`Red Light`
Part 7
Muhammad Aryanda.
—OoO—
Perkataan Iqbaal ke Thania nggak usah di ambil pusing ya,
kayaknya gue typo tuh. Di cerbung ini tuh gada deh PHP, PHO-an
*
[Line]
IqbaalDR: lama
IqbaalDR: woyyy
IqbaalDR: kcng..kcng...
IqbaalDR: (namakamu)!!!
IqbaalDR: aku tidur yaaaaaaa
(Namakamu)_ss: apa sih
Tangan (namakamu) bergerak menarik laci, setelah yakin kalau
laci sudah terbuka, (namakamu) menjejalkan tangan untuk mengambil charger tapi
sebuah benda asing tersentuh telapak tangannya. (Namakamu) mengalihkan fokusnya
dari layar ponsel dan beralih menatap ke dalam laci, begitu sepasang matanya
tertumbuk pada benda, yang, ah, bibir (namakamu) begitu susah menyebutkan nama
benda itu, tenggorokannya terasa tercekat, jadi (namakamu) hanya mengangkat
benda itu dan memutar badanya dengan sikap meminta penjelasan pada Salsha.
”Pistol?” Susah payah kata itu keluar dari mulut (namakamu).
”Itu,” Salsha tergagap, agaknya dia sedang mencari-cari
alasan yang tepat untuk menjelaskan pada (namakamu), tapi rasanya tak kunjung
mendapatkan apa yang dia harapkan.
Salsha tertunduk gelisah sambil memeluk lututnya yang
tertekuk. Hening. Selama beberapa detik berlalu seperti ada yang dengan sengaja
menghentikan pergerakan jarum jam secara paksa, dan keheningan itu di hancurkan
dengan suara tangisan Salsha. Gadis itu menangis tersedu-sedu tanpa ada yang
tahu apa penyebabnya. Apakah ada yang salah dengan ucapan (namakamu)? Ini
sendiri di buat bingung dengan reaksi Salsha.
Sekitar tiga menit kemudian tangis Salsha mereda, perlahan
dia mengangkat wajahnya dan menyeka air mata yang tetap mengalir. Sambil
sesegukan Salsha menjelaskan pada (namakamu), dan tentu juga untuk Thania.
”I-itu pistol punya Papa gue,” Salsha tersedak lagi,
cepat-cepat dia menangkup wajahnya karena tak tahan dengan kenyerian yang dia
rasakan tiba-tiba. ”Udah hampir sebulan gue ngeliat orang tua gue bertengkar
terus-terusan, gue nggak sanggup kalau setiap hari ngedengerin mereka berteriak
saling nuduh, mau itu pagi, siang, malam atau bahkan pagi saat lagi sarapan,
mereka terus-terusan bertengkar tanpa peduli sama kehadiran gue. Dan seminggu
yang lalu gue dapeti pistol itu ada di laci kerja papa, gue nggak pernah tau
kalau papa punya benda yang mengerikan kayak gitu, gue juga nggak tau apa benda
itu udah ada surat izinnya atau nggak. Yang jelas, gue cuma takut kalau papa
bakalan...,” penjelasan Salsha terhenti, dia tidak sanggup membayangkan apa
yang akan terjadi kalau sewaktu-waktu papanya hillang kendali, dan—.
(Namakamu) malah menjadi merasa bersalah karena sudah
membuat Salsa sudah bercerita kepada dia maupun Thania, (namakamu) tahu kalau
sedikitnya beban yang menimpah Salsha sudah mulai terkikis walaupun sedikit.
Jadi, Salsha memang sedang mengalami masa-masa sulit.
”Lo yang sabar ya, Sha. Maaf kalau gue udah ngebuat lo
cerita kayak gini.” (Namakamu) sudah duduk di sebelah Salsha, dengan hati-hati
dia membelai punggung Salsha dengan sikap menguatkan.
Salsha menjatuhkan kepalanya ke dalam pelukan (namakamu).
(Namakamu) tahu kalau Salsha memang sedang membutuhkan sebuah tempat sandaran
atau pun tempat menumpahkan segala masalahnya, dan (namakamu) siap menjadi
kedua hal yang di butuhkan Salsha itu.
”Thanks ya, (namakamu).” Salsha berbisik penuh haru di
telinga (namakamu) lalu mengeratkan pelukannya.
***
”Banyak banget, Sha. Lo sendiri nih yang belanja?” Tanya
(namakamu) pada Salsha yang sedang mengeluarkan berbagai macam bahan makanan
dari dalam kulkas.
(Namakamu), Salsha dan Thania sudah berada di lantai dasar
tepatnya di dapur. Mereka tak akan membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa
ada sedikitpun hal menarik yang mereka lakukan.
”Iya, sebenarnya gue udah rencanain beberapa hari yang lalu
tapi gue masih belum berani ngomong sama kalian.” Jelas Salsha malu.
”Jadi kita mau masak apa?” Suara Thania. Gadis itu memang
tak banyakk bicara seperti biasanya, dan (namakamu) maupun Salsha memaklumi
itu.
”Apa aja deh. Gue sih nggak bisa masak. Gue cuma bisa
potong-potong bahan dasarnya.” Kata Salsha yang sangat tahu kalau dirinya
memang tidak bisa memasak.
”Kalau nasi goreng gimana?” Usul (namakamu).
Salsha mengangguk. ”Boleh.” Kemudian dia mengeluarkan
beberapa cabai dan bawang dari dalam kulkas tanpa banyak tanya, Salsha langsung
memotong bawang merah dan cabai merah itu sesuai takaran.
”Pake telur apa udang?” Thania merunduk menatap ke dalam isi
kulkas.
”Dua-duanya.” Sahut Salsha.
Sementara Salsha dan Thania sibuk dengan tugas
masing-masing, (namakamu) masih di sibukan dengan ponselnya yang tak
henti-hentinya berdering. (Namakamu) melirik jam dinding yang tergantung di
atas kulkas, jam menunjukan pukul sepuluh malam tepat, tapi Iqbaal masih belum
tidur. Padahal kalau malam sekolah seperti saat ini, biasanya Iqbaal sudah
tertidur.
[Line]
(Namakamu)_ss: belum tdur?
IqbaalDR: blm nganntukkk..
(Namakamu)_ss: aku lagi masak nih.
IqbaalDR: ngusir? Bye.
(Namakamu)_ss: kok
(Namakamu) mendengus sebal saat menatap layar ponselnya
selama dua menit yang tak kunjung mendapatkan tanda-tanda akan balasan dari
Iqbaal. Padahal niat dia hanya bertanya kan? Well, (namakamu) akui kalau dia
memang secara tidak langsung ingin mengakhiri percakapan mereka, tapi kenapa
laki-laki itu malah menjadi sensitif seperti ini.
”(Namakamu), tolong keluarin nasinya dari magic jar dong.”
(Namakamu) langsung meletakan ponselnya dan mengerjakan apa
yang di perintahkan oleh Salsha.
”Segini cukup?” Tanya (namakamu) pada Salsha yang masih di
sibukan dengan cabai dan bawang merah. Sebelah alis (namakamu) terangkat, dia
menatap Salsha dengan tatapan 'perasaan-gue-nggak-gitu-deh-motongnya' tapi
(namakamu) tidak berkomentar.
Salsha mengangkat kepalanya untuk melihat nasi yang sudah di
takar oleh (namakamu). ”Cukup deh kayaknya.”
”Lo emang nggak ada pembantu ya, Sha?” Sosok Thania muncul
dari balik pintu kamar mandi sambil membawa baskom kecil berisi udang-udang
yang sepertinya baru selesai dia cuci.
”Bi Sum besok baru pulang, tiga hari yang lalu dia izin
untuk nengok anaknya di kampung yang lagi sakit,” jelas Salsha lalu menghela
napas, dia sudah menyelesaikan tugasnya. ”Gue ke kamar bentar ya, kayaknya hape
gue ketinggalan di kamar.” Setelah melihat (namakamu) dan Thania mengangguk,
Salsha langsung melenggangkan langkahnya menuju lantai dua.
(Namakamu) dan Thania tak banyak berbicara ketika di tinggal
oleh Salsha, selain mereka di sibukan dengan tugas masing-masing, masing-masing
dari mereka juga tidak mempunyai topik yang bagus untuk di bahas, jadi keduanya
memutuskan untuk tetap diam, walaupun (namakamu) merasa aneh dengan atmosfer
seperti ini.
(Namakamu) menutup hidungnya saat Thania memasukan
udang-udang itu ke dalam minyak panas. (Namakamu) tidak terlalu suka dengan bau
yang menguap dari dalam wajan itu, menurutnya bau itu sangat menusuk indra
penciumannya.
Bel rumah berbunyi, baik (namakamu) maupun Thania sama-sama
melemparkan pandangan.
”Biar gue aja.” Kata (namakamu), dia rasa ada baiknya kalau
dia menghindar dari dapur karena bau penggorengan semakin menusuk hidungnya.
(Namakamu) butuh pasokan udara segar. Dan sepertinya Thania tidak
mempermasalahkan.
”Steffie? Lo Steffie kan?” Begitu (namakamu) membuka pintu
sosok gadis yang dia yakini bernama Steffie berada di balik pintu dengan
beberapa buku dalam genggaman. ”Lo sendiri?” (Namakamu) mengedarkan
penglihatannya ke sekitar halaman rumah dan tidak menemukan siapa-siapa.
”Iya, gue sendiri. Salshanya ada?”
(Namakamu) mengangguk. ”Masuk,” Sedikit bergeser, (namakamu)
memberi jalan pada Steffie agar gadis itu segera masuk. ”Salsha di atas, biar
gue yang panggil.”
”Nggak usah, biar gue aja yang ke atas.” Tolak Steffie lembut
seraya tersenyum.
(Namakamu) mengangkat bahunya tak masalah. ”Oke.”
Dan (namakamu) pun melihat Steffie berjalan ke tangga untuk
menuju lantai dua. Ada yang aneh dengan gadis itu, sepertinya banyak yang
berubah dan (namakamu) tidak menyadarinya sampai dia melihat pantulan dirinya
di cermin dekat pintu. Hal serupa yang ada pada dirinya juga ada pada
Steffie—rambut.Apakah Bella sempat melakukan penyerangan pada Steffie? Tapi
sudahlah, kejadian itu sudah berlalu dan tidak perlu di ingat-ingat.
”Siapa?” Tanya Thania begitu (namakamu) kembali ke dapur.
”Steffie. Temen sekelasnya Salsha.”
”Oh.” Thania mengangguk-ngangguk. ”(Namakamu), masukin
nasinya.” Pinta Thania, dan (namakamu) langsung menuruti.
”Hape gue mana ya, Than.” (Namakamu) kebingungan karena
tidak mendapati ponselnya di dekat magic jar, karena seingatnya dia meletakan
ponselnya disitu.
”Itu.” Thania menunjuk ke kursi yang sempat di duduki oleh
(namakamu).
”Perasaan tadi gue naruh nggak disitu deh.” Gerutu
(namakamu) yang merasa bingung, kemudian dia menyambar ponselnya dan membuka
percakapan dia dan Iqbaal, tapi laki-laki itu tak kunjung membalas pesannya.
(Namakamu) mengumpat dalam hati tanpa banyak tingkah dia langsung menghubungi
nomor Iqbaal.
”Halo!” Sapa (namakamu) yang lebih terdengar seperti
teriakan. (Namakamu) tersenyum malu saat melihat Thania melirik ke arahnya, dan
dengan senang hati (namakamu) menyingkir dari dapur.
'Hm?'
”Kok nggak di bales?” Biarlah kalau (namakamu) terdengar
seperti anak kecil, yang terpenting laki-laki itu tak terus-terusan bersikap
seperti ini.
'Maaf, ketiduran.' Jawab Iqbaal malas.
”Boong!” (Namakamu) mendesah bingung, kenapa suaranya
semakin besar?
'Aku nggak bohong.'
”Oh, jadi masih nggak mau jujur ya, jangan salahin aku ya
kalau aku mulai nggak jujur sama kamu.” Ancam (namakamu), yang sepertinya
membuahkan hasil.
”Ish! Iya iya iya! Ngancem mulu sih.”
(Namakamu) terkekeh. ”Lagi ngapain?”
'Mikirin kamu.'
Sepasang mata (namakamu) mendapati sosok Steffie turun dari
tangga, ketika Steffie sudah menyelesaikan anak tangga terakhir, gadis itu
tersenyum kepada (namakamu) seraya berkata. ”Gue balik ya.”
(Namakamu) mengangguk. ”Iya.”
'Apanya yang iya?'
”Bukan.”
'Apasih?'
”Bukan apa-apa sih.”
'Udah mulai berani main rahasia-rahasian ya. Jangan salahin
aku kalau...'
”Apasih, Baal, tadi aku nggak ngomong sama kamu! Tapi sama
Steffie, temennya Salsha, dia itu tadi ya dateng terus pamit sama aku. Gitu.
Paham?”
'Oh'
(Namakamu) mendesah kesal. Ketika (namakamu) ingin
melontarkan beberapa kata untuk Iqbaal, tiba-tiba suara Thania mengalihkan
perhatiannya. Gadis itu menaiki anak tangga sambil membawa nampan yang
sepertinya berisi nasi goreng.
Kemudian Thania berkata. ”Gue ke atas duluan.”
(Namakamu) tak menyaut hanya tersenyum.
”Aku mau makan.” Kata (namakamu) pada Iqbaal.
'Ngomong sama gue atau sama siapa nih?'
”Menurut lo?”
'Kayaknya bukan sama gue deh.'
”Serah lo deh.” (Namakamu) menjatukan tangannya dari telinga
tapi dia tidak mematikan sambungan. Dengan perasaan kesal bercampur ingin
menangis, (namakamu) berjalan menyusul Thania.
Sesekali (namakamu) mendekatkan ponselnya ke telinga mencoba
mendengar sesuatu yang mungkin dapat menenangkan hatinya. (Namakamu) meringis
saat tak mendengar apapun, kenapa malah jadi seperti ini sih? Iqbaal bercanda
kan? Laki-laki itu tidak serius marah dengannya kan? (Namakamu) ingin bertanya
tapi di saat seperti ini ego malah berkeukeuh pada dirinya. Lagi pula, dia
tidak salah kan? (Namakamu) membenarkan pembenaran itu kalau dia memang tidak
salah. Ya. Dia tidak salah, hanya saja tingkah Iqbaal memang sering
kekanak-kanakan.
Langkah (namakamu) sudah berada di ujung anak tangga saat
tiba-tiba terdengar suara teriakan Thania dari dalam kamar Salsha. (Namakamu)
terkesiap dan berjalan cepat ke arah kamar.
”Ada ap...” Tubuh (namakamu) membatu, kepalanya seperti
membentur sesuatu yang keras dan begitu menyakitkan. Sekujur tubuh (namakamu)
menegang seiring matanya menyalurkan apa yang dia lihat ke otak untuk di cerna.
Perlahan-lahan badan (namakamu) merapat kedinding dan merosot, telapak
tangannya menangkup wajahnya yang mulai menitikan air mata.
Di hadapannya terbaring sosok Salsha yang sudah terbujur
kaku dengan pistol menembak sisi kanan kepalanya.
***
Setengah jam yang lalu orang-orang dengan seragam yang sama
berbondong-bondong masuk ke dalam rumah Salsha. Kehadiran mereka jelas
mengundang perhatian banyak tetangga, banyak tetangga yang sudah larut dalam
mimpi terbangun karena suara sirine di malam hari, mereka terpaksa keluar dan
melihat ke sumber suara itu.
(Namakamu) merenge dan tak henti-henti menangis.
”Udah (namakamu), jangan nangis terus.”
Iqbaal adalah orang pertama yang datang begitu mendengar
Thania berteriak dan suara tangisan (namakamu). Dan dia juga orang pertama yang
mempunya inisiatif untuk segera menghubungi polissi, dan sekarang para polisi
itu sedang menyelidiki kematian Salsha.
”Dimana?” Tanya Aldi yang baru datang, Iqbaal memang juga
sempat menghubungi Aldi. Sebagai ketua osis Iqbaal rasa laki-laki itu wajib
tahu atas kejadian ini.
”Di atas.” Kata Iqbaal.
Aldi langsung mengedarkan penglihatannya ke atas dan
mendapati kamar pertama di lantai itu ada beberapa orang berseragam yang
berlalu-lalang.Langkah Aldi berlalu cepat menaiki anak tangga, yang ada di
dalam pikirannya saat ini adalah Salsha yang menembak dirinya dengan sebuah
pistol, begitu menurut cerita Iqbaal.
”Maaf dik, tidak boleh masuk.” Kata seorang polisi yang ada
di depan pintu. Aldi hanya setinggi dadanya.
”Saya cuma mau lihat sebentar, pak. Dari sini juga boleh.”
Ujar Aldi tanpa melihat wajah polisi di hadapannya, wajah Aldi sekarang
mencondong ke dalam kamar, meskipun ada beberapa polisi yang berlalu-lalang di
kamar itu membuat mata Aldi terhalang untuk melihat jenazah Salsha, tapi sekali
kesempatan Aldi bisa melihat dengan jelas jenazah Salsha yang terbujur kaku
dengan tangan kanan memegang pistol menembak sisi kanan kepala.
Aldi bergidik tak sanggup membayangkan bagaimana shocknya
(namakamu) maupun Thania yang berada di lokasi saat kejadian bunuh diri
berlangsung. Aldi mundur sebelum benar-benar pergi dari hadapan polisi itu,
Aldi rasa polisi memang menyebalkan, mereka seakan-akan bertingkah kalau mereka
mampu memecahkan sebuah masalah seoreang diri tanpa mau mendengar pendapat
masyarakat umum.
Ugh! Menyebalkan! Umpat Aldi. Padahal Aldi sangat ingin di
tanya-tanya tentang sebuah kasus seperti film-film detective yang menjadi genre
film favoritnya.
Aldi tiba di hadapan Thania, (namakamu) dan Iqbaal berselang
beberapa menit kemudian.
Aldi menatap (namakamu) yang masih menangis sesegukan berada
di dalam dekapan Iqbaal dan manik matanya juga beralih menatap Thania yang
duduk sambil meringkuk memeluk lutut, gadis itu menatap kosong ke arah lantai.
Kedua gadis itu shock, Aldi dapat memahami bagaimana perasaan mereka, yah,
meskipun dia tidak pernah merasakan hal yang seperti mereka rasakan saat ini.
”Udah coba hubungi orang tua Salsha?” Tanya Aldi pada
siapapun.
”Udah.” Thania yang menjawab.
”Yang pertama kali tau siapa?” Aldi duduk di sebelah
(namakamu).
”Gue.” Jawab Thania.
”Kalian lagi ngapain?” Pertanyaan Aldi cukup singkat dan
terdengar seperti main-main.
”Kita lagi masak, tapi Salsha izin ke atas untuk ambil
handphone-nya.”jelas Thania.
”Dan saat lo naik ke atas Salsha udah tewas?” Aldi bergidik
saat merasakan kata tewas dalam kalimatnya terlalu kentara.
”Steffie dateng, dia duluan yang naik ke atas bukan Thania.”
(Namakamu) ambil suara.
Tubuh Aldi menegang. ”Mungkin salah satu dari kalian ada
yang tau maksud ke datengan Steffie?” Tapi (namakamu) dan Thania menggeleng.
”Salsha bunuh diri?” Aldi masih tak yakin dengan apa yang
dia katakan, tapi mengingat bagamaina posisi Salsha terbaring dan cerita dari
(namakamu) maupun Thania, Aldi rasa ini memang kasus bunuh diri.
”Jadi menurut lo gue atau Thania yang nembak kepala Salsha?”
(Namakamu) menyingkirkan tangan Iqbaal dari bahunya dan mendelik pada Aldi.
”Atau Steffie?” Aldi menambahkan.
”Tapi gue nggak ada denger suara tembakan.”
Aldi tersenyum sinis. ”Disitu masalahnya. kalian nggak ada
denger suara tembakan.”
Bersambung...
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment