Thursday, August 20, 2015

Cerbung Red Light - Part 7



`Red Light`

Part 7

Muhammad Aryanda.

—OoO—
Perkataan Iqbaal ke Thania nggak usah di ambil pusing ya, kayaknya gue typo tuh. Di cerbung ini tuh gada deh PHP, PHO-an


*
[Line]
IqbaalDR: lama
IqbaalDR: woyyy
IqbaalDR: kcng..kcng...
IqbaalDR: (namakamu)!!!
IqbaalDR: aku tidur yaaaaaaa
(Namakamu)_ss: apa sih
Tangan (namakamu) bergerak menarik laci, setelah yakin kalau laci sudah terbuka, (namakamu) menjejalkan tangan untuk mengambil charger tapi sebuah benda asing tersentuh telapak tangannya. (Namakamu) mengalihkan fokusnya dari layar ponsel dan beralih menatap ke dalam laci, begitu sepasang matanya tertumbuk pada benda, yang, ah, bibir (namakamu) begitu susah menyebutkan nama benda itu, tenggorokannya terasa tercekat, jadi (namakamu) hanya mengangkat benda itu dan memutar badanya dengan sikap meminta penjelasan pada Salsha.
”Pistol?” Susah payah kata itu keluar dari mulut (namakamu).
”Itu,” Salsha tergagap, agaknya dia sedang mencari-cari alasan yang tepat untuk menjelaskan pada (namakamu), tapi rasanya tak kunjung mendapatkan apa yang dia harapkan.
Salsha tertunduk gelisah sambil memeluk lututnya yang tertekuk. Hening. Selama beberapa detik berlalu seperti ada yang dengan sengaja menghentikan pergerakan jarum jam secara paksa, dan keheningan itu di hancurkan dengan suara tangisan Salsha. Gadis itu menangis tersedu-sedu tanpa ada yang tahu apa penyebabnya. Apakah ada yang salah dengan ucapan (namakamu)? Ini sendiri di buat bingung dengan reaksi Salsha.
Sekitar tiga menit kemudian tangis Salsha mereda, perlahan dia mengangkat wajahnya dan menyeka air mata yang tetap mengalir. Sambil sesegukan Salsha menjelaskan pada (namakamu), dan tentu juga untuk Thania.
”I-itu pistol punya Papa gue,” Salsha tersedak lagi, cepat-cepat dia menangkup wajahnya karena tak tahan dengan kenyerian yang dia rasakan tiba-tiba. ”Udah hampir sebulan gue ngeliat orang tua gue bertengkar terus-terusan, gue nggak sanggup kalau setiap hari ngedengerin mereka berteriak saling nuduh, mau itu pagi, siang, malam atau bahkan pagi saat lagi sarapan, mereka terus-terusan bertengkar tanpa peduli sama kehadiran gue. Dan seminggu yang lalu gue dapeti pistol itu ada di laci kerja papa, gue nggak pernah tau kalau papa punya benda yang mengerikan kayak gitu, gue juga nggak tau apa benda itu udah ada surat izinnya atau nggak. Yang jelas, gue cuma takut kalau papa bakalan...,” penjelasan Salsha terhenti, dia tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi kalau sewaktu-waktu papanya hillang kendali, dan—.
(Namakamu) malah menjadi merasa bersalah karena sudah membuat Salsa sudah bercerita kepada dia maupun Thania, (namakamu) tahu kalau sedikitnya beban yang menimpah Salsha sudah mulai terkikis walaupun sedikit. Jadi, Salsha memang sedang mengalami masa-masa sulit.
”Lo yang sabar ya, Sha. Maaf kalau gue udah ngebuat lo cerita kayak gini.” (Namakamu) sudah duduk di sebelah Salsha, dengan hati-hati dia membelai punggung Salsha dengan sikap menguatkan.
Salsha menjatuhkan kepalanya ke dalam pelukan (namakamu). (Namakamu) tahu kalau Salsha memang sedang membutuhkan sebuah tempat sandaran atau pun tempat menumpahkan segala masalahnya, dan (namakamu) siap menjadi kedua hal yang di butuhkan Salsha itu.
”Thanks ya, (namakamu).” Salsha berbisik penuh haru di telinga (namakamu) lalu mengeratkan pelukannya.

***
”Banyak banget, Sha. Lo sendiri nih yang belanja?” Tanya (namakamu) pada Salsha yang sedang mengeluarkan berbagai macam bahan makanan dari dalam kulkas.
(Namakamu), Salsha dan Thania sudah berada di lantai dasar tepatnya di dapur. Mereka tak akan membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa ada sedikitpun hal menarik yang mereka lakukan.
”Iya, sebenarnya gue udah rencanain beberapa hari yang lalu tapi gue masih belum berani ngomong sama kalian.” Jelas Salsha malu.
”Jadi kita mau masak apa?” Suara Thania. Gadis itu memang tak banyakk bicara seperti biasanya, dan (namakamu) maupun Salsha memaklumi itu.
”Apa aja deh. Gue sih nggak bisa masak. Gue cuma bisa potong-potong bahan dasarnya.” Kata Salsha yang sangat tahu kalau dirinya memang tidak bisa memasak.
”Kalau nasi goreng gimana?” Usul (namakamu).
Salsha mengangguk. ”Boleh.” Kemudian dia mengeluarkan beberapa cabai dan bawang dari dalam kulkas tanpa banyak tanya, Salsha langsung memotong bawang merah dan cabai merah itu sesuai takaran.
”Pake telur apa udang?” Thania merunduk menatap ke dalam isi kulkas.
”Dua-duanya.” Sahut Salsha.
Sementara Salsha dan Thania sibuk dengan tugas masing-masing, (namakamu) masih di sibukan dengan ponselnya yang tak henti-hentinya berdering. (Namakamu) melirik jam dinding yang tergantung di atas kulkas, jam menunjukan pukul sepuluh malam tepat, tapi Iqbaal masih belum tidur. Padahal kalau malam sekolah seperti saat ini, biasanya Iqbaal sudah tertidur.
[Line]
(Namakamu)_ss: belum tdur?
IqbaalDR: blm nganntukkk..
(Namakamu)_ss: aku lagi masak nih.
IqbaalDR: ngusir? Bye.
(Namakamu)_ss: kok
(Namakamu) mendengus sebal saat menatap layar ponselnya selama dua menit yang tak kunjung mendapatkan tanda-tanda akan balasan dari Iqbaal. Padahal niat dia hanya bertanya kan? Well, (namakamu) akui kalau dia memang secara tidak langsung ingin mengakhiri percakapan mereka, tapi kenapa laki-laki itu malah menjadi sensitif seperti ini.
”(Namakamu), tolong keluarin nasinya dari magic jar dong.”
(Namakamu) langsung meletakan ponselnya dan mengerjakan apa yang di perintahkan oleh Salsha.
”Segini cukup?” Tanya (namakamu) pada Salsha yang masih di sibukan dengan cabai dan bawang merah. Sebelah alis (namakamu) terangkat, dia menatap Salsha dengan tatapan 'perasaan-gue-nggak-gitu-deh-motongnya' tapi (namakamu) tidak berkomentar.
Salsha mengangkat kepalanya untuk melihat nasi yang sudah di takar oleh (namakamu). ”Cukup deh kayaknya.”
”Lo emang nggak ada pembantu ya, Sha?” Sosok Thania muncul dari balik pintu kamar mandi sambil membawa baskom kecil berisi udang-udang yang sepertinya baru selesai dia cuci.
”Bi Sum besok baru pulang, tiga hari yang lalu dia izin untuk nengok anaknya di kampung yang lagi sakit,” jelas Salsha lalu menghela napas, dia sudah menyelesaikan tugasnya. ”Gue ke kamar bentar ya, kayaknya hape gue ketinggalan di kamar.” Setelah melihat (namakamu) dan Thania mengangguk, Salsha langsung melenggangkan langkahnya menuju lantai dua.
(Namakamu) dan Thania tak banyak berbicara ketika di tinggal oleh Salsha, selain mereka di sibukan dengan tugas masing-masing, masing-masing dari mereka juga tidak mempunyai topik yang bagus untuk di bahas, jadi keduanya memutuskan untuk tetap diam, walaupun (namakamu) merasa aneh dengan atmosfer seperti ini.
(Namakamu) menutup hidungnya saat Thania memasukan udang-udang itu ke dalam minyak panas. (Namakamu) tidak terlalu suka dengan bau yang menguap dari dalam wajan itu, menurutnya bau itu sangat menusuk indra penciumannya.
Bel rumah berbunyi, baik (namakamu) maupun Thania sama-sama melemparkan pandangan.
”Biar gue aja.” Kata (namakamu), dia rasa ada baiknya kalau dia menghindar dari dapur karena bau penggorengan semakin menusuk hidungnya. (Namakamu) butuh pasokan udara segar. Dan sepertinya Thania tidak mempermasalahkan.
”Steffie? Lo Steffie kan?” Begitu (namakamu) membuka pintu sosok gadis yang dia yakini bernama Steffie berada di balik pintu dengan beberapa buku dalam genggaman. ”Lo sendiri?” (Namakamu) mengedarkan penglihatannya ke sekitar halaman rumah dan tidak menemukan siapa-siapa.
”Iya, gue sendiri. Salshanya ada?”
(Namakamu) mengangguk. ”Masuk,” Sedikit bergeser, (namakamu) memberi jalan pada Steffie agar gadis itu segera masuk. ”Salsha di atas, biar gue yang panggil.”
”Nggak usah, biar gue aja yang ke atas.” Tolak Steffie lembut seraya tersenyum.
(Namakamu) mengangkat bahunya tak masalah. ”Oke.”
Dan (namakamu) pun melihat Steffie berjalan ke tangga untuk menuju lantai dua. Ada yang aneh dengan gadis itu, sepertinya banyak yang berubah dan (namakamu) tidak menyadarinya sampai dia melihat pantulan dirinya di cermin dekat pintu. Hal serupa yang ada pada dirinya juga ada pada Steffie—rambut.Apakah Bella sempat melakukan penyerangan pada Steffie? Tapi sudahlah, kejadian itu sudah berlalu dan tidak perlu di ingat-ingat.
”Siapa?” Tanya Thania begitu (namakamu) kembali ke dapur.
”Steffie. Temen sekelasnya Salsha.”
”Oh.” Thania mengangguk-ngangguk. ”(Namakamu), masukin nasinya.” Pinta Thania, dan (namakamu) langsung menuruti.
”Hape gue mana ya, Than.” (Namakamu) kebingungan karena tidak mendapati ponselnya di dekat magic jar, karena seingatnya dia meletakan ponselnya disitu.
”Itu.” Thania menunjuk ke kursi yang sempat di duduki oleh (namakamu).
”Perasaan tadi gue naruh nggak disitu deh.” Gerutu (namakamu) yang merasa bingung, kemudian dia menyambar ponselnya dan membuka percakapan dia dan Iqbaal, tapi laki-laki itu tak kunjung membalas pesannya. (Namakamu) mengumpat dalam hati tanpa banyak tingkah dia langsung menghubungi nomor Iqbaal.
”Halo!” Sapa (namakamu) yang lebih terdengar seperti teriakan. (Namakamu) tersenyum malu saat melihat Thania melirik ke arahnya, dan dengan senang hati (namakamu) menyingkir dari dapur.
'Hm?'
”Kok nggak di bales?” Biarlah kalau (namakamu) terdengar seperti anak kecil, yang terpenting laki-laki itu tak terus-terusan bersikap seperti ini.
'Maaf, ketiduran.' Jawab Iqbaal malas.
”Boong!” (Namakamu) mendesah bingung, kenapa suaranya semakin besar?
'Aku nggak bohong.'
”Oh, jadi masih nggak mau jujur ya, jangan salahin aku ya kalau aku mulai nggak jujur sama kamu.” Ancam (namakamu), yang sepertinya membuahkan hasil.
”Ish! Iya iya iya! Ngancem mulu sih.”
(Namakamu) terkekeh. ”Lagi ngapain?”
'Mikirin kamu.'
Sepasang mata (namakamu) mendapati sosok Steffie turun dari tangga, ketika Steffie sudah menyelesaikan anak tangga terakhir, gadis itu tersenyum kepada (namakamu) seraya berkata. ”Gue balik ya.”
(Namakamu) mengangguk. ”Iya.”
'Apanya yang iya?'
”Bukan.”
'Apasih?'
”Bukan apa-apa sih.”
'Udah mulai berani main rahasia-rahasian ya. Jangan salahin aku kalau...'
”Apasih, Baal, tadi aku nggak ngomong sama kamu! Tapi sama Steffie, temennya Salsha, dia itu tadi ya dateng terus pamit sama aku. Gitu. Paham?”
'Oh'
(Namakamu) mendesah kesal. Ketika (namakamu) ingin melontarkan beberapa kata untuk Iqbaal, tiba-tiba suara Thania mengalihkan perhatiannya. Gadis itu menaiki anak tangga sambil membawa nampan yang sepertinya berisi nasi goreng.
Kemudian Thania berkata. ”Gue ke atas duluan.”
(Namakamu) tak menyaut hanya tersenyum.
”Aku mau makan.” Kata (namakamu) pada Iqbaal.
'Ngomong sama gue atau sama siapa nih?'
”Menurut lo?”
'Kayaknya bukan sama gue deh.'
”Serah lo deh.” (Namakamu) menjatukan tangannya dari telinga tapi dia tidak mematikan sambungan. Dengan perasaan kesal bercampur ingin menangis, (namakamu) berjalan menyusul Thania.
Sesekali (namakamu) mendekatkan ponselnya ke telinga mencoba mendengar sesuatu yang mungkin dapat menenangkan hatinya. (Namakamu) meringis saat tak mendengar apapun, kenapa malah jadi seperti ini sih? Iqbaal bercanda kan? Laki-laki itu tidak serius marah dengannya kan? (Namakamu) ingin bertanya tapi di saat seperti ini ego malah berkeukeuh pada dirinya. Lagi pula, dia tidak salah kan? (Namakamu) membenarkan pembenaran itu kalau dia memang tidak salah. Ya. Dia tidak salah, hanya saja tingkah Iqbaal memang sering kekanak-kanakan.
Langkah (namakamu) sudah berada di ujung anak tangga saat tiba-tiba terdengar suara teriakan Thania dari dalam kamar Salsha. (Namakamu) terkesiap dan berjalan cepat ke arah kamar.
”Ada ap...” Tubuh (namakamu) membatu, kepalanya seperti membentur sesuatu yang keras dan begitu menyakitkan. Sekujur tubuh (namakamu) menegang seiring matanya menyalurkan apa yang dia lihat ke otak untuk di cerna. Perlahan-lahan badan (namakamu) merapat kedinding dan merosot, telapak tangannya menangkup wajahnya yang mulai menitikan air mata.
Di hadapannya terbaring sosok Salsha yang sudah terbujur kaku dengan pistol menembak sisi kanan kepalanya.

***
Setengah jam yang lalu orang-orang dengan seragam yang sama berbondong-bondong masuk ke dalam rumah Salsha. Kehadiran mereka jelas mengundang perhatian banyak tetangga, banyak tetangga yang sudah larut dalam mimpi terbangun karena suara sirine di malam hari, mereka terpaksa keluar dan melihat ke sumber suara itu.
(Namakamu) merenge dan tak henti-henti menangis.
”Udah (namakamu), jangan nangis terus.”
Iqbaal adalah orang pertama yang datang begitu mendengar Thania berteriak dan suara tangisan (namakamu). Dan dia juga orang pertama yang mempunya inisiatif untuk segera menghubungi polissi, dan sekarang para polisi itu sedang menyelidiki kematian Salsha.
”Dimana?” Tanya Aldi yang baru datang, Iqbaal memang juga sempat menghubungi Aldi. Sebagai ketua osis Iqbaal rasa laki-laki itu wajib tahu atas kejadian ini.
”Di atas.” Kata Iqbaal.
Aldi langsung mengedarkan penglihatannya ke atas dan mendapati kamar pertama di lantai itu ada beberapa orang berseragam yang berlalu-lalang.Langkah Aldi berlalu cepat menaiki anak tangga, yang ada di dalam pikirannya saat ini adalah Salsha yang menembak dirinya dengan sebuah pistol, begitu menurut cerita Iqbaal.
”Maaf dik, tidak boleh masuk.” Kata seorang polisi yang ada di depan pintu. Aldi hanya setinggi dadanya.
”Saya cuma mau lihat sebentar, pak. Dari sini juga boleh.” Ujar Aldi tanpa melihat wajah polisi di hadapannya, wajah Aldi sekarang mencondong ke dalam kamar, meskipun ada beberapa polisi yang berlalu-lalang di kamar itu membuat mata Aldi terhalang untuk melihat jenazah Salsha, tapi sekali kesempatan Aldi bisa melihat dengan jelas jenazah Salsha yang terbujur kaku dengan tangan kanan memegang pistol menembak sisi kanan kepala.
Aldi bergidik tak sanggup membayangkan bagaimana shocknya (namakamu) maupun Thania yang berada di lokasi saat kejadian bunuh diri berlangsung. Aldi mundur sebelum benar-benar pergi dari hadapan polisi itu, Aldi rasa polisi memang menyebalkan, mereka seakan-akan bertingkah kalau mereka mampu memecahkan sebuah masalah seoreang diri tanpa mau mendengar pendapat masyarakat umum.
Ugh! Menyebalkan! Umpat Aldi. Padahal Aldi sangat ingin di tanya-tanya tentang sebuah kasus seperti film-film detective yang menjadi genre film favoritnya.
Aldi tiba di hadapan Thania, (namakamu) dan Iqbaal berselang beberapa menit kemudian.
Aldi menatap (namakamu) yang masih menangis sesegukan berada di dalam dekapan Iqbaal dan manik matanya juga beralih menatap Thania yang duduk sambil meringkuk memeluk lutut, gadis itu menatap kosong ke arah lantai. Kedua gadis itu shock, Aldi dapat memahami bagaimana perasaan mereka, yah, meskipun dia tidak pernah merasakan hal yang seperti mereka rasakan saat ini.
”Udah coba hubungi orang tua Salsha?” Tanya Aldi pada siapapun.
”Udah.” Thania yang menjawab.
”Yang pertama kali tau siapa?” Aldi duduk di sebelah (namakamu).
”Gue.” Jawab Thania.
”Kalian lagi ngapain?” Pertanyaan Aldi cukup singkat dan terdengar seperti main-main.
”Kita lagi masak, tapi Salsha izin ke atas untuk ambil handphone-nya.”jelas Thania.
”Dan saat lo naik ke atas Salsha udah tewas?” Aldi bergidik saat merasakan kata tewas dalam kalimatnya terlalu kentara.
”Steffie dateng, dia duluan yang naik ke atas bukan Thania.” (Namakamu) ambil suara.
Tubuh Aldi menegang. ”Mungkin salah satu dari kalian ada yang tau maksud ke datengan Steffie?” Tapi (namakamu) dan Thania menggeleng.
”Salsha bunuh diri?” Aldi masih tak yakin dengan apa yang dia katakan, tapi mengingat bagamaina posisi Salsha terbaring dan cerita dari (namakamu) maupun Thania, Aldi rasa ini memang kasus bunuh diri.
”Jadi menurut lo gue atau Thania yang nembak kepala Salsha?” (Namakamu) menyingkirkan tangan Iqbaal dari bahunya dan mendelik pada Aldi.
”Atau Steffie?” Aldi menambahkan.
”Tapi gue nggak ada denger suara tembakan.”
Aldi tersenyum sinis. ”Disitu masalahnya. kalian nggak ada denger suara tembakan.”

Bersambung...




Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C



No comments:

Post a Comment

Situs terkait