_______
“Pulanglah, sebelum saya terpengaruh untuk merealisasikan ide gila anda,” ucap Iqbaal, sekilas menatap gadis di hadapannya lalu kembali fokus pada berkasnya. Meraih bolpoin di saku kemejanya, mencoret-coret selembar berkas, dan kini tatapannya mulai serius.
“Maaf dan... Terimakasih banyak. Terimakasih.”
(namakamu) membungkuk sebelum akhirnya memutar tubuhnya untuk melangkah keluar ruangan.
***
Bruk! Tas selempang kecil berwarna putih menghantam sofa ruang tamu. Mengagetkan sang penghuni sofa yang tengah sibuk menonton drama pagi sambil mengunyah mie instan pada mangkuk yang ada di hadapannya.
“Lo? Pulang? Udah pulang? Dipecat kan? Mampus kan lo!”
Mulutnya yang penuh dengan jejalan mie instan terbuka seraya mengunyah dan mengumpat.
(namakamu) tidak menghiraukan, meraih mangkuk mie Steffy dengan sembarang, tanpa menggunakan sendok (namakamu) langsung meminum air kuah dari sisi mangkuk. “Hhhh. Gue laper.”
(namakamu) mengelap bibirnya dengan punggung tangan. Menatap Steffy yang kini menatap wajahnya keheranan.
“Pengangguran bawaannya laper ya?” ujar Steffy, tatapannya jatuh pada mangkuk mie instannya yang kembali (namakamu) rampas. (namakamu) sama sekali tidak menghiraukan, sibuk mengunyah dan menyendok mie instan milik Steffy.
“Lo gak kerja, Steff?”
Kali ini (namakamu) sudah menggeser mangkuk ke hadapan Steffy, padahal jelas-jelas mangkuknya sudah kosong tidak bersisa.
“Gue masuk siang,” jawab Steffy. Menatap (namakamu) dengan tatapan mengiba. Malangnya nasib sahabat satu-satunya ini. Apakah ia tidak memiliki uang untuk membeli makanan? Ditambah ia harus dipecat sebelum bekerja karena semalam frustasi ditinggal oleh kekasihnya, Karrel. Steffy malah meratapi nasib (namakamu).
“Kenapa?”
(namakamu) mengerutkan keningnya. Mendapati tatapan Steffy, tatapan seolah prihatin melihat salah korban bencana banjir.
Steffy menggeleng pelan, “Sabar ya. Gue yakin Tuhan punya rencana yang lebih indah dari mimpi lo.”
Sok mellow ToT. (namakamu) bergidik mendengar rangkaian kalimat indah Steffy yang berusaha menghiburnya.
“Gue bakalan berusaha lupain Si Autis Karrel, dan gue gak dipecat dari perusahaan. Jadi stop ngasih gue kata-kata bijak ala Mario Teguh kayak gitu. Geli dengernya.”
(namakamu) meraih tas dan blazer peach yang baru saja ia tanggalkan di sofa, kakinya terayun ke arah pintu kamar, pintu kamar yang terbuka karena ia tidak pernah menguncinya. Alasan lupa. Tidak masalah sebenarnya, di rumah ini hanya ada (namakamu) dan Steffy, tidak pernah ada makhluk lain yang masuk ke dalam rumah sewa ini selain mereka berdua dan pacar Steffy--BD-- serta Karrel, mantan pacar (namakamu)--itupun dulu, jadi (namakamu) tidak perlu was-was bila setiap hari kelupaan mengunci pintu kamar.
***
1 Sept 2014
(namakamu) melepaskan nafas-nafas tak beraturan berulang kali. Tatapannya lurus menatap bayangannya sendiri di depan cermin. Mematut dandanannya yang ia pikir sudah rapi, namun entah mengapa ketika langkahnya mencapai batas pintu, gaya tarik menarik antara pintu keluar dan cermin kembali terjadi sehingga mengharuskan (namakamu) berbalik dan kembali ke hadapan cermin.
“Ok, (namakamu). Relaks!” gumamnya, menatap matanya sendiri, meyakinkan. Tubuhnya kembali berputar memunggungi cermin. “Maskara.”
(namakamu) memutar tubuhnya dengan cepat, gerakan condong menatap cermin. Memeriksa kelopak mata, memastikan goresan atau noda maskara tidak mengotori sekitar lingkar matanya.
“Ok. Terus aja bolak-balik kayak orang bego. Sampai kapan? Sampai lo telat masuk kerja dan bener-bener dipecat?” Suara menyebalkan itu terdengar dari ambang pintu. Steffy, menyandarkan pangkal lengannya pada kusen pintu, menatap tingkah aneh (namakamu) yang berada di dalam kamar.
(namakamu) meletupkan nafas kesal. Kedua tangannya menarik ujung blazer yang sempat berkerut karena gerakan condongnya. Rambutnya sudah tergerai rapi disibak perlahan. Blazer abu-abu di sambung rok lipit dengan warna senada di atas lutut, dan pump shoes ber-hak 10 cm. Ya, kali ini ia harus menanggalkan flatshoes yang kemarin ia kenakan.
Langkah anggun (namakamu)--walaupun sedikit dipaksakan, terayun melewati Steffy yang berada di ambang pintu. Wangi khas (namakamu) sempat menyeruak menusuk-nusuk hidung Steffy. Steffy sontak menggosok-gosokhidungnya--gatal, parfum yang (namakamu) kenakan membuat hidungnya geli.
Pukul 7 pagi, (namakamu) melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Gerakan pelan membuka pintu depan, terlihat teras depan masih terbalur titik-titik embun tipis. Artinya, waktu masih pagi, belum ada tanda-tanda kehangatan sinar mentari pagi ini. (namakamu) menampar-namparpelan pipinya, sebelum akhirnya langkah pertama terayun keluar pintu.
***
Kali ini (namakamu) tidak merasakan sesak layaknya kemarin. Lift, ruangan kecil yang dijejali beberapa karyawan kantor, (namakamu) sudah menyamaratakan penampilannya dengan pegawai lain. Rambut rapi, make-up natural, blazer, rok lipit, pump shoes yang mengekspos kaki jenjangnya. (namakamu) layak terlihat berdesakan dengan pegawai lain, namun... Jari-jari tangan (namakamu) masih saling bersimpul, saling melepaskan keringat dingin.
(namakamu) berjalan keluar dari balik kerumunan ketika jejalan pegawai keluar dari ruangan kecil itu. Dagunya terangkat 45 derajat, tatapannya lurus, rasa tegang yang menyeruak ditepisnya kencang-kencang.
“Selamat pagi.”
(namakamu) menyapa seseorang yang baru saja keluar dari balik pintu ruangan R & D. Dengan awalan komat-kamit sejenak, (namakamu) menekan knop pintu, memasuki ruangan kerja barunya. Lehernya berputar, mencari papan nama yang bertuliskan “(namakamu)” di atas sebuah meja. Dan,
“Itu dia!”
(namakamu) sedikit berjengit lalu tersenyum lebar mendapati sebuah meja dengan papan nama di atasnya.
“Selamat pagi!” Sapaan itu terdengar dari ambang pintu sebuah ruangan di dalam ruangan(?) kerja (namakamu). “Selamat bekerja di hari kedua ini,” lanjutnya dengan senyum ramah dan wajah yang sempat membuat (namakamu) menganga dan bahkan lupa mengangguk untuk merespon kalimat semangat dari atasannya itu.
'Bekerja di hari kedua?'-___- (namakamu) menelan air liurnya dengan susah payah. Tatapan bodoh (namakamu) tersibak ketika seorang tampan di ambang pintu itu mengedipkan mata yang disertai dengan senyum yang nyaris sarkastik. Oh Tuhan... Lutut (namakamu) kembali lemas.
***
Bruk! Bruk! Suara tumpukan berkas di meja (namakamu) terhantam tanpa perasaan. Map-map berisi berkas dan data yang harus diinput itu sungguh membuat (namakamu) muak. Jika saja (namakamu) sedang bekerja di dalam kamarnya saat ini, maka (namakamu) akan senantiasa mengangkat kakinya ke atas kursi, mengikat rambutnya dengan jepit cepol, seraya tangannya mengaduk mie instan dengan biadab. Sungguh, di tempat ini (namakamu) harus duduk tegak dengan tatapan tertuju pada layar komputer, dan itu membuat kepalanya mendidih.
“Sudah istirahat.”
Seseorang menepuk pelan pundak (namakamu). Menyadarkan (namakamu) untuk segera menurunkan suhu kepalanya. (namakamu) hanya balas tersenyum, lalu meng-close setiap worksheet yang berisi data-data hasil inputnya.
Langkah (namakamu) terayun keluar, bergerak beriringan dengan pegawai lain menuju sebuah tempat makan yang berada di sekitar pelataran kantor. Berjalan tunggal karena belum ada satu orangpun yang ia kenal di gedung besar ini.
“Satu cup ice coffee,” ucap (namakamu), berdiri bertopang dagu ketika antrian di hadapannya habis.
Hanya berselang 2 menit pelayan sudah menyodorkan satu cup minuman di hadapan (namakamu). “Terimakasih,” ucap pelayan tersebut ketika (namakamu) menyodorkan uang pas kepadanya.
Langkah (namakamu) kembali terayun keluar dari dalam outlet. Menopang sebuah cup minuman di tangannya. (namakamu) akan kembali ke kantor tanpa menghabiskan waktu istirahatnya dengan makan siang. 'Tidak lapar', berkali-kali (namakamu) meyakinkan perutnya yang menahan untuk masuknya makanan.
Kali ini? (namakamu) akan menghabiskan waktu istirahatnya dengan satu cup minuman dingin di atas meja kerjanya.
“Selamat siang, (namakamu).”
(namakamu) mendengar sapaan ramah itu ketika memasuki pintu lobi.
“Siang,” balas (namakamu) asal.
“Siang, Pak Iqbaal.”
Suara-suara sapaan itu terdengar saling menyahut. Tunggu! (namakamu) tertegun, langkahnya terhenti, tatapannya terjatuh pada sepatu pantofel di hadapannya dan berangsur naik menelusur hingga wajah (namakamu) menengadah mendapati wajah seorang pria yang berdiri di hadapannya.
“Selamat siang, (namakamu).”
Pria itu kembali mengulangi sapaannya.
“S-selamat s-siang, Pak,” jawab (namakamu) tangannya bergetar memegangi bawah cup minuman.
“Boleh ini menjadi ucapan terimakasih kamu untuk saya?”
Iqbaal meraih cup minuman dari tangan (namakamu), telunjuknya sedikit menyentuh punggung tangan (namakamu). Dan tanpa ia ketahui tu membuat tubuh (namakamu) semakin bergetar hebat.
Pria itu melangkah melewati (namakamu) setelah berhasil merampas cup minuman dari tangan (namakamu) tanpa perlawanan. Meninggalkan (namakamu) dengan tatapan bodohnya. Pria itu... Langkah (namakamu) terseok-seok menghampiri sofa lobi saat ini.
“Lutut gue, lemes banget. Kayaknya karena belum makan,” gumam (namakamu). Mendapati lututnya yang bergetar hebat pasca menatap pria yang kini hilang di balik pintu lobi.
***
Bruk! Berkas terakhir sudah tersusun rapi. (namakamu) menatap sebal tumpukan kertas memuakan di hadapannya. Berkat hari kemarin ia tidak masuk, maka hari ini (namakamu) harus bergabung dengan 7 orang karyawan laki-laki seniornya untuk berlembur.
“Saya sudah selesai, saya pulang duluan ya,” ucap (namakamu) yang disambut dengan anggukan fokus para pekerja lain. Tidak ada karyawati lain di sini selain dirinya. Hak pump shoes (namakamu) berketuk tunggal menelusuri koridor, melewati beberapa ruangan divisi lain yang lampunya masih menyala, pertanda masih ada sebagian karyawan lain yang juga berlembur di dalamnya.
“(namakamu), kamu bisa menyetir?”
Wajah pucat pasi seorang pria kini memotong langkah (namakamu). (namakamu) yang terlalu fokus dengan langkahnya terlonjak kaget. Pria di hadapannya meringis, memegangi keningnya.
“(namakamu)? Kamu bisa menjawab pertanyaan saya untuk kali ini kan?” ujarnya lagi dengan nada kesal.
“Y-ya.”
(namakamu) meraih kunci mobil yang disodorkan di hadapan wajahnya. Lalu secara tiba-tiba (namakamu) merasakan lengan pria itu melingkar di atas pundaknya. Oh Tuhan...
(namakamu) mengetukan hak sepatunya dengan kencang, berusaha menyamarkan suara degupan jantungnya yang kini bertalu hebat. Pria di sampingnya berjalan terhuyung seraya memegangi keningnya dengan tangan kanan yang meremas pundak (namakamu).
Di dalam mobil, suasana tercipta melebihi kata hening. Hanya desahan yang keluar dari mulut pria di samping kiri (namakamu) terdengar meringis kesakitan.
“Maaf kalau saya ngerepotin,” ujar laki-laki itu dengan mata samar-samar terbuka.
“Enggak, Pak. Mungkin ini bisa mengurangi rasa bersalah saya pada bapak.”
(namakamu) mengucapkan kalimat itu dengan susah payah, kedua telapak tangannya mencengkram lingkaran stir mobil kuat-kuat, menghasilkan garis buku-buku tangannya yang memutih, gugup.
***
Beberapa butir obat tablet dari sebuah botol plastik berdiameter 3 cm itu tertelan dengan bantuan segelas air yang baru saja (namakamu) sodorkan. Pria itu menyerahkan gelas kosong pada (namakamu), dengan tubuh lemas bersandar pada sofa. Posisi duduknya merosot, sebisa mungkin punggungnya tersandar dengan nyaman.
(namakamu) bergerak, duduk di samping pria itu. Mencoba membuka jas hitam yang dikenakan pria lemas itu dan tidak berhenti menggumamkan kata maaf ata kelancangannya.“Bapak gak makan seharian ini?” tanya (namakamu) dengan nada canggung. Pria itu mengangguk pelan, membuat (namakamu) memiringkan bibirnya sedikit kesal. (namakamu) juga tidak makan seharian ini, namun (namakamu) tidak selemah ini, apa karena pekerjaan yang dilakukan pria itu lebih bertumpuk dari pada pekerjaannnya?
“Gak seharusnya bapak-”
“Iqbaal! Bapak, kesannya tua banget. Ini bukan kantor, (namakamu),” ujarnya lesu dengan mata yang terbuka samar-samar. Setelah (namakamu) berhasil menanggalkan jas hitam itu, (namakamu) mengangguk pelan.
“Ada makanan yang bisa saya buatkan untuk bapak- mmm kamu?”
(namakamu) menepuk keningnya pelan. Kosa kata yang ia ucapkan berantakan, penggunaan kalimat formal bercampur dengan sapaan 'aku-kamu' itu benar-benar terdengar tidak enak di telinga.
“Gak ada.”
Iqbaal mengibas-ngibaskan tangannya pelan. Matanya perlahan tertutup. Terlihat dari garis wajahnya, pria itu sangat kelelahan. Helaan nafasnya membuat dadanya naik-turun beraturan.
(namakamu) malah terdiam. Menatap lekuk wajah kelelahan atasannya yang kini tengah terpejam. Titik-titik keringat di keningnya. Kelopak mata sayu yang sudah tertutup. Denyutan leher yang sesekali terlihat. (namakamu) seolah ingin menggampar pipinya sendiri. Apa yang ia lakukan disini, saat ini? Mengapa (namakamu) bisa semudah ini mengantar seorang pria masuk ke dalam apartemennya?
“Makasih,” lirih Iqbaal, hampir tidak terdengar. (namakamu) mengangguk, mengangguk dengan keadaan sadar bahwa Iqbaal tidak akan melihat anggukan kepalanya. (namakamu) membungkam balasan ucapan terimakasihnya,membiarkan Iqbaal menikmati kelelahannya saat ini.
***
2 Sept 2014
(namakamu) melingkari angka pada kalender yang berada di atas meja kerjanya. Hari kedua ia bekerja di tempat baru. Menjadi karyawan tetap sebuah perusahaan besar. Waktu istirahat membuat suasana girang menyeruak memenuhi ruangan. Sesekali (namakamu) melirik pintu ruangan Ketuanya itu, namun tidak terlihat ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya.
“Pak Iqbaal masih sakit? Dia belum bisa masuk?” tanya (namakamu) bergumam sendiri.
Trap. Ketika kaki (namakamu) mencapai batas pintu tiba-tiba langkahnya terhenti. Pria tampan itu berjalan tegap membelah koridor, sesekali membenahi simpul dasi yang ia tarik agar mengepas di lingkar lehernya, di sampingnya seorang gadis berbicara seraya mencorat-coret kertas yang ia letakan pada papan dada.
“Ok. Nanti sore. Ehmmm... Orang itu!”
Tiba-tiba telunjuk Iqbaal menuding ke arah (namakamu) berdiri saat ini. Mata (namakamu) membulat, melirik ke arah kanan dan kiri. Tidak ada orang di sebelahnya. Apakah telunjuk itu mengarah untuknya?
Tiba-tiba hak stiletto terdengar menghampiri (namakamu) saat ini. “Saya Salsha. Sekretaris Pak Iqbaal. Nanti sore, saya minta kamu nemenin Pak Iqbaal research ke luar kantor. Ini surat tugasnya.”
Gadis tinggi berambut blonde itu memberikan selembar kertas pada (namakamu), lalu kembali melangkah menjauhi (namakamu), menghampiri Iqbaal yang kini berjalan berbelok ke koridor divisi lain.
(namakamu) meremas kertas yang digenggamnya. “Surat sampah!” umpat (namakamu) dengan wajah kesal. “Seenaknya aja nyuruh gue tugas keluar, tanpa persetujuan main tunjuk orang!”
(namakamu) gemas seolah ingin menggigit kertas yang diremasnya.
***
“Aku sengaja ajak kamu soalnya kamu anak baru.”
Traffict light memunculkan hitungan angka merah ketika Iqbaal mengucapkan kalimat pertamanya untuk mengibas keheningan yang terjadi diantara dirinya dan (namakamu).
(namakamu) mengangguk-angguk pelan. Memajang senyum manis, senyum yang ia perlihatkan dari hasil latihannya selama di toilet kantor tadi. Sungguh saat ini (namakamu) benar-benar tidak ingin tersenyum. Setelah malam kemarin kelelahan karena lembur dilanjut dengan mengantar atasannya pulang ke apartemennya.
Dan sekarang? Tugas keluar untuk melakukan research. Ini menyebalkan. Apakah pria di sampingnya itu melakukan aksi balas dendam secara lembut karena sikap menyebalkan (namakamu) tempo hari? Apakah ia tahu sebenarnya bahwa (namakamu) benar-benar tersiksa ketika melihat wajahnya? Apalagi bersama-sama seperti ini, (namakamu) merasa benar-benar terbunuh secara perlahan. Rasa malunya pada Iqbaal benar-benar membuat tubuhnya bergetar ketika harus berhadapan seperti ini. Menyedihkan.
“(namakamu)?”
“Ya?”
(namakamu) menoleh.
“Enggak, aku cuma mastiin aja kalau kamu gak tidur selama perjalanan,” ujar Iqbaal. Terdengar menyebalkan. Apakah itu kalimat bercanda? (namakamu) sungguh merasa tidak ingin tertawa.
Selang 20 menit perjalanan, (namakamu) kini sudah turun dari mobil. Menatap toko sepatu di hadapannya tiba-tiba membuat bulu kuduknya merinding.
“Kita masuk sekarang.”
Iqbaal melangkah cepat mendahului (namakamu), memasuki toko sepatu itu seolah tanpa beban apapun. Berbeda halnya dengan (namakamu) yang saat ini merasakan kembali tubuhnya yang bergetar hebat. Toko sepatu yang menjadi tempat bertemunya (namakamu) dan Iqbaal pertama kali. Oh... Dan itu memalukan.
(namakamu) mendorong pintu untuk masuk, mendapati etalase dan rak-rak kaca yang penuh dengan sepatu menggoda. Pasca meletup-letupkan nafas beratnya, langkah (namakamu) menghampiri Iqbaal. Iqbaal kini tengah sibuk melihat data di dalam komputer kasir, entah apa yang Iqbaal lakukan. Tangan Iqbaal bergerak menyerahkan sebuah kamera pada (namakamu). (namakamu) meraihnya dengan wajah heran. Apa yang harus (namakamu) lakukan dengan kamera ini?
“Foto apapun yang menurut kamu menarik,” jelas Iqbaal. Iqbaal mampu menangkap raut kebingungan dari wajah (namakamu). (namakamu) mengangguk. Langkahnya terayun menjauh dari Iqbaal. Membidik beberapa pose jejeran sepatu, pelanggan, pramuniaga yang sibuk mencocok-cocokan sepatu, dan...
Crek! Bidikan terakhir berhasil membuat (namakamu) menahan nafas. “Karrel?”
(namakamu) mengalihkan pandangannya dari layar kamera ke arah bidikan yang ia tangkap. Seorang laki-laki duduk di samping seorang gadis yang tengah mematut-matut sepatu pada kaki kanannya.
“Mbak!”
Tangan perempuan itu terangkat, berteriak ke arah (namakamu). (namakamu) mengingat perkataan Iqbaal, 'berlakulah layaknya pramuniaga jika ada seorang pelanggan yang membutuhkan bantuan'. Ya, (namakamu) harus melakukan itu sekarang. Langkah (namakamu) terayun mendekat, mendekati sepasang kekasih yang tengah duduk di sofa yang berada di tengah rak kaca.
“Ada yang bisa saya bantu?”
Suara (namakamu) yang bergetar menghasilkan gerakan refleks menoleh dari laki-laki yang tengah duduk di samping kekasihnya.
“Ukuran ini terlalu kecil, ada yang lebih besar?” tanya perempuan itu menyodorkan sebelah stiletto yang baru saja ia coba. (namakamu) meraihnya lalu mengangguk sopan. Sejenak (namakamu) merasakan dadanya akan meledak. Berusaha memutar tubuhnya untuk melangkah dan meraih sepatu ukuran lain pada pramuniaga yang tengah bertugas.
'Aku bertemu dengan gadis itu di tempat kerja aku yang baru. Aku pikir aku jatuh cinta sama dia. Dan seiring dengan itu... Aku lupain kamu. Carilah laki-laki yang mencintai kamu, (namakamu).'
Tiba-tiba (namakamu) merasakan tengkuknya memanas dan dadanya mendidih. “Laki-laki brengsek!” desisnya dengan suara bergetar.
Trak! Tiba-tiba hak stiletto yang (namakamu) genggam begitu saja melayang pada kening seorang laki-laki yang baru saja sempat mengaduh. (namakamu) tidak mampu menahan kakinya untuk kembali melangkah mendekati sepasang kekasih itu, tidak kuasa menahan tangannya untuk tidak memukulkan hak sepatu yang ia genggam.
“Hey!”
Perempuan di samping laki-laki itu berdiri dan menolak kencang pundak (namakamu). “Saya bisa adukan ini sama atasan kamu!”
Matanya melotot dan memerah, menatap kesal (namakamu) yang saat ini berderai air mata. Gadis bodoh. Untuk apa menangis? Memalukan-_-.
“Maaf.”
Iqbaal tiba-tiba berdiri di hadapan (namakamu), menghaangi tubuh (namakamu) saat ini. “Mohon maaf atas ketidaknyamanananda,” lanjut Iqbaal, setelah itu membungkuk sopan.
Setelah itu tangan kekar Iqbaal menarik kencang pergelangan (namakamu). Menyeret (namakamu) untuk segera keluar dari dalam outlet. “Aku baru tahu kalau hobi kamu mukul kening laki-laki dengan hak sepatu!” ujar Iqbaal, menatap (namakamu) dengan tatapan tidak percaya. Mereka sudah berada di parkiran mobil, menghindari keramaian yang terjadi di dalam akibat ulah (namakamu).
(namakamu) tidak menjawab, malah sibuk dengan isakannya sendiri. Tangan kanannya terulur, menyerahkan kamera yang masih menyala, layarnya memperlihatkan hasil bidikan terakhir (namakamu). “Karrel,” desis (namakamu).
Iqbaal menatap layar kamera. “Karrel?”
Iqbaal tidak mengerti. Keningnya berkerut menatap layar kamera yang ia genggam.
“Jadi laki-laki yang kamu pukul tadi Karrel?” tanya Iqbaal setelah sejenak menciptakan suasana hening untuk berpikir.
(namakamu) mengangguk disambut dengan Iqbaal yang kini manggut-manggutseolah mengerti.
(namakamu) memaksakan tangisnya untuk terhenti. Namun ternyata sulit, seperti mengerem kereta api yang sedang berjalan di jalurnya secara mendadak. Tangis (namakamu) tidak terhenti, malah terdengar sesegukan yang lebih parah. Tanpa ia sadari kepalanya bergerak menelusup ke dalam dada Iqbaal. Seolah menemukan muara, (namakamu) menumpahkan semua tangisnya lagi.
Sejenak Iqbaal tertegun, kaget. Gadis yang tidak lain adalah bawahannya yang baru 3 hari ia kenal mendadak bersikap di luar dugaan seperti ini. Apakah rasanya sesakit ini dikhianati oleh seseorang yang sudah menjalin hubungan selama 5 tahun? Iqbaal kembali mengingat racauan (namakamu) ketika mabuk. (namakamu) menceritakan hubungannya dengan Karrel secara detail saat itu. Awal bertemu, lama hubungan, tempat favorite mereka berdua, sikap romantis Karrel, hingga prosesi Karrel memutuskan (namakamu). Sebenarnya Iqbaal sama sekali tidak ingin tahu, namun (namakamu) terus meracau tanpa sadar.
“Apa perlu kita balik lagi ke dalam buat mukul kepala Karrel pake hak sepatu kamu?”
(namakamu) menggeleng.
“Baguslah, lagi pula itu cuma buang-buang waktu,” ujar Iqbaal. Telapak tangan kirinya menepuk-nepuk pelan pundak (namakamu).
Bersambung~
Kalo gak enak boleh dilepeh
Karya : @citrnovy (Novy Citra Pratiwi)
Follow Twitterku juga ya mate! @_BayuPrasetya
Like juga fanpage nya https://www.facebook.com/profile.php?id=379969348803380&ref=stream&refid=52&__tn__=C
meninggalkan jejak,
ReplyDeletePlease dong, lanjut ke part 7 sampai selesai. Pleaseeee cek Citra's Slide cerbung2nya pada dihapus. pleaselah:')
ReplyDelete