Thursday, August 20, 2015

Cerbung Red Light - Part 3



`Red Light`

Part 3

Muhammad Aryanda.

OoO

Maaf ya kalau ada adegan kekerasan yang ngelebihi batas soalnya ya gitu....


***
'Cewek itu?' Kepala Iqbaal seperti terbentur begitu isi kepalanya menemukan jawaban atas pertanyaan yang teringang di otaknya. Apakah ini sebuah ancaman? Ancaman yang benar-benar membuat Iqbaal takut. Tidak, Iqbaal yakin dia tidak akan takut dengan segala ancaman Bella, yang perlu dia lakukan hanyalah melindungi seseorang yang saat ini menjadi target Bella.
Hanya itu. Tapi kenapa perasaan takut itu tetap muncul? Iqbaal naik pitam, tangan segera bergerak untuk mengunci leher Bella.

”Kalo orang yang lo maksud adalah (namakamu), lo bakalan berurusan sama gue secara langsung!” Teriak Iqbaal murka. Sudut-sudut matanya berkedut karena menahan jemarinya agar tak mencekik Bella hingga tawas.
Bella tertawa mengerikan. Sadar kalau Iqbaal secara terang-teranganmengatakan padanya kalau gadis itu benar-benar barang berharganya.
*
— Obrolan Malam —
Sedikit memubungkukkan badannya, (namakamu) menatap kalender dengan telunjuk yang bergeser-geser mencari tanggal yang seakan terlupakan olehnya.
”Tanggal berapa ya?” Lalu telunjuk (namakamu) terhenti pada tanggal 8 Februari. ”Bener nggak sih?” Di saat (namakamu) sedang sibuk menggali ingatannya, ponselnya yang berada di sebelah kalender berdering, sebuah senyuman tanpa sadar terukir di wajah (namakamu). Lelakinya!
”Hai.” (Namakamu) bisa mendengar Iqbaal menghela napas pendek seperti biasanya. Ternyata Iqbaal masih belum bisa membiasakan diri dengan sapaan 'hai' (namakamu) yang selalu dia lontarkan pada siapapun. (Namakamu) memang seperti itu kan?
Iqbaal diam, tahu kalau ada sesuatu yang kurang, (namakamu) buru-buru menambahkan.
”Hai. Selamat malam, sayangku, cintaku, buah hatiku, permataku, segala-galanya bagiku.” Dan (namakamu) terkekeh di akhirnya kalimatnya.
”Halo juga duniaku.”
Entahlah, (namakamu) rasa balasan Iqbaal sangat berlebihan, mungkin bisa di sebut lebay menurut anak zaman sekarang, tapi (namakamu) tak mengelak kalau dia merasa senang mendengar itu.
”Ada apa nih malem-malem hubungi aku?” Tanya (namakamu) seraya menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
”Pertanyaannya kok kayak gitu sih?” Suara Iqbaal tampak sebal.
”Kan kamu emang nggak biasanya hubungi aku, katanya kamu sebel sama sapaan 'hai' aku.” (Namakamu) mengingatkan Iqbaal sambil tertawa pelan.
”(Namakamu), jangan ketawa terus.” Kata Iqbaal, tapi (namakamu) kembali tertawa karena dia membayangkan Iqbaal sedang mengerucutkan bibirnya.
(Namakamu) terdiam. ”Oke.”
”Aku kangen kamu.” Ungkap Iqbaal.
”Kamu kayak anak kecil deh. Ada apasih, kamu nggak kayak biasanya?”
Tapi Iqbaal mengabaikan pertanyaan (namakamu). ”Aku ke tempat kamu ya?”
(Namakamu) mengangguk, sadarlah dia kalau Iqbaal tidak bisa melihat itu. ”Iya.”
”Aku tutup ya?”
”Iya, sayangku.”
Dan sambungan pun terputus. (Namakamu) segera bangkit dari posisi berbaringnya, dia sekarang mengingat dengan jelas tanggal 8 Februari yang sempat terlupakan olehnya—bakti sosial—(namakamu) sudah memutuskan untuk mengarahkan pada anggotanya untuk melakukan bakti sosial pada warga yang tinggal di dekat sungai kotor, yang beberapa minggu lalu sempat (namakamu) lalui. Teringat (namakamu), air sungainya tidak terlalu mengalir karena banyak sampah yang menyumbat, oleh karena itu (namakamu) meminta izin pada Kepala Dusun disitu untuk mengizinkannya melakukan kerja bakti sosial pada hari minggu. Dengan senang hati Kepala Dusun menerima tawaran (namakamu).
Beberapa menit yang lalu Iqbaal sudah sampai, laki-laki itu datang dengan beberapa cemilan beserta soft drink seperti biasanya. Lalu keduanya duduk di depan kos (namakamu).
Perlu di ketahui kalau (namakamu) itu sudah kos di tempat ini semenjak kelas satu SMA dan sekarang dia sudah kelas tiga. (Namakamu) sebenarnya tidak terlalu bisa tinggal jauh dari kedua orang tuanya yang ada di Bandung sementara dia di Jakarta, tapi sebuah hal membuat (namakamu) berpikir kalau dengan jarak yang terpisah dari orang tuanya membuat dia lebih cepat dewasa dan akan lebih bisa memahami kehidupan. (Namakamu) tak bisa pungkiri bagaimana dia sangat ingin membantu orang-orang yang kesusahan, anak-anak yang terlantar di pinggiran toko, para orang tua paruh bayah yang masih mencari nafkah hingga larut malam. (Namakamu) rasa dia sangat bahagia dengan hidupnya yang sekarang, dia seperti menyatu dengan alam.
”Kamu berniat untuk pasang cctv di kosan aku? Buat apa?” (Namakamu) terkejut saat Iqbaal mengutarakan niatnya untuk memasang cctv di kosannya.
”Iya, (namakamu). Aku ngelakuin ini karena aku sayang sama kamu dan nggak mau kamu kenapa-napa.” Ungkap Iqbaal lalu mendesah, iris mata cokelatnya menatap ke dalam mata (namakamu) saat gadis itu membulatkan matanya.
”Cuma karena Bella?” (Namakamu) mengingat alasan di balik semua ini. ”Aku bisa jaga diri aku sendiri lagian Bella nggak mungkin ngebunuh aku kan?” Perkataan (namakamu) di akhir kalimat membuat mata Iqbaal mengeras. Iqbaal bergidik ngeri membayangkan ucapan (namakamu) itu.
”Cukup Thania.” Kata Iqbaal pelan, kemudian mendekatkan wajahnya ke kening (namakamu) untuk mengecupnya.
(Namakamu) bisa merasakan desiran darahnya yang bergerak cepat saat sentuhan bibir Iqbaal mengecap di keningnya.
”Kamu nggak perlu khawatir.” (Namakamu) mengingatkan. Posisi Iqbaal yang masih tercondong ke arahnya membuat aroma maskulin khas Iqbaal menyeruak masuk ke dalam indra pencernaannya.
Beberapa detik keadaan berlangsung hening, lalu (namakamu) menjatuhkan kepalanya ke dada Iqbaal. Dia rasa ada sebaiknya dia untuk bertingkah sedikit takut agar keadaan menegangkan yang di buat-buat ini segera berakhir di antara mereka. (Namakamu) tidak suka situasi seperti ini.
”Kamu nggak masalah kan sama sikap aku yang peduli sama Thania?” Tiba-tiba (namakamu) mendengar suara pelan Iqbaal mengisi telinganya. (Namakamu) menggeleng. ”Kamu nggak cemburu?” Iqbaal melanjutkan pertanyaannya. Dan (namakamu) memberikan jawaban dengan menggeleng lagi. ”Masa sih?” Dan untuk kesekian kalinya (namakamu) menggeleng. ”Berarti kamu nggak cinta sama aku? Kebanyakan cewek itu selalu cemburu kalau cowoknya deket atau ngasih perhatian lebih sama cewek lain.” Dan tiba-tiba saja suara Iqbaal berubah ketus.
”Kok marah?” (namakamu) mengangkat wajahnya. Sepasang manik matanya menatap bingung ke arah Iqbaal yang kini tengah murung menatapnya.
”Aku nggak marah, cuma yah, gitu..”
”Apa sih, nggak jelas banget.”
”Kamu sebenernya sayang nggak sih sama aku?” Iqbaal mengulang pertanyaannya dengan mimik wajah seperti anak kecil yang sedang merajuk.
”Nggak.”
Iqbaal tercengang. ”Kok?”
”Suatu saat nanti pasti bakalan ada orang yang lebih sayang sama kamu.” Ucap (namakamu) lemah, dia menggeser badannya untuk menghindari tatapan pilu Iqbaal.
Dengan susah payah Iqbaal membalik badan (namakamu) agar mengarah padanya. Apa yang terjadi dengan (namakamu) sih?
”Si-siapa?” Tanya Iqbaal gugup, karena tak berhasil memutar badan (namakamu), akhirnya Iqbaal memutuskan untuk bergerak sendiri. Sekarang dia tengah berdiri di hadapan (namakamu) sambil membungkuk, wajahnya dia condongkan ke wajah (namakamu) yang di tutup dengan telapak tangan. Menyebalkan.
”Aku nggak ngerti sama kamu, maksud kamu siapa orang yang bakalan lebih sayang sama aku itu?” Dengan hati-hati Iqbaal mengangkat jemarinya ke telapak tangan (namakamu) untuk menyisihkan jari tangan (namakamu) yang merapat.
(Namakamu) menjatuhkan telapak tangannya yang menutup wajahnnya, tapi tatapan dia usahakan agar tak bertumbukan dengan Iqbaal, dan tahu kah (namakamu) bagaimana perasaan Iqbaal saat ini? Sebal dan takut! Itu!
”SIAPA ORANG YANG KAMU MAKSUD ITU (NAMKAMU)??” Teriak Iqbaal.
(Namakamu) memutar bola matanya lalu menghela napas pendek. ”Anak kita.” (Namakamu) nyengir pada Iqbaal.
”Asdfghjkl-__-”
(Namakamu) tertawa lepas melihat wajah Iqbaal yang sangat absrud seperti itu. (Namakamu) sangat puas karena dia merasa bisa mengerjai Iqbaal sampai setolol ini, bahkan ekspresi absrud di wajah Iqbaal lebih dari kata tolol.
”Nggak lucu tau, (namakamu).” Gerutu Iqbaal di sela tawa lepas (namakamu), tapi (namakamu) mengabaikan ucapan Iqbaal.
”Wajah kamu, Baal,” (namakamu) tersedak dengan tawanya, lalu melanjutkan kalimatnya. ”Lucu.”
”Ya ya ya, puas-puasin aja ketawa.” Tapi ketenangan yang tercetak di wajah Iqbaal langsung luntur saat tahu (namakamu) masih mengabaikannya,dan lebih sibuk tertawa seperti gadis gila. Seingatnya, (namakamu) tidak seperti ini.
”Perut aku...sakit.” Kata (namakamu) seraya mencengkram perutnya.
”Kayaknya itu karena kamu udah lama nggak chek up.”
(Namakamu) menghentikan tawanya. ”Loh?”
”Bukannya kamu lagi hamil anak aku ya?” Dengan genitnya Iqbaal mengangkat kedua alisnya secara bersamaan, dan itu dia lakukan secara berkali-kali.
”Apa sih, Iqbaal, ngomongnya kok kayak gitu.” Ujar (namakamu) murung.
Iqbaal menghela napas panjang. ”Perasaan biasanya aku yang ngambek deh, (namakamu), kenapa jadi kamu yang nguasai permainan malam ini?”
”Nggak boleh bilang kayak gitu, pamali!”
”Iya iya, aku minta maaf.”
(Namakamu) mendengus lalu menggerutu. ”Padahalkan kita belum ngelakuinnya.”
”-___-?”
”Becanda,” (Namakamu) nyengir. ”Udah malam nih.”
”Ngusir nih?”
”Bisa nggak, Baal, sehari aja nggak usah ngambek kayak anak kecil?” (Namakamu) menatap tajam ke arah Iqbaal, yang membuat Iqbaal nyengir nggak jelas. ”Jangan pulang terlalu malam. Nggak baik, aku takut hal buruk bakalan terjadi sama kamu.”
”Khawatir nih?” Goda Iqbaal sambil mencolek dagu (namakamu).
”Aku serius. Kalau kamu di begal gimana?”
”Nggak ada yang lebih serem, (namakamu)? -___-"”
”Terus kamu di cincang-cincangkayak daging kambing.” Sambung (namakamu) seraya membuat gestur seolah sedang memotong sebuah daging.
”Cukup, Babe.”
”Babe?”
”Iya, kamu kan pacar aku jadi aku manggilmnya babe.”
”Masa sih aku pacar kamu?”
”(NAMAKAMU)!!”
(Namakamu) nyengir kemudian menghambur ke dalam pelukan Iqbaal. Dia memeluk erat laki-laki itu sebelum akhirnya berkata. ”Hati-hati ya.”
”Gitu doang?” Iqbaal menunduk untuk menatap wajah (namakamu).
”Oke. Tutup mata.”
Mendengar ucapan (namakamu), Iqbaal segera memejamkan matannya. Dan tanpa menunggu lama dia bisa merasakan bibir (namakamu) mengecup di pipinya.
”Gitu aja?” Tanya Iqbaal setelah (namakamu) menjauhkan wajahnya. ”Disini mana?” Dengan jahil Iqbaal menunjuk bibirnya, tapi tanpa takut (namakamu) langsung melayangkan bogeman ke perut laki-laki itu.
”Sakit?” Tanya (namakamu) dengan senyum mengejek. Dia sudah tidak dalam dekapan Iqbaal lagi karena laki-laki itu sekarang tengah membungkuk sambil meringis.
”(Namakamu), sakit. Kamu ini nggak bisa mempertahani situasi banget sih, padahal kamu tinggal ngecup bibir aku. Gitu.” Jelas Iqbaal, masih meringis.
”Mending kamu pulang cepetan daripada aku makin marah.”
”Jangan marah dong.”
”Serah.”
”Yah, (namakamu), niat aku cuma becanda kok.”
”Nggak lucu, Baal.” Sambil berkacak pinggang, (namakamu) mendelik ke arah Iqbaal.
”Bilang sama aku kalau kamu cuma ngerjain aku?” Kata Iqbaal penuh harap, lalu dia mendekatkan diri pada (namakamu) dan tatapanya sungguh-sungguhkalau dia sangat menyesali perkataanya. Memangnya sampai separah itu ya kesalahan Iqbaal? Sampai-sampai (namakamu) jadi marah seperti ini? ”Maafin aku ya?” Tak kunjung luluh, Iqbaal kemudian mengeluarkan puppy eyesnya.
”Janji nggak ulangi?”
Iqbaal mendesah. ”Jadi aku nggak bakalan pernah bisa cium kamu ya?” Kepala Iqbaal tertunduk lesuh.
”Apa sih Iqbaal! Pikirannya kok kayak gitu, yang penting kan aku sayang dan cinta sama kamu, emangnya mesti ya kalau pembuktian cinta itu pake ciuman segala? Nggak kan? Dengan kamu yang selalu buat aku nyaman aja itu udah ngebuktiin cinta kamu ke aku.”
Jadi (namakamu) beneran marah? Pikir Iqbaal dalam hati.
”Iya, aku minta maaf, janji nggak ulangi lagi deh. Suer!” Iqbaal mengacungkan jari peacenya.
(Namakamu) menghela napas sebelum mengangguk. Ternyata kalau terlalu banyak marah, baik dalam keadaan becanda atau serius itu sama-sama membuatnya lelah. (Namakamu) meletakan kedua tangannya di pipinya. Tiba-tiba saja (namakamu) takut kalau dia menjadi tua karena terlalu banyak marah-marah, padahalkan ini bukan sikap sesungguhnya.
”Yaudah, mending sekarang kamu pulang. Takutnya kamu bakalan kemalaman.”
”Iya.” Kata Iqbaal ambigu. Seakan dia lebih memilih untuk menyaring ucapannya, takut kalau ucapannya akan salah lagi. ”Aku pulang ya.” Iqbaal sudah duduk di jok motornya saat (namakamu) mengangkat bungkusan snack yang masih utuh, begitu pun juga dengann soft drink mereka.
”Mubazir!”
”Gara-gara kamu!”
”Kok gara-gara aku?”
”Kan kamu yang ngambekkan.”
”Itu gara-gara kamu duluan yang cari gara-gara sama aku.”
”Bukannya kamu duluan ya, yang ngerjain aku?”
”Tapi kan aku cuma becanda.”
”Tapi becanda kamu nggak lucu.”
(Namakamu) menggeram. ”STOP! PULANG! SEKARANG!” Teriaknya, yang langsung membuat mulut Iqbaal terbungkam lalu dengan gerakan cepat Iqbaal menyalakan mesin motornya, dann bergegas pergi.


Bersambung...




Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

No comments:

Post a Comment

Situs terkait