Thursday, August 20, 2015

Cerbung Red Light - Part 8



`Red Light`

Part 8

Muhammad Aryanda.

—OoO—

”Steffie dateng, dia duluan yang naik ke atas bukan Thania.” (Namakamu) ambil suara.
Tubuh Aldi menegang. ”Mungkin salah satu dari kalian ada yang tau maksud ke datengan Steffie?” Tapi (namakamu) dan Thania menggeleng.
”Salsha bunuh diri?” Aldi masih tak yakin dengan apa yang dia katakan, tapi mengingat bagamaina posisi Salsha terbaring dan cerita dari (namakamu) maupun Thania, Aldi rasa ini memang kasus bunuh diri.


”Jadi menurut lo gue atau Thania yang nembak kepala Salsha?” (Namakamu) menyingkirkan tangan Iqbaal dari bahunya dan mendelik pada Aldi.
”Atau Steffie?” Aldi menambahkan.
”Tapi gue nggak ada denger suara tembakan.”
Aldi tersenyum sinis. ”Disitu masalahnya. kalian nggak ada denger suara tembakan.”
”Lo nggak usah sok misterius gitu deh, Al! Gue sendiri yang liat kalau ada bekas tembakan di kepala Salsha!” Untuk kesekian kalinya (namakamu) menepis tangan Iqbaal yang mencoba merengkuhnya.
Aldi beranjak dari posisi duduknya. ”Atau memang lo yang ngebunuh Salsha?”
Iqbaal mendelik dan langsung mencengkram kerah baju laki-laki di hadapannya itu. ”Nggak usah nuduh (namakamu)! Ngerti?”
Dengan santainya Aldi menepis tangan Iqbaal yang mencengkram kerahnya. ”Atau kalian berdua di balik semua ini?”
”Nyesel gue udah nyuruh lo kemari.” Ujar Iqbaal di sela gemeletukan giginya.
Seorang polisi turun dari lantai dua dan langsung menghampiri mereka, sebelum berbicara polisi itu berdeham dengan sikap menegur karena merasa tak nyaman dengan jemari Iqbaal yang masih mencengkram kerah baju Aldi. Iqbaal menjatuhkan tangannya lalu menarik (namakamu) agar menjauh dari Aldi. Polisi itu menggeleng, meskipun dia tidak tahu apa masalah mereka yang jelas tingkah laki-laki kurus itu sangat kekanak-kanakan.
”Sudah hubungi orang tua korban?” Tanya pak Polisi itu sambil menatap satu persatu remaja di hadapannya.
”Udah.” Thania yang menjawab.
”Temen saya bunuh diri?” Aldi tak tahan kalau hanya diam saja.
Sebelum menjawab, terlebih dahulu polisi itu mengurut pelipisnya, dan Aldi sangat tidak menyukai reaksi itu karena baginya seakan-akan pertanyaan yang di lontarkan oleh dirinya sangat tidak berarti.
”Ya.” Jawab polisi itu akhirnya. ”Setelah kami selidiki ternyata korban memang benar meninggal karena bunuh diri. Korban stress dan merasa terkekang karena masalah keluarga yang sepertinya tak kunjung meredah.”
Kening Aldi berkerut. ”Dari mana bapak tau soal itu?”
”Korban menulis surat sebelum mengakhiri hidupnya.”
”Boleh saya lihat?” Aldi maju selangkah mendekati polisi itu.
”Beberapa benda masih belum bisa di singkirkan dari tempatnya karena masih dalam proses.”
Bukannya tadi dia bilang kalau sudah selesai menyelidiki? Tapi kenapa sekarang malah masih dalam proses? Pikir Aldi dalam hati.
Aldi melemparkan pandangan ke lantai dua, dia berniat untuk kembali kesana karena mungkin saja ada beberapa hal yang ketinggalan untuk di selidikinya. Aldi mengayunkan langkahnya saat polisi itu bertanya pada Thania dimana toilet, setelah tubuh polisi itu lenyap di balik tikungan menuju dapur, Aldi mempercepat langkahnya.
Ketika sampai di depan pintu kamar Salsha, ada tiga orang polisi yang masih berada di dalam. Aldi tentu saja tidak di izinkan masuk, oleh karena itu dia hanya berdiri di ambang pintu sambil menatap ke segala arah. Dia mencari dimana posisi surat itu berada, sesekali iris mata Aldi tertumbuk pada mayat Salsha yang tergeletak tak bernyawa di lantai dekat tempat tidur, memang benar apa yang di katakan oleh (namakamu), ada bekas tembakan di sisi kanan kepalanya.
Salah satu polisi memeriksa jendela yang ternyata tertutup rapat. Apakah polisi itu berpikiran sama dengannya? Polisi itu seakan sedang mencari keganjilan yang mungkin saja dia dapatkan dengan tidak sengaja. Aldi menghela napas begitu sepasang matanya mendapati secarik kertas di atas meja belajar Salsha, bukan, bukan secarik kertas tapi kertas itu masih berada di dalam buku. Buku yang terbuka itu ada tulisan yang tidak mampu Aldi jangkau, di sebelah kanan sisi buku itu ada bolpoin hitam yang seolah-olah meyakinkan siapapun kalau surat wasiat dari Salsha itu baru saja di tulis.
Tidak ada yang aneh bukan?

***
Iqbaal mendesah berat lalu mengusap wajahnya yang mulai mengeluarkan titik-titik keringat sejak beberapa menit yang lalu. Sepasang bola matanya masih belum beranjak dari layar ponsel milik (namakamu)—gadisnya. Bait demi bait yang tertera di layar ponsel (namakamu) membuat dada Iqbaal sesak. Kenapa malah seperti ini? Dan kenapa malah sesakit ini? Benarkah (namakamu) telah menghianatinya?Tidak, itu tidak mungkin, tapi kesesakan yang terus merambati relung hatinya semakin membuat Iqbaal tidak bisa mengendalikan emosinya.
[Pesan]
10/02/15
Send: 22.10-
(Namakamu): aku jga sayng kamu, kmu udah mkn?
Aldi: me too. Udh, sayng.
(Namakamu): lg apa?
Aldi: mau tidur.
(Namakamu): kok cepet bgt sih. Aku kn masih pngn sms-an sma kmu.
Aldi: heheh, besok kan kita jmpa di sklh.
(Namakamu): aku telpon ya?
Aldi: aku aja.
Begitu bel istirahat bunyi, Iqbaal langsung beranjak dari kursinya dengan emosi yang masih menyelimuti dirinya. Iqbaal mengabaikan guru di depan yang masih membenahi perlengkapan mengajar. Iqbaal tidak peduli, kakinya terus melangkah tanpa harus dia berpikir akan kemana.
”Handphone aku.” (Namakamu) sudah berdiri di hadapannya dengan tangan yang terulur.
Iqbaal hanya diam tapi matanya menatap kosong ke arah (namakamu). Gadis itu mengernyit seakan tak mengerti dengan laki-laki di hadapannya. (Namakamu) pernah melihat tatapan semacam itu sebelumnya, tatapan yang pernah Iqbaal layangkan pada laki-laki yang wajahnya sudah (namakamu) lupa, tatapan keras nan tajam yang sempat beberapa kali Iqbaal layangkan pada Bella. Dengan susah payah (namakamu) menelan air liurnya—tatapanitu, tatapan kebencian.
”Ka-kamu kenapa?” tanya (namakamu) akhirnya, suara gadis itu gemetar karena takut.
Iqbaal mengalihkan pandangan ke sembarang arah. ”Udah berapa lama?”
(Namakamu) tak mengerti. Apa yang laki-laki itu bicarakan sebenarnya? Udah berapa lama? Maksudnya.
”Aku nggak ngerti.” (Namakamu) merasakan telapak tangannya mulai basah karena takut saat matanya tanpa sengaja mendapati tangan Iqbaal yang terkepal di sisi tubuh.
Sudut-sudut bibir Iqbaal terangkat sebelum akhirnya dia kembali menatap ke arah (namakamu).
”Nggak ngerti atau pura-pura bodoh?” Sergah Iqbaal tajam, suaranya naik dua oktaf membuat murid-murid yang sedang berlalu-lalang di koridor mencuri-curi pandang ke arah mereka. ”Kita putus.”
Lanjutan kalimat Iqbaal membuat (namakamu) nyaris merosot namun masih mampu dia tahan. Tapi kenapa? Apa alasan laki-laki itu melakukan hal seperti ini padanya? Bukannya hubungan mereka baik-baik saja, dan soal tadi malam, bukannya mereka sudah melupakan kejadian tolol itu?
Iqbaal menarik tangan (namakamu) untuk menyerahkan ponsel milik gadis itu. Kemudian tanpa mengatakan apa-apa, Iqbaal langsung memutar badannya dan berjalan pergi begitu saja. Dia seakan tak ingin memperjelas semuanya pada (namakamu), dan menurutnya memang tidak ada yang perlu di jelaskan lagi, karena (Namakamu) hanya pura-pura tidak tahu.

*
”Dasar pengecut lo!”
Bugh!
Murid-murid yang ada di halaman belakang sekolah langsung berseru begitu melihat dua orang laki-laki yang masuk dalam kategori Yang-Sangat-Ingin-Dikancani-Oleh-Para-Murid-Perempuan saling mengadu kekuatan.
Aldi langsung terjatuh ke permukaan berumput itu begitu mendapatkan serangan tiba-tiba dari Iqbaal. Aldi meringis lalu mengusap ujung bibirnya yang mulai memgeluarkan darah. Sebelah alisnya terangkat bingung saat mengetahui kalau Iqbaal lah yang sudah melayangkan pukulan ke wajahnya barusan. Aldi yang terlalu sibuk memikirkan apa motif dari penyerangan Iqbaal ini di sadarkan dengan pukulan kedua Iqbaal yang terasa panas di pipinya. Baiklah, sebaiknya Aldi menyimpan saja berbagai pertanyaan yang terjejal di kepalanya saat ini. Begitu melihat Iqbaal ingin melayangkan tinju lagi, Aldi bergerak untuk memutar keadaan, sekarang dia berada di atas perut Iqbaal dan langsung memberikan pukulan terbaiknya.
Aldi tersenyum sinis saat melihat ujung bibir Iqbaal langsung sobek dan mengeluarkan darah.
”Apa masalah lo sama gue?”
”Nggak usah banyak bacot!” Iqbaal menolak dada Aldi dengan sekuat tenaga membuat laki-laki bermata sipit itu terjengkang kebelakang, kesempatan ini Iqbaal gunakan untuk beranjak berdiri.
Melihat Aldi yang masih kesusahan bangun, tanpa pikir panjang Iqbaal langsung melayangkan kakinya menghantam dada Aldi. Aldi kembali tergeletak, sebelah tangannya merayap ke dadanya menahan sesak yang kini dia rasakan. Iqbaal benar-benar gila, pikir Aldi. Sebelum dia benar-benar di buat babak belur oleh Iqbaal, Aldi langsung beranjak berdiri dan balik menyerang.
Akan tetapi serangan Aldi berhasil di elakan oleh Iqbaal, seakan sudah paham bagaimana caranya bertarung Iqbaal langsung menggunakan sebelah kakinya untuk menghantam perut Aldi. Aldi membungkuk menahan perih di perutnya, saat dia mendongak di dapatinya Iqbaal menatapnya dengan tatapan yang sulit di mengerti, bola mata hitam laki-laki itu lebih pekat dari sebelumnya seakan dia sedang meluapkan dendam yang sudah membara.
Iqbaal kembali menyerang, tapi kali ini berhasil di hindari oleh Aldi. Tubuh Iqbaal yang kehilangan keseimbangan karena serangan yang tidak mengenai target langsung di manfaatkan Aldi untuk balik menyerang. Pukulan Aldi berhasil mengenai wajah Iqbaal, Iqbaal membungkuk kesakitan terlebih saat Aldi menghantamkan dengkulnya secara berkali-kali ke perut Iqbaal.
Aldi menyeka darah di ujung bibirnya saat melihat Iqbaal tergeletak di permukaan.
”Lanjut?” Perkataan Aldi seperti tantangan.
Iqbaal tidak menjawab, tapi dia beranjak dari posisi tidurnya dan langsung melayangkan sebuah tinju yang lagi-lagi di hindari oleh Aldi. Sepertinya Aldi sudah mampu membaca gaya bertarung Iqbaal. Dengan sangat cekatan Aldi menghantam siku tangannya ke wajah Iqbaal, dan berhasil mengenai hidung laki-laki itu, tanpa butuh waktu lama bagi Aldi dan murid-murid yang bertindak sebagai penonton melihat hidung Iqbaal mengeluarkan darah.
Para murid perempuan berseru heboh.
Iqbaal terbatuk, napasnya tersengal-sengal seakan menunjukan pada siapapun kalau staminanya sudah terkuras banyak.
”Cuma segitu kemampuan lo?” Cibir Aldi tenang. Para siswa langsung berseru untuknya, seakan menganggap bahwa Aldi adalah pertarung yang keren daripada Iqbaal. Terlebih saat Aldi masih mampu bersikap tenang, berbeda dengan Iqbaal yang sudah seperti kehabisan tenaga.
Iqbaal menggeram, dia mengehentakan kakinya ke tanah sebelum meluncur menyerang Aldi, tapi seseorang menarik tangannya membuat langkah Aldi terhenti.
”Cukup.”
Iqbaal menoleh kebelakang dengan wajah murka lalu dia menepis tangan orang itu yang mencoba menghentikannya.
”Lo nggak usah ikut campur, (namakamu).” Geram Iqbaal.
(Namakamu) mematung mendengar perkataan Iqbaal yang begitu kasar. Belum pernah (namakamu) melihat Iqbaal seperti ini.
”Bubar! Bubar! Bubar! Ngapain kalian masih disini? Apa kalian nggak denger suara bel!” Suara parau dan menggelegar itu seperti pertanda kalau pertandingan sudah usai. Murid-murid yang berkumpul membentuk lingkaran itu langsung membubarkan diri mereka, termasuk Iqbaal dan Aldi, dan (namakamu) tentunya. Guru laki-laki itu tak sempat melihat apa yang sedang terjadi, karena sang pembuat onar sepertinya berhasil membebaskan diri.
”Sini gue obati lukanya.” (Namakamu) hendak meraih tangan Iqbaal tapi langsung di tepis oleh yang empunya.
”Nggak perlu.” Kata Iqbaal, dia menatap tajam ke arah (namakamu). ”Mulai sekarang lo nggak usah deket-deket gue lagi.”
(Namakamu) langsung tertunduk, hatinya seperti teriris mendengar kalimat Iqbaal yang begitu menyakitkan perasaannya.
”Kamu salah paham, Baal.”
Iqbaal berdecak. ”Gue nggak buta!” Lalu dia menghambur pergi meninggalkan (namakamu) yang masih tertunduk menahan tangis.

***
(Namakamu) masih tak percaya kalau kejadian seperti ini akan menimpahnya. Bagaimana mungkin bisa tercipta room chat antara dia dan Aldi, yang isinya sungguh membuat (namakamu) bergidik. Pantas saja Iqbaal marah padanya, terlebih saat melihat hari dan jam yang tertera pada rincian pesan tersebut. (Namakamu) menggeleng dan mendesah frustasi, sudah hampir tiga jam dia duduk di kursi taman seorang diri sambil menangis seperti orang gila. Tapi (namakamu) tidak peduli karena memang hanya itu yang dia inginkan saat ini; menangis dan terus menangis.
Pengunjung taman perlahan mulai terkikis seiring berjalannya jarum jam, hari mulai gelap dan lampu-lampu taman mulai menyala. (Namakamu) meraih ponsel dari dalam saku bajunya—dia masih memakai seragam sekolah—dia ingin mengecek, siapa tahu ada pesan masuk dari laki-laki itu, tapi hasilnya nihil, tidak ada pesan sama sekali. (Namakamu) menggeram dan memukul-mukuli bagian kursi, seakan dengan begitu dia bisa meluapkan segala kekesalan yang dia rasakan saat ini. Lama sekali (namakamu) menatap layar ponselnya, jari-jari tangannya menekan layar ponselnya dengan geram, saat tiba menatap nama kontak Iqbaal, jari-jari tangan (namakamu) berhenti bergerak.
Tiga detik berlalu. (Namakamu) mencoba menghubungi nomor Iqbaal tapi tak mendapatkan hasil apa-apa. Apakah laki-laki itu benar-benar marah padanya? Apa dia sungguh tidak akan pernah hadir lagi ke dalam kehidupan (namakamu)? Memikirkan itu membuat dada (namakamu) sesak dan air matanya kembali terjatuh.
Sungguh, ini adalah kenyataan yang begitu tolol. (Namakamu) terkesiap saat merasakan sesuatu yang basah terjatuh ke tangannya, (namakamu) mengangkat kepalanya dan melihat rintikan hujan mulai turun dengan lambatnya—gerimis. Segera mungkin (namakamu) melangkahkan kakinya untuk meninggalkan taman ini.
(Namakamu) tiba di kosannya dengan keadaan basah serta kepala yang mulai pusing. Kosannya masih gelap karena memang (namakamu) belum pulang sama sekali, (namakamu) mengambil kunci kosan yang berada di bawah pot bunga—bunga pemberian Iqbaal—(namakamu) tersedak, tangisnya kembali pecah, dia langsung masuk begitu pintu terbuka. Sesaat (namakamu) terdiam untuk melepaskan sepatunya dengan tumit, lalu menekan saklar untuk menyalakan lampu.
Lampu menyala tapi sesuatu yang aneh menarik perhatian (namakamu). Kosannya berantakan. Sofa bergeser tak menentu, bantal sofa tergeletak asal-asalan di lantai, sampah-sampah entah darimana juga bertebaran di lantai kosan (namakamu). Kaki (namakamu) melangkah menuju kamar, dan hasilnya sama, kamarnya sangat berantakan, bantal dan pakaiannya berserakan dimana-mana, begitu pun juga dengan seprai tempat tidur yang tidak ada di posisi seharusnya.
Apa dia di rampok? Apakah ada penyusup yang masuk ke dalam kosannya selagi (namakamu) sekolah? Tapi bagaimana caranya? (Namakamu) beralih ke laci meja belajarnya untuk memeriksa persediaan uangnya, akan tetapi uang di dalam sana masih utuh tanpa ada tanda-tanda kalau ada orang yang menyentuh kotak uangnya itu.
Hujan di luar semakin deras saat mata (namakamu) tertumbuk pada cctv di sudut atas kamarnya. Baiklah, sedikit hal membuat (namakamu) kembali teringat dengan Iqbaal tapi...ternyataada gunanya juga Iqbaal memasang cctv di kosannya, (namakamu) berjalan ke arahh monitor yang ada di sudut ruangan dekat lemari pakaiannya untuk memutar ulang kejadian yang terekam.
(Namakamu) langsung mengecek. Di dalam monitor yang menggambarkan kejadian pagi hari ini. Awalnya tak ada apapun yang terjadi tapi kemudian (namakamu) melihat kenop pintunya terputar, dan seorang gadis yang wajahnya terlihat samar-samar karena tertutup oleh rambut memasuki kosannya sambil membawa pisau dan tumpukan sampah di plastik, gadis itu tertawa-tawa mengerikan lalu mengobrak-abrikkosan (namakamu) termasuk kamarnya dan kemudian bersembunyi di dalam lemari yang ada di kamarnya.
Jantung (namakamu) berdebar, kepalanya secara perlahan menatap lemari pakaian yang berada tepat di sebelahnya. Bunyi decitan dari dalam lemari itu membuat (namakamu) semakin ketakutan, dan tak lama seorang gadis keluar dari dalam lemari dengan pisau yang ada di tangan kanannya.
(Namakamu) berteriak, tubuhnya langsung merapat ke dinding. Kemudian gadis itu tertawa bersamaan dengan sambaran kilat yang terlihat dari luar jendela. Jendela belum terkunci. Astaga! Kenapa (namakamu) lupa mengunci jendela itu sih!
”Thania..” Suara (namakamu) gemetar.
Ya. Gadis di hadapannya adalah Thania. Thania tak menjawab, kakinya bergerak maju untuk mendekati (namakamu) yang semakin tersudut. Dengan sekali gerakan, pisau yang ada di tangan Thania langsung melukai tangan kanan (namakamu).
”Awh.” Tubuh (namakamu) merosot, sebelah tangannya mengusap tangan kanannya yang terluka akibat tebesan dari Thania. ”Thania..kamu..”
”Iya! Gue! Ini gue!” Dengan kejamnya Thania menendang perut (namakamu) sampai (namakamu) mengerang kesakitan. ”Kenapa? Lo kaget?! Lo kaget karena lo bodoh! Lo bodoh karena udah percaya sama gue!”
(Namakamu) tetap meringis rasanya jantungnya ingin melompat keluar karena tendangan kaki Thania yang barusan. Kemudian (namakamu) merasakan jemari Thania merayap ke lehernya dan mencekiknya dengan kuat.
”Sa-sakit, Than.”
Thania menampar wajah (namakamu). ”Hidup lo terlalu sempurna! Dan gue benci itu! Di saat semua orang harus merasakan penderitaan
karena masalah demi masalah selalu menghampiri hidup
mereka tapi nggak dengan lo!”
”Kerena itu?” Dengan susah payah (namakamu) mengeluarkan suaranya.
”Dan semenjak Iqbaal pacaran sama lo! Dia jadi berubah! Dia nggak pernah care sama gue lagi! Dia selalu pentingi lo!” Thania berteriak marah bahkan (namakamu) bisa melihat urat-urat di leher Thania menyembul.
Dugh!
(Namakamu) tidak tahu apa itu, tapi sepertinya ada seseorang yang dengan sengaja melemparkan sebuah batu dan mengenai kepala belakang Thania. Thania menggeram dan memutar badannya.
”Aldi.” Gumam (namakamu) nyaris tak sadarkan dirii.
Thania tersenyum menyambut Aldi. ”Gue nggak kaget kalo itu lemparan dari lo.”
”Dan gue juga nggak kaget kalo lo di balik semua ini.” Kata Aldi tenang.
Sebelah alis Thania terangkat.
”Lo bukan pembunuh yang handal, lo melakukan sedikitnya kesalahan di setiap pembunuhan yang lo lakukan.” Kata Aldi, Aldi dapat merasakan tubuh Thania yang gemetar karena geram.
”Lo terlalu sok misterius.”
Aldi tertawa hambar. Dia diam selama beberapa detik sebelum berkata. ”Lo yang ngebunuh orang tua lo sendiri, Bella dan Salsha.” Ujar Aldi yang membuat Thania menyeringai lebar, tapi tidak dengan (namakamu) yang terbelalak kaget.
”Di hari kunjungan gue ke rumah lo, apa itu reaksi seorang anak yang baru saja mendengar kabar bahkan menyaksikan sendiri bagaimana orang tuannya mati di bunuh oleh seorang perampok? Reaksi lo terlalu tenang. Dan tanpa lo sadar apa yang lo lakuin ke orang tua lo adalah ide berlian yang sempat lo salurkan ke cerita Bastian. Hahaha..,” Aldi berhenti sebentar untuk tertawa sebelum dia kembali melanjutkan penjelasannya. ”Dan sepupu gue, oke Bella. Sebenarnya ini gampang aja kalo lo lah di balik semua ini. Tulisan, bukannya lo itu pinter ya niru tulisan orang-orang apalagi Bella yang notabenenya adalah bos lo. Dan pada hari itu, lo dateng terlalu cepat, nggak kayak biasanya. Gimana? Apa lo masih nganggap kalo lo adalah pembunuh sejati?” Aldi menghela napas pendek, dia melihat ekspresi kesal yang sangat kentara di wajah Thania.
”Salsha. Oke, gue akui lo paling rapi dalam pembunuhan Salsha. Salsha tewas tepat saat lo masuk ke dalam kamarnya, gitu menurut lo? Tapi lo di selamatkan dengan kehadiran Steffie yang memang dateng malam itu. Tapi lagi-lagi kenapa ada tulisan atau surat wasiat? Meskipun gue nggak baca isi surat itu tapi apakah orang yang ingin menewaskan dirinya akan menuliskan surat dengan sangat rapi tanpa cacat? Dan posisi terbaringnya Salsha; pistol di tangan kanan menembak sisi kanan kepalanya,” Aldi berhenti sebentar untuk tersenyum. ”Lo bodoh. Apa lo lupa kalo Salsha itu kidal, hm? Dan soal suara tembakan, mungkin lo membenam kepala Salsha di tempat tid...”
Thania bertepuk tangan. ”Lo pintar, tapi sayang, nggak untuk kali ini.” Thania mengungkan pisau di leher (namakamu).
”Gue nggak pernah melakukan segala sesuatu dengan setengah-setengah.” Aldi melirik ke jendela yang masih terbuka dan dari sana muncul sebuah tangan yang langsung menyergap tubuh Thania. ”Oke, mungkin lo bisa tahan sebentar, Baal, karena sebentar lagi polisi bakalan dateng.” Aldi berjalan ke arah (namakamu) dan berbisik pada Thania yang sibuk meronta. ”Selain kurang teliti, ternyata lo itu gampang di kelabui ya?” Aldi tertawa mengejek.
***
Sepuluh menit yang lalu para polisi datang dan langsung menangkap Thania karena tersangka kasus percobaann pembunuhan terhadap gadis bernama (namakamu).
”Kami mengucapkan terima kasih pada nak Aldi karena menghubungi kami tepat pada waktunya. Dan bagaimana pun juga tindakan nak Aldi ini sangat berjasa. Sekali lagi terima kasih.” Kata polisi itu.
”Oke, kapten.” Aldi hormat, lalu dia memiringkan kepalanya untuk tersenyum pada Thania yang sudah berada di dalam mobil.
Dan polisi beserta mobil mereka berlalu membawa Thania.
”Maaf, (namakamu).”
”Sakit, Baal, jangan kuat-kuat.”
”Tapi aku bodoh banget karena udah terkecoh sama jebakan Thania itu.”
”Kamu nggak sala...aduh.” (Namakamu) kembali merenge saat Iqbaal menekan tubuhnya agar membalas pelukannya, tapi mau bagaimana lagi, tubuh (namakam) sudah sakit di sekujur badan terlebih di tangan kanannya yang ada bekas sayatan dari Thania.
”Kamu masih sayang sama aku kan?” Tanya Iqbaal tanpa mau melepaskan pelukkannya.
(Namakamu) meringis lalu menjawab. ”Iya, cintaku, sayangku, buah hatiku, permataku, segala-galanya bagiku.”


TAMAT.

Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

No comments:

Post a Comment

Situs terkait