`Somewhere` [1]
Muhammad Aryanda
—OoO—
PROLOG
Aku yakin 99% aku sedang bermimpi. Apa yang harus kuperbuat,
apa?
Aku punya cinta tapi aku tak bisa mencintai. Aku tak bisa
mengungkapkan kata yang ingin kuucapkan. Cinta itu semakin menjauh, perkataan
yang kusimpan membuatku menangis.
Jangan berterima kasih. Aku ingin menyerahkan cintaku
padamu, tapi kalau kita merasa asing seperti ini terus apa yang harus
kulakukan, apa?
Aku punya cinta tapi aku tak bisa mencintai, aku tak bisa
mengungkapkan kata yang ingin kuucapkan. Cinta itu semakin menjauh, perkataan
yang kusimpan membuatku menangis
Aku cinta padamu, apa yang harus kulakukan
karena aku cinta padamu? Biarlah cinta ini menyakitkan walau
kuhapus cinta terakhir dihidupku. Kaulah yang takkan pernah terhapuskan, walau
ini takdir yang menyedikan, aku tak bisa melepasmu.
Aku cinta padamu karena itu kau.
Jika ini benar-benar mimpi, tolong jangan bangunkan aku jika
itu hanya membuatmu pergi dan takkan pernah kembali.
oOo
Seorang laki-laki berjalan rusuh di sebuah lobi perusahaan,
mengabaikan belasan karyawan yang menyapanya dengan hangat disertai senyuman
yang indah atau mungkin bisa di bilang senyuman perayu. Dia terus berjalan
mengabaikan, kepalanya fokus ke depan dan tatapanya yang tajam membuat beberapa
karyawan di depan sana—yang baru saja keluar dari lift segera menyingkir tanpa
mengucapkan sepatah katapun.
Laki-laki itu masuk, berselang beberapa detik suara
dentingan lift menunjukan kalau dia sudah tiba di lantai yang ada di
pikirannya. Sedikit membenahkan dasinya yang melenceng, lalu laki-laki itu
kembali melangkah—masih dengan wajah dingin, tatapan yang tajam, dan langkah
yang amat rusuh atau dengan arti lain, sebenarnya dia tidak ingin berada
disini.
Brak!
Seluruh karyawan yang berada diluar ruangan laki-laki itu
berjengit setelah mendengar bantingan pintu yang sangat kasar itu. Sebenarnya
ini sudah untuk yang kesekian kalinya semenjak laki-laki itu masuk ke dalam
bagian perusahaan ini.
Wajahnya sih sangat tampan malah melebihi kata tampan, tapi
sifatnya yang sungguh menyebalkan membuat semua karyawati dengan senang hati
menyingkir, tapi masih ada beberapa karyawati yang masih mengharapkan sesuatu
dari laki-laki tampan itu.
Sekedar..
'hai'
'selamat pagi'
Oh! Mungin tidak perlu seperti itu bagaimana kalau laki-laki
hanya tersenyum saja? Ahh, rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang
menggelitiki perut para gadis-gadis ini.
”Hallo?!”
”APA?!!” Laki-laki itu sampai beranjak dari kursinya karena
mendengar perkataan yang paling menyebalkan dari seseorang di sebrang sana.
”Sekarang?!”
Tutt.. Tutt..
”Damn!”
Wajahnya memerah menahan kesal, rahangnya yang mulus itu
seketika dihuni oleh beberapa urat yang menyembul. Ingin sekai dia berteriak
mengeluarkan jutaan kata yang tersumbat di tenggorokannya.
Laki-laki itu berdiri lalu melangkah keluar dengan gusar,
ternyata ada beberapa karyawati yang berusaha mengintip keadaannya di dalam.
Sungguh? Itu terlihat menyebalkan. Tapi Iqbaal tetap saja menanggapinya dengan
biasa, dengan wajah dingin serta fokus matanya yang selalu ke depan. Tak ada
satupun karyawan disini yang pernah mengobrol dengannya, tapi banyak karyawati
yang berusaha bersikap `I'am always there for you`
”Tuan, ada sebuah mobil yang baru saja datang dan seorang
supirnya mengatakan kalau dia akan menjemput tuan.” Seorang karyawan
menyeimbangi langkah Iqbaal dengan ekspresi paling tolol—tangan saling
tergenggam, tatapan sendu, bibir yang bergetar dan wajahnya yang sangat
ketakutan.
”Saya bisa berangkat sendiri.” Katanya yang baru saja masuk
ke dalam lift untuk kembali ke lantai dasar.
”Tapi, dia bilang ini atas perintah tuan Karel.” Karyawan
itu menambahkan dengan takut-takut.
Iqbaal menatapnya garang. ”Dia tidak berhak mengatur saya!”
Iqbaal menegaskan, suaranya naik dua oktaf membuat karyawan itu menciut dan
lebih memilih diam. ”Dan tolong, jangan panggil saya tuan karena disini saya
hanya karyawan biasa. Permisi.”
Pintu lift tertutup dan menghilangkan sosok Iqbaal. Karyawan
itu mendengus lalu berbalik meninggalkan lokasi. Walaupun sifat Iqbaal yang
menyebalkan tapi dia orang yang sangat sopan, jadi tak ada satupun sifatnya
yang kasar atau tatapannya yang dingin yang membekas di benak karyawa-karyawan
disini
oOo
Rapat sepagi ini? Itu yang membuat Iqbaal kesal setengah
mati saat keluar dari ruangannya. Di tambah lagi atas pemberitahuan salah satu
karyawan yang mengatakan ada sopir pribadi yang akan menjemputnya, bukan, bukan
itu permasalahannya, tapi saat karyawan itu mengatakan kalau sopir itu hadir
atas perintah Tuan Muda Karel.
Angin pagi menyapa wajah Iqbaal saat dia baru saja keluar
dari ruangan yang penuh kesesakan itu. Tidak pernah sekalipun dia berpikir
untuk bergabung dengan perusahaan milik kakeknya.
Seorang pria paruh bayah menghampirinya.
”Tuan Karel memerintah saya untuk menjemput Anda,”
beritahunya kikuk, kentara sekali dia takut melihat ekspresi kesal yang di
pancarkan oleh laki-laki yang ada di hadapannya.
”Tidak perlu, saya bisa pergi sendiri.” ucap Iqbaal yang
langsung berlalu menuju basement, tapi saat dia menerawang ke basement, dia
tidak mendapati mobil miliknya. Kedua tangannya terkepal, lalu berbalik
menghadap pria tadi.
Seolah sudah mengerti dengan tatapan itu, pria paruh bayah
itu mengatakan sambil menunduk. ”Tuan Karel menyuruh seseorang untuk membawa
pulang mobil Anda, lalu dia menyuruh saya untuk menjemput Anda karena mulai
detik ini saya adalah supir pribadi Anda—maaf, maksud saya Tuan Muda Iqbaal,
begitu katanya.”
Kepalan tangan Iqbaal semakin mengeras, dia sudah muak
dengan semua ini dengan tingkah Karel, dengan siapapun yang sudah
menjerumuskannya ke dalam semua masalah yang tak seharusnya menjadi miliknya.
Pria paruh bayah itu semakin menunduk setelah mendapati kepalan tangan Iqbaal,
dia ketakutan, bahunya bergetar sejenak.
Sepertinya tidak ada hal lain yang perlu di permasalahnkan
dengan pria tua ini, jadi mau tidak mau, Iqbaal melayangkan langkahnya menuju
mobil hitam mengkilap lalu duduk di jok penumpang. Tiba-tiba saja mobil sudah
berjalan, Iqbaal tidak ingat kapan pria tua itu melangkah masuk ke dalam mobil
dan menyalakan mesin. Pikirannya sibuk melayang entah kemana-mana.
Perusahaan ini adalah milik Kakeknya, tiga tahun yang lalu
Kakeknya meninggal akibat penyakit Hepatitis yang sudah lama mendiami badannya.
Semenjak itu perusahaan yang sudah didirikan Kakek selama bertahun-tahun jatuh
ke dalam pangkuan ayah Iqbaal, semenjak saat itu hubungan ayah Iqbaal dan
adiknya merenggang. Karel yang tak lain adalah anak dari adik ayah
Iqbaal—sepupunya itu, mulai di pekerjakan satu setengah tahun yang lalu. Sedangkan
Iqbaal baru seminggu yang lalu di pekerjakan itupun karena paksaan ayahnya yang
sekarang sudah jatuh sakit dan sekarang berada di rumah sakit.
Seperti halnya Karel dulu, Iqbaal harus memulai dari awal
agar menjadi CEO di perusahaan ini untuk menggantikan posisi ayahnya, kalau
tidak, perusahaan ini akan di pegang kuasa oleh Karel beserta ayahnya karena
Iqbaal adalah anak satu-satunya.
Ini sungguh gila, mereka berdua memperebutkan harta, dan
mengasingkan sebuah kata yang begitu bermakna 'persaudaraan'
Mobil yang di tunggangi Iqbaal berhenti di depan gedung yang
keadaannya sangat mengkhawatirkan. Pagar yang sangat rapuh mengelilingi
bangunan tua itu, dindingnya sudah mengelupas, warna catnya sudah pudar bahkan
gedung ini lebih mirip seperti gudang narkoba—tempat dimana orang-orang putus
asa berkumpul, berpesta nyaris setiap malam. Hah! Bodoh.
”Tuan Karel ada di dalam,” pria paruh bayah itu
memberitahukan dengan hati-hati, agaknya dia masih belum terbiasa dengan sifat
dingin atasannya ini.
Seolah tidak mendengar apapun, Iqbaal keluar lalu melenggang
dengan langkah yang sangat wibawa. Perlahan namun pasti, pria paruh bayah itu
menatapnya takjub, kalaupun dia training sampai satu tahunpun, dia yakin, dia
tidak akan bisa melangkah seperti laki-laki itu.
Suara derum mobil terdengar kembali dan semakin lama-semakin
menjauh.
Iqbaal berdiri di depan pintu masuk gedung, dia tidak sempat
melihat sekitar, tangannya bergerak untuk menyentuh knop pintu, bahkan besi
yang dia sentuh sekarang terasa begitu kasar dan berkarat. Pintu itu terdorong
menghasilkan suara decitan yang menggema, suara decitan itu sangat menyakitkan
di telinga. Saat memasuki ruangan itu, sikap dingin Iqbaal berubah menjadi
sikap waspada. Disini tidak ada orang, mungkin Karel berada di ruang lain.
Entah kenapa kaki Iqbaal terus melangkah dan sepasang
matanya tak henti-henti menerawang sekitar dengan sikap mengamati dan waspada.
Dia merasakan sesuatu yang aneh, lalu Iqbaal menengadah ke atas, debu dari atas
berjatuhan tepat di kepalanya. Tempat ini benar-benar sangat mengkhawatiran,
dia tidak tahu apa motif Karel dengan menggabungkan masalah proyek baru dengan
gedung tua ini? Kalaupun nantinya gedung tua ini akan di renovasi ada baiknya
kalau mereka membangun gedung sendiri tanpa sejarah-sejarah aneh yang mungkin
saja ada di gedung ini.
Sunyi dan sepi, Iqbaal hanya mendengar suara dengung yang di
hasilkan oleh kepalanya. Sepasang matanya masih fokus dengan atap yang bolong,
dari bawah sini, Iqbaal bisa melihat lantai dua dari celah yang cukup lebar.
Sebenarnya ini tempat apa?
Tidak ada waktu untuk menunggu lebih lama, Iqbaal
menjejalkan tangannya ke dalam saku untuk meraih ponselnya lalu menekan dua
belas digit nomor Karel. Sejenak ruangan ini terisi oleh suara terhubungnya
panggilan.
Satu menit berlangsung, tak ada sama sekali jawaban untuk
Iqbaal. Dia mencoba menghubungi Karel untuk kedua kalinya, kalau panggilan ini
tidak terjawab juga maka Iqbaal akan segera pergi dari tempat ini. Agaknya dia
benar-benar bosan menunggu jawaban dari Karel, tapak sepatu pantofel miliknya
sengaja dia ketuk-ketukan ke lantai hingga menghasilkan suara yang
menggema—mengisi ruangan ini.
Tak ada jawaban.
Iqbaal memutar badannya sambil memasukan ponselnya ke saku.
Dia berjalan sangat santai, kali ini suara langkah sepatunya benar-benar
menggema di ruangan ini mengisi telinganya. Karel benar-benar
mempermainkannya, dan ini benar-benar tidak lucu kalaupun lucu, dia harus
tertawa bagaimana? Maksudnya kalau tertawa sambil memukul wajah Karel itu akan
benar-benar dia lakukan.
Dari kejauhan, masih di ruangan ini, suara langkah kaki yang
memburu—berlari, menyamarkan suara langkah kaki Iqbaal. Mungkin itu Karel,
Iqbaal berbalik untuk memastikan. Tetapi apa yang di harapkan tak sesuai
kenyataan, semua berlangsung begitu cepat, seorang laki-laki yang berlari
bukanlah Karel. Laki-laki itu menghempaskan tinju tepat di wajah Iqbaal. Iqbaal
seperti melayang, terhempas dengan jarak yang cukup jauh, rasa-rasanya
punggungnya bergesekan dengan permukaan yang kasar membuat punggungnya terasa
perih.
Iqbaal tersungkur, dan mencoba bangkit tapi seseorang
lainnya tiba-tiba saja datang dari kejauhan dengan langkah yang sama—berlari,
lalu dia kembali merasakan tubuhnya melayang, kali ini sesuatu padat yang
terayun sangat kuat menghantap perutnya. Tubuh Iqbaal berguling tak berdaya.
Diam sejenak, Iqbaal hanya meresapi kesakitan akibat luka di pelipis dan
perutnya, tangannya terkepal ingin membalas, tetapi semua kembali diluar
keinginannya.
Saat Iqbaal sudah berdiri dengan tubuh tak seimbang, belasan
laki-laki berseragam hitam beserta kacamata hitam yang melekat di masing-masing
wajah berdiri mengelilinginya. Bentuk rambut yang sama membuat siapa saja
sulit mengenali mereka kalau dalam posisi seperti ini.
Iqbaal terbatuk, mana laki-laki yang memukulnya tadi? Dia
mencari-cari dengan linglung. Semua sama, Iqbaal sulit membedakannya, tapi
tunggu, dia tidak sedang melakukan pengamatan untuk wajah-wajah laki-laki yang
ada di sekelilingnya kan? Yang perlu dia lakukan saat ini adalah bagaimana caranya
agar lolos dari mereka. Kalau melawan itu jelas tidak mungkin, jumlah mereka
sangat banyak. Iqbaal menyapu pandangannya dan mendapati sedikit celah di
antara para laki-laki itu, tanpa banyak pikir, Iqbaal menghentakkan kaki dan
berlari sekencang mungkin, kedua tangannya di gunakan untuk menerjang dan
memukul siapa saja yang menghalanginya. Semua berjalan lancar sampai saat
tibanya di ujung, salah satu dari mereka menendang kakinya membuat Iqbaal
kembali tersungkur dan terseret.
Iqbaal terbatuk menyadari atmosfer debu mengelilinginya.
Tapi bukan itu yang membuat dia menengadah dan mengerjapkan mata berkali-kali,
bukan, bukan debu itu, melainkan sosok laki-laki yang sangat dia kenali berdiri
tepat di hadapannya, seolah laki-laki itu sudah melihat semua kejadian yang ada
di ruangan ini.
”Karel,” nama itu meluncur begitu saja, ada arti tersendiri
di balik ucapannya.
Karel tersenyum miring memandang keadaan Iqbaal, lalu dia
menengadah menatap belasan laki-laki yang berada di depannya, dan, mengedipkan mata.
Tak lama suara langkah kaki terdengar mendekat, Iqbaal merasakan dua orang
laki-laki mendatanginya lalu mencengkram masing-masing bahunya, saat dia sudah
berdiri lagi, masing-masing lengannya di cengkram oleh dua orang. Dua di kiri
dan dua di kanan.
Karel? Iqbaal sepertinya masih sulit mencerna ini semua.
Jangan katakan kalau ini semua adalah tindakkan Karel, atas dasar apa? Dan
untuk apa? Apa salah Iqbaal? Masih banyak pertanyaan lainnya di dalam pikiran
Iqbaal, tapi begitu saja langsung menghilang saat Karel melangkah mendekatinya.
Tangan Karel menyentuh dagu Iqbaal untuk menengadahkan wajah
laki-laki malang ini, di tatapnya Iqbaal tanpa ekspresi, tatapan yang selama
ini belum pernah Iqbaal lihat dari seorang Karel. Tapi lama kelamaan sorot mata
Karel mengeras, Iqbaal mencoba memandang mata itu lebih dalam dan mendapati
sebuah ruangan hitam tanpa gambaran lainnya.
Karel meremas dagu Iqbaal.
Dugh!
Sebelah tangan Karel yang sedari tadi terkepal melayang dan
lagi-lagi menghantam perut Iqbaal. Mata Iqbaal tertutup, mulutnya terkatup
rapat sekali seolah tidak ingin menyuarakan kesakitan yang dia rasakan saat
ini.
Karel memukulnya? Kepala Iqbaal tertunduk meresapi kejadian
yang baru saja dia alami.
”Seharunya perusahaan itu jadi milik ayah kalau saja dia
engga punya sodara. Sodara yang tidak punya perasaan.” Kata Karel pelan, namun
cukup terdengar jelas di ruangan hampa seperti ini.
Seketika saja rahang Iqbaal mengeras dan seluruh tubuhnya
bergetar karena marah saat mendengar ucapan Karel.
”Apa maksudmu dengan mengatakan kalau ayahku tidak punya
perasaan?! Dasar keparat!” Geram Iqbaal, dia hendak memberontak untuk
membenamkan tinju yang sudah mengeras ke wajah Karel, tapi empat orang yang
mengapitnya membuat dia sulit bergerak.
Karel tersenyum miring, lagi-lagi sikap yang selama ini
tidak pernah Iqbaal lihat dari seorang Karel. ”Ah! Kamu ini sama saja seperti
ayahmu, berlagak polos untuk memikat perhatian orang-orang. Dasar penjilat.”
Kali ini Karel berkata sambil mondar-mandir di hadapan Iqbaal, Iqbaal menelan
ludah dengan susah payah.
Badan Iqbaal bergetar hebat, giginya bergemeletukan dan
tangannya semakin terkepal kuat. Karel memperhatikan perubahan Iqbaal dengan
pandangan menyipit, sikapnya yang santai berubah waspada.
”Jaga ucapanmu! Dasar tidak tau terima kasih, seharusnya
kalian bersyukur karena ayahku mau mempekerjakan dirimu dan ayahmu,” suara
Iqbaal kini terdengar lebih lantang. ”Tapi apa balasanmu? Hah? Ayahku bisa
kapan saja memberhentikan kalian berdua, maupun dengan alasan rasional atau
tidak rasional!” Iqbaal tersenyum mengejek.
Kali ini giliran tubuh Karel yang bergetar, dia menghampiri
Iqbaal lalu kembali melayangkan tinju ke perut laki-laki itu.
”Apa maksudmu dengan mengatakan kalau kami harus berterima
kasih?! Ibuku meninggal karena ayahmu!”
”Ibumu meninggal karena penyakitnya!”
”Kalau saja waktu itu ayahmu memberi pinjaman uang untuk
ayahku, ibuku tidak akan meninggal!”
”Kalau saja ayahmu tidak terlalu banyak memakai uang
perusahaan! Ayahku pasti akan meminjamkannya!”
”Ayahmu itu kejam sekali! Dia brengsek! Bajingan! Keparat!
Tidak tahu malu! Memangnya hanya dia anak dari kakek? Mana sikap manusiawinya
untuk membantu sesama saudara! Katakan padaku!”
”Ayahku menyelamatkan perusahaan itu akibat ulah ayahmu yang
mengambil uang perusahaan lalu pergi dan tak kembali, tapi tiba-tiba dia datang
dan tau-tau perusahaan sudah kembali berdiri tegak. Dan kalian harus berterima
kasih pada ayahku karena masih mau mempekerjakan kalian!” Cengkraman keempat
laki-laki yang mengapit Iqbaal terlepas karena amarah yang memuncak, Iqbaal
menghentakkan kaki seperti kesetanan lalu menjatuhkan tinjunya ke wajah Karel
berkali-kali.
Tidak tinggal diam, keempat laki-laki tadi segera menarik
Iqbaal yang tengah menindih Karel—sedang menghujani wajah Karel dengan
pukkulan.
”Dasar keparat!” Karel bangkit, kali ini dia dengan leluasa
menghujani Iqbaal dengan pukulan-pukulannya tanpa perlawanan. ”Itu tidak ada
artinya di bandingkan nyawa ibuku!”
Iqbaal tidak bisa menjawab karena Karel terus memukulnya
tanpa henti.
”Kalian sudah merusak kebahagiaan keluarga kami! Dan kalian
juga harus merasakannya! Ayah dan ibumu harus merasakan bagaimana rasanya di
tinggalkan oleh seseorang yang paling dia cintai!” Geram Karel semakin membabi
buta, pukulan terakhirnya berhasil membuat Iqbaal jatuh.
Dalam keadaan seperti ini, memori yang mengingatkan kejadian
masa lalu malah terputar di kepala Iqbaal. Saat dia dan Karel satu SMP, dulu
Karel sering di kucilan karena laki-laki itu lebih sering menyendiri dengan
buku di perpustakaan daripada bergabung dengan teman-teman lainnya, tapi dengan
senang hati Iqbaal melindungi Karel dari segala hinaan yang terlontar dari
teman-teman mereka. Menemani Karel membaca buku sampai malam karena pada saat
itu Karel dimarahi habis-habisan oleh ayahnya karena peringkatnya yang menurun,
Karel ini penakut, jadi Iqbaal selalu bersamanya. Dan yang paling tak
terlupakan dari segala tindakkan yang pernah Iqbaal lakukan untuk Karel adalah
dengan menolong Karel dari serangan kakak kelas mereka sewaktu SMA, Iqbaal
harus di larikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan atas hidungnya yang
pecah akibat pukulan dari tongkat bisbol.
Tapi semua itu sepertinya sudah berlalu dan sudah
terlupakan.
Bersambung...
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment