sedang bermimpi buruk. Tolong bangunkan aku! (Namakamu) terduduk di kursi kerja biasanya yang menghadap ke monitor yang memperlihatkan worksheet kerjanya yang belum sama sekali dia kerjakan. (Namakamu) duduk bergeming sambil sesekali menampar pelan pipinya. Ini mimpi! Ini mimpi! Tolong siapa saja bangunkan dia!
(Namakamu) tidak sadar kalau itu semua secara sepengetahuannya sudah dia suarakan, orang-orang yang berlalu-lalang melintasi biliknya menoleh dengan alis mengernyit, seolah berkata 'Cantik-cantik gila' bukan itu saja bahkan di ruangan ini ada beberapa kepala menyembul untuk mencari sumber suara—milik (namakamu) tentunya.
Monitor redup dan komputernya tiba-tiba saja mati. (Namakamu) gelagapan, mati lampu? Lucu sekali di sebuah perusahaan besar dan ternama ini bisa mati lampu juga. (Namakamu) mendengus dan dia berniat untuk keluar dari biliknya, tapi saat melihat tidak ada karyawan yang beranjak dari bilik mereka ataupun tanda-tanda kekesalan karena mati lampu.
(Namakamu) membungkuk untuk menekan tombol turn on di CPU komputer, tapi niatnya langsung terurungkan saat sepasang matanya mendapati laki-laki dengan kemeja putih kotor duduk di kursi kerjanya. Mata (namakamu) melebar, tangannya gemetaran untuk menutup mulutnya.
”AAaa!!”
(Namakamu) memutar badannya, tanpa banyak pikir dia berlari meninggalan ruangan ini. Mengabaikkan segala pandangan mengernyit yang menghujam ke arahnya. Dentingan lift mendukung kekacauan yang sedang (namakamu) alami, sekali lagi tanpa banyak pikir dia membungkuk untuk melepas wedges yang sama sekali tidak mendukungnya untuk berlari. (Namakamu) masuk ke dalam lift dengan napas tersengal-sengal, untungnya dia hanya sendiri di dalam sini. Berselang beberapa detik, pintu lift terbuka membawa (namakamu) ke lantai dasar. Sejurus kemudian (namakamu) kembali berlari menelusuri lobi dengan sepasang wedges yang dia jinjing.
(Namakamu) menyetop taksi yang pertama kali melintas di depannya, kemudian masuk dan menggerutu tidak jelas. Sopir itu mengangguk pertanda mengerti walaupun terheran-heran melihat wajah penumpangnya di banjiri oleh keringat, napas yang tersengal-sengal terlebih lagi gadis itu terbatuk-batuk.
”Aku bakalan ngikutin kamu terus sampai kamu mau nolongi aku.”
(Namakamu) sudah tidak bernapas lagi, dia tidak berani menoleh ke sebelah kanannya, tempat dimana sumber suara tersebut.
”Pak! Pak! Berhenti disini!” Perintah (namakamu) sambil menepuk-nepuk pundak sopir itu, sekali lagi sopir ini di buat heran dengan tingkah (namakamu). Tapi dia menghentikan taksinya, (namakamu) mengambil uang dalam sakunya lalu menyodorkan kepada sopir taksi itu.
(Namakamu) berada di pinggir jalan, pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar situ memandang (namakamu) dengan kening berkerut, mungkin mereka pikir ini seperti sinetron. Sang penumpang tidak ada uang lalu sang sopir menuruninya di tengah jalan. (Namakamu) berjalan setengah berlari, yang semakin membuat orang-orang memandangnya miris adalah kakinya yang jenjang tanpa alas.
”Mau sampai kapan kamu menghindar dari aku.” Suara itu begitu halus, lembut seperti buludru dan terdengar jelas di telinga (namakamu). Repleks (namakamu) menoleh ke sebelah kirinya lalu melayangkan sebelah wedgesnya. Bodoh, ya, (namakamu) baru menyadari kalau dia bodoh saat wedges itu melayang ke jalan yang di penuhi oleh belasan mobil-mobil lalu wedgesnya menghantam salah satu kendaraan.
(Namakamu) memekik kemudian dia langsung berlari.
”Hei, berhenti, kamu hanya membuang-buang tenaga kamu,” suara itu terdengar lagi, (namakamu) bisa merasakan kalau laki-laki itu mengikutinya dari sebelah kanan. ”Aku cuma mau kamu tolongi aku, cuma itu.”
Tapi (namakamu) mengabaikankan,dia terus berlari sampai kakinya membawa ke taman kota. Tempat ini tidak sedang ramainya pengunjung membuat (namakamu) dengan leluasa berteriak kalau-kalau mendengar suara laki-laki aneh tak berwajah itu, kalau saja ada orang waras yang melihat (namakamu) saat ini pasti dia akan segera menghubungi rumah sakit jiwa terdekat atau melaporkan kepada polisi yang sedang bertugas di jalanan, tapi sayang sedari tadi yang melihat (namakamu) sambil terkekeh adalah orang yang tidak punya nilai kewarasan. Dia duduk selonjoran di bawah pohon.
”Jangan ganggu gue!” Suara (namakamu) yang sekarang hanya berupa desahan sengau, dia tidak tahu kenapa suaranya bisa seperti ini, mungkin karena satu jam belakang ini dia terus berteriak tanpa memperdulikan pita suaranya yang sudah mengeluh.
Tiba-tiba saja, langkah (namakamu) tidak terkesan berlari lagi malah sepertinya gadis ini sudah tidak melangkah lagi. Sepasang matanya menatap kosong sesuatu yang berada tak jauh di hadapannya, sepasang muda-mudi duduk bersamaan dengan tangan sang laki-laki yang merengkul bahu gadisnya. Lalu tiba-tiba saja laki-laki itu beranjak dari duduknya, mengecup kening gadisnya kemudian kedua lututnya bertumpuh pada permukaan berumput.
Sebuah kotak kecil yang kemudian terbuka memperlihatkan sebuah benda bekilauan karena tertimpa cahaya matahari. Laki-laki di ujung sana tersenyum bangga, dan gadis itu sepertinya sedang terharu, dia menangis sesegukan. (Namakamu) menunduk, melirik sebelah wedgesnya yang tersisa.
”Semua laki-laki itu sama aja! Brengsek! Muka dua! otak sempit! Banyak omong! Gak bisa pegang janji! Sok tulus padahal tukang ingkar! Tapi gue gatau besok apalagi!” (Namakamu) terus menggerutu di sepanjang jalan, wedges yang masih dalam genggamannya itu dia hempaskan. (Namakamu) tersenyum kecut ketika melihat wedges itu masuk ke dalam keranjang sampah. ”Wahai wanita menjauhlah engkau dari benda menjijikan yang bernama 'mantan' dia itu seperti virus yang mematikan!” (Namakamu) terus mendumel, atau lebih tepatnya berkhotbah. Seketika saja dia langsung lupa sosok laki-laki aneh yang mengikutinya.
(Namakamu) menghampiri sebatang pohon besar yang amat subur, kemudian merapatan punggungnya lalu merosot. Aldi, laki-laki itu memang tidak pernah konsisten! Labil! Dungu! Kemarin dia bilang kepada (namakamu) kalau dia akan kembali kepelukan (namakamu) dan meninggalkan gadis yang bernama—(namakamu) sudah lupa siapa nama gadis jalang itu.
Tanpa sadar jari-jari tangan (namakamu) merayap kepipinya, menyeka air mata yang sudah membentuk aliran sungai. Buat apa menangis sih? Sebenarnya (namakamu) tidak menangis untuk Aldi, tapi usahannya selama ini untuk melupakan Aldi seketika saja hancur saat kemarin Aldi datang menemuinya untuk mengatakan 'aku sadar, aku cuma cinta dan sayang sama kamu, kamu maukan nunggu aku. Aku janji bakalan balik lagi sama kamu'
Shit!
Sesuatu yang aneh, pucat hinggap di hadapan (namakamu). (Namakamu) memekik dan ingin berteriak, tapi niatnya langsung terurungkan saat melihat kembali sosok itu dengan rinci.
Mata, hidung dan telinganya, kini sudah di posisi yang benar. Wajahnya tidak kabur lagi walau masih sepucat mayat dan tetap saja mengerikan.
”Itu tadi pacar kamu? Dia selingkuhin kamu? Apa dia itu mantan kamu tapi kamu masih cinta?” Pertanyaan itu meluncur terus tanpa memikirkan perasaan (namakamu) yang sekarang sudah mulai hancur berkeping-keping.
Pertanyaan ketiga sepertinya benar dan mampu membuat dada (namakamu) retak hendak pecah. Aduh, kenapa di saat seperti ini (namakamu) malahh bermelow drama sih.
(Namakamu) bangkit sambil menyeka air matanya. ”Lo! Ish! Sotoy! Gue engga cinta sama dia! Gue benci sama dia! Dan lo, gausah sok peduli sama gue!” Tapi (namakamu) menangis, kali ini terdengar lebih perih.
”Tapi kamu nangis, berarti kamu bohong.” Kata laki-laki itu jujur.
Sekarang tangisan (namakamu) seperti rengek'an kalau saja dia bisa menendang wajah laki-laki yang ada di hadapannya itu maka akan (namakamu) lakukan sekarang.
”Pergi! Jangan ganggu hidup gue!”
Laki-laki itu menunduk. ”Bantuin aku, ya?”
”Gak!”
Kemudian dia kembali menengadah dan menatap lurus wajah (namakamu). Sejenak (namakamu) terpaku mendapatkan pandangan seperti itu, wajahnya yang pucat membuat bibir laki-laki itu mengering. Tapi bola matanya yang indah seolah tak pernah hilang, (namakamu) tertegun saat bola mata itu menatapnya dengan teduh. Tiba-tiba saja dada (namakamu) merasa kebas untuk merasakan 'sakit', rasa sakitnya ketika melihat Aldi bersama gadis yang tak dikenalnya itu langsung luntur tanpa sedikitpun tersisa.

Bersambung...

Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

No comments:

Post a Comment

Situs terkait