Tuesday, March 24, 2015

Cerbung Desire And Hope - Part 2

Part 2

Muhammad Aryanda.

OoO

Pemuda itu mengangguk. ”Lo (namakamu) kan? Gue Iqbaal.” Mereka saling menjabat tangan selama beberapa detik. ”Kayaknya lo sama Aldi deket banget ya? Kayak orang pacaran.”
”-__-??”
”Kenapa?”
”Engga, lo orang yang kesejuta entah berapa yang ngomong kayak gitu. Padahal gue sama dia cuma sahabatan.”
”Iya, gue tau.”


”Nah, itu Aldi.” (Namakamu) mengalihkan wajahnya untuk melihat Aldi yang sedang berjalan sambil bawa nampan. (Namakamu) jadi kasian tapi itu kan maunya sih Aldi sendiri.
”Kok bentar banget ya, Al? Perasaan yang ngantri rame deh.” Iqbaal emang sedikit bingung tentang kenapa Aldi bisa balik lebih cepet dari yang lain, mungkin Aldi ini anak dukun yang bisa menghipnotis orang-orang dengan sekali sentuhan.
Aldi nyengir.
”Sama dia mah nyantain aja, nih anak dukun belom bisa ada yang ngalahin.” Celetukan (namakamu) percis seperti apa yang ada di dalam pikiran Iqbaal.
”Enak aja lo ngatain gue anak dukun, lo tuh anak tukang santet.”
”Ngaku aja deh lo, nanti malem kan malem jumat kalo sampe ada keributan nanti malem dan ternyata itu gara-gara warga yang nemui seekor babi yang berubah jadi manusia jangan minta tolong sama gue yak!” (Namakamu) narik dua mangkok bakso yang ada di nampan bawaan Aldi, (namakamu) mengambil mie yang ada di mangkok milik Aldi lalu menggesernya ke hadapan Aldi.
”Maksud lo, Lay?”
”Halah, pura-pura gatau aja deh lo terus,”
”Haha, kalo emang gue yang jadi babinya mungkin lo yang dengan sengaja niup lilinnya, nyet.” Ucap Aldi sinis.
Dengan gerakan cepat (namakamu) mengajukan jempol miliknya ke wajah Aldi sambil mengangguk.
”Bapak semakin pinter.”
”Dan Ibu semakin tolol.”
(Namakamu) hanya memeletkan lidahnya saja. Mereka sudah terlalu biasa berbicara di kantin seperti sekarang ini dengan banyolan masing-masing, dan tanpa mereka sadari kalau di dekat mereka ada Iqbaal sang murid baru yang menyaksikan.
*
Selain jam kosong, guru gak jadi masuk, rapat mendadak, gak jadi ulangan, pulang cepet, hal yang paling murid sukai adalah saat bel berdering sebanyak tiga kali menggema di koridor. Jam pulang memang yang paling di nanti oleh kebanyakan para murid.
”Rumah lo dimana, Baal?” Tanya Aldi begitu dia, (namakamu) dan Iqbaal berjalan beriringan di koridor sekolah.
”Gak jauh dari sini nanti juga kalian bakalan ngelewati rumah gue,” Jawab Iqbaal lalu dia menghentikan langkahnya, memandang kebelakang. ”Rumah kalian pasti dekatan kan?”
(Namakamu) dan Aldi mengangguk.
Kayak bocah kembar, pikir Iqbaal.
”Gue orang baru di tempat gue tinggal sekarang, boleh kan nanti sekitar jam tiga gue dateng ke rumah lo berdua?”
(Namakamu) mengajungkan jempolnya sedangkan Aldi mengangguk.
”Lo ada sepeda?” Tanya Aldi ketika mereka mulai berjalan lagi. Koridor udah sepi, kebiasaan aneh (namakamu) sama Aldi adalah nunggu koridor sepi baru deh mereka pulang. Lucu ya. HAHAHA (´̯ ̮`̯ ).
Selama beberapa detik Iqbaal diam dengan sikap berpikir. Iqbaal rasa dia ada sepeda, tapi dia gak yakin kalau keadaan sepedanya masih layak di gunakan atau tidak.
”Ada sih, tapi gue gatau masih bisa di pake atau engga.”
”Loh kok gitu?” (Namakamu) yang daritadi diem mendadak bersuara, yang membuat Iqbaal tertawa pelan adalah ekspresi wajah (namakamu) yang bloon banget.
”Ya, karena jarang gue pake, eh kayaknya karena gak pernah gue pake deh.”
”Yah, sayang banget padahal kalo ada sepeda satu lagi pasti lo bisa ikut.” Kata Aldi dengan sangat menyesal.
”Muka lo biasa aja kali, Al, minta gue tabok.” (Namakamu) bergidik geli melihat ekspresi menyesal di wajah Aldi. Aldi mendelik kearahnya begitu juga dengan (namakamu) yang balas mendelik.
”Emangnya kita mau kemana?” Iqbaal buru-buru bertanya sebelum dialog suami-istri di antara mereka berdua terdengar lagi.
”Susah jelasinya.”
Mereka bertiga udah keluar dari perkarangan sekolah, suara derum mesin motor dan mobil langsung menyapu pendengaran mereka.
Sebenarnya Iqbaal bakalan di jemput sama supirnya tapi karena mendengar (namakamu) dan Aldi pulang jalan kaki, maka Iqbaal putuskan untuk pulang bersama mereka. Lagian jarak sekolah sama rumahnya emang gak jauh-jauh banget, tapi karena udah kebiasaan di antar-jemput dengan supirnya, yah jadinya gitu deh.
*
”Al, menurut lo sih anak baru itu jadi dateng gak?”
”Emangnya kenapa sih?”
”Yah, mana tau aja dia cuma basa-basi doang ngomong ginian sama kita, dan pas di sekolah saat di tanya dia tinggal jawab 'Sori, kemarin gue gak bisa dateng karena ada acara keluarga' padahal...”
”Padahal?”
”Padahal dia emang gak mau dateng.”
Plak!
Satu jitakan berhasil mendarat mulus di kening (namakamu).
”Lo itu ya, kerjaanya suudzon aja sama orang.” Ujar Aldi kesal dengan sikap (namakamu) yang selalu aja seperti ini kalau ada orang yang dateng gak tepat waktu.
”Sshh, sakit tau.” (Namakamu) merengek sambil mengusap keningnya kuat-kuat, dan langsung membalas jitakan Aldi, tapi Aldi menghindar dengan gampangnya.
”Mana tau aja dia tersesat, lagian kan dia orang baru di sekitaran sini. Inget ya, (namakamu) dia itu orang Jakarta bukan orang Bandung, kemungkinannya itu bisa aja dia tersesat.” Jelas Aldi dengan napas menggebu-gebu.
”Tau ah,” (namakamu) bete, dia menyenderkan punggunya ke batang pohon. Mereka berdua sedang duduk di halaman rumah Aldi, tepatnya di kursi yang ada di bawah pohon.
Selama beberapa menit tidak ada yang bersuara lagi. Aldi sibuk dengan tugas remedial kimianya yang harus di kumpul besok pagi-pagi sekali sebelum Pak Amir meletakan tasnya di mejanya. Sementara (namakamu) yang memang gak bisa ikut remedial cuma bisa ngeliatin Aldi ngerjain tugasnya dengan tampang kesal. (Namakamu) masih ingat bahkan begitu jelas adegan dimana Aldi dengan tololnya berteriak di kelas dan membuat seluruh mata menatap ke arahnya.
”(Namakamu), cara cari pH gimana sih?”
(Namakamu) tersenyum miring. ”Lo tanya aja sama gumpalan kertas yang lo lempar ke gue setiap menitnya,” Dan (namakamu) langsung mengalihkan wajahnya ke depan. ”Kalo emang sih Iqbaal tersesat, mungkin lo-nya yang bego, Al.”
”Kok gue?” Aldi meletakan bolpoinnya di dalam buku lalu menutup buku tersebut. Persetan dengan ulangan ini.
”Mungkin lo jelasin alamat kita gak bener kali.”
”Gue jelasinnya udah bener, mungkin dianya yang bego.”
Dan detik itu juga terdengar suara derum mesin motor di jalan kecil yang ada di depan rumah Aldi. (Namakamu) dan Aldi langsung beranjak dari posisi duduk, dan berjalan kearah gerbang untuk membukakan pagar untuk Iqbaal.
”Sori lama, gue agak bingung sama jalannya.” ujar Iqbaal sebelum ditanyai dengan Aldi atau (namakamu).
”Gak pa-pa,” sahut Aldi santai. ”Taruh motornya di dalam aja.” Aldi menunjuk ke dalam bagasi mobil yang kebuka, Iqbaal mengangguk paham dan mengegas motornya ke arah bagasi.
Sesudah meletakan motornya di dalam bagasi, Iqbaal berjalan menghampiri (namakamu) yang berada di kursi yang ada di bawah pohon.
”Aldi mana?”
Agaknya (namakamu) sedang melamun, itu bisa di lihat saat gadis itu terkejut dengan kehadiran Iqbaal yang tiba-tiba.
”Oh, dia di dalem, bentaran doang.”
Sambil tersenyum kecil Iqbaal mengangguk. Kemudian dia duduk di sebelah (namakamu) tanpa ragu. Tidak ada yang bersuara. (Namakamu) sesekali bersiul atau memainkan kuku jari tangannya. Suasana begitu hampa dan sepi tanpa Aldi. Iqbaal jadi bertanya-tanya bagaimana kalau suatu saat Aldi berhalangan hadir ke sekolah dan dia hanya berdua saja dengan (namakamu)? Apa keadaanya akan sama percis seperti ini.
(Namakamu) gak bersuara, gak seberisik saat sama Aldi. Gadis itu lebih kalem dan seakan menjaga sikapnya.
”Woy! Sepi banget. Gue pikir tadi lo berdua udah pergi duluan, taunya malah bengong berdua disini.” Suara Aldi tiba-tiba aja terdengar sangat berisik membuyarkan lamunan (namakamu) maupun Iqbaal.
Aldi dateng gak dengan tangan kosong, dia jalan sambil nuntun sepeda jenis BMX yang lumayan besar.
”Loh, emangnya jadi ke tempat itu? Terus dia jalan kaki gitu?” Saking bingungnya dengan Aldi, (namakamu) sampai menggaruk-garukkepalanya yang tak gatal.
Iqbaal menoleh ke arah (namakamu), kurang nyaman dengan kalimat (namakamu) yang menyebut dirinya dengan 'dia' padahal gadis itu bisa menyebut namanya kan? Tapi kenapa harus mengganti namanya dengan 'dia' seakan kalau dirinya adalah orang yang benar-benar asing disini.
”Jadi, kita kan udah gak kesana lama banget.”
”Tartik?” Tanya (namakamu) kurang yakin.
”Tartik apa?” Iqbaal memandang (namakamu) dengan wajah polos.
”Tarik tiga.” (Namakamu) nyengir dan Iqbaal rasa gadis itu tulus bersikap seperti itu kepadanya.
”Iya, kita bonceng tiga, lo naik di depan,” Aldi memukul batang sepeda, ”terus sih Iqbaal di belakang.” Aldi menunjuk besi kecil yang mencuat di antara jari-jari dengan bibirnya.
”Terus lo yang bonceng kita berdua?” Agaknya (namakamu) meremehkan tenaga Aldi, kentara sekali wajah (namakamu) yang tadinya bingung berubah jadi songong.
”YAELAH (NAMAKAMU) BAWEL BANGET SIH LO, LO MAU IKUT ATAU ENGGA?”
Hening, sepi, hampa, hanya terdengar gesekan daun dan batang yang di terpa angin. Iqbaal diam mematung sambil memandang Aldi dan (namakamu) secara bergantian. Tak lama gadis itu mengangguk pelan-pelan.

*
(Namakamu) menompang dagunya dengan sebelah tangannya, dia terlalu bosen duduk di depan sementara Aldi mengayuh sepeda dengan begitu lambatnya.
”Kayaknya ini lebih lama daripada cewek-cewek yang lagi luluran di kamar mandi.” Gerutu (namakamu) dan langsung mendapatkan jitakan dari Aldi. (Namakamu) meringis dan merepet gak jelas.
“Emangnya tempatnya masih jauh?“ Iqbaal yang daritadi cuma diem ikut nimbrung di kerusuhan (namakamu) dan Aldi.
“Sebenernya tempatnya gak jauh, cuma gara-gara sih sipit kayuhnya lama banget jadinya serasa ke Seoul naik sepeda,“ Sahut (namakamu) bengis, dan lagi-lagi Aldi menjitak kepalanya. “Sakit tau, Al.“ Rengek (namakamu). Dia ingin membalas tapi bagaimana caranya?
“Lo berisik! Gatau apa kalo berat,“ Keluh Aldi, mereka sudah setengah berjalanan dan sekarang sudah jam berapa ya kira-kira. “(Namakamu) jam berapa?“
“Gue gak bawa jam,“ suara (namakamu) terdengar kesal.
“Lo masih ada hape.“ Aldi maksa.
“Hape gue ketinggalan.“ Balas (namakamu) masih dengan suara kesalnya.
“Jam empat.“ Tiba-tiba Iqbaal menyaut membuat perdebatan di antara mereka berakhir dengan cepat.
Hari yang semakin sore itu membuat hari menjadi tak sepanas sewaktu mereka melangkah keluar rumah. Matahari mulai menunduk malu menandakan kalau tugasnya hanya tinggal beberapa jam lagi. Angin sore bertiup sejuk menerpa dedaunan kering sampai berjatuhan.
Aldi, (namakamu), dan Iqbaal sudah berada di jalan sepi yang di pinggirnya di tumbuhi banyak pohon ek. Jalanan ini begitu panjang, sepasang mata Aldi belum melihat tanda berakhirnya jalanan panjang ini, dan yang membuat Aldi kesal adalah di depannya sekitar 100 meter ada sebuah tanjakan yang lumayan tinggi. Aldi gak yakin kalau dia bisa mengayuh sepeda dengan tidak terpeleset.
“Kalo udah gak sunggup biar gantian gue yang nyetir.“ Kata Iqbaal yang merasa kalau sepertinya Aldi sudah kelelahan.
Semakin lama jalan sepeda semakin melambat, dan tak lama berhenti. Iqbaal lompat dari belakang, sekarang giliran dia yang mengemudikan sepeda ini. Berat gak ya?
“Turun kek, nyet.“ Ketus Aldi pada (namakamu), gadis itu bukannya turun sejenak malah tetep duduk kayak patung.
“Mls.“ Balas (namakamu) tak jelas.
Seakan tak mau membuat keributan, Aldi pun lebih memilih untuk diam daripada menanggapi ucapan resek (namakamu).
Sepeda kembali melaju, kali ini (namakamu) lumayan bisa merasakan angin sore yang menerpa wajahnya. Kayaknya tenaga Iqbaal lebih kuat daripada Aldi, soalnya laju sepeda yang sekarang beda banget sama sewaktu Aldi yang jadi pengemudi.
“Gini dong daritadi, gue kan jadinya gak ngantuk.“ Ucap (namakamu) semangat.
Aldi menggerutu tak jelas di belakang, kalau saja (namakamu) tidak mengikat rambutnya seperti konde gagal, pasti Aldi sudah menarik kuat-kuat rambut gadis itu.
Iqbaal mengayuh pedal begitu semangat membuat angin sore ini menerpa wajahnya, rasanya begitu sejuk dan segar. Fokusnya pada jalanan menjadi tak terlalu karena teriakan yang (namakamu) buat bak seorang pengemudi kuda, gadis itu terus berteriak, sedangkan Aldi daritadi merempet gara-gara (namakamu) yang sangat berisik.
“Wuuu, lain kali kalo kayak gini lo aja deh yang bonceng. Sih Aldi mah badan doang gede, otaknya gak ada, eh maksud gue tenaganya.“
“Gue bakalan buat perhitungan sama lo setelah ini!“ Aldi berteriak kencang.
Sepada semakin melaju cepat saat mendaki tanjakan, tenaga Iqbaal lebih cepat terkuras di saat-saat seperti ini tapi melihat (namakamu) yang sangat antusias itu membuat Iqbaal mengabaikan rasa lelah yang menghampiri dirinya.
“Dikit lagi bakalan aselole-an.“ Suara (namakamu) bak terompet di gurun pasir.
Iqbaal gak ngerti maksud dari kata aselole di kalimat (namakamu), tapi begitu sepeda berhasil sampai di atas dan terjun dari tanjakan dia tak lagi memperdulikan kata itu.
“AAaaa!!!“ (Namakamu) berteriak histeris.
“Jangan berisik norak!“
“Bodo amat, sipit!“
“Lebih kuat.“ Teriak (Namakamu) sambil menyenggol pelan tangan Iqbaal.
Mendengar perintah dari (namakamu), Iqbaal semakin mengayuh sepeda dengan kuat, kecepatan pun dengan gampangnya bertambah saat turun dari tanjakan.
“Keren bangetttt!!“
“Jangan berisik!!!“
“Suka-suka gue!!“
“Ganggu!!“
“Bodo amat!!“
“AAaa!!“
Dan kegilaan (namakamu) berhenti saat sepeda berjalan di jalan datar.
*
“Belok..“ Kata Aldi pada Iqbaal.
Iqbaal pun membelokan sepeda ke kanan karena hanya kesitulah sebuah belokan yang ada.
Merea masuk ke jalan setapak yang di kelilingi oleh banyak pohon kelatak dan ek. Jalanan yang sedikit berbatuan itu membuat (namakamu) sedikit tersiksa lantaran dia duduk di batang besi membuat bokongnya beradu.
“Pelan-pelan..“Suara (namakamu) sangat pelan dan terdengar sangat sengsara.
“Iya iya.“ Iqbaal nurut, dia memelankan laju sepeda.
“Mampyus, tadi suara lo yang paling gede sewaktu bilang 'lebih kuatttt!!'“
(Namakamu) mengabaikan ucapan Aldi, dia lebih memilih diam kalau dalam keadaan seperti ini.
“Nah, itu dia.“
Iqbaal mempercepat laju sepedanya saat matanya mengikuti kemana telunjuk Aldi mengarah.
“Aduh, sakit, oon, pelan-pelan, ya ampun, pantat gue.“
Sepeda berhenti. Aldi melompat cepat membuat Iqbaal dan (namakamu) terjatuh karena sepeda mendadak tidak seimbang.
“HAHAHAHA...“ Aldi menjadi orang yang paling pertama tertawa dan tawa biadab itu sangat menggema di tempat seperti ini.
“Aldi...“ Tak sanggup berkata apa-apa lagi, (namakamu) hanya bisa meringis sambil mengelus bokongnya.
Iqbaal yang melihat (namakamu) terjatuh dalam keadaan tak enak itu segera jalan menghampiri, lalu mengulurkan tangannya. (Namakamu) langsung menyambut uluran tangan Iqbaal dan menariknya.
“Sakit ya?“ Tanya Iqbaal ikut-ikutan meringis karena (namakamu).
“Banget.“
Iqbaal menghembuskan napas pelan. “Yaudah, maafin gue ya, tadi gue kaget karena Aldi tiba-tiba lompat.“
(Namakamu) rasa malam nanti dia tidak akan bisa tidur nyenyak. “Bukan salah lo, ini gara-gara sih sipit, liat aja tuh dia masih ketawa. Dasar..“
Iqbaal menoleh kearah Aldi. Benar saja, pemuda itu masih tertawa terbahak-bahak.
“Aldi emang kayak gitu ya?“
“Maksud lo?“ (Namakamu) menatap Iqbaal bingung.
“Sering ngetawain lo..“ Jelas Iqbaal.
“Ya gitu, gue harap lo gak kayak dia.“
Hening sebentar. Tapi Aldi masih ketawa.
“Sekarang kita ngapain?“ Iqbaal nanya ke (namakamu), (namakamu) yang masih sibuk sama bokongnya pun menoleh ke arah Iqbaal.
“Tinggalin dia.“ Usul (namakamu), dan tanpa banyak pikir dia melangkah pergi.
Iqbaal mengangkat bahunya, kemudian berjalan mengikuti (namakamu), kayaknya Aldi masih belum bisa diganggu.
Gadis itu berjalan ke arah pohon yang paling besar di antara semua pohon disini, dan kayaknya emang pohon itu yang paling besar disini deh. (Namakamu) jalan terus sampai punggungnya menghilang di balik pohon. (Namakamu) mau ngapaian? Jangan bilang kalau dia mau gantung diri karena frustasi diketawain terus sama Aldi.
Daripada penasaran, Iqbaal mempercepat langkahnya. Suara tawa Aldi masih belum juga reda, Iqbaal menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, kayaknya Aldi emang suka banget ngusilin (namakamu).
Begitu Iqbaal sampai di balik pohon, hal yang pertama kali dia lakukan adalah berdecak kagum lalu menghela napas.
Di hadapannya sekarang ada sebuah tanah kosong yang lumayan luas, di perbatasan tanah kosong yang berada di ujung sana, ada sebuah tiang dan di atasnya ada ring basket. Banyak daun-daun kering yang menutupi tanah kosong itu, tapi ada di beberapa tempat yang gak tertutupi dedaunan. Dan yang ada di balik pohon itu adalah sebuah rumah pohon yang cukup besar untuk ukuran rumah pohon yang biasanya dia lihat. (Namakamu) ada disana, gak tau lagi ngapain.
Tak hanya itu, di tengah tanah kosong ini juga ada kursi yang di buat dari batang pohon tebal, yang sepertinya di dapati di sekitar sini. Dua bauh ayunan tergantung tepat di bawah rumah pohon itu, di bawah rumah pohon itu juga ada bunga warna-warni yang Iqbaal gak tau apa namanya.
Iqbaal mendekat ke rumah pohon dan memanjat tangga yang mengarah ke atas.
Kepala Iqbaal baru saja mau menyembul dari lantai saat tiba-tiba seseorang mengaggetkannya.
“Dorr!!“
Iqbaal terlalu kaget sampai dia gak sadar jari-jari tangannya udah gak mencengkram anak tangga lagi. Iqbaal terjun dari ketinggian dua meter dan mendarat dengan sangat tidak mulus. Suara gedebuk bersamaan dengan munculnya Aldi dari balik pohon.
Aldi melongo, Iqbaal jatuh telantang lalu matanya mengarah ke atas, disana udah ada (namakamu) dengan wajah bersalahnya.
Menghela napas, Aldi menggerutu. “Cewek gila.“
*
(Namakamu) sangat shock saat melihat Iqbaal langsung jatuh gitu aja tanpa ada suara teriakan sama sekali. Sebelah mata (namakamu) berkedut karena tak tega melihat Iqbaal, dan akhirnya pun (namakamu) turun dari atas untuk menghampiri Iqbaal.
“Ma-maaf.“ (Namakamu) jongkok di sebelah Iqbaal. Sementara Iqbaal masih telentang memandang langit seakan kejadian tadi itu kayak mimpi.
Iqbaal tak menjawab. Aldi datang.
“(Namakamu) oon banget, minta maaf doang, lo bantuin dia bangun kek.“ Gerutu Aldi, dia membungkuk untuk menarik tangan Iqbaal. “Lo gak pa-pa?“
“Punggung gue sakit.“
Aldi mendelik ke arah (namakamu), (namakamu) kicep.
“Yaudah, lo duduk dulu disitu, gue sama (namakamu) mau bersihin tempat ini dulu. Berantakan banget padahal baru di tinggal seminggu.“ Sambil berkacak pinggang, Aldi memandang ke depan lalu menggeleng. Setelah itu dia menarik tangan (namakamu).
“Karena lo udah bikin rusuh, jadi lo nyapu dari situ ke situ, terus jangan lupa lo bakar,“ suara Aldi menggema di tempat ini.
“Dan lo?“
“Gue bakalan ngerjain apa yang udah gak beres di tempat ini,“ Aldi mengambil sesuatu di saku celananya. “Gue mau kasih makan ikan kita dulu.“ Dan Aldi berjalan pergi meninggalkan (namakamu).
*
“Udah jam setengah enam.“ Iqbaal yang daritadi duduk di ayunan sambil memperhatikan (namakamu) dan Aldi langsung beranjak dari tempatnya.
(Namakamu) sudah selesai mengumpulkan semua sampah daun kering, sekarang dia tinggal bakar aja nih sampah. Sebelum melakukan itu (namakamu) memutar badannya untuk melihat tempat ini. Udah bersih, senyum (namakamu) terukir.
Sementara Aldi masih mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar kolam ikan yang dia buat sama (namakamu). Dan tiba-tiba aja sosok Iqbaal dateng membuat Aldi menghentikan aktivitasnya.
“Udah jam setengah enam, kalian gak pulang?“
Sebelah alis Aldi terangkat. Setengah enam pulang ke rumah? Kalau mendengar ini mungkin (namakamu) akan tertawa sambil ngesot.
“Lo mau pulang?“ Aldi malah balik nanya.
“Hmmm,“ kayaknya Iqbaal bingung mau jawab apa.
“Kalo lo mau pulang, pulang aja gak pa-pa, bawa aja sepeda gue.“
Iqbaal tak menjawab, selama beberapa detik dia diam seakan berpikir apakah dia harus pulang lebih dulu atau bersama-sama mereka?
“Bola basketnya mana, Al?“
Aldi tersenyum kecil lalu memberitahu dimana bola basket itu berada.
*
Dugh!
“Anjir.“ (Namakamu) yang lagi enak-enak mau bakar sampah tiba-tiba aja kepalanya ketiban benda keras yang ternyata ada bola basket. Dengan sangat kesal dia memutar badannya untuk melihat siapa yang sudah melakukan itu kepadanya.
“Sori, gue gak sengaja.“ Kata Iqbaal sambil berjalan ke arah (namakamu).
Mata (namakamu) menyipit, gak sengaja? Tapi kok Iqbaal malah senyum-senyum seakan dia puas dengan apa yang baru aja dia lakukan.
“Demi apapun Iqbaal, lo boong banget, ringnya itu disana, ngapain lo ngelempar bola ke kepala gue? Hah?!!“ (Namakamu) mendengus sambil mengusap kepalanya.
“Gue gak sengaja, (namakamu). Beneran,“ Kata Iqbaal seakan bersungguh-sungguh. Mata (namakamu) masih menyipit seakan belum percaya. “Lempar bolanya dong.“
“Gak!“
“(Namakamu).“
“Gak mau! Ambil sendiri, gue masih ada kerjaan.“
“Sshh,“ Iqbaal yang sempat berhenti itu pun kembali melangkah, dan saat tiba di dekat (namakamu) dia membungkuk untuk mengambil bola basket yang ada di sebelah (namakamu).
Dugh!
Kaki (namakamu) terayun menendang bola basket itu. Iqbaal menengadah.
“Gak sengaja.“ (Namakamu) cengengesan, dan saat melihat tangan Iqbaal bergerak ke aranya (namakamu) mengelak.
Gadis itu berlari karena tahu kalau Iqbaal sedang mengejarnya di belakang sana. Tempat ini yang kosong dan tak ada tempat untuk mengelak membuat (namakamu) berlari ke arah Aldi, (namakamu) bersembunyi di belakang Aldi sementara Iqbaal dengan buas selalu berusaha menyambar bagian tubuhnya.
“(Namakamu), jangan ganggu gue.“
“Gak kena!“ (Namakamu) mengabaikan Iqbaal, dia terus bergerak-gerak di belakang punggung Aldi.
“Mainnya jangan disini dong, nanti gu...“
Bur!!
Aldi mau bilang nanti gue kecebur di kolam, dan detik itu juga apa yang dia takutkan terjadi. (Namakamu) menghepaskan tubuhnya begitu saja karena saking takutnya ke tangkap sama Iqbaal.
Tak ada yang memperdulikan Aldi. (Namakamu) dan Iqbaal masih saja kejar-kejaran. Mereka berputar-putar mengelilingi pohon besar. Tawa pun tanpa sadar mengisi di antara mereka. Sampai akhirnya...
Hap!
“Tidak!!!“ (Namakamu) berteriak histeris saat tangan Iqbaal menyambar punggungnya.
“Jangan gerak-gerak, (namakamu).“
(Namakamu) terus menggeliat minta di lepas. Gadis itu seperti orang kesetanan tapi karena tenaga Iqbaal yang jauh lebih kuat dari dirinya, (namakamu) pun perlahan diam tak bergerak dengan napas tersengal.
“Lo rasain nih, (namakamu), balesan karena lo udah buat gue jatuh..“
“Ja-jang..“ (Namakamu) belum sempat berbicara, gadis itu sudah tertawa terbahak-bahak lebih dulu. Iqbaal menggelitik perutnya tanpa ampun membuat (namakamu) melompat-lompattak jelas.
“Kalian berdua!!!!“ Tiba-tiba aja suara Aldi menyapu bersih suara tawa (namakamu) dan Iqbaal. Keduanya terdiam.
Aldi berdiri murka menatap kedua temannya itu. Seluruh pakaiannya basah. Ada banyak amukan yang akan dia lontarkan kepada dua orang di hadapannya, tapi mendadak urat-urat yang sudah nyaris pecah itu mendadak sulut, napas Aldi yang tersengal perlahan meredah. Keningnya berkerut, sebelah alisnya terangkat, dan mulutnya keluh tak bisa berbicara.
Iqbaal dan (namakamu), apa yang mereka berdua lakukan?
Iqbaal yang berada di belakang (namakamu) itu....sshh, kedua tangannya melingkari pinggang (namakamu), jari-jarinya kaku berada di perut (namakamu)—dia sedang menggelitiki (namakamu)—dan tangan (namakamu) mencengkram kuat tangan kanan Iqbaal. Wajah mereka berdua memandangnya dengan sikap bertanya-tanya.
Sadar kalau fokus mata Aldi tak mengarah pada mata mereka berdua. (Namakamu) maupun Iqbaal mengikuti kemana mata Aldi tertuju.
Dan..

Bersambung...




Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

No comments:

Post a Comment

Situs terkait