Wednesday, August 26, 2015

Cerbung Somewhere - Part 1



`Somewhere` [1]

Muhammad Aryanda

—OoO—
PROLOG

Aku yakin 99% aku sedang bermimpi. Apa yang harus kuperbuat, apa?
Aku punya cinta tapi aku tak bisa mencintai. Aku tak bisa mengungkapkan kata yang ingin kuucapkan. Cinta itu semakin menjauh, perkataan yang kusimpan membuatku menangis.
Jangan berterima kasih. Aku ingin menyerahkan cintaku padamu, tapi kalau kita merasa asing seperti ini terus apa yang harus kulakukan, apa?

Aku punya cinta tapi aku tak bisa mencintai, aku tak bisa mengungkapkan kata yang ingin kuucapkan. Cinta itu semakin menjauh, perkataan yang kusimpan membuatku menangis
Aku cinta padamu, apa yang harus kulakukan
karena aku cinta padamu? Biarlah cinta ini menyakitkan walau kuhapus cinta terakhir dihidupku. Kaulah yang takkan pernah terhapuskan, walau ini takdir yang menyedikan, aku tak bisa melepasmu.
Aku cinta padamu karena itu kau.
Jika ini benar-benar mimpi, tolong jangan bangunkan aku jika itu hanya membuatmu pergi dan takkan pernah kembali.
oOo
Seorang laki-laki berjalan rusuh di sebuah lobi perusahaan, mengabaikan belasan karyawan yang menyapanya dengan hangat disertai senyuman yang indah atau mungkin bisa di bilang senyuman perayu. Dia terus berjalan mengabaikan, kepalanya fokus ke depan dan tatapanya yang tajam membuat beberapa karyawan di depan sana—yang baru saja keluar dari lift segera menyingkir tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Laki-laki itu masuk, berselang beberapa detik suara dentingan lift menunjukan kalau dia sudah tiba di lantai yang ada di pikirannya. Sedikit membenahkan dasinya yang melenceng, lalu laki-laki itu kembali melangkah—masih dengan wajah dingin, tatapan yang tajam, dan langkah yang amat rusuh atau dengan arti lain, sebenarnya dia tidak ingin berada disini.
Brak!
Seluruh karyawan yang berada diluar ruangan laki-laki itu berjengit setelah mendengar bantingan pintu yang sangat kasar itu. Sebenarnya ini sudah untuk yang kesekian kalinya semenjak laki-laki itu masuk ke dalam bagian perusahaan ini.
Wajahnya sih sangat tampan malah melebihi kata tampan, tapi sifatnya yang sungguh menyebalkan membuat semua karyawati dengan senang hati menyingkir, tapi masih ada beberapa karyawati yang masih mengharapkan sesuatu dari laki-laki tampan itu.
Sekedar..
'hai'
'selamat pagi'
Oh! Mungin tidak perlu seperti itu bagaimana kalau laki-laki hanya tersenyum saja? Ahh, rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang menggelitiki perut para gadis-gadis ini.
”Hallo?!”
”APA?!!” Laki-laki itu sampai beranjak dari kursinya karena mendengar perkataan yang paling menyebalkan dari seseorang di sebrang sana.
”Sekarang?!”
Tutt.. Tutt..
”Damn!”
Wajahnya memerah menahan kesal, rahangnya yang mulus itu seketika dihuni oleh beberapa urat yang menyembul. Ingin sekai dia berteriak mengeluarkan jutaan kata yang tersumbat di tenggorokannya.
Laki-laki itu berdiri lalu melangkah keluar dengan gusar, ternyata ada beberapa karyawati yang berusaha mengintip keadaannya di dalam. Sungguh? Itu terlihat menyebalkan. Tapi Iqbaal tetap saja menanggapinya dengan biasa, dengan wajah dingin serta fokus matanya yang selalu ke depan. Tak ada satupun karyawan disini yang pernah mengobrol dengannya, tapi banyak karyawati yang berusaha bersikap `I'am always there for you`
”Tuan, ada sebuah mobil yang baru saja datang dan seorang supirnya mengatakan kalau dia akan menjemput tuan.” Seorang karyawan menyeimbangi langkah Iqbaal dengan ekspresi paling tolol—tangan saling tergenggam, tatapan sendu, bibir yang bergetar dan wajahnya yang sangat ketakutan.
”Saya bisa berangkat sendiri.” Katanya yang baru saja masuk ke dalam lift untuk kembali ke lantai dasar.
”Tapi, dia bilang ini atas perintah tuan Karel.” Karyawan itu menambahkan dengan takut-takut.
Iqbaal menatapnya garang. ”Dia tidak berhak mengatur saya!” Iqbaal menegaskan, suaranya naik dua oktaf membuat karyawan itu menciut dan lebih memilih diam. ”Dan tolong, jangan panggil saya tuan karena disini saya hanya karyawan biasa. Permisi.”
Pintu lift tertutup dan menghilangkan sosok Iqbaal. Karyawan itu mendengus lalu berbalik meninggalkan lokasi. Walaupun sifat Iqbaal yang menyebalkan tapi dia orang yang sangat sopan, jadi tak ada satupun sifatnya yang kasar atau tatapannya yang dingin yang membekas di benak karyawa-karyawan disini

oOo
Rapat sepagi ini? Itu yang membuat Iqbaal kesal setengah mati saat keluar dari ruangannya. Di tambah lagi atas pemberitahuan salah satu karyawan yang mengatakan ada sopir pribadi yang akan menjemputnya, bukan, bukan itu permasalahannya, tapi saat karyawan itu mengatakan kalau sopir itu hadir atas perintah Tuan Muda Karel.
Angin pagi menyapa wajah Iqbaal saat dia baru saja keluar dari ruangan yang penuh kesesakan itu. Tidak pernah sekalipun dia berpikir untuk bergabung dengan perusahaan milik kakeknya.
Seorang pria paruh bayah menghampirinya.
”Tuan Karel memerintah saya untuk menjemput Anda,” beritahunya kikuk, kentara sekali dia takut melihat ekspresi kesal yang di pancarkan oleh laki-laki yang ada di hadapannya.
”Tidak perlu, saya bisa pergi sendiri.” ucap Iqbaal yang langsung berlalu menuju basement, tapi saat dia menerawang ke basement, dia tidak mendapati mobil miliknya. Kedua tangannya terkepal, lalu berbalik menghadap pria tadi.
Seolah sudah mengerti dengan tatapan itu, pria paruh bayah itu mengatakan sambil menunduk. ”Tuan Karel menyuruh seseorang untuk membawa pulang mobil Anda, lalu dia menyuruh saya untuk menjemput Anda karena mulai detik ini saya adalah supir pribadi Anda—maaf, maksud saya Tuan Muda Iqbaal, begitu katanya.”
Kepalan tangan Iqbaal semakin mengeras, dia sudah muak dengan semua ini dengan tingkah Karel, dengan siapapun yang sudah menjerumuskannya ke dalam semua masalah yang tak seharusnya menjadi miliknya. Pria paruh bayah itu semakin menunduk setelah mendapati kepalan tangan Iqbaal, dia ketakutan, bahunya bergetar sejenak.
Sepertinya tidak ada hal lain yang perlu di permasalahnkan dengan pria tua ini, jadi mau tidak mau, Iqbaal melayangkan langkahnya menuju mobil hitam mengkilap lalu duduk di jok penumpang. Tiba-tiba saja mobil sudah berjalan, Iqbaal tidak ingat kapan pria tua itu melangkah masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Pikirannya sibuk melayang entah kemana-mana.
Perusahaan ini adalah milik Kakeknya, tiga tahun yang lalu Kakeknya meninggal akibat penyakit Hepatitis yang sudah lama mendiami badannya. Semenjak itu perusahaan yang sudah didirikan Kakek selama bertahun-tahun jatuh ke dalam pangkuan ayah Iqbaal, semenjak saat itu hubungan ayah Iqbaal dan adiknya merenggang. Karel yang tak lain adalah anak dari adik ayah Iqbaal—sepupunya itu, mulai di pekerjakan satu setengah tahun yang lalu. Sedangkan Iqbaal baru seminggu yang lalu di pekerjakan itupun karena paksaan ayahnya yang sekarang sudah jatuh sakit dan sekarang berada di rumah sakit.
Seperti halnya Karel dulu, Iqbaal harus memulai dari awal agar menjadi CEO di perusahaan ini untuk menggantikan posisi ayahnya, kalau tidak, perusahaan ini akan di pegang kuasa oleh Karel beserta ayahnya karena Iqbaal adalah anak satu-satunya.
Ini sungguh gila, mereka berdua memperebutkan harta, dan mengasingkan sebuah kata yang begitu bermakna 'persaudaraan'
Mobil yang di tunggangi Iqbaal berhenti di depan gedung yang keadaannya sangat mengkhawatirkan. Pagar yang sangat rapuh mengelilingi bangunan tua itu, dindingnya sudah mengelupas, warna catnya sudah pudar bahkan gedung ini lebih mirip seperti gudang narkoba—tempat dimana orang-orang putus asa berkumpul, berpesta nyaris setiap malam. Hah! Bodoh.
”Tuan Karel ada di dalam,” pria paruh bayah itu memberitahukan dengan hati-hati, agaknya dia masih belum terbiasa dengan sifat dingin atasannya ini.
Seolah tidak mendengar apapun, Iqbaal keluar lalu melenggang dengan langkah yang sangat wibawa. Perlahan namun pasti, pria paruh bayah itu menatapnya takjub, kalaupun dia training sampai satu tahunpun, dia yakin, dia tidak akan bisa melangkah seperti laki-laki itu.
Suara derum mobil terdengar kembali dan semakin lama-semakin menjauh.
Iqbaal berdiri di depan pintu masuk gedung, dia tidak sempat melihat sekitar, tangannya bergerak untuk menyentuh knop pintu, bahkan besi yang dia sentuh sekarang terasa begitu kasar dan berkarat. Pintu itu terdorong menghasilkan suara decitan yang menggema, suara decitan itu sangat menyakitkan di telinga. Saat memasuki ruangan itu, sikap dingin Iqbaal berubah menjadi sikap waspada. Disini tidak ada orang, mungkin Karel berada di ruang lain.
Entah kenapa kaki Iqbaal terus melangkah dan sepasang matanya tak henti-henti menerawang sekitar dengan sikap mengamati dan waspada. Dia merasakan sesuatu yang aneh, lalu Iqbaal menengadah ke atas, debu dari atas berjatuhan tepat di kepalanya. Tempat ini benar-benar sangat mengkhawatiran, dia tidak tahu apa motif Karel dengan menggabungkan masalah proyek baru dengan gedung tua ini? Kalaupun nantinya gedung tua ini akan di renovasi ada baiknya kalau mereka membangun gedung sendiri tanpa sejarah-sejarah aneh yang mungkin saja ada di gedung ini.
Sunyi dan sepi, Iqbaal hanya mendengar suara dengung yang di hasilkan oleh kepalanya. Sepasang matanya masih fokus dengan atap yang bolong, dari bawah sini, Iqbaal bisa melihat lantai dua dari celah yang cukup lebar. Sebenarnya ini tempat apa?
Tidak ada waktu untuk menunggu lebih lama, Iqbaal menjejalkan tangannya ke dalam saku untuk meraih ponselnya lalu menekan dua belas digit nomor Karel. Sejenak ruangan ini terisi oleh suara terhubungnya panggilan.
Satu menit berlangsung, tak ada sama sekali jawaban untuk Iqbaal. Dia mencoba menghubungi Karel untuk kedua kalinya, kalau panggilan ini tidak terjawab juga maka Iqbaal akan segera pergi dari tempat ini. Agaknya dia benar-benar bosan menunggu jawaban dari Karel, tapak sepatu pantofel miliknya sengaja dia ketuk-ketukan ke lantai hingga menghasilkan suara yang menggema—mengisi ruangan ini.
Tak ada jawaban.
Iqbaal memutar badannya sambil memasukan ponselnya ke saku. Dia berjalan sangat santai, kali ini suara langkah sepatunya benar-benar menggema di ruangan ini mengisi telinganya. Karel benar-benar mempermainkannya, dan ini benar-benar tidak lucu kalaupun lucu, dia harus tertawa bagaimana? Maksudnya kalau tertawa sambil memukul wajah Karel itu akan benar-benar dia lakukan.
Dari kejauhan, masih di ruangan ini, suara langkah kaki yang memburu—berlari, menyamarkan suara langkah kaki Iqbaal. Mungkin itu Karel, Iqbaal berbalik untuk memastikan. Tetapi apa yang di harapkan tak sesuai kenyataan, semua berlangsung begitu cepat, seorang laki-laki yang berlari bukanlah Karel. Laki-laki itu menghempaskan tinju tepat di wajah Iqbaal. Iqbaal seperti melayang, terhempas dengan jarak yang cukup jauh, rasa-rasanya punggungnya bergesekan dengan permukaan yang kasar membuat punggungnya terasa perih.
Iqbaal tersungkur, dan mencoba bangkit tapi seseorang lainnya tiba-tiba saja datang dari kejauhan dengan langkah yang sama—berlari, lalu dia kembali merasakan tubuhnya melayang, kali ini sesuatu padat yang terayun sangat kuat menghantap perutnya. Tubuh Iqbaal berguling tak berdaya. Diam sejenak, Iqbaal hanya meresapi kesakitan akibat luka di pelipis dan perutnya, tangannya terkepal ingin membalas, tetapi semua kembali diluar keinginannya.
Saat Iqbaal sudah berdiri dengan tubuh tak seimbang, belasan laki-laki berseragam hitam beserta kacamata hitam yang melekat di masing-masing wajah berdiri mengelilinginya. Bentuk rambut yang sama membuat siapa saja sulit mengenali mereka kalau dalam posisi seperti ini.
Iqbaal terbatuk, mana laki-laki yang memukulnya tadi? Dia mencari-cari dengan linglung. Semua sama, Iqbaal sulit membedakannya, tapi tunggu, dia tidak sedang melakukan pengamatan untuk wajah-wajah laki-laki yang ada di sekelilingnya kan? Yang perlu dia lakukan saat ini adalah bagaimana caranya agar lolos dari mereka. Kalau melawan itu jelas tidak mungkin, jumlah mereka sangat banyak. Iqbaal menyapu pandangannya dan mendapati sedikit celah di antara para laki-laki itu, tanpa banyak pikir, Iqbaal menghentakkan kaki dan berlari sekencang mungkin, kedua tangannya di gunakan untuk menerjang dan memukul siapa saja yang menghalanginya. Semua berjalan lancar sampai saat tibanya di ujung, salah satu dari mereka menendang kakinya membuat Iqbaal kembali tersungkur dan terseret.
Iqbaal terbatuk menyadari atmosfer debu mengelilinginya. Tapi bukan itu yang membuat dia menengadah dan mengerjapkan mata berkali-kali, bukan, bukan debu itu, melainkan sosok laki-laki yang sangat dia kenali berdiri tepat di hadapannya, seolah laki-laki itu sudah melihat semua kejadian yang ada di ruangan ini.
”Karel,” nama itu meluncur begitu saja, ada arti tersendiri di balik ucapannya.
Karel tersenyum miring memandang keadaan Iqbaal, lalu dia menengadah menatap belasan laki-laki yang berada di depannya, dan, mengedipkan mata. Tak lama suara langkah kaki terdengar mendekat, Iqbaal merasakan dua orang laki-laki mendatanginya lalu mencengkram masing-masing bahunya, saat dia sudah berdiri lagi, masing-masing lengannya di cengkram oleh dua orang. Dua di kiri dan dua di kanan.
Karel? Iqbaal sepertinya masih sulit mencerna ini semua. Jangan katakan kalau ini semua adalah tindakkan Karel, atas dasar apa? Dan untuk apa? Apa salah Iqbaal? Masih banyak pertanyaan lainnya di dalam pikiran Iqbaal, tapi begitu saja langsung menghilang saat Karel melangkah mendekatinya.
Tangan Karel menyentuh dagu Iqbaal untuk menengadahkan wajah laki-laki malang ini, di tatapnya Iqbaal tanpa ekspresi, tatapan yang selama ini belum pernah Iqbaal lihat dari seorang Karel. Tapi lama kelamaan sorot mata Karel mengeras, Iqbaal mencoba memandang mata itu lebih dalam dan mendapati sebuah ruangan hitam tanpa gambaran lainnya.
Karel meremas dagu Iqbaal.
Dugh!
Sebelah tangan Karel yang sedari tadi terkepal melayang dan lagi-lagi menghantam perut Iqbaal. Mata Iqbaal tertutup, mulutnya terkatup rapat sekali seolah tidak ingin menyuarakan kesakitan yang dia rasakan saat ini.
Karel memukulnya? Kepala Iqbaal tertunduk meresapi kejadian yang baru saja dia alami.
”Seharunya perusahaan itu jadi milik ayah kalau saja dia engga punya sodara. Sodara yang tidak punya perasaan.” Kata Karel pelan, namun cukup terdengar jelas di ruangan hampa seperti ini.
Seketika saja rahang Iqbaal mengeras dan seluruh tubuhnya bergetar karena marah saat mendengar ucapan Karel.
”Apa maksudmu dengan mengatakan kalau ayahku tidak punya perasaan?! Dasar keparat!” Geram Iqbaal, dia hendak memberontak untuk membenamkan tinju yang sudah mengeras ke wajah Karel, tapi empat orang yang mengapitnya membuat dia sulit bergerak.
Karel tersenyum miring, lagi-lagi sikap yang selama ini tidak pernah Iqbaal lihat dari seorang Karel. ”Ah! Kamu ini sama saja seperti ayahmu, berlagak polos untuk memikat perhatian orang-orang. Dasar penjilat.” Kali ini Karel berkata sambil mondar-mandir di hadapan Iqbaal, Iqbaal menelan ludah dengan susah payah.
Badan Iqbaal bergetar hebat, giginya bergemeletukan dan tangannya semakin terkepal kuat. Karel memperhatikan perubahan Iqbaal dengan pandangan menyipit, sikapnya yang santai berubah waspada.
”Jaga ucapanmu! Dasar tidak tau terima kasih, seharusnya kalian bersyukur karena ayahku mau mempekerjakan dirimu dan ayahmu,” suara Iqbaal kini terdengar lebih lantang. ”Tapi apa balasanmu? Hah? Ayahku bisa kapan saja memberhentikan kalian berdua, maupun dengan alasan rasional atau tidak rasional!” Iqbaal tersenyum mengejek.
Kali ini giliran tubuh Karel yang bergetar, dia menghampiri Iqbaal lalu kembali melayangkan tinju ke perut laki-laki itu.
”Apa maksudmu dengan mengatakan kalau kami harus berterima kasih?! Ibuku meninggal karena ayahmu!”
”Ibumu meninggal karena penyakitnya!”
”Kalau saja waktu itu ayahmu memberi pinjaman uang untuk ayahku, ibuku tidak akan meninggal!”
”Kalau saja ayahmu tidak terlalu banyak memakai uang perusahaan! Ayahku pasti akan meminjamkannya!”
”Ayahmu itu kejam sekali! Dia brengsek! Bajingan! Keparat! Tidak tahu malu! Memangnya hanya dia anak dari kakek? Mana sikap manusiawinya untuk membantu sesama saudara! Katakan padaku!”
”Ayahku menyelamatkan perusahaan itu akibat ulah ayahmu yang mengambil uang perusahaan lalu pergi dan tak kembali, tapi tiba-tiba dia datang dan tau-tau perusahaan sudah kembali berdiri tegak. Dan kalian harus berterima kasih pada ayahku karena masih mau mempekerjakan kalian!” Cengkraman keempat laki-laki yang mengapit Iqbaal terlepas karena amarah yang memuncak, Iqbaal menghentakkan kaki seperti kesetanan lalu menjatuhkan tinjunya ke wajah Karel berkali-kali.
Tidak tinggal diam, keempat laki-laki tadi segera menarik Iqbaal yang tengah menindih Karel—sedang menghujani wajah Karel dengan pukkulan.
”Dasar keparat!” Karel bangkit, kali ini dia dengan leluasa menghujani Iqbaal dengan pukulan-pukulannya tanpa perlawanan. ”Itu tidak ada artinya di bandingkan nyawa ibuku!”
Iqbaal tidak bisa menjawab karena Karel terus memukulnya tanpa henti.
”Kalian sudah merusak kebahagiaan keluarga kami! Dan kalian juga harus merasakannya! Ayah dan ibumu harus merasakan bagaimana rasanya di tinggalkan oleh seseorang yang paling dia cintai!” Geram Karel semakin membabi buta, pukulan terakhirnya berhasil membuat Iqbaal jatuh.
Dalam keadaan seperti ini, memori yang mengingatkan kejadian masa lalu malah terputar di kepala Iqbaal. Saat dia dan Karel satu SMP, dulu Karel sering di kucilan karena laki-laki itu lebih sering menyendiri dengan buku di perpustakaan daripada bergabung dengan teman-teman lainnya, tapi dengan senang hati Iqbaal melindungi Karel dari segala hinaan yang terlontar dari teman-teman mereka. Menemani Karel membaca buku sampai malam karena pada saat itu Karel dimarahi habis-habisan oleh ayahnya karena peringkatnya yang menurun, Karel ini penakut, jadi Iqbaal selalu bersamanya. Dan yang paling tak terlupakan dari segala tindakkan yang pernah Iqbaal lakukan untuk Karel adalah dengan menolong Karel dari serangan kakak kelas mereka sewaktu SMA, Iqbaal harus di larikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan atas hidungnya yang pecah akibat pukulan dari tongkat bisbol.
Tapi semua itu sepertinya sudah berlalu dan sudah terlupakan.

Bersambung...


Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C


No comments:

Post a Comment

Situs terkait