`Lost In Love` [Sequel 'Love Problem']
By Muhammad Aryanda
-o0o-
• Bagian 1 [1 of 2]
(Namakamu) tidak tahu apakah dia harus menangis atau bahagia ketika penghulu mengucapkan kata 'sah' dan belasan orang lainnya yang mengisi aula serba putih beserta pernak-pernik menakjubkan ini menyerukan hal yang sama. Laki-laki yang duduk di sebelah kanannya ini adalah laki-laki yang dulu—semasa SMA—merebut ciuman pertamanya secara tiba-tiba. Laki-laki yang menumpahkan tinta ke seragam sekolahnya, laki-laki yang menaruh seragam olahraganya di toilet cowok, laki-laki yang melempar sepatunya ke genteng sekolah dan laki-laki ini juga yang memasukkan batu bata ke dalam tas sekolahnya.
Ini seperti mimpi. Kalaupun mimpi, Iqbaal tidak tahu apakah ini mimpi buruk atau sebaliknya. Gadis yang duduk di sebelah kirinya adalah gadis yang memasukan alat kecantikan ke tasnya sewaktu SMA dulu—Iqbaal masih ingat betul bagaimana suara tawa biadab teman-teman kelasnya. Gadis ini juga yang memasukan cabe ke dalam jusnya, dia juga yang melempar seragam olahraganya ke lumpur, gadis ini juga yang meletakan tasnya di atas tiang bendera dan yang paling parah gadis ini adalah gadis yang mencabut bulu kakinya dengan selotip.
Tapi ketika melihat keadaan mereka sekarang, siapa yang menyangka? Bastian— teman akrab Iqbaal—kalau mengenang kejadian masa sekolah dulu pasti dia yang akan tertawa paling besar.
-o0o-
(Namakamu) seperti terkurung dalam ruangan hampa tanpa oksigen saat melihat Iqbaal masuk ke dalam kamar. Mereka satu kamar sekarang! Jangan bilang kalau (namakamu) lupa akan hal itu(namakamu) terduduk di sofa yang menghadap televisi. Dia mencoba acuh dengan kedatangan Iqbaal. Ini aneh, untuk pertama kalinya (namakamu) takut akan kehadiran Iqbaal. Padahal sewaktu mereka menjalani hubungan yang biasa di sebut 'pacaran' (namakamu) tidak pernah bersikap seperti ini. (Namakamu) takut. Kata itu yang berdiri paling depan dari segala macam perasaan yang dia rasakan malam ini.
Iqbaal duduk di sampingnya. Jantung (namakamu) malah membabi buta bahkan tangannya yang sedari tadi memegang remote gemetaran. Untuk menghilangkan keanehan, (namakamu) menyilangkan kedua tangannya di dada.
”Bukannya kamu gak suka ya, sama sinetron ini?” Tanya Iqbaal tiba-tiba, dan itu membuat (namakamu) nyaris melompat. Untuk pertama kalinya lagi, suara Iqbaal terdengar seperti lonceng kematian.
(Namakamu) tidak menjawab. Dia menatap intens layar televisi yang sedang memperlihatkan sinetron yang di maksud Iqbaal. Sedetik kemudian mata (namakamu) menyipit jijik `Kau Yang Berasal Dari Bi*ta*g` buru-buru (namakamu) menyambar remote dan sialnya dia malah menekan 'turn off'
Suasana mendadak hening dan mencekat tenggorokan (namakamu). Seperti ini ya suasana malam pertama? -..-
Hening.
Hening.
Hening.
”(Namakamu), aku laper, tolong ambilin ponsel aku.., disitu” suara Iqbaal memecahkan keheningan, telunjuknya dia arahkan ke meja rias yang terletak di sebelah (namakamu).
(Namakamu) tidak lansung mengambil ponsel Iqbaal, awalnya dia menatap Iqbaal lebih dulu yang di balas dengan senyum menawan laki-laki itu.
”Kamu laper? Biar aku yang masak aja.” (Namakamu) tidak pernah sekaku ini terhadap Iqbaal. Mungkin karena hanya menjalani hubungan dengan jarak yang tak begitu jauh. Setengah tahun.
Jari Iqbaal berhenti saat tengah menekan enam digit nomor salah satu restoran. Wajahnya datar. ”Oh, gausah, aku tau pasti kamu capek.”
(Namakamu) hanya mengangguk samar, dia tidak serius dengan ucapannya yang menawarkan diri untuk memasak. Sejujurnya dia memang letih. Detik berikutnya, dia hanya mendengar suara Iqbaal yang bercakap-cakap dengan pelayan restoran. Ketika Iqbaal menatapnya dan bertanya 'mau pesan apa' dan (namakamu) hanya mengangkat kedua alisnya secara bersamaan lalu kembali memalingkan pandangan. Jawaban kalau dia memesan makanan yang sama dengan Iqbaal.
*
Seorang laki-laki mengenakan seragam rumah makan tempatnya bekerja berjalan di lobi lantai dua sambil menenteng dua hamburger dan sekotak pizza ukuran jumbo yang terbungkus dengan plastik putih bertulisan 'Aldi's Bistro'. Saat tiba di depan pintu apartemen, dia mematung dan mengamati nomor yang tertera di pintu tersebut. Ketika ingin menekan bel, suara teriakan seorang wanita di dalam, membuatnya mengurungkan niat. Keningnya berkerut resah, suara pecahan kaca yang seperti vas menyusul detik berikutnya. Itu semakin membuat waiters ini ingin membatalkan niatnya.
Apa susahnya tinggal menekan Bel? Lagipula itu bukan urusannnya, yang terpenting dia sudah menjalankan pekerjaanya dengan benar.
Dia menghela napas meyakinkan dirinya. Kemudian dia memberanikan diri untuk menekan bel, bersamaan dengan suara laki-laki di dalam yang berteriak kesakitan. Hanya menekan sekali, pintu langsung terbuka dan suara kekacaun di dalam langsung menghilang.
Seorang laki-laki tampan berdiri tepat di hadapan waiters ini. Dia tersenyum ramah, tangan kanannya menggenggam beberapa lembar uang. Waiters bername-tag 'Rizal' itu menyodorkan pesanan kepada laki-laki di hadapannya dengan senyum khas pengantar. Setelah mendapatkan pembayaran atas makanan. Waiters—Rizal—menghambur dengan segala tanda tanya di kepalanya.
Mereka sedang menonton film -..-
*
”Aku mau mandi dulu,” kata Iqbaal saat (namakamu) tengah menyalakan televisi. ”Kalo pesanannya udah dateng, itu uangnya.” Jari Iqbaal menuding ke arah meja yang terletak di depan sofa tempat mereka duduk tadi. Iqbaal berjalan ke arah kamar mandi sambil melepas satu demi satu kancing kemejanya.
Itu kalimat yang terakhir kali (namakamu) dengar sebelum kelopak matanya tertutup.
Samar-samar (namakamu) meendengar suara berisik yang di hasilkan televisinya. (Namakamu) sangat yakin kalau chanel televisi tengah menyiarkan pertandingan sepak bola, dan suara komentator itu mengusik tidurnya. Perlahan mata (namakamu) mengerjap dan pupilnya masih menyesuaikan dengann cahaya ruangan terang ini. Seingatnya, dia tertidur sambil meringkuk memeluk lututnya dan menjejalkan kepalanya kedalam ruanga gelap yang di buatnya sendiri. Tapi, sekarang, (namakamu) tengah terbaring. Yang pertama kali terlihat jelas adalah wajah Iqbaal tengah fokus pada layar televisi.
Mulut dan mata (namakamu) terbuka, seolah dia baru saja melihat sesuatu yang begitu mengejutkan. Bukan untuk dilihat—Iqbaal bertelanjang dada— (Namakamu) menutup matanya—pura-pura—tidur saat tangan Iqbaal merayap ke puncak kepalanya, lalu mengelus rambutnya dengan lembut. Rasanya nyaman sekali.
Sesaat memang terlalu nyaman, tapi saat Iqbaal menggumamkan kata yang tak begitu jelas. (Namakamu) merasakan atmosfer hangat menyelubungi wajahnya, napasnya jadi terputus-putus.Udara panas yang kini dia hirup semakin menyapu wajahnya. Apa Iqbaal mematikan AC ruangan ini? Tidak, tidak mungkin.
(Namakamu) mencoba mengintip dari celah bulu matanya. Dia membuka sedikit sekali matanya untuk melihat keadaan di luar. Yang dia lihat sekarang adalah malah mengundang jantungnya yang berdetak bak gebukan drum. Iqbaal mencondongkan wajahnya lebih dekat ke wajahnya, sedikit lagi.. Sedikit lagi.. Bibir Iqbaal akan menyentuh...,
” AAaaa!!” (Namakamu) seolah baru mendapatkan suaranya lagi. Teriakannya menggelegar mengisi ruang hampa ini. (Namakamu) bisa melihat wajah kaget Iqbaal.
(Namakamu) menjauh dari Iqbaal sambil menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Sementara Iqbaal memandangnya dengan tatapan heran.
”Kamu kenapa sih? Mimpi buruk?” Tanya Iqbaal ambigu.
(Namakamu) mengibaskan tangannya. Lalu tangannya menunjuk badan Iqbaal yang tanpa mengenakan atasan. Iqbaal langsung tersenyum jahil, sialnya, (namakamu) tidak melihat itu. Perlahan namun pasti, Iqbaal mendekatkan badannya pada (namakamu) yang masih menutup wajahnya dengan tangan.
Iqbaal berkata sambil berbisik, suaranya mampu membuat bulu kuduk (namakamu) meremang. ”Malam pertama itu mengasyikan..” Bisik Iqbaal nyaris terkekeh, tapi tak sempat begitu melihat (namakamu) menghambur sambil berteriak seperti orang gila.
Seringaian Iqbaal semakin lebar. (Namakamu) benar-benar seperti orang gila.
”(Namakamu)! Ayolah! Setiap pengantin akan melakukan 'ini'” tapi (namakamu) tidak memperdulikan perkataan Iqbaal, dia terus meronta sambil berlari. Masih seperti orang gila.
Iqbaal beranjak dari sofa, dan mulai menelusuri apartemen yang ukurannya tidak bisa di bilang kecil ataupun lumayan besar. Karena ini benar-benar besar, di tambah barang-barang penghias ruangan lainnya seperti; guci sebesar dirinya, vas, lemari hias yang berisi gelas-gelas hias, dan bermacam benda aneh lainnya yang tak mungkin di absen satu persatu, sebab (namakamu) hilang.
Iqbaal tidak menemukan (namakamu) di dapur, kamar mandi, dan ruang perpustakaan. Jadi, Iqbaal melangkah menuju kamar mereka.
Ruangan itu sangat indah, berbagai penghias penganti menempel di dinding kamar. Dua buket bunga mawar dan melati terbaring di atas tempat tidur serba putih itu. Aroma ruangan ini semakin memacu adrenalin Iqbaal untuk menemukan (namakamu). Kamar pengantin ini berbeda dengan kamar yang tadi, tempat keduanya menonton acara absurd. (Namakamu) tidak suka aroma ruangan ini.
”(Namakamu)?” Panggil Iqbaal sembari mengedarkan pandangannya ke segala arah. Ekspresi jahilnya kini berubah menyelidik.
Kamar ini benar-benar sunyi, tak ada yang bisa di dengar kecuali dengung kepala sendiri. Iqbaal sudah mengecek dengan benar-benar di kamar mandi, dapur, bahkan ruang perpustakaan yang semak penuh tempat persembunyian itu. Tapi tetap saja, disana tidak ada (namakamu). Dan ini ruangan satu-satunya yang belum dia lihat.
Selagi Iqbaal sibuk mencari keberadaan (namakamu), sesuatu yang bergoyang-goyang mengacaukan fokusnya. Tempat tidur itu di selimuti oleh seprai putih yang menjutai sampai menyentuh lantai, nah, disitu letak permasalahanya.Senyum jahil Iqbaal tersungging lagi, kali ini lebih lebar.
”(Namakamu), kalo kamu sembunyi terus aku bakalan buka celana semaleman!” Ancam Iqbaal yang langsung mendapat respon aneh.
Dugh!
Suara memilukan itu terdengar dari bawah kolong tempat tidur. Kepala (Namakamu) terhantam dengan papan pengalas tempat tidur. Iqbaal terkekeh.
Iqbaal terlalu sibuk dengan kekehannya sampai dia tidak sadar kalau (namakamu) sudah beranjak dari kolong tempat tidur. (Namakamu) berada di sebrang tempat tidur, menekuk wajahnya sambil mengelus kepalanya.
”(Namakamu), ayodong, Steffie aja berani masa kamu engga.” Kata Iqbaal menggoda. Entah kenapa, Iqbaal begitu sulit melepaskan seringaian yang bagi (namakamu) terlihat menyebalkan.
Bugh!
Sekali gerakan, (namakamu) menghempaskan bantal ke wajah Iqbaal kemudian dia menghambur keluar kamar sambil berteriak ”bodohamat!”
Belum menyerah, Iqbaal kembali mengejar (namakamu). Aksi kejar-kejaran itu berlangsung tanpa henti, Iqbaal yang sesekali menabrak sofa menjadi keringan bagi (namakamu). Tapi tetap saja dia merasakan kelelahan, berlari-lari di malam hari seperti ini. (Namakamu) ingin sekali keluar dari apartemen ini kalau saja pintu utama tidak dikunci oleh Iqbaal. kalaupun (namakamu) tahu sandi apartemen ini, itu akan memakan waktu lama saat menekan angka demi angka, mengingat Iqbaal yang tak kelelahan mengejarnya.
Prash!
(Namakamu) tidak sengaja menyenggol vas bunga saat dia tak menemukan jalan. Di hadapannya hanya ada dinding tanpa cela lainnya. Ketika berbalik, Iqbaal berada di hadapannya dengan napas terengah-engah.Iqbaal mendekat, memeluknya dengan senyum penuh kemenangan. (Namakamu) bisa merasakan keringat Iqbaal menepel di wajahnya saat wajahnya saling bersentuhan dengan dada laki-laki itu. (Namakamu) mendadak mual.
Jek!
”Aduh!”
Menggunakan kesempatan saat Iqbaal lengah, (namakamu) menginjak kaki Iqbaal tanpa ampun. Tak lupa dia menarik rambut Iqbaal karena gemas dengan tingkah laki-laki ini sebelum menghambur pergi.
Iqbaal mendengar suara kunci terputar saat (namakamu) masuk ke dalam kamar. (Namakamu) mengunci kamar. Lalu suara bel apartemen mengiringi. Iqbaal menyambar kemeja sebelum membukakan pintu.
Seorang pengantar makanan dengan tampang membingungkan seolah dia baru saja menyaksikan kejadian yang tidakmampu di terima kepalanya, berdiri sambil menenteng plastik bungkus berwarna putih. Yang Iqbaal yakini adalah pesanannya.
*
”Loh, kok cepet banget pulangnya?” (Namakamu) kebingungan ketika melihat Iqbaal pulang dengan seragam kantor padahal waktu menunjukan pukul sepuluh pagi. Seharusnya sih, Iqbaal mengambil cuti tiga hari seperti teman-temannya yang lainn saat sehabis pernikahan. Tapi sudahlah... Tidak perlu di jelaskkan.
”Kenapa? Kamu gak seneng aku pulang cepet?” Iqbaal balik tanya dengan ekspresi wajah yang sangat sulit di artikan.
(Namakamu) menunduk dalam lalu berkata dengan suara tercekat. ”Bukan, bukan, gitu, cuma..,”
”Cuma apa?” Iqbaal menyela ucapan (namakamu) dengan suara dingin.
(Namakamu) ingin menangis, kenapa dia menjadi lemah seperti ini, sih?
”Cuma bercanda,” Iqbaal menghampiri (namakamu) lalu mengusap lembut puncak kepala wanita itu.
Butuh beberapa detik untuk menyadarkan (namakamu) dari shocked sikap Iqbaal yang mendadak dingin. Iqbaal hanya bercanda. (Namakamu) menanamkan tiga kata itu di benaknya. Kemudian, dia menengadah memandangi Iqbaal dari ujung kaki sampai ujung kepala, dan berhenti di tangan Iqbaal yang sedang memegang erat plastik hitam.
”Itu apa?”
Iqbaal tampak menyeringai dengan wajah merona merah. Laki-laki itu salah tingkah, tanpa menjawab pertanyaan (namakamu), Iqbaal menarik tangan (namakamu) dan membawanya ke ruang tengah.
*
Mengajak (namakamu) menonton video porn* sepertinya bukan ide bagus kalau hanya untuk melatih fisik gadis itu yang terkesan tidak terbiasa dengan hal berbau pornografi. Iqbaal seperti benda yang di perlakukan (namakamu) sesukanya, berkali-kali gadis itu merengek sambil menjambak rambut Iqbaal, ditambah bonus menampar dan memukul di bagian yang fatal.
Iqbaal tidak menyalahkan respon (namakamu), ini semua ide Bastian. Dan salah besar mengikuti saran laki-laki itu.
”Jangan di tarik kuat-kuat dong telinga aku, sakit tau!” Televisi di depan mereka masih menyala dan memperlihatkan gambar yang kurang senonoh bagi (namakamu).
”Aduh, Baal, itu pasti sakit banget.” Ujar (namakamu) sambil menarik hidung Iqbaal yang sudah kemerahan.
”(Namakamu), aku juga kesakitan! Nontonnya bisa gak sih, biasa aja,” Iqbaal mencoba melepaskan jari (namakamu) yang terkepit di hidungnya.
”Liat tuh!” Perut (namakamu) seperti di aduk pakai garpu. ”Ceweknya kesakitan, cowok bangsat!” Tangan (namakamu) tidak sengaja meraih remote lalu memukulnya ke kepala Iqbaal.
Iqbaal meringis.
Berikutnya, (namakamu) berkata sambil menjambak rambut Iqbaal. ”Ceweknya di jambak! Cowoknya bener-bener gakpunya otak!”
Seharusnya (namakamu) bercermin dengan ucapannya sendiri.
Adegan kurang senonoh di layar televisi membuat (namakamu) memiting kepala Iqbaal, sekuat-kuat mungkin. Hanya dengan seperti ini (namakamu) bisa kembali fokus dengan tontonan di layar televisi. Iqbaal memaksanya menonton dvd tolol ini. Alasannya supaya dia terbiasa. Terbiasa untuk? -..-
Bersambung...
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment