Wednesday, August 5, 2015

Cerbung Desire And Hope - Part 10



`Desire and Hope`

Part 10


Muhammad Aryanda.

OoO
”Baal,”
”Hm?”
”Kalau di ajak bicara itu jangan membelakangi lawan bicaranya dong.” Kesal (namakamu) karena Iqbaal masih tetap fokus pada tulisannya padahalkan (namakamu) sekarang udah duduk di sebelah Iqbaal.
Menghela napas, Iqbaal menoleh kebelakang lalu diam sejenak memperhatikan style (namakamu) hari ini. Memang sih Iqbaal udah tau tapi dia belum liat dari jarak dekat kayak gini.
”Ngeliat lo kayak gini bawaanya pengen menafkahi aja tau gak.”
(Namakamu) tersenyum kecut. ”Gue harap lo adalah satu-satunya orang di kelas ini yang gak ngebahas gue dan jilbab ini.”

Iqbaal mengacungkan jempolnya. ”Calon istri gue, jangan sedih terus ya,” dengan lagaknya Iqbaal membenarkan sedikit jilbab (namakamu) yang agak berantakan.
”Kapan cobaan ini berakhir suamiku?”
Kalimat (namakamu) langsung mengundang tawa di antara keduanya. Seketika saja ruangan penuh tawaan untuk (namakamu) ini terabaikan begitu saja.

*
”(Namakamu)?”
Seseorang baru saja menyebut namanya saat (namakamu) baru saja menerima pesanannya. (Namakamu) agak kaget saat melihat pemuda di hadapannya itu menatapnya aneh. Mungkin karena style-nya hari ini. Bukan hanya itu, tapi (namakamu) teringat dengan percakapan dirinya dan pemuda ini kemarin. OMG.
”Hm?”
Wajah pemuda itu tak lagi memandangnya aneh, malah sekarang pemuda itu tersenyum cerah.
”Yang kemarin, sori, gue gak jadi ngajak lo, maaf,”
(Namakamu) bernapas legah. ”Oh, gak pa-pa, lagian kemarin gue juga ada urusan.” Tersenyum, (namakamu) agak bingung karena pemuda ini tak kunjung pergi. Astaga.
”Hm, jadi, nanti sore lo bisa gak pergi sama gue?”
Ternyata urusannya belum selesai. (Namakamu) diam selama kurang lebih lima detik, dia memikirkan apakah dia hari ini ada acara (dan jawabannya tentu tidak), tapi kan Iqbaal sering bikin acara mendadak sama dia. Kayak kemarin. Kemarin?
”Gue gatau,” jawab (namakamu) bingung.
”Kalo gitu, kalo lo bisa pergi tolong hubungi gue ya?” Tanya pemuda itu, (namakamu) segera mengangguk. ”Hm, nanti—kita bisa pulang bareng?”
Pulang bareng? Terus gimana nasib Bos Nya? (Namakamu) gak tau dia bakalan jadi pastel atau bakwan kalau pulangnya gak sama-sama dengan Bos Nya itu.
”Gue gak bisa, gue sama Aldi.” (Namakamu) gak bisa bohong atau ngeles kalau soal yang ini.
Pemuda itu diam selama beberapa saat. ”Hm, oke, sampai nanti kalo gitu.” Dan dia pergi meninggalkan (namakamu), namun sebelum itu (namakamu) sudah lebih dulu mengangguk dan tersenyum kepadanya.

*
(Namakamu) sebenarnya lumayan kesal dengan Aldi yang katanya tadi gak ke kantin tapi tiba-tiba malah dateng ke kantin, dan nyuruh (namakamu) sekenak jidatnya untuk memesan makanan padahal keadaanya saat itu (namakamu) sedang menikmati baksonya.
”Nih!” (Namakamu) gak bisa menyembunyikan perasaan kesalnya sewaktu liat muka Aldi. Jadi dia main banting gitu aja nampan yang ada di tangannya.
”Dimana sopan santun, Anda?” Aldi yang lagi duduk dengan mengangkat kakinya ke kursi kosong itu membuat (namakamu) benar-benar makik muak.
”Lo ngomong sopan santun sama gue, tapi kaki lo kayak gitu, nyet!” Geram (namakamu) seraya menendang kaki Aldi dan segera duduk di kursi tersebut.
Aldi yang hampir terjerembab itu tak tinggal diam. ”Oh, Ibu udah berani ngelawan sama saya?”
Mendengar ucapan Aldi, (namakamu) memukul-mukul pelan telinganya seakan dia berusaha tidak mendengar ucapan pemuda itu.
Sambil mengacungkan garpu, (namakamu) membalas. ”Masih berani Bapak manggil saya Ibu? Bapak gak takut di tuntut sama Suami Baru Saya?”
Kening Aldi berkerut samar, dan beberapa detik kemudian dia tertawa terbahak-bahak.”Lo ngomong apaan sih, (namakamu)? memangnya cowok mana yang mau sama lo selain gue?” Lalu Aldi menjetikan telunjuknya di kening (namakamu).
(Namakamu) yang merasa kalau Aldi terlalu meremehkan dirinya lantas menepis jari pemuda itu.
”Segitu jeleknya gue di mata lo?”
Aldi masih tertawa saat membalas ucapan (namakamu). ”Gue gak bilang lo jelek, ckckck..”
”Terus?” Kalau kayak gini, (namakamu) malah jadi gak selera makan.
”Lo cuma..,” Aldi menyipitkan matanya seakan sedang mengukur kecantikan (namakamu). ”Kurang cantik, tapi lo gak jelek, tapi juga lo agak jelek sih, tapi kalo pake jilbab kek gini kejelekan lo agak ketutup. Nah, gitu.”
”Intinya bisa kali!” Geram (namakamu).
”Eh, tapi lo belum jawab pertanyaan gue.” Aldi menyingkir tangan (namakamu) yang ingin melakukan tindakan kurang senonoh padanya.
”Apa?”
”Emangnya suami baru lo siapa?”
”Cowok di sebelah gue lah! Siapa lagi!”
”Siapa?” Aldi menjenjangkan lehernya untuk melihat pemuda yang di maksud oleh (namakamu).
”Gak gitu juga kali ngeliatnya, dia kan ada di seb..,” kesal dengan Aldi yang terlalu berlebihan, (namakamu) lantas memutar kepalanya ke samping untuk melihat pemuda yang tak lain adalah Iqbaal. Tentu saja. Pemuda itu yang sedari tadi duduk di sebelahnya. Tapi...
”Mana?” Tuntut Aldi.
”Tadi..”
Menyipitkan matanya, Aldi menusuk bakso yang ada di mangkok (namakamu) dengan garpu lalu dengan jahanamnya dia memasukan bakso itu bulat-bulat ke mulut (namakamu). Tololnya, gadis itu menerima dengan santainya.
Iqbaal kemana sih? -__-"
*
”Bawa, gak?!”
”Gak!”
”Lo ngelanggar janji!”
”Bodo amat! Gue capek!”
”Lo sendiri yang bilang bakalan jadi kacung selama tiga hari!”
”Masa sih? Gue udah lupa!”
”(Namakamu), lo mau gue bunuh?”
”Coba aja kalo berani!” Lalu (namakamu) merengek menghampiri Iqbaal yang berdiri di dekatnya. ”Baal, belain gue dong, gue capek beneran, masa sih sipit nyuruh gue bawa tasnya lagi, malah isi tasnya entah apa-apa lagi. Punggung gue sakit nih.”
Iqbaal menghela napas pendek mendengar rentetan keluhan (namakamu).
”Gini ya, (namakamu), lo kan yang buat perjanjian itu sendiri, masa iya sih lo sendiri yang ingkar? Kasian kan sih Aldi yang udah usaha buat menangi pertandingan?”
Mulut (namakamu) terbuka lebar, seakan tak percaya dengan balasan Iqbaal. (Namakamu) pikir Iqbaal akan membelanya, tapi kok malah bikin sih Sipit nyengir kayak penonton bayaran?
Bahu (namakamu) lemas, dengan sangat terpaksa dia melangkah menghampiri Aldi dan mengambil tas pemuda itu secara paksa. Lalu berjalan keluar kelas meninggalkan kedua pemuda itu, yang memandang kepergianya dengan segala pertanyaan.
(Namakamu) marah?

*
(Namakamu) jalan tujuh meter di depan Aldi dan Iqbaal. Gadis itu diam seribu bahasa sedaritadi, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut gadis itu, tak ada keluhan, teriakan, dan apapun yang biasanya dia lakukan. Hal itu membuat Aldi dan Iqbaal yang berjalan di belakangnya menjadi takut untuk mengajak (namakamu) berbicara.
”Ucapan gue ada yang salah?” Tanya Iqbaal pada Aldi. Dia sengaja memelankan suaranya.
Aldi diam sejenak, seakan berpikir lalu menggeleng.
”Terus?” Tanya Iqbaal lagi yang masih merasa tak mengerti dengan tingkah (namakamu).
”Mungkin dia lagi dateng bulan.” Bisik Aldi lebih pelan di telinga Iqbaal.
”Bisa mendadak gitu?”
”-__- lo pikir kalo dateng bulan, tuh bulan ngomong-ngomongdulu kali ya ke (namakamu)? Ya kagaklah! Dia bisa dateng kapan aja, eh tapi gatau juga sih, soalnya gue belum pernah di datengi bulan.”
Iqbaal mengangguk-ngangguk mengerti.
”Yaelah, rumah lo udah keliatan tuh, mampus dah gue, cuma berdua doang sama (namakamu). Malesin deh kalo kayak gini.” Gerutu Aldi setelah dari kejauhan melihat rumah Iqbaal yang memang sering mereka lintasi.
”Hm, lo mau mampir?”
”(Namakamu)?”
Keduanya menghentikan langkah dan memandang ke arah (namakamu) yang semakin jauh, malah gadis itu sudah melewati gerbang rumah Iqbaal.
”Ajakin aja, kan kasian kalo dia di tinggal.” Usul Iqbaal.
”Tapi, Jessica gimana? Ntar kalo dia ngamuk kayak kemarin gimana?”
”Dia gak bakalan ngelukai orang. Terus lo gak usah berpikir kalau Jessica itu gila, dia bakalan ngerasa tertekan kalo ada sebuah kejadian yang memang gak bisa di terima.” Jelas Iqbaal sebelum Aldi berpikiran ngelantur tentang keadaan Jessica.
”Gue gak ada bilang Jessica gila.” Aldi merasa gak terima dengan tuduhan Iqbaal.
”Udah deh gak penting bahas ginian,”
Aldi mengangguk saja lalu mulai melangkah lagi. Setelah sampai di depan gerbang rumah Iqbaal, Aldi menghela napas panjang untuk menetralkan dirinya sejenak lalu setelah yakin kalau dia bisa melakukannya, Aldipun meneriaki (namakamu) yang sudah jauh di depan mereka.
(Namakamu) meneloh dengan wajah tak bersahabat.
”Kita ke tempat Iqbaal dulu!” Teriak Aldi.
Tidak membantah seperti biasanya, (namakamu) berjalan menghampiri Aldi dan Iqbaal, yang bisa di bilang jarak di antara mereka lumayan jauh.
Butuh tiga menit bagi Aldi dan Iqbaal untuk menunggu kehadiran (namakamu). Dan setelah (namakamu) berada di dekat mereka, Iqbaal langsung membuka pintu gerbang. Langkah Iqbaal di susul oleh Aldi dan (namakamu).

*
”Sepi banget.” Kata Aldi begitu dia masuk ke dalam rumah Iqbaal.
Ucapan Aldi seakan tak berarti sama sekali saat terdengar suara pintu terbanting, yang ternyata berasal dari atas. Terkesiap, ketiga manusia yang masih berada di depan pintu utama pun menengadahkan wajah ke atas dan mendapati sosok Jessica keluar dari kamar dengan tas dan koper yang dia seret.
Wajah gadis itu tampak muram. Tapi entah mengapa masih terlihat tetap cantik. (Namakamu mendengus iri, dan (namakamu) merasa menyesal karena telah mau menuruti perkataan Aldi begitu saja. (Namakamu) tahu kalau sebentar lagi akan ada pertunjukan drama.
Seperti apa yang ada di pikirannya. Iqbaal langsung berlari menghampiri Jessica begitu gadis itu menyelesaikan anak tangga terakhirnya.
”Kamu mau kemana?”
Jessica yang semula menunduk perlahan menengadah, dan menatap tak suka ke arah Iqbaal. Dia tidak menjawab dan langsung melangkah kembali.
”Jess,” Iqbaal menghentikan gerakan Jessica dengan meraih tangan gadis itu. ”Kamu kenapa? Tadi pagi kamu baik-baik aja, kenapa sekarang kamu malah kayak gini? Dan, kamu mau kemana?”
”Aku mau pulang.” Jawab Jessica tajam sambil menghempaskan tangan Iqbaal.
Aldi dan (namakamu) yang menyaksikan hanya bisa terdiam tanpa bisa melakukan apa-apa. Aldi tak bisa menelan ludahnya karena saking takutnya dengan mimik wajah serta suara dingin yang keluar dari mulut Jessica, sedangkan (namakamu), dia sudah memutaskan untuk membenci gadis itu. (Namakamu) tidak suka melihat Iqbaal di perlakukan seperti itu.
”Jessica!”
Jessica yang belum jauh itu pun dengan gampangnya di cegah oleh Iqbaal. Iqbaal segera berdiri di hadapan Jessica dengan sikap menghalangi.
”Kenapa kamu pulang?”
”Aku mau ketemu sama Karel! Aku mau minta penjelasan sama dia!”
”Tapi keadaan kamu lagi kayak gini, gimana kalo sesuatu terjadi sama kamu..”
Mata Jessica terpejam selama tiga detik, dan saat terbuka, gadis itu melangkah begitu saja menabrak bahu Iqbaal dengan kasar.
Iqbaal menggeram kesal. Dia tahu kalau memang tidak gampang meluluhkan Jessica kalau dalam keadaan seperti ini. Dan dia hanya butuh kesabaran dan harus terus membujuk. Hanya itu. Saat Jessica sudah menarik handle pintu untuk membuka pintu, Iqbaal buru-buru meraih punggung gadis itu dan memutarnya.
”Oke, kalo kamu memang mau pulang, tapi harus sama aku.” Kata Iqbaal setelah dia berpikir selama beberapa detik. Dia tidak tahu apakah keputusannya ini salah atau benar.
Jessica diam seakan menerima keputusan Iqbaal.
Tanpa banyak tingkah Iqbaal langsung berlari menuju lantai dua untuk mengambil kunci mobil. Hampir satu menit berlalu, sosok Iqbaal akhirnya muncul lagi masih dengan seragam sekolah, tapi kali ini dengan jamper juga dan tanpa tas.
Iqbaal melempar kunci motor kepada Aldi, yang membuat Aldi tak mengerti.
”Sori kalo kunjungan kalian malah kayak gini. Lo bisa bawa motor gue dulu.” Saat melempar kunci pada Aldi tentu Iqbaal melihat ke arah gadis yang berdiri di sebelah Aldi. Perasaanya menjadi tak tenang karena harus menerima fakta kalau mungkin saja besok dia tidak bisa melihat (namakamu).
”Sekali lagi gue minta maaf.” Dan sosok Iqbaal berserta Jessica menghilang di balik pintu.
Satu menit berlalu.
”Yuk pulang.” Ajak Aldi seraya menarik tangan (namakamu). Anehnya, (namakamu) malah tetap diam tanpa mau berusaha untuk melangkah pergi meninggalkan rumah ini.
”(Namakamu)?” Aldi tak mengerti. Dia merasa bingung dengan (namakamu) saat ini. Di pandanganya (namakamu) dengan sikap menyelidiki. ”Lo kenapa?”
(Namakamu) tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Dia merasa aneh sekali, seperti merasakan sesuatu yang sama sekali belum pernah dia rasakan. Sesuatu yang aneh, sangat menyakitkan. Rasa sakit itu seperti menjalar ke seluruh sel dalam tubuhnya, merusak semua sistem dalam tubuhnya.
”Gue kenapa?” Suara (namakamu) terdengar linglung, membuat kening Aldi berkerut resah.
”Gue nanya sama lo, lo malah nanya sama diri lo sendiri.” Gerutu Aldi tak mengerti.
Tidak ada yang bersuara lagi, sampai akhirnya kaki (namakamu) bergerak melangkah keluar rumah tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.
Aldi masih diam membisu, dan tak lama menyusul (namakamu). Dia terlalu bingung dengan sikap (namakamu) beberapa jam belakangan ini.

*
Sesuatu yang aneh itu juga belum hilang, dan sampai sekarangpun (namakamu) belum mengerti.
Sore tadi Bidi datang ke rumahnya sesuai perkataanya di sekolah tadi. Tapi (namakamu) tak menyanggupi ajakan Bidi itu. Pemuda yang sering menghampirinya secara tiba-tiba, menelponnya atau mengajaknya pergi ke suatu tempat, pemuda itu adalah Bidi. Pemuda tampan dengan model rambut cepak itu belakangan ini seakan ingin mengisi hari-hari di dalam hidupnya.
(Namakamu) berasalan sebentar lagi dia akan pergi ke pasar dengan ibunya untuk berbelanja. Berselang 30 menit Bidi pamit pergi setelah mengobrol dengan Aldi.
”Ada yang aneh sama lo,” tuk..tuk.. Aldi mengetuk kening (namakamu) dengan jari telunjuknya berkali-kali, gadis itu diam saja seakan tak merasa risih di perlakukan seperti itu. ”Kenapa lo boongi Bidi?”
(Namakamu) yang sedari tadi menunduk perlahan mengangkat wajahnya. ”Gue lagi males.”
”Oh,”
Aldi berharap akan ada sahutan dari dengusannya itu, tapi nyatanya, (namakamu) diam saja, tidak berusaha untuk membalas ucapannya dengan nada kesal seperti biasanya.
Kemudian Aldi membaringkan tubuhnya. Seperti biasa, mereka duduk di kursi yang ada di bawah pohon di depan rumah Aldi ini.
”Udah lama kita gak ke toko kue Mama gue,” gumamanya, mencoba untuk memancing obrolan agar keadaan tidak sehampa ini. ”Lo gak kepingin makan rainbow cake?”
Rainbow Cake?
Sudah seminggu lebih (namakamu) tidak menyantap makanan favoritnya itu. Ah!
”Aldi!” Kesal, (namakamu) menjambak rambut Aldi. ”Kenapa lo ngingetin gue sama kue itu sih, gue padahal udah lupa kalo gue suka banget sama tuh kue, dan sekarang lo malah ngingetin!”
Senyum terukir di wajah Aldi. ”Jadi?”
”Go to toko!” Kata (namakamu) semangat. Cepat-cepat dia turun dari kursi.
Aldi tak kalah semangat dengan (namakamu), pemuda itu pun buru-buru lompat dari kursi dan berjalan menuju garasi untuk mengambil sepedanya. Dia tidak ingin menunggangi motor Iqbaal, rasanya dengan sepeda lebih baik.
*
Jendela besar di masing-masing sisi pintu itu membuat siapa saja langsung bisa menatap ke dalam toko kue itu. Berbagai jenis kue langsung bisa di lihat, para pegawai, pembeli bahkan pemilik toko sekalipun. Agaknya hari ini toko benar-benar ramai sampai ketika (namakamu) dan Aldi masuk pun tak ada ucapan sambutan dari pagawai atau yang empunya toko.
”Sibuk,” bisik (namakamu).
”Ner,”
”Lay lo nyet.”
Aldi meringis akibat jeweran dari (namakamu). Tapi dia tidak membalas, entah kenapa dia sudah merasa senang karena (namakamu) gokilnya sudah kembali walaupun tak sampai dari 24 jam (namakamu) berubah menjadi gadis yang membosankan.
Seorang pegawai tanpa sengaja melihat ke arah mereka, dan langsung berjalan menghampiri.
”Kalian sejak kapan ada disini, kok diem aja, gak kayak biasanya.”
”Lagi rame ya, mbak?” Tanya Aldi pada gadis dengan nametag 'Vita'. Ibunya sengaja tidak menuliskan nama lengkap pegawai hanya nama panggilan saja.
”Iya, terus kamu sama (namakamu) udah lama gak keliatan,” lalu dia mendekatkan wajahnya pada (namakamu) untuk membisikan sesuatu. ”Aldi udah nembak kamu belum?” Lalu dia terkekeh.
Wajah (namakamu) memerah malu. ”Dia bukan tipe aku kak! Tipe aku itu yang suka olahraga, badannya petak-petak, manis, ganteng, terus bibirnya sexy gitu, agak merah-merah gitu deh.” (Namakamu) nyengir, tanpa sadar sepanjang dia memaparkan kalimatnya malah terbayang wajah Iqbaal.
”Kode banget. Kalo Iqbaal udah pulang gue bilang, ah.” Kemudian Aldi berjalan meninggalkan kedua gadis itu.
”Iqbaal? Siapa tuh? Orang ketiga?” Tanya Vita. Pegawai satu ini emang termasuk yang dekat dengan (namakamu)-Aldidan gak jarang dia ngecengi kedua bocah itu.
Menghela napas, (namakamu) menjawab sambil meninggalkan Vita. ”Calon suami.”

*
”Nyet, balik yuk, udah sore banget nih.” Kata Aldi di sela acara makan kue mereka.
”Ntar lagi. Punya gue belum abis nih.”
Aldi berdecak. ”Gimana kalo sih Iqbaal udah pulang terus dia nyariin motornya dan kita gak ada di rumah?”
Dengan susah payah (namakamu) menelan kue itu. ”Salah dia sendiri, ngapain ngasih motor ke lo.”
”Niat dia kan baik.”
Dan (namakamu) membisu, seakan tak ingin memperpanjang obrolan ini.
Berselang beberapa menit, (namakamu) sudah selesai dengan kuenya. Bukannya malah mengajak pulang, gadis itu masih duduk sambil menopang dagu dengan kedua tangannya.
”Jessica nyebelin ye.”
Aldi agak kaget saat (namakamu) menyebut nama gadis itu.
”Orang cantik mah mau nyebelin atau engga, gak masalah.” Sahut Aldi, dan hanya butuh waktu persekian detik untuk melihat perubahan wajah (namakamu).
”Gue mau pulang.” (Namakamu) segera beranjak.
Aldi mendengus sebal melihat tingkah (namakamu). ”Lama-lama lo sama kayak Jessica ye, ngambek mulu, tapi bedanya dia cantik sedangkan lo jel..”
Bugh!
Gerakan (namakamu) terlalu tiba-tiba dan sangat cepat, membuat Aldi tak bisa mengelak serangan yang di berikan (namakamu). Alhasil, pemuda itu cuma meringis sambil mengelus pelan perutnya.
(Namakamu) sudah menghilang di balik pintu tapi Aldi masih dengan posisi yang sama.
”Cewek sinting!” Teriak Aldi begitu dia keluar dari toko.
Plak!
Lagi-lagi sebuah serangan mendadak dan amat cepat. Sebuah sendal yang entah darimana gadis itu dapat berhasil mendarat di keningnya. Fak!

*
”Sebenernya rumah Karelmu itu dimana?” Iqbaal yang sedaritadi menyetir tak tahan hanya diam dan menyaksikan kebisuan Jessica. Gadis itu hanya duduk seperti patung, dan sesekali mengintruksi dirinya.
Kepala Jessica perlahan menoleh ke pemuda di sebelahnya, tampaknya dia kurang senang dengan kalimat yang keluar dari mulut Iqbaal barusan.
”Mu?” Sinis Jessica. ”Berhenti.”
Sebenarnya Iqbaal tidak ingin menuruti permintaan Jessica tapi seakan sudah terbiasa, kakinya tanpa sadar menginjak rem membuat mobil yang sedang mereka kendarai berhenti.
Tangan Jess bergerak cepat untuk membuka pintu mobil, namun gerakan tangan Iqbaal lebih cepat untuk menghentikan aksi gila gadis itu.
”Oke. Aku minta maaf,” suara Iqbaal penuh penyesalan. Dia benar-benar tulus mengatakannya, siapa saja tahu bila melihat sendiri bagaimana aura wajah dan desisan kalimat itu terlontar.
Tak ada sahutan dari Jessica membuat Iqbaal mengeraskan rahangnya. Apakah ini hobi Jessica? Membuatnya kesal setiap hari tanpa tahu bagaimana caranya memberontak?
Mobil kembali melaju setelah beberapa menit keduanya terdiam.
Berselang setengah jam, setelah Jessica membnri intruksi untuk belok ke kanan dan kemudian gadis itu meminta mobil untuk berhenti. Mereka sudah sampai.
Iqbaal turun dan membukakan pintu untuk Jessica, setelah melihat gadis itu melenggang keluar, Iqbaal melirik arloji di tangan kirinya.
Pukul delapan malam.
Iqbaal baru teringat kalau perutnya belum sama sekali di isi sejak dia keluar dari sekolah tadi. Menuruti semua keinginan Jessica sepertinya sama saja menyusahkan diri sendiri. Iqbaal tak langsung menyusul Jessica, dia terlebih dahulu menghampiri sebuah warung kecil untuk memberi makanan ringan.
Plastik hitam yang ada di genggamannya seakan memecahkan kesunyian yang sudah tercipta sejak lama di tempat ini. Iqbaal menatap Jessica yang berada di depannya, sosok gadis itu dan posisi mereka sekarang malah mengingatkan Iqbaal dengan (namakamu) yang tadi siang tiba-tiba saja ngambek.
(Namakamu). Sedang apa gadis itu? Iqbaal ingin menghubungi tapi tidak mungkin dalam kondisi Jessica yang seperti ini. Mengirim pesan apalagi. (Namakamu) kan tidak memiliki ponsel. Ugh!
Kawasan anak-anak skateboard. Begitu Iqbaal mendeskripsikantempat ini secara singkat. Iqbaal baru tahu kalau Karel adalah orang-orang yang sering bergabung dengan anak-anak seperti itu, yah, walaupun Iqbaal tidak tahu bagaimana perilaku anak-anak yang sering bermain disini. Iqbaal rasa, tempat ini terlalu buruk untuk Jessica.
”Kamu sering kesini?” Tanya Iqbaal begitu dia sudah sangat dekat dengan Jessica.
”Dulu,” balasnya singkat.
”Nih, kamu daritadi belum makan,” Iqbaal menyerahkan sepotong roti dalam kemasan. Jessica diam saja tanpa berusaha untuk menunjukan dia akan menerima roti itu. ”Sica, nanti kamu sakit.”
”Aku mau ketemu sama Karel.”
”Ya, aku tau. Tapi daritadi kamu belum makan, ngerti?”
Seakan tak ingin berdebat dengan Iqbaal, Jessica lebih memilih untuk meninggalkan pemuda itu.
”Kamu tunggu disini.” Kata Jessica, dan kemudian gadis itu menghilang di kegelapan. Karena memang tak ada cahaya lagi di depan sana, cahaya bulan yang redup tak akan cukup untuk menerangi malam ini.
Iqbaal tentu saja tidak menuruti permintaan Jessica kali ini. Bagaimana kalau sesuatu yang tak di inginkan terjadi pada gadis itu? Setelah merasa kalau dia sudah lumayan lama membiarkan Jessica seorang diri, akhirnya Iqbaal menyusul.
Gelap. Tapi begitu pupilnya mulai menyesuaikan dengan tempat ini, semuanya akan terlihat walaupun tidak begitu jelas. Samar-samar Iqbaal melihat punggung Jessica lenyap di lorong yang di himpit oleh bangunan tak jelas. Cepat-cepat dia melangkah agar tidak kehilangan jejak Jessica.
Lorong itu penuh dengan drom yang berjatuhan serta bau busuk yang membuat tak nyaman jika berlama-lama di tempat ini, dan sebuah cahaya kecil terlihat, Iqbaal mempercepat langkahnya untuk menghampiri seberkas cahaya itu.
Plak!
Sebuah suara yang amat familier terdengar cukup meyakinkan telinga Iqbaal kalau itu adalah sebuah tamparan.
”Brengsek kamu, Rel!”
”Apa-apaan lo!”
Pemuda yang ada di hadapan Jessica, yang tak lain adalah Karel langsung berteriak ke arah Jessica begitu mendapati perlakuan kurang senonoh itu. Gadis itu datang tiba-tiba dan langsung menamparnya.
”Kamu yang apa-apaan! Maksud kamu ini apa, hah?! Mereka siapa!” Telunjuk Jessica mengarah pada dua orang gadis yang sekarang menatapnya sengit. Sebelumnya kedua gadis itu menempel pada Karel dengan genitnya.
”Mereka pacar gue! Lo yang siapa?”
Kalimat Karel membuat bibir Jessica keluh dan bingung harus berkata apa.
”Secepat ini?” Berselang beberapa detik akhirnya kembali terdengar suara Jessica, namun kali ini di sertai dengan isakan.
”Hmph,” gumam Karel tanpa peduli betapa hancurnya perasaan Jessica saat ini.
Keadaan menjadi hampa selama beberapa detik, Jessica melayangkan pandangan ingin membunuh pada kedua gadis yang sekarang berada di masing-masing sisi Karel. Jessica mengabaikan tatapan penuh minat dua orang teman laki-laki Karel yang asik dengan kartu di tangan mereka.
Jessica kehilangan akal sehat, tanpa ada yang duga sama sekali tangannya dengan sangat cepat meraih sapu yang ada di sudut ruangan lalu memukulnya ke arah kedua gadis itu.
”Berhenti! Dasar cewek gila!” Dengan gampangnya Karel menghentikan serangan Jessica. Tapi terlalu lambat karena kedua gadis itu sudah meringis kesakitan gara-gara pukulan Jessica.
Jessica meronta minta di lepas, tapi tenaga Karel yang jauh lebih besar hanya sia-sia saja melakukan tindakan seperti itu.
”Lo pergi dari sini atau gue bakalan nyuruh mereka ngancuri hidup lo untuk selama-lamanya.” Ancam Karel.
Kedua bola mata Jessica bergerak liar ke arah dua pemuda yang masih tetap duduk di kursi. Tangannya terasa perih karena cengkraman Karel di pergelangan tangan kanannya. Kenapa Karel seperti ini? Ada apa dengan pemuda ini sebenarnya? Karel yang dia kenal tidaklah seperti ini. Memikirkan itu malah membuat Jessica menitikan air matanya.
Tap!
Seseorang menghempaskan tangan Karel yang mengunci tubuh Jessica.
Saat melihat Iqbaal berada di dekatnya, Jessica langsung menghempaskan dirinya ke pemuda itu. Tangan Jessica yang bergetar memeluk erat tubuh Iqbaal, seakan dia benar-benar membutuhkan pemuda itu sekarang.

*
(Namakamu) sedang merasa malas untuk keluar rumah, dia menolak tawaran Aldi untuk menonton film horor di kamarnya. Tentunya dengan keadaan gelap, supaya suasana horor lebih terasa.
Dan sekarang, (namakamu) sedang selonjoran di sofa ruang tamu. Sebuah kebiasaan yang sangat jarang dia lakukan, tapi di balik itu ada sesuatu yang terselip dari apa yang dia lakukan sekarang. Sesekali (namakamu) melemparkan pandangan kesal ke telepon rumah yang ada di sebelahnya karena tak kunjung bunyi.
”Halo, (namakamu)? Hm, gue kangen sama lo karena udah lebih dari delapan jam gak ketemu sama lo.” Gerutu (namakamu), mempraktekan hal yang mungkin saja tidak terjadi. Lalu? Apa hal yang membuatnya bertingkah seperti ini?
*flashback*
”Iqbaal! Lo tadi kemana sih, gue jadi malu tau gak sama sih sipit!” (Namakamu) sudah terpisah dari Aldi, dan dia sekarang bertemu dengan Iqbaal, yang baru saja keluar dari perpustakaan.
Sebelah alis Iqbaal terangkat. ”Terus salah gue dimananya?”
”Salah lo dimananya?” (Namakamu) mendelik, dia ingin meneruskan kalimatnya tapi entah kenapa malah merasa tidak yakin. Jadi dia mengubah topik. ”Lo habis ngapain di perpus?”
”Di kantin rame banget, dan di kelas juga, gue lagi kepingin di tempat yang sunyi tanpa keributan.” Jawab Iqbaal.
”Hmph,” setelah ber-hm panjang, (namakamu) berkata. ”Pasti ada sesuatu yang lo sembunyiin deh!” Tebak (namakamu), dan itu membuat Iqbaal tertawa.
”Lo kayak dukun.” Menghentikan langkahnya, Iqbaal menjentikan kening (namakamu).
”Tapi emang bener kan?” (Namakamu) mengabaikan ejekan Iqbaal.
Iqbaal tak langsung menjawab, pemuda itu diam dulu sambil mengusap dagunya. Seakan sedang berpikir.
”Bener.”
(Namakamu) tersenyum lebar, tapi senyum di wajahnya hanya berlangsung selama sedetik saat dia sadari kalau mungkin gadis itu yang membuat Iqbaal seperti ini.
”Kok diem?” Tanya Iqbaal yang merasa perubahan dpada (namakamu). Mereka mulai berjalan lagi menuju kelas.
”(Namakamu),” panggil Iqbaal setelah beberapa detik berlalu, dia menganggap pertanyaan yang sempat dia lontarkan tadi tak pernah keluar dari mulut. (Namakamu) sama sekali tak menggubris.
(Namakamu) hanya menolehkan wajah.
”Dia cowok yang kemarin kan?”
”Siapa?” Kerutan samar terlihat jelas di kening (namakamu), kentara sekali dia tak mengerti dengan pertanyaan Iqbaal.
”Cowok yang di kantin itu.”
(Namakamu) terkesiap dan menghentikan langkahnya. ”Bidi?”
Iqbaal mengangkat bahunya. ”Gue rasa dia suka sama lo.”
”Lo bercanda?” (Namakamu) ingin tertawa tapi dia tahan.
”Gue serius. Gue bisa liat dari cara dia bicara sama lo dan bahasa tubuhnya beda saat dia bicara sama temen ceweknya yang lain.”
Menyipitkan matanya, (namakamu) menunjuk hidung Iqbaal dengan telunjuknya. Lalu dia kembali berjalan meninggalkan Iqbaal yang masih tetap diam.
”Gue gak suka lo deket-deket sama dia.” Ujar Iqbaal sangat lantang di koridor yang sudah sepi ini.
Dan ucapan itu pun sukses membuat langkah (namakamu) terhenti. Tahu-tahu Iqbaal sudah berada di dekatnya, menggenggam jari-jarinya dengan cara yang tidak biasa. Walaupun beberapa waktu lalu Iqbaal pernah melakukan ini padanya, entah kenapa saat ini berbeda dengan yang waktu itu.
”Gue bukan orang yang romantis, bahkan gue gak tau apa itu cinta, walaupun gue mendefinisikan kalau cinta itu adalah tentang kasih sayang kepada seseorang atau lebih. Tapi, gue bukan orang yang suka terlalu lama larut dengan waktu. Gue gak suka kalau rasa ini bakalan di jawab sama waktu yang gak tau kapan..,” Iqbaal menjeda kalimatnya, sepasang matanya masih menatap lurus ke depan tepat ke mata bulat hitam yang sekarang sedang bergerak-gerak liar seakan mencari sesuatu.
”Aduh!”
Sebuah suara dari belakang menghancurkan segalanya. Suasana tegang di antara mereka pun mendadak lenyap begitu saja, hal itu terjadi lantaran seorang pemuda dengan tololnya terjatuh tepat beberapa meter di belakang sana. Sedang dari toilet.
Aldi.

*flashback off*
Bersambung...






Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

No comments:

Post a Comment

Situs terkait