`Red Light`
Part 6
Muhammad Aryanda.
—oOo—
”Duduk.” Perintah (namakamu). Iqbaal menurut, dan duduk di
sebelah (namakamu).
”Aku cuma mau buat Bella jera, (namakamu), supaya dia nggak
bakaln ngulangi kelakuannya lagi.”
”Usaha kamu akan percuma karena Bella nggak akan pernah
jera!”
Iqbaal menghela napas, lalu menenggelamkan punggungnya ke
sofa. Tidak ada gunanya berdebat dengan (namakamu) karena dia pasti akan kalah.
”(Namakamu),” panggil Iqbaal setelah beberapa menit berlalu
dengan keheningan. (Namakamu) hanya menoleh sekedarnya saja. ”Sini.” Iqbaal
menarik lembut punggung (namakamu) dan menenggelamkannya ke dalam pelukan.
Hanya butuh waktu kurang dari lima detik bagi Iqbaal untuk mendengar isakan
(namakamu). Iqbaal tahu kalau (namakamu) hanya merasakan ketakutan, ketakuatan
paska penyerangan Bella terhapad mereka berdua.
(Namakamu) tak ingin Iqbaal kenapa-kenapa. Hanya itu. Hal
serupa yang juga Iqbaal inginkan.
*
Senin—
—sekolah di hebohkan dengan seorang murid perempuan yang di
temukan tewas di toilet perempuan dengan cara gantung diri. Salsha lah yang
pertama kali mengetahui hal ini dan dia segera melaporkan pada guru pertama
yang dia lihat. Para murid dan guru bahkan kepala sekolah pun
berbondong-bondong untuk memenuhi tempat kejadian. Lorong menuju toilet jelas
penuh sesak, ramai sekali orang-orang disana, satpam dan ibu-ibu kantin pun
tidak ketinggalan untuk menyempilkan tubuh mereka di kerumunan itu. Berselang
beberapa menit kemudian, kerumunan itu harus di bubarkan dengan seorang agen
polisi yang di hubungi oleh pihak sekolah.
Tidak akan ada yang menyangka kalau kejadian mengerikan
seperti ini terjadi di sekolah mereka terlebih saat mengetahui siapa gadis yang
di temukan gantung diri di toilet perempuan itu—
—Bella.
”Menurut lo Bella bunuh diri atau di bunuh?” Celoteh seorang
murid perempuan pada teman sejalannya.
”Belum tau pasti, tunggu aja hasilnya dari pihak
kepolisian.”
”Lo ngerasa aneh nggak sama Steffie atau Salsha?” Gadis
pertama mengecilkan suaranya saat menyebut nama kedua gadis yang kemarin
menjadi korban terakhir Bella melintas di hadapan mereka. Steffie berjalan
menunduk dengan tali tambang di tangannya. Semua orang tahu kalau Steffie
bagian dari pramuka sekolah ini. Tapi...sudahlah.
”Emangnya kenapa sama mereka? Menurut gue biasa-biasa aja.
Lo nuduh kalau salah satu dari mereka yang ngelakuin ini sama Bella?”
Gadis pertama mengangguk. ”Gue piket hari ini, dan liat
Salsha dateng pagi banget. Nggak kayak biasanya. Yah, meskipun gue tau kalau
Salsha itu datengnya emang nggak tentu sih, tapi lo ngerasa aneh nggak tepat
kejadian Bella gantung diri bersamaan dengan Salsha yang dateng lebih awal, di
tambah dia orang pertama yang tau keadaan Bella.”
”Terus darimana dia dapet tali? Pinjem sama Steffie? Terus
karena punya kemungkinan Steffie punya niat yang sama dengan Salsha, jadi
Salsha ngajak Steffie untuk ngelakuin tindakan bodoh itu?” Komentar sinis gadis
kedua.
”Mereka bunuh Bella sama-sama.” Putus gadis pertama.
”Dasar gila. Nggak mungkin Salsha kayak gitu, gue kenal
sifat dia, dia orangnya baik.”
”Nggak ada yang tau kepribadian seseorang dengan baik selain
dirinya sendiri. Ngerti?”
Percakapan mereka langsung terhenti saat melihat Aldi,
Iqbaal dan (namakamu) keluar dari kerumunan yang ada di lorong, dan tak lama
sosok gadis yang terkenal karena selalu di cecar oleh Bella menyusul di
belakang—Thania.
”Bella bunuh diri,” gumam (namakamu) linglung.
”Gue masih nggak yakin.” Kata Aldi, yang membuat gadis
pertama itu tersenyum cerah karena masih ada yang berpendapat sama dengannya.
”Salsha mana?” Iqbaal mengedarkan pandangannya ke segala
arah mencari-cari sosok Salsha.
”Salsha lagi di introgasi sama pihak kepolisian karena dia
yang pertama kali tau tentang hal ini.” Papar Aldi seraya melirik arloji yang
tersemat di pergelangan tangan kirinya—pukul 7—masih terlalu pagi, masih ada
waktu setengah jam lagi untuk mendengar bel masuk.
KET: Ditempat gue masuknya jam 7.30, gatau deh di tempat lo
pada.
***
Beberapa jam yang lalu sekolah ini di kejutkan dengan kabar
tewasnya Bella di toilet perempuan, berselang satu jam kemudian, mereka kembali
mendapatkan kabar duka tentang tewasnya Bastian. Tiga orang siswa yang berniat
bolos menemukan mayat Bastian tergeletak tak bernyawa di pagar belakang
sekolah. Para polisi yang masih berada di sekolah langsung menyelidiki tewasnya
Bastian, yang di duga hasil dari pengeroyokan—luka memar di wajah Bastian sudah
menjadi bukti yang cukup kalau Bastian tewas dengan cara di kroyok.
Dua murid yang di temukan tewas di hari yang sama membuat
kepala sekolah membubarkan sekolah lebih cepat. Tak seperti biasanya,
murid-murid tak ada yang berseru senang saat mendengar kabar itu melainkan
mereka terdiam selama beberapa detik; kalau cuma Bella yang tewas mungkin gue
udah teriak.
”Setelah melakukan pemeriksaan, kami pihak kepolisian
membenarkan adanya kalau murid bernama Bella meninggal dengan cara bunuh diri,
dan dia meninggalkan sebuah surat di saku seragamnya. Menurut penyelidikan,
memang benar kalau surat ini di tulis secara langsung oleh Bella,” Polisi itu
berdeham sebelum menyerahkan surat yang ada di tangannya kepada Ketua Kelas
Kelas 3 IPA 5 untuk di bacakan—Aldi.
”Untuk semua murid seangkatan, maaf. Maaf kalau selama ini
gue udah bikin kacau hari-hari kalian, maaf kalau gue selalu memberi tekanan
sama kalian. Semua itu gue lakuin karena gue memiliki masalah keluarga yang
buruk. Gue tumbuh dari bayang-bayang masalah keluarga gue yang ngebuat gue
selalu benci pada siapapun, gue benci sama orang tua gue, sodara, kalian, guru,
semuanya, bahkan gue benci sama alam yang udah menyaksikan hari kelahiran gue.
Sekali lagi gue minta maaf—
—Bella.”
Ketika selesai membaca, Aldi meremas surat itu sampai tak
terbentuk. Tindakannya tentu membuat orang-orang yang ada di dalam kelas
bingung, tapi tak ada satupun dari mereka yang berani bertanya termasuk Pak
Polisi yang berdiri di sebelahnya. Kemudian Aldi keluar dari dalam kelas
diikuti oleh Iqbaal, Thania, (namakamu) dan Salsha.
Koridor sudah sangat sepi tapi di mulut lorong menuju toilet
masih ada beberapa guru, murid dan dua orang polisi.
”Al,” panggil Iqbaal.
Yang di panggil pun menoleh.
”Lo nggak pa-pa, kan?”
”Pertanyaan aneh.”
”Bella sepupu lo.” (Namakamu) mengingatkan, dan dengan
ucapannya yang barusan membuat Iqbaal berjengit.
”Bella sepupu lo?” Iqbaal menatap Aldi tak percaya. Kenapa
(namakamu) bisa tahu sedangkan dia tidak? Hei! Jangan bilang kalau mereka
sangat dekat di belakang Iqbaal. Mimpi buruk!
”Gue nggak terlalu deket sama dia. Jadi, santai aja.” Tutup
Aldi, kemudian tanpa berpamitan dia melanjutkan langkahnya yang sempat
terhenti.
”Kok kamu nggak pernah cerita?” Tanya Iqbaal pada
(namakamu).
”Kamu nggak pernah nanya.”
Iqbaal mendesah. ”Tapi seharusnya kamu cerita sama aku.”
”Eh, gue duluan ya.” Tiba-tiba Salsha melintas di hadapan
(namakamu) dan Iqbaal dengan senyum kikuk yang tak biasanya.
”Gue juga.” Thania mengekori Salsha.
”Ada yang aneh sama Salsha.” Pikir (namakamu).
”Topik kita tadi bukan itu.”
Dengan sebal (namakamu) menoleh ke arah Iqbaal lalu meninju
bahu laki-laki itu. ”Nggak usah di lanjutin, nanti yang ada ribut!”
”Iya deh, yang udah pake jilbab mah.” Cibir Iqbaal sambil
lalu.
Mata dan mulut (namakamu) terbuka lebar, ingin rasanya dia
menendang kaki Iqbaal agar laki-laki itu jatuh tersungkur tapi Iqbaal sudah
lumayan jauh, jadi (namakamu) membatalkan niatnya. Tanpa sadar jemari
(namakamu) merayap ke kepala untuk menyentuh jilbab putih yang dia kenakan.
Bukannya Iqbaal sendiri yang menyuruh dia memakai jilbab karena menurut
laki-laki itu penampilannya sangat tidak cocok dengan rambut pendek? Ugh!
***
”Kenapa di kamar juga di pasang sih!”
”Udah terlanjur. Lagian biar aku bisa liat...”
”Liat apa?!” (Namakamu) mendelik, suaranya naik dua oktaf.
Iqbaal nyengir. ”Liat kamu tidurlah, emangnya mau liat apa
lagi?” Dengan genit Iqbaal mengangkat kedua alisnya secara bersamaan.
”Bohong! Jadi aku ganti baju dimana? :3”
”Di kamar mandi kan bisa.”
”Repot.”
”Deket kok.”
”Tapi beda ruangan!”
”(Namakamu), please, kosan kamu ini nggak besar-besar
banget. Letak kamar mandi sama kamar kamu cuma sebelahan.”
”Tapi tetep aja..” (Namakamu) menggeram kesal, dia seperti
sudah kehabisan kata-kata dan tanpa dia sadari Iqbaal mengklaim kalau laki-laki
itu sudah menang mutlak untuk kali pertamanya.
”Lagian udah terlanjur nggak mungkin kita lepaskan?”
”Ubah topik.” (Namakamu) mengibaskan tangannya lalu
menghempaskan badannya ke tempat tidur.
”Kapan kita nikah?” Pertanyaan bodoh itu sukses membuat
(namakamu) melempar bantal dan mengenai wajah Iqbaal. Iqbaal yang sedang duduk
di sofa langsung menggunakan bantal itu sebagai alas kepalanya.
”Kamu maunya kita punya berapa anak?” Agaknya Iqbaal memang
ingin memancing kemarahan (namakamu). ”Jangan diem aja, (namakamu).” Iqbaal
kembali berceloteh berselang beberapa menit kemudian, selama itu juga dia tidak
mendengar gubrisan dari (namakamu).
Tapi (namakamu) tetap diam membuat Iqbaal benar-benar percis
seperti berbicara dengan tiang listrik.
”Yaudah, aku pulang ya?” Gertak Iqbaal, bukannya (namakamu)
sendiri yang menyuruhnya datang kemari tapi kenapa malah (namakamu) yang diam
seperti batu.
Iqbaal beranjak dari sofa, dia merasa kesal dengan
(namakamu) yang tak kunjung bereaksi. Gadis itu tetap terbaring dengan kepala
yang menghadap ke langit-langit kamar, mengabaikan gerutuan Iqbaal sedari tadi.
Langkah Iqbaal mendekat ke tempat tidur (namakamu), dan di dapatinya sepasang
mata (namakamu) terpejam pulas. Tiba-tiba saja perasaan Iqbaal tak sekacau
beberapa detik yang lalu, ternyata (namakamu) sudah tertidur. Iqbaal belum
pernah melihat (namakamu) tidur secara langsung, dan ketika melihat secara
langsung Iqbaal pikir dia memiliki satu hobi baru; melihat (namakamu) tertidur.
Rasanya kedamaian yang di pancarkan oleh wajah (namakamu) mampu membuat Iqbaal
tersenyum ceria sepanjang hari. Dengan hati-hati Iqbaal membungkukkan badannya
dan mendekatkan wajahnya supaya dia bisa melihat lebih dekat wajah cantik
(namakamu).
Helaan napas (namakamu) yang teratur menerpa wajah Iqbaal,
dan Iqbaal menikmatinya. Dan tiba-tiba saja Iqbaal di buat kaget dengan tingkah
(namakamu) yang menyergap tangannya. Gadis itu memeluk tangannya bak sebuah
guling. Untung tangan kalau yang lain? Bisa hancur benteng iman Iqbaal.
*
Gelap dan dingin. Itu yang pertama kali (namakamu) rasakan
saat matanya terbuka. Dia menggeliat kesisi lain tempat tidur tapi sesuatu
mengaggetkan (namakamu) saat kepalanya membentur sebuah benda—bukan, (namakamu)
yakin kalau yang sekarang tersentuh dengan keningnya bukan sebuah benda
melainkan—
—kepala (namakamu) mendongak menatap seorang laki-laki yang
terbaring bersamanya di tempat tidur dan itu tepat di sebelahnya. Posisi
(namakamu) sekarang menghadap dada laki-laki itu. Mulut (namakamu) terbuka
hendak berteriak tapi gerakan tanpa sadar laki-laki itu menghentikan niatnya.
”Iqbaal!” Dengan susah payah (namakamu) berteriak tapi apa
daya, mulutnya terbenam di dada Iqbaal membuat suaranya tak terdengar sama
sekali. Bulu-bulu kuduk (namakamu) meremang ngeri, lengan Iqbaal melingkar erat
di pinggangnya seakan-akan menganggapnya sebuah guling.
(Namakamu) tahu kalau dia sudah tidak ada cara lain untuk
bebas tapi mengingat kalau di kamarnya ada cctv kepala (namakamu) seperti
teraduk mencari-cari cara agar dia bisa lolos dari kekungan Iqbaal. Dan
muncullah sebuah ide tolol melintas di kepalanya, sedikit ragu (namakamu)
membuka mulutnya untuk mengigit perut, dada atau apapun itu, yang jelas
gara-gara gigitannya itu Iqbaal mengeluh kesakitan dan terjatuh.
(Namakamu) menghela napas, detik berikutnya dia melihat
wajah Iqbaal menyembul dari bawah dengan tangan yang mengelus-ngelussekitar
badan.
”Aku ketiduran,” Gumam Iqbaal linglung, mata laki-laki itu
terpejam lalu terbuka selama lima detik. ”Aku nginap disini ya?”
(Namakamu) mendelik. ”Nggak! Nanti urusannya bakalan panjang
kalau ada orang yang liat.”
Bibir Iqbaal mengerucut. ”Aku mimpi di gigit harimau.”
Cerita Iqbaal sambil beranjak untuk menyalakan lampu.
(Namakamu) terkekeh. ”Kok sama?”
”Kamu juga mimpi di gigit harimau?” Tanya Iqbaal basa-basi,
laki-laki itu menjatuhkkan badannya di sofa lalu hanya butuh dua detik matanya
sudah terpejam.
”Aku di terkam bukan di gigit.”
”Oh.” Kata Iqbaal.
(Namakamu) sudah beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke
arah jendela untuk menutupnya. Setelah itu dia berjalan ke sofa tempat Iqbaal
duduk dengan mata terpejam dan mulut yang ternganga, (namakamu) menggeleng
menyaksikan cara Iqbaal tertidur. Lalu (namakamu) menarik tangan Iqbaal supaya
laki-laki itu lekas bangun.
”Aku masih ngantuk, (namakamu).” Renge Iqbaal, sebagai
pembuktian kalau dia masih ngantuk, Iqbaal dengan santainya membaringkan
badannya di sofa.
”Baal, jangan gitu dong, nanti kalau ada orang yang liat
gimana, kan nggak enak.”
”Palingan cuma di suruh nikah, (namakamu). Gitu doang mah
nggak masalah.” Ucap Iqbaal dengan mata yang masih terpejam.
”Baal, jangan becanda deh, ini udah malem pasti Mama kamu
nyariin deh.”
”Nggak ada sms masuk.” Sahut Iqbaal enteng.
”Iqbaal! Ish!”
Lima detik berlalu. ”Aduh, (namakamu)! Jangan gitu dong,
sakit perut aku, nanti aku bisa mati, turun-turun!”
”Bangun gak?” Ancam (namakamu), gadis itu semakin gila
sepertinya, dengan biadabnya dia menduduki perut Iqbaal.
”Iya iya iya! Ish.”
***
Seminggu telah berlalu paska di temukannya dua murid yang
tewas di perkarangan sekolah. Keadaan memang belum sepenuhnya normal, banyak
murid-murid terutama murid perempuan yang ogah mengunjungi toilet perempuan
karena merasa takut. Tapi di sela keparnoan mereka dengan toilet perempuan,
mereka juga seakan bisa bernapas legah karena tidak ada seorang gadis dengan
tingkah iblis yang hampir setiap detiknya membuat murid-murid tak tenang.
Sekarang mereka seakan menemukan kehidupan baru di sekolah yang lebih layak.
”Rambutnya udah mulai tumbuh?” Tanya Iqbaal pada (namakamu)
yang berjalan di sebelah kanannya, sementara Aldi dan Salsha berada di depan
mereka dan Thania berada di sebelah kiri Iqbaal.
”Lumayan lah.”
”Terus kalau rambutnya udah panjang jilbabnya mau di lepas?”
”Nggak sih, udah nyaman aja kayak gini.”
”Istri yang soleha.” Iqbaal hendak mengecup pipi (namakamu),
tapi (namakamu) dengan sigap mengindar.
”Banyak orang.”
Iqbaal memutar bola matanya lalu dia berbisik pada Thania.
”Kamu nggak masalah kan?”
”Hah?” Seakan bisikan Iqbaal itu menghancurkan lamunan
Thania, Thania hanya bisa mendongak dan menatap bingung Iqbaal.
Iqbaal tersenyum. ”Nggak pa-pa.”
Sesampainya di kantin, (namakamu), Iqbaal dan Thania segera
menghampiri tempat yang sudah di duduki Salsha dan Aldi. (Namakamu) duduk di
sebelah Salsha membuat gadis itu tersentak, ternyata gadis itu sedang melamun.
(Namakamu) memaklumi, entahlah, Salsha sekarang sering sekali melamun dan
terlihat murung, gadis itu tidak seperti biasanya, tidak seperti pertama kali
(namakamu) mulai berbincang tentang banyak hal pada gadis ini.
”Kamu ada masalah, Sha?”
Sepertinya Salsha kembali larut dengan pikirannya sendiri,
sampai-sampai dia tidak sadar dengan pertanyaan (namakamu). Tapi tiba-tiba
Salsha berkata.
”Rambut gue kayak gini lucu nggak sih, (namakamu)? Gue jadi
nggak pede latihan.” Kata Salsha, yang langsung membuat keempat temannya
menatapnya heran. ”Kenapa?”
Semua menggeleng.
”Nggak lucu kok. Tetep cantik.”
Salsha tersenyum menanggapi ucapan (namakamu).
Saat pesanan datang, meja mereka begitu hening dan hanya
terdengar suara sendok dan mangkok ataupun piring yang berada. Salsha merasa
risih dengan tatapan Aldi yang sejak beberapa menit yang lalu mengarah padanya.
”Harus ya makan pake tangan kiri?” Agaknya Aldi sudah tak
tahan menahan pertanyaan yang sejak tadi menganggu konnsentrasinya.
”Gue emang kidal. Jadi wajar aja.” Balas Salsha agak sewot.
”Berarti lo nulis pake tangan kiri?” Tanya Iqbaal dengan
wajah berbinar. Salsha mengangguk. ”Keren.”
Salsha mengangkat bahunya sebagai respon. Entahlah, dia
sendiri tidak tahu mengapa semenjak kejadian beberapa hari yang lalu itu,
Salsha merasa kalau dalam dirinya ada yang berubah. Tapi, sudahlah..
***
Sekolah sudah di bubarkan lima menit yang lalu, (namakamu),
Iqbaal dan Thania masih berjalan di koridor. Seperti biasanya, Iqbaal menautkan
jemari tangannya di jari-jari tangan (namakamu), dia menganggam tangan (namakamu)
dengan sikap tak ingin kehilangan. Entahlah, Iqbaal rasa, rasa cintanya kepada
(namakamu) semakin tumbuh seiring berjalannya waktu.
”(Namakamu)!”
Teriakan dari belakang membuat langkah ketiga manusia ini
terhenti, Salsha berada di ujung sana dan sebentar lagi akan sampai di dekat
mereka melambaikan tangannya.
”Ada apa, Sha?” Tanya (namakamu) setibanya Salsha di hadapan
mereka.
”Papa sama Mama gue keluar kota. Lo bisa nggak malem ini
temeni gue di rumah?” Jelas Salsha, dia menghindari tatapan Iqbaal yang menusuk
tak sopan ke arahnya.
Sebelum menjawab, (namakamu) melemparkan pandangan kepada
Iqbaal seolah Iqbaal adalah orang tuanya dan kalau Iqbaal menyetujui ajakan
Salsha yang di tujukan kepadanya, maka (namakamu) secara otomasi akan menerima
tawaran Salsha.
”Lo juga boleh ikut.” Salsha menggeser pandangannya ke
Thania.
Sama seperti (namakamu), Thania tak langsung menjawab, gadis
itu diam sejenak seolah sedang menimang-nimangajakan Salsha.
”Yaudah, gue mau.” Putus (namakamu).
”Lo gimana?”
”Yaudah.”
***
”Salsha akhir-akhir ini aneh.” Kata (namakamu) setibanya dia
dan Iqbaal di kosan.
”Hm.” Iqbaal sependapat.
”Menurut kamu dia kenapa?” Setelah menemukan kunci kosannya,
(namakamu) menginjak tumitnya untuk melepaskan sepatu.
”Mungkin ada masalah.”
”Kamu langsung anter aku ke rumah Salsha?”
”Terserah kamu gimana maunya.” Kata Iqbaal seraya duduk di
sofa, dia melihat (namakamu) masuk ke dalam kamar, sebelum (namakamu) melupakan
sebuah hal, Iqbaal buru-buru mengingatkan. ”Jangan ganti baju di kamar.”
Teriaknya, ada sedikit penyesalan saat dia berteriak seperti itu. Eh?
Tak lama (namakamu) keluar dengan wajah murung beserta
pakaian yang akan dia pakai. Iqbaal hanya bisa melempar senyum melihat
(namakamu) yang seperti itu, dan saat (namakamu) lenyap di balik pintu kamar
mandi, Iqbaal kembali berteriak.
”Seharusnya aku juga pasang di kamar mandi!”
Tak ada sahutan, tapi Iqbaal terkekeh membayangi.
Berselang sepuluh menit, (namakamu) keluar dari kamar mandi
dengan kaos putih berlengan dan celan jeans biru langit. Rambut gadis itu sudah
lumayan tumbuh tapi tetap saja di mata Iqbaal terlihat aneh.
”Kayaknya aku pergi sekarang aja deh.” (Namakamu) sudah
duduk di sebelah Iqbaal.
”Kenapa?”
”Kayaknya kamu bener, mungkin Salsha lagi ada masalah dan nggak
tau mau cerita sama siapa.”
”Kalau gitu kamu kemasin barang terus.”
(Namakamu) mendengus, kata 'kemasin' pada kalimat Iqbaal
terdengar berlebihan, padahalkan dia mungkin hanya menginap satu atau dua malam
di rumah Salsha. Tapi (namakamu) memang sedang tak ingin berdebat dengan
Iqbaal, jadi dia hanya menuruti perintah laki-laki itu tanpa berkomentar
sedikitpun.
***
Jarak kosan (namakamu) ke rumah Salsha lumayan jauh terlebih
dia dan Iqbaal sering salah jalan karena Iqbaal yang katanya pernah ke rumah
Salsha lupa rute. Menyebalkan. (Namakamu) dan Iqbaal tiba di rumah Salsha pukul
15.32 sore, dan ternyata Thania sudah berada disana. (Namakamu) tidak tahu
darimana Thania tahu rumah Salsha dan dia tidak mau berpusing-pusing memikirkan
itu.
”Kamu langsung pulang?” (Namakamu) mendapati Iqbaal tidak
turun dari motor.
”Iya. Kalau ada perlu apa-apa kamu bisa hubungi aku.” Pesan
Iqbaal, kemudian dia menarik (namakamu) dan mengecup pelan kening gadis itu.
”Oke.”
Iqbaal tersenyum pada (namakamu), dan Salsha—dan Thania yang
berada di halaman depan sebelum benar-benar lenyap dari pandangan mereka.
***
Malam harinya, ketiga gadis itu berniat menghabiskan waktu
mereka di dalam kamar. Sebelum itu, mereka memastikan kalau seluruh jendela dan
pintu sudah terkunci.
(Namakamu) tahu kalau mereka bertiga belum cukup akrab, dan
membuat suasana yang seharusnya ceria dan penuh obrolan malah menjadi hampa dan
membosankan, sampai akhirnya Salsha mengusulkan untuk menonton dvd. Thania
menolak film horor yang di tawarkan oleh Salsha, sedangkan (namakamu) menolak
film laga tawaran Salsha, jadi mereka memutuskan untuk menonton film komedi.
Tapi tetap saja, walaupun aktor sudah bertingkah dan beceloteh selucu mungkin
tidak ada salah dari mereka yang benar-benar tertawa. Tidak ada yang menikmati
film.
”Hape gue lowbat. Ada charger?” (Namakamu) bertanya pada
Salsha yang (sok) fokus pada film.
”Di laci.” Telunjuk Salsha menuding ke arah laci meja
belajarnya.
(Namakamu) juga tak bisa membohongi dirinya sendiri kalau
dia juga tidak menikmati film. Tapi tak apa, suasana lebih bernyawa karena dvd
itu. Ponsel (namakamu) bergetar, (namakamu) tahu kalau itu pesan dari Iqbaal
jadi dia mencoba mengabaikan, tapi sepertinya Iqbaal kesal dengannya karena
lama membalas pesannya.
[Line]
IqbaalDR: lama
IqbaalDR: woyyy
IqbaalDR: kcng..kcng...
IqbaalDR: (namakamu)!!!
IqbaalDR: aku tidur yaaaaaaa
(Namakamu)_ss: apa sih
Tangan (namakamu) bergerak menarik laci, setelah yakin kalau
laci sudah terbuka, (namakamu) menjejalkan tangan untuk mengambil charger tapi
sebuah benda asing tersentuh telapak tangannya. (Namakamu) mengalihkan fokusnya
dari layar ponsel dan beralih menatap ke dalam laci, begitu sepasang matanya
tertumbuk pada benda, yang, ah, bibir (namakamu) begitu susah menyebutkan nama
benda itu, tenggorokannya terasa tercekat, jadi (namakamu) hanya mengangkat
benda itu dan memutar badanya dengan sikap meminta penjelasan pada Salsha.
”Pistol?” Susah payah kata itu keluar dari mulut (namakamu).
”Itu,” agaknya Salsha sedang mencari-cari alasan yang tepat
untuk menjelaskan pada (namakamu).
Jeng! Jeng! Jeng!
Bersambung...
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment