`Red Light`
Part 3
Muhammad Aryanda.
OoO
Maaf ya kalau ada adegan kekerasan yang ngelebihi batas
soalnya ya gitu....
***
'Cewek itu?' Kepala Iqbaal seperti terbentur begitu isi
kepalanya menemukan jawaban atas pertanyaan yang teringang di otaknya. Apakah
ini sebuah ancaman? Ancaman yang benar-benar membuat Iqbaal takut. Tidak,
Iqbaal yakin dia tidak akan takut dengan segala ancaman Bella, yang perlu dia
lakukan hanyalah melindungi seseorang yang saat ini menjadi target Bella.
Hanya itu. Tapi kenapa perasaan takut itu tetap muncul?
Iqbaal naik pitam, tangan segera bergerak untuk mengunci leher Bella.
”Kalo orang yang lo maksud adalah (namakamu), lo bakalan
berurusan sama gue secara langsung!” Teriak Iqbaal murka. Sudut-sudut matanya
berkedut karena menahan jemarinya agar tak mencekik Bella hingga tawas.
Bella tertawa mengerikan. Sadar kalau Iqbaal secara
terang-teranganmengatakan padanya kalau gadis itu benar-benar barang
berharganya.
*
— Obrolan Malam —
Sedikit memubungkukkan badannya, (namakamu) menatap kalender
dengan telunjuk yang bergeser-geser mencari tanggal yang seakan terlupakan
olehnya.
”Tanggal berapa ya?” Lalu telunjuk (namakamu) terhenti pada
tanggal 8 Februari. ”Bener nggak sih?” Di saat (namakamu) sedang sibuk menggali
ingatannya, ponselnya yang berada di sebelah kalender berdering, sebuah
senyuman tanpa sadar terukir di wajah (namakamu). Lelakinya!
”Hai.” (Namakamu) bisa mendengar Iqbaal menghela napas
pendek seperti biasanya. Ternyata Iqbaal masih belum bisa membiasakan diri
dengan sapaan 'hai' (namakamu) yang selalu dia lontarkan pada siapapun.
(Namakamu) memang seperti itu kan?
Iqbaal diam, tahu kalau ada sesuatu yang kurang, (namakamu)
buru-buru menambahkan.
”Hai. Selamat malam, sayangku, cintaku, buah hatiku,
permataku, segala-galanya bagiku.” Dan (namakamu) terkekeh di akhirnya
kalimatnya.
”Halo juga duniaku.”
Entahlah, (namakamu) rasa balasan Iqbaal sangat berlebihan,
mungkin bisa di sebut lebay menurut anak zaman sekarang, tapi (namakamu) tak
mengelak kalau dia merasa senang mendengar itu.
”Ada apa nih malem-malem hubungi aku?” Tanya (namakamu)
seraya menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
”Pertanyaannya kok kayak gitu sih?” Suara Iqbaal tampak
sebal.
”Kan kamu emang nggak biasanya hubungi aku, katanya kamu
sebel sama sapaan 'hai' aku.” (Namakamu) mengingatkan Iqbaal sambil tertawa
pelan.
”(Namakamu), jangan ketawa terus.” Kata Iqbaal, tapi
(namakamu) kembali tertawa karena dia membayangkan Iqbaal sedang mengerucutkan
bibirnya.
(Namakamu) terdiam. ”Oke.”
”Aku kangen kamu.” Ungkap Iqbaal.
”Kamu kayak anak kecil deh. Ada apasih, kamu nggak kayak
biasanya?”
Tapi Iqbaal mengabaikan pertanyaan (namakamu). ”Aku ke
tempat kamu ya?”
(Namakamu) mengangguk, sadarlah dia kalau Iqbaal tidak bisa
melihat itu. ”Iya.”
”Aku tutup ya?”
”Iya, sayangku.”
Dan sambungan pun terputus. (Namakamu) segera bangkit dari
posisi berbaringnya, dia sekarang mengingat dengan jelas tanggal 8 Februari
yang sempat terlupakan olehnya—bakti sosial—(namakamu) sudah memutuskan untuk
mengarahkan pada anggotanya untuk melakukan bakti sosial pada warga yang
tinggal di dekat sungai kotor, yang beberapa minggu lalu sempat (namakamu)
lalui. Teringat (namakamu), air sungainya tidak terlalu mengalir karena banyak
sampah yang menyumbat, oleh karena itu (namakamu) meminta izin pada Kepala
Dusun disitu untuk mengizinkannya melakukan kerja bakti sosial pada hari
minggu. Dengan senang hati Kepala Dusun menerima tawaran (namakamu).
Beberapa menit yang lalu Iqbaal sudah sampai, laki-laki itu
datang dengan beberapa cemilan beserta soft drink seperti biasanya. Lalu
keduanya duduk di depan kos (namakamu).
Perlu di ketahui kalau (namakamu) itu sudah kos di tempat
ini semenjak kelas satu SMA dan sekarang dia sudah kelas tiga. (Namakamu)
sebenarnya tidak terlalu bisa tinggal jauh dari kedua orang tuanya yang ada di
Bandung sementara dia di Jakarta, tapi sebuah hal membuat (namakamu) berpikir
kalau dengan jarak yang terpisah dari orang tuanya membuat dia lebih cepat
dewasa dan akan lebih bisa memahami kehidupan. (Namakamu) tak bisa pungkiri
bagaimana dia sangat ingin membantu orang-orang yang kesusahan, anak-anak yang
terlantar di pinggiran toko, para orang tua paruh bayah yang masih mencari
nafkah hingga larut malam. (Namakamu) rasa dia sangat bahagia dengan hidupnya
yang sekarang, dia seperti menyatu dengan alam.
”Kamu berniat untuk pasang cctv di kosan aku? Buat apa?”
(Namakamu) terkejut saat Iqbaal mengutarakan niatnya untuk memasang cctv di
kosannya.
”Iya, (namakamu). Aku ngelakuin ini karena aku sayang sama
kamu dan nggak mau kamu kenapa-napa.” Ungkap Iqbaal lalu mendesah, iris mata
cokelatnya menatap ke dalam mata (namakamu) saat gadis itu membulatkan matanya.
”Cuma karena Bella?” (Namakamu) mengingat alasan di balik
semua ini. ”Aku bisa jaga diri aku sendiri lagian Bella nggak mungkin ngebunuh
aku kan?” Perkataan (namakamu) di akhir kalimat membuat mata Iqbaal mengeras.
Iqbaal bergidik ngeri membayangkan ucapan (namakamu) itu.
”Cukup Thania.” Kata Iqbaal pelan, kemudian mendekatkan
wajahnya ke kening (namakamu) untuk mengecupnya.
(Namakamu) bisa merasakan desiran darahnya yang bergerak
cepat saat sentuhan bibir Iqbaal mengecap di keningnya.
”Kamu nggak perlu khawatir.” (Namakamu) mengingatkan. Posisi
Iqbaal yang masih tercondong ke arahnya membuat aroma maskulin khas Iqbaal
menyeruak masuk ke dalam indra pencernaannya.
Beberapa detik keadaan berlangsung hening, lalu (namakamu)
menjatuhkan kepalanya ke dada Iqbaal. Dia rasa ada sebaiknya dia untuk
bertingkah sedikit takut agar keadaan menegangkan yang di buat-buat ini segera
berakhir di antara mereka. (Namakamu) tidak suka situasi seperti ini.
”Kamu nggak masalah kan sama sikap aku yang peduli sama
Thania?” Tiba-tiba (namakamu) mendengar suara pelan Iqbaal mengisi telinganya.
(Namakamu) menggeleng. ”Kamu nggak cemburu?” Iqbaal melanjutkan pertanyaannya.
Dan (namakamu) memberikan jawaban dengan menggeleng lagi. ”Masa sih?” Dan untuk
kesekian kalinya (namakamu) menggeleng. ”Berarti kamu nggak cinta sama aku?
Kebanyakan cewek itu selalu cemburu kalau cowoknya deket atau ngasih perhatian
lebih sama cewek lain.” Dan tiba-tiba saja suara Iqbaal berubah ketus.
”Kok marah?” (namakamu) mengangkat wajahnya. Sepasang manik
matanya menatap bingung ke arah Iqbaal yang kini tengah murung menatapnya.
”Aku nggak marah, cuma yah, gitu..”
”Apa sih, nggak jelas banget.”
”Kamu sebenernya sayang nggak sih sama aku?” Iqbaal
mengulang pertanyaannya dengan mimik wajah seperti anak kecil yang sedang
merajuk.
”Nggak.”
Iqbaal tercengang. ”Kok?”
”Suatu saat nanti pasti bakalan ada orang yang lebih sayang
sama kamu.” Ucap (namakamu) lemah, dia menggeser badannya untuk menghindari
tatapan pilu Iqbaal.
Dengan susah payah Iqbaal membalik badan (namakamu) agar
mengarah padanya. Apa yang terjadi dengan (namakamu) sih?
”Si-siapa?” Tanya Iqbaal gugup, karena tak berhasil memutar
badan (namakamu), akhirnya Iqbaal memutuskan untuk bergerak sendiri. Sekarang
dia tengah berdiri di hadapan (namakamu) sambil membungkuk, wajahnya dia
condongkan ke wajah (namakamu) yang di tutup dengan telapak tangan. Menyebalkan.
”Aku nggak ngerti sama kamu, maksud kamu siapa orang yang
bakalan lebih sayang sama aku itu?” Dengan hati-hati Iqbaal mengangkat
jemarinya ke telapak tangan (namakamu) untuk menyisihkan jari tangan (namakamu)
yang merapat.
(Namakamu) menjatuhkan telapak tangannya yang menutup
wajahnnya, tapi tatapan dia usahakan agar tak bertumbukan dengan Iqbaal, dan
tahu kah (namakamu) bagaimana perasaan Iqbaal saat ini? Sebal dan takut! Itu!
”SIAPA ORANG YANG KAMU MAKSUD ITU (NAMKAMU)??” Teriak
Iqbaal.
(Namakamu) memutar bola matanya lalu menghela napas pendek.
”Anak kita.” (Namakamu) nyengir pada Iqbaal.
”Asdfghjkl-__-”
(Namakamu) tertawa lepas melihat wajah Iqbaal yang sangat
absrud seperti itu. (Namakamu) sangat puas karena dia merasa bisa mengerjai
Iqbaal sampai setolol ini, bahkan ekspresi absrud di wajah Iqbaal lebih dari
kata tolol.
”Nggak lucu tau, (namakamu).” Gerutu Iqbaal di sela tawa
lepas (namakamu), tapi (namakamu) mengabaikan ucapan Iqbaal.
”Wajah kamu, Baal,” (namakamu) tersedak dengan tawanya, lalu
melanjutkan kalimatnya. ”Lucu.”
”Ya ya ya, puas-puasin aja ketawa.” Tapi ketenangan yang
tercetak di wajah Iqbaal langsung luntur saat tahu (namakamu) masih
mengabaikannya,dan lebih sibuk tertawa seperti gadis gila. Seingatnya,
(namakamu) tidak seperti ini.
”Perut aku...sakit.” Kata (namakamu) seraya mencengkram
perutnya.
”Kayaknya itu karena kamu udah lama nggak chek up.”
(Namakamu) menghentikan tawanya. ”Loh?”
”Bukannya kamu lagi hamil anak aku ya?” Dengan genitnya
Iqbaal mengangkat kedua alisnya secara bersamaan, dan itu dia lakukan secara
berkali-kali.
”Apa sih, Iqbaal, ngomongnya kok kayak gitu.” Ujar
(namakamu) murung.
Iqbaal menghela napas panjang. ”Perasaan biasanya aku yang
ngambek deh, (namakamu), kenapa jadi kamu yang nguasai permainan malam ini?”
”Nggak boleh bilang kayak gitu, pamali!”
”Iya iya, aku minta maaf.”
(Namakamu) mendengus lalu menggerutu. ”Padahalkan kita belum
ngelakuinnya.”
”-___-?”
”Becanda,” (Namakamu) nyengir. ”Udah malam nih.”
”Ngusir nih?”
”Bisa nggak, Baal, sehari aja nggak usah ngambek kayak anak
kecil?” (Namakamu) menatap tajam ke arah Iqbaal, yang membuat Iqbaal nyengir
nggak jelas. ”Jangan pulang terlalu malam. Nggak baik, aku takut hal buruk
bakalan terjadi sama kamu.”
”Khawatir nih?” Goda Iqbaal sambil mencolek dagu (namakamu).
”Aku serius. Kalau kamu di begal gimana?”
”Nggak ada yang lebih serem, (namakamu)? -___-"”
”Terus kamu di cincang-cincangkayak daging kambing.” Sambung
(namakamu) seraya membuat gestur seolah sedang memotong sebuah daging.
”Cukup, Babe.”
”Babe?”
”Iya, kamu kan pacar aku jadi aku manggilmnya babe.”
”Masa sih aku pacar kamu?”
”(NAMAKAMU)!!”
(Namakamu) nyengir kemudian menghambur ke dalam pelukan
Iqbaal. Dia memeluk erat laki-laki itu sebelum akhirnya berkata. ”Hati-hati ya.”
”Gitu doang?” Iqbaal menunduk untuk menatap wajah
(namakamu).
”Oke. Tutup mata.”
Mendengar ucapan (namakamu), Iqbaal segera memejamkan
matannya. Dan tanpa menunggu lama dia bisa merasakan bibir (namakamu) mengecup
di pipinya.
”Gitu aja?” Tanya Iqbaal setelah (namakamu) menjauhkan
wajahnya. ”Disini mana?” Dengan jahil Iqbaal menunjuk bibirnya, tapi tanpa
takut (namakamu) langsung melayangkan bogeman ke perut laki-laki itu.
”Sakit?” Tanya (namakamu) dengan senyum mengejek. Dia sudah
tidak dalam dekapan Iqbaal lagi karena laki-laki itu sekarang tengah membungkuk
sambil meringis.
”(Namakamu), sakit. Kamu ini nggak bisa mempertahani situasi
banget sih, padahal kamu tinggal ngecup bibir aku. Gitu.” Jelas Iqbaal, masih
meringis.
”Mending kamu pulang cepetan daripada aku makin marah.”
”Jangan marah dong.”
”Serah.”
”Yah, (namakamu), niat aku cuma becanda kok.”
”Nggak lucu, Baal.” Sambil berkacak pinggang, (namakamu)
mendelik ke arah Iqbaal.
”Bilang sama aku kalau kamu cuma ngerjain aku?” Kata Iqbaal
penuh harap, lalu dia mendekatkan diri pada (namakamu) dan tatapanya
sungguh-sungguhkalau dia sangat menyesali perkataanya. Memangnya sampai separah
itu ya kesalahan Iqbaal? Sampai-sampai (namakamu) jadi marah seperti ini?
”Maafin aku ya?” Tak kunjung luluh, Iqbaal kemudian mengeluarkan puppy eyesnya.
”Janji nggak ulangi?”
Iqbaal mendesah. ”Jadi aku nggak bakalan pernah bisa cium
kamu ya?” Kepala Iqbaal tertunduk lesuh.
”Apa sih Iqbaal! Pikirannya kok kayak gitu, yang penting kan
aku sayang dan cinta sama kamu, emangnya mesti ya kalau pembuktian cinta itu
pake ciuman segala? Nggak kan? Dengan kamu yang selalu buat aku nyaman aja itu
udah ngebuktiin cinta kamu ke aku.”
Jadi (namakamu) beneran marah? Pikir Iqbaal dalam hati.
”Iya, aku minta maaf, janji nggak ulangi lagi deh. Suer!”
Iqbaal mengacungkan jari peacenya.
(Namakamu) menghela napas sebelum mengangguk. Ternyata kalau
terlalu banyak marah, baik dalam keadaan becanda atau serius itu sama-sama
membuatnya lelah. (Namakamu) meletakan kedua tangannya di pipinya. Tiba-tiba
saja (namakamu) takut kalau dia menjadi tua karena terlalu banyak marah-marah,
padahalkan ini bukan sikap sesungguhnya.
”Yaudah, mending sekarang kamu pulang. Takutnya kamu bakalan
kemalaman.”
”Iya.” Kata Iqbaal ambigu. Seakan dia lebih memilih untuk
menyaring ucapannya, takut kalau ucapannya akan salah lagi. ”Aku pulang ya.”
Iqbaal sudah duduk di jok motornya saat (namakamu) mengangkat bungkusan snack
yang masih utuh, begitu pun juga dengann soft drink mereka.
”Mubazir!”
”Gara-gara kamu!”
”Kok gara-gara aku?”
”Kan kamu yang ngambekkan.”
”Itu gara-gara kamu duluan yang cari gara-gara sama aku.”
”Bukannya kamu duluan ya, yang ngerjain aku?”
”Tapi kan aku cuma becanda.”
”Tapi becanda kamu nggak lucu.”
(Namakamu) menggeram. ”STOP! PULANG! SEKARANG!” Teriaknya,
yang langsung membuat mulut Iqbaal terbungkam lalu dengan gerakan cepat Iqbaal
menyalakan mesin motornya, dann bergegas pergi.
Bersambung...
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment