Thursday, August 20, 2015

Cerbung Red Light - Part 2



`Red Light`


Part 2


Muhammad Aryanda.


—oOo—
Karena banyak readers yang minta cerbung genre; Horor, thriller, misteri, dan sejenisnya. Makanya gue putusin buat cerbung ini, tentunya dengan sedikit dibumbui romance. Soalnya kasian sama yang jomblo. Pokoknya beda deh sama cerbung gue sebelumnya, dan semoga gak gntung yak
.
.
.
.
Selamat membaca!



(Namakamu) memutar bola matanya, merasakan sikap Iqbaal yang mendadak kekanak-kanakanternyata membuatnya sebal juga.
”Aku balik ya sayangku, cintaku, buah hatiku, permataku, dan segala-galanya bagiku.”
Senyum merekah di wajah Iqbaal, sesegera mungkin dia mendekat pada (namakamu) untuk mengecup lamat kening gadis itu. Memanglah tingkah mereka berdua semakin membuat laki-laki kribo itu muak.
”Mau ke kelas aja kayak mau pergi keluar negeri terus nggak balik-balik.” Gerutunya.
”Diem deh, Bas.”
”Iqbaal memang gitu, Bas. Jadi maklumi aja.”
”Aku kayak gini karena aku sayang sama kamu.”
Bastian terbatuk. ”Kalau kayak gini (namakamu) bisa telat ikut ulangan, dan ini bakalan dampak sama nilai (namakamu) yang kosong, terus kalo kosong emangnya cinta lo itu bisa ngisi nilai (namakamu)?”
”Kasian jomblo.” Balas Iqbaal singkat.


***
Koridor tak begitu ramai saat Iqbaal menuntun Thania ke kelas, padahal bel istirahat berdering tujuh menit yang lalu. Bastian pamit ke kelas tak lama setelah (namakamu) pergi. Mungkin murid-murid sudah berada di dalam kantin, pikir Iqbaal memutuskan. Dia terus berjalan tanpa berusaha memperdulikan keadaan koridor yang tak biasannya. Thania yang berada di sisinya hanya diam tak bersuara. Suhu badan gadis itu sudah mendingan, tapi Thania bilang saat mereka keluar dari UKS kepalanya sedikit pusing. Iqbaal sempat mengusulkan pada Thania agar dia pulang saja, tapi Thania menolak dengan mimik wajah yang aneh. Seperti ada sesuatu yang di tutupi.
”Kemana aja lo?”
Langkah Iqbaal terhenti begitu saja saat telinganya menangkap pertanyaan itu, dia tahu kalau itu bukan di tujukan padanya, melainkan gadis malang di sebelahnya.
”Ak-aku,”
”Kalo ngomong yang bener!” Tanpa ampun gadis yang tak lain adalah Bella menginjak kaki Thania hingga Thania mengaduh kesakitan. ”Nggak perlu sok kesakitan! Gue tau lo cuma caper sama cowok sialan ini!” Bella kemudian menarik tangan Thania, tapi secepatnya Iqbaal menepis gerakan Bella.
”Thania sakit, lo bisa sehari aja nggak usah ngusik dia?” Kata Iqbaal pelan, namun terdengar seperti ancaman yang sangat berbahaya.
Garis wajah Bella sama sekali tak berubah, tetap angkuh dan tak kenal takut.
”Kayaknya memar di wajah lo itu belum bisa ngebuat lo sadar juga ya?” Seringaian mengerikan terukir di wajah Bella. Dia balik mengancam Iqbaal.
”Gue nggak takut. Mau dua kali lipat gangster yang lo kirim buat gue pun gue nggak bakal takut sama lo.” Tandas Iqbaal.
Bella menggeram sambil menatap penuh dendam kepada Iqbaal. ”Karena lo udah masuk ke dalam kandang singa, lo nggak bakal bisa keluar tanpa luka sedikitpun,” Lalu Bella menggeser tatapannya ke arah Thania dan sambil lalu dia berkata. ”Dan lo, bakalan habis.”
Thania berjengit ketakutan, Iqbaal bisa merasakan badan Thania yang gemetaran.
”Lo nggak perlu takut sama dia. Mulai sekarang lo nggak usah mau di suruh apa-apa lagi sama dia. Gue bakalan bertindak sekuat mungkin untuk ngelindungi lo.” Iqbaal tersenyum penuh keyakinan.
Thania bergeming, iris matanya perlahan mulai bergerak ke arah Iqbaal. Dia menatap laki-laki itu tak percaya, dia tak percaya kalau Iqbaal akan berkata seperti itu. Apakah ini sebuah janji? Laki-laki telah berjanji akan melindunginya dan sesegera mungkin melenyapkan segala penderitaan yang dia alami selama ini. Benarkah? sebuah senyum yang terukir di wajah Iqbaal membuat Thania terpekur lama, dia teringat dengan sosok gadis cantik dan ramah yang dia lihat beberapa jam yang lalu di UKS.
”Hai!” Dan sekarang Thania melihat sosok gadis itu.
Gadis itu lebih tinggi darinya, tapi dia tak lebih tinggi dari Iqbaal, mungkin tinggi gadis yang bernama (namakamu) hanya setelinga Iqbaal saja. Rambutnya hitam dan sangat lurus, tapi yang Thania lihat sekarang, rambut (namakamu) sedang di ikat menyerupai buntut kuda. Seragam sekolahnya rapi, tidak seperti dirinya, iris mata cokelat yang berair membuat (namakamu) semakin terlihat sempurna di mata kaum adam, belum lagi hidungnya yang mungil—tidak terlalu mancung.
”Keadaan kamu sekarang gimana? Nih, aku bawa roti sama obat, di UKS lagi kehabisan obat, aku lupa nyuruh anggota yang lain buat beli persedian padahal persedian obat udah habis tiga hari yang lalu.” (Namakamu) menyerahkan sebotol air mineral dan sebutir obat.
Thania mengangguk. Tidakkah dia ingin mengucapkan terima kasih pada (namakamu)?
”Oia, kamu di panggil Aldi,” Kata (namakamu) pada Iqbaal, yang ternyata, laki-laki itu sedang menengok ke arahnya. (Namakamu) menunggu saat-saat Iqbaal akan berkedip. ”Iqbaal?” Beberapa detik kemudian garis wajah Iqbaal berubah gelisah, (namakamu) tidak tahu apa yang sedang pacarnya pikirkan.
Iqbaal terkesiap. ”Aldi?”
(Namakamu) mengangguk. ”Di aula. Katanya ada rapat osis mendadak.”
”Hm?”
Sebelah alis (namakamu) terangkat. ”Ada rapat osis di aula, dan Aldi tadi nitip pesan sama aku supaya bilangi ke kamu.”
Iqbaal mengerjapkan matanya. ”Sekarang?”
Sebenarnya apa yang sedang di pikirkan Iqbaal sih? Kenapa laki-laki itu mendadak seperti orang linglung. (Namakamu) menggeram namun dia tetap tersenyum.
”Kamu di suruh Aldi ke aula. Ada rapat osis. Paham?” Gestur tubuh (namakamu) sekarang sudah berubah, dia sudah bersiap-siap akan menerjang Iqbaal kalau laki-laki itu masih belum paham dengan ucapannya.
Iqbaal menghela napas. ”Oke. Tapi aku bisa titip Thania sama kamu kan? Kalian ke tempat Bastian aja, nanti setelah rapat selesai aku bakalan nyusul.”
Seakan ingin membalas perlakuan Iqbaal, (namakamu) dengan santainya meraih pergelangan tangan Thania yang hangat itu lalu menghambur pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Iqbaal. Kelakuan (namakamu) itu ternyata mendapatkan respon dari Iqbaal, tapi laki-lakki itu hanya terdiam dengan mulut dan mata yang membulat sempurna. Mungkin Iqbaal akann memarahi (namakamu) nanti, setelah urusannya selesai.
Ketika sampai di tempat Bastian—halamanbelakang sekolah—(namakamu) hanya mendapati Bastian dan Salsha. Kalau di tanya dari mana (namakamu) bisa tahu keberadaan Bastian sekarang, itu tidak terlalu sulit karena laki-laki itu akan selalu berada di halaman belakang kalau istirahat.(Namakamu) tidak terlalu mengenal Salsha, tapi sepertinya gadis itu adalah gadis yang ramah. Salsha adalah ketua cheers, pribadinya yang ramah dan mau berteman dengan siapa saja membuat Salsha di senangi banyak orang.
”...kalau udah kayak gini gue bingung, gimana caranya biar nggak ketauan?”
Sepenggal kalimat yang keluar dari mulut Bastian menarik perhatian (namakamu), laki-laki yang termasuk anggota mading sekolah itu sangat hobi menulis. Dia adalah penulis novel online (cerbung juga bisa), (namakamu) sih tidak terlalu hobi membaca yang seperti itu, tapi terkadang dia suka membaca cerpen karya Bastian.
”Eh (namakamu).” Kata Bastian saat mendapati (namakamu) dengan—gadis malang, begitu Bastian menyebutnya—berjalan ke arah dia dan Salsha.
”Hai, Bas, lagi sibuk nulis ya?” Tanya (namakamu) seperti biasanya, lalu dia melihat Salsha menarik kursi dan sambil tersenyum gadis itu menepuk-nepuk kursi tersebut, (namakamu) balas tersenyum kemudian duduk.
”Iya, nih. Eh (namakamu), lo ada ide nggak?”
Kening (namakamu) berkerut. ”Ide? Ide apaan?” Lalu mata (namakamu) mengerling ke arah Thania yang sekarang sudah duduk di sebelahnya. ”Obatnya udah di minum kan?”
Thania mengangguk lemah, pandangan kosong gadis itu hanya mengarah ke bawah.
”Menurut lo gimana caranya ngebunuh kakaku lo tanpa ada yang tau kalo lo itu pelakunya?”
(Namakamu) terkesiap, pertanyaan bodoh macam itu. (Namakamu) kemudian menghela napas, dia terlalu kaget dengan pertanyaaan Bastian sampai dia tidak sadar kalau itu pasti hanya bagian dari alur cerita yang di buat oleh Bastian.
”Hm...,” setelah ber-hm panjang, dan tiba-tiba saja sosok Aldi dan Iqbaal terlihat dari kejauan. ”Mungkin gue bakalan masukin racun ke minumannya.” Papar (namakamu), yang di akhiri dengan gidikan ngeri. (Namakamu) tak tahu bagaimana ceritanya kalau dia akan melakukan itu kepada kakaknya, dan untungnya (namakamu) tida memiliki seorang kakak.
”Pasti deh nulis cerita lagi.” Komentar Iqbaal begitu dia tiba. Segera saja Iqbaal menarik kursi yang ada di sisi lainnya dan membawanya ke sebelah (namakamu), lalu membisikan sesuatu ke telinga (namakamu). ”awas kamu.”
(Namakamu) tersenyum geli.
”Helo, ini bukan waktunya untuk pacaran, ini waktunya untuk cari cara gimana caranya ngebunuh kakak lo tanpa ada orang yang tau kalo lo itu pelakunya.” Semprot Bastian masam. Iqbaal hanya memutar kedua bola matanya mendengar perkataann Bastian.
”Ah, gue tau. Mungkin diem-diem masuk ke kamar kakak gue terus bungkam mukanya pake bantal? Gimana? Keren kan?” Tiba-tiba Salsha menyuarakan idenya.
Bastian menggeleng. ”Dan ketika polisi menemukan sidik jadi lo di bantal itu...kelar idup lo.”
”Cerita lo aneh.” Komentar Iqbaal.
”Muka lo lebih aneh,” Balas Bastian sengit. ”Kalo lo gimana Al, secara lo itu ketua osis, dan peringkat satu di kelas pula, mungkin lo dengan sukarela mau menyumbangkan secuil ide cemerlang lo ke cerita gue.” Pandangan Bastian bergeser ke Aldi, yang nyatanya, Aldi sedang menatap ke arah Thania. Gadis itu tak menyadarinya.
”Gue nggak tau.” Ucap Aldi, yang langsung membuat punggung Bastian lemas. Padahal Bastian sudah mengharapkan kecerdasan Aldi tertuang ke dalam tulisannya.
Bastian menghela napas. ”Kalau menurut lo....., Thania?” Ada kesunganan di nada bicara Bastian. Terlebih lagi respon teman-temannya yang mendadak diam dan seolah juga menunggu sepatah kata keluar dari mulut Thania.
Thania yang semula menunduk lalu mengangkat wajahnya. ”Aku?”
”Iya, gue mau minta pendapat lo.” Dan Bastian mengeluarkan senyum terbaiknya.
”Aku sih nggak terlalu yakin, tapi kalau kamu mau dengar, mungkin, yah, tinggal di tusuk pakai pisau.” Jelas Thania agak kesusahan. Dia merasa risih dengan pandangan menunggu teman-temannya.
”Di tusuk? Setelah nusuk lo bakalan langsung kabur dengan sidik jari lo yang membekas di pisau itu? Cepat atau lambat polisi bakalan mencurigai kepergian lo.” Komentar Bastian.
Thania agak ragu saat membalas protesan Bastian, nada suaranya terdengar kalut. ”Dengan sapu tangan mungkin nggak bakalan membekasi sidik jari di pisau. Dan mungkin nggak perlu kabur.”
Bastian mengangguk paham, kemudian dia menggerakan jari-jarinya di atas keyboard laptopnya, berusaha menyatukan ide yang di lontarkan oleh teman-temannya.
”Lo nggak minta pendapat gue?” Tanya Iqbaal.
”Gak.”
”Serius? Gue ada ide bagus loh.”
”Gak perlu.” Bastian tetap fokus pada laptopnya, dan itu membuat Iqbaal geram.


***
”Gue udah bilang sama lo berkali-kali, kalau lo mau selamat, jangan pernah sekali-kali lo mengabaikan perintah gue sekali pun!” Bella berteriak marah pada Thania, gadis malang itu kini sudah tersungkur dengan keadaan yang sangat mengenaskan.
Beberapa detik kemudian, dua orang gadis yang berdiri di belakang Bella berjalan menghampiri Thania untuk membangunkannya. Tubuh Thania di sentak ke dinding, kedua tangannya di cengkram oleh dua gadis, yang Thania tahu adalah murid IPS. Bella tampak menyeringai bak malaikat pencabut nyawa saat tangannya terjejal ke saku celana untuk meraih gunting. Apa yang akan Bella lakukan? Demi apapun, Thania sekarang benar-benar takut, mengingat kalau Bella adalah orang yang benar-benar nekat.
”Gue harap setelah ini lo nggak bakalan deket-deket lagi sama temen-temen baru lo itu.” Suara Bella terdengar lembut tapi begitu mengerikan di telinga Thania, dan saat tangan Bella terangkat beserta gunting.
Thania berteriak ketakutan, air matanya tumpah membasahi wajahnya, tapi tangisan itu segera hilang saat Bella menendang mata kakinya. Rasanya sakit sekali. Lalu Thania melihat Bella mengarahkan gunting itu ke rambutnya, dengan beberapa kali gerakan saja, helain rambutnya sudah berjatuhan ke lantai.
”Lepasin dia.” Perintah Bella pada dua murid perempuan itu.
Tangisan Thania langsung mengisi ruangan ini. Ruangan yang notabenenya adalah kelasnya. Thania tidak tahu kalau keadaan akan menjadi lebih parah seperti ini, dia benar-benar membuat Bella murka. Sekolah sudah di bubarkan setengah jam yang lalu, dan seharusnya tadi dia ikut dengan Iqbaal yang harus ke kantor sebentar, Thania menyesali keputusannya untuk tetap diam di kelas sambil menunggu Iqbaal. Thania melupakan keadaan kalau Bella benar-benar menunggu dirinya dalam keadaan sendiri.
Pintu kelas terbanting, sosok Iqbaal muncul dengan amarah yang terpancar jelas di wajahnya. Ketika dia sedang berada di koridor, seorang murid melaporkan padanya kalau Bella sedang menggencarkan aksi gila pada Thania.
”Thania.”
Suara Iqbaal penuh kekuatiran. Iqbaal berjalan sangat tergesah-gesah ke arah Thania, tangannya sudah gatal untuk membawa pergi Thania dari tempat ini.
Tiba-tiba saja sosok Bella menghadang Iqbaal, gadis itu berdiri tepat di hadapan Iqbaal dengan sikap menantang. Apa yang akan dia lakukan? Berkelahi dengan Iqbaal? Mustahil.
”Minggir.” Kata Iqbaal penuh penekanan, dia sudah tidak tahan kalau hanya bersabar terus dengan gadis sinting ini.
Bella tetap diam, malah seringaian kini menghiasi wajahnya, dan tak lama dia memetik jarinya. Suara langkah kaki dari belakang mengalihkan fokus Iqbaal, kepala Iqbaal menoleh untuk melihat siapa yang datang.
Di mulut pintu terdapat tiga murid laki-laki, yang sepertinya adalah murid IPS (lagi). Tanpa banyak berpikir, Iqbaal segera berbalik dan menerjang salah satu dari mereka yang paling dekat dengannya. Murid laki-laki itu terhempas dan menghantam kursi-kursi. Sepasang bola mata Iqbaal bergerak cepat ke arah lawan berikutnya, saat tangannya sudah bergerak untuk melayangkan tinju, tiba-tiba salah satu dari mereka sudah tersungkur ke lantai. Iqbaal terkesiap, manik matanya bergerak mencari sumber yang melakukan tindakan itu. Di ambang pintu Bastian tengah merentangkan kedua tangannya, seakan sedang merenggangkan otot-otot kakunya yang terbujur kaku.
”Gue tau kalo lo pasti bakalan butuh bantuan gue suatu saat nanti.”
Iqbaal tersenyum mengejek lalu menggerakan kakinya ke arah bocah yang tersisa. Murid laki-laki itu tersentak, mimik wajahnya yang ketakutan membuat Bastian tertawa lepas. Tahu kalau ini sudah selesai, Iqbaal memutar badannya dan melangkah ke arah Thania.
”Minggir.” Iqbaal seakan mengulang scene antara dia dan Bella yang sempat terhenti. Kalau tadi Bella tetap tenang, berbeda dengan sekarang yang seakan menjadi kesal dengan kenyataan kalau dia harus mundur.
Bella menginjak kaki Thania yang menjulang di hadapannya, lalu sambil melintasi Iqbaal, dia berkata ”Kalau lo nganggap ini udah selesai lo salah,” Bella menjeda kalimatnya, lalu menghela napas lanjutan kalimatnya membuat Iqbaal mengerang. ”Cewek itu dalam bahaya.” Walaupun Iqbaal tidak menatap wajah Bella secara langsung tapi dia bisa merasakan seringaian iblis terukir di wajah gadis itu.
'Cewek itu?' Kepala Iqbaal seperti terbentur begitu isi kepalanya menemukan jawaban atas pertanyaan yang teringang di otaknya. Apakah ini sebuah ancaman? Ancaman yang benar-benar membuat Iqbaal takut. Tidak, Iqbaal yakin dia tidak akan takut dengan segala ancaman Bella, yang perlu dia lakukan hanyalah melindungi seseorang yang saat ini menjadi target Bella.
Hanya itu. Tapi kenapa perasaan takut itu tetap muncul? Iqbaal naik pitam, tangan segera bergerak untuk mengunci leher Bella.
”Kalo orang yang lo maksud adalah (namakamu), lo bakalan berurusan sama gue secara langsung!” Teriak Iqbaal murka. Sudut-sudut matanya berkedut karena menahan jemarinya agar tak mencekik Bella hingga tawas.
Bella tertawa mengerikan. Sadar kalau Iqbaal secara terang-teranganmengatakan padanya kalau gadis itu benar-benar barang berharganya.


Bersambung...

Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

No comments:

Post a Comment

Situs terkait