_______
Yakin Iqbaal akan melakukan hal ini pada karyawati lain? (namakamu) mulai plin-plan.
Tuk! Kepalan tangan Iqbaal mengetuk pelan kening (namakamu). “Hak sepatu pantofel aku kurang tinggi buat pukul kening kamu. Naik (namakamu)!”
Perintah itu pelan, namun terdengar kontaminasi nada kesal. (namakamu) meringis, lalu kali ini dengan mata terpejam ia menjatuhkan tubuhnya pada punggung Iqbaal.
“Egh!”
Suara itu terdengar ketika hentakan pertama Iqbaal mengangkat tubuh (namakamu). “Aku pikir kamu gak seberat ini,” keluh Iqbaal, wajahnya sedikit meringis.
“Kamu nyesel ya, Pak?”
“Kamu nyesel ya, Baal?” ralat Iqbaal. “Lebih enak didenger, deh, kayaknya.”
“Mmm, ya. Kalau berat, aku bisa turun, kok,” ucap (namakamu), merasakan langkah Iqbaal semakin lama semakin lamban dengan kaki terseret.
“Dikit lagi,” jawab Iqbaal. Singkat. Ia tidak mau membuang-buang suaranya untuk menambah sesak.
***
(namakamu) membuka kunci rumahnya, diiringi Iqbaal yang kini berada di sampingnya. Mungkin Iqbaal ingin memastikan (namakamu) masuk ke dalam rumahnya dalam keadaan baik-baik saja setelah diantar. Bisa saja Karrel menguntit dan menyergap (namakamu) sebelum masuk ke dalam rumah. Berlebihan memang, tapi itu bisa jadi kan?
Sepertinya Steffy belum pulang, lampu-lampu di dalam maupun di luar rumah masih belum menyala.
(namakamu) berhasil membuka kunci, melangkah masuk dengan sepatu yang ia jinjing. Tanpa disangka tangan Iqbaal memegangi kedua lengan (namakamu), membantu (namakamu) untuk berjalan. (namakamu) merasakan tubuhnya sedikit kaku, mungkin canggung dengan posisi yang terjadi saat ini.
“Maaf aku ngerepotin kamu, Pak.”
(namakamu) sudah duduk di sofa bludru putih yang ada di ruang tengah. Sedikit menggerak-gerakan kakinya agar tidak kaku.
“Maaf aku ngerepotin kamu, Baal! Ayolah (namakamu)! Itu kedengerannya gak enak banget,” protes Iqbaal. Sepertinya untuk kedua kalinya Iqbaal melakukan protes secara langsung.
“Mmm.”
(namakamu) hanya menggumam. “Aku ambilin minum ya?”
(namakamu) hendak berdiri, sebelah kakinya tetap lurus agar lutut kanannya tidak menekuk dan menimbulkan rasa perih lagi.
“Gak usah,” sergah Iqbaal. Kedua tangannya menahan pundak (namakamu), membuat (namakamu) kembali terjatuh di atas sofa. Tanpa sadar sergahan Iqbaal membuat jas Iqbaal yang melingkari pinggang (namakamu) tersingkap.
“Lo udah pu-”
Langkah Steffy terhenti. Mulutnya tiba-tiba kaku melihat pemandangan yang ada di hadapannya. “Gue ganggu ya?”
Tiba-tiba Steffy mengeluarkan kalimat itu dengan nada penyesalan.
(namakamu) tengah duduk di sofa dengan tangan Iqbaal yang memegangi kedua pundaknya seraya membungkuk, memberi kesan seolah Iqbaal tengah mengurung (namakamu). Jas hitam yang tidak Iqbaal kenakan, melingkar pada pinggang (namakamu) memberikan kesan eksotis bagi Steffy, ditambah lagi jas itu tersingkap memperlihatkan hasil robekan panjang pada roknya dan mengekspos paha putih (namakamu).
*
“Harus sampai ada adegan robek-robek rok ya?” goda Steffy, sesekali membungkam kekehannya. Iqbaal sudah pulang dari 1 jam yang lalu, namun ternyata Steffy masih membahas adegan tadi, adegan (namakamu) dan Iqbaal yang ia tangkap ketika datang.
“Udah berapa kali gue bilang? Itu gak kayak yang ada di pikiran lo! Kotor!” tukas (namakamu). Gadis itu sudah berganti pakaian dengan piyama lengan panjang dan celana panjang, celana piyama sebelah kanannya ia gulung sampai 3 cm di atas lutut. Duduk di sofa dengan tangan kanan memegangi remote. Hampir saja remote itu akan membanting kepala Steffy, kesal.
“Kotor? Sayangnya gue emang suka yang kotor-kotor.”
Steffy melangkah santai melewati (namakamu) setelah mendapatkan segelas air dari dalam dispenser.
“Serah!”
Dengan hati-hati kini (namakamu) meluruskan kaki kanannya, mencoba berdiri untuk lanjut melangkah menuju kamarnya.
“Kayak drama-drama korea, ya?”
Lagi-lagi Steffy meracau. (namakamu) menggeleng, sama sekali tidak ingin mendengar racauan Steffy saat ini.
“Tadi Iqbaal ngedorong lo sampai jatuh ke sofa? Terus dia ngomong apa sama lo? '(namakamu), saranghaeyo.' Gitu gak?”
Steffy tertawa lepas, terbahak dengan menyebalkan. Itu membuat (namakamu) semakin muak dan mempercepat laju langkahnya menuju kamar.
***
10 Sept 2014
(namakamu) berjalan melewati koridor divisi dengan mendekap beberapa map yang berisi berkas-berkas yang harus ia selesaikan. Tatapannya lurus, menatap lantai putih dengan relief datar di hadapannya. Pangkal lengannya refleks mendorong pintu ketika melihat pamflet bertuliskan 'Divisi R & D' di atas pintu.
(namakamu) memasuki ruang kerja, melewati gang antar meja. Sesekali tersenyum ketika berpapasan dengan beberapa pekerja satu ruangan yang berjalan berlawanan.
Bruk! Map sudah tertumpuk di atas meja kerja. Setelah membenahi posisi duduknya, kini (namakamu) menekan tombol on pada CPU. Tatapannya tertuju pada monitor komputer yang masih menampikan layar biru dengan tulisan 'Loading' di tengahnya, diiringi lingkaran kecil berputar di sampingnya.
Sudut mata (namakamu) terarah pada pintu ruangan kerja itu berkali-kali. “Dia gak akan masuk lagi hari ini?” gumamnya seraya bertopang dagu, mendapati monitor yang sudah menampilkan beberapa menu.
Sudah 2 hari ini (namakamu) tidak menemukan Iqbaal memasuki ruangan kerjanya. Tidak ada ucapan hangat 'Selamat pagi' pada semua karyawan ketika laki-laki itu hendak memasuki ruangan. Kemana sebenarnya laki-laki itu? Dari desisan-desisankaryawan lain, beritanya masih simpang siur, ada yang mengatakan Iqbaal sakit, tugas ke luar kota, menemui orang tuanya, mempersiapkan pernikahan dengan seorang wanita, dan banyak lagi lainnya. Mana yang benar? Entah lah.
Beberapa hari kebelakang memang (namakamu) tidak banyak berinteraksi dengan Iqbaal. Hanya sesekali berpapasan dan saling melempar senyum sapaan. Tidak ada hal lain yang terdengar memalukan /_- atau terdengar istimewa. Namun...
“Asshhh!”
(namakamu) menghentak-hentakkan kaki membuat roda kecil pada kursi kerjanya terdorong-dorong tidak jelas.
“Sadar! Sadar!”
(namakamu) mengetuk-ngetukkeningnya sendiri, mengerjap-ngerjapkan matanya seolah mencoba menyadarkan dirinya sendiri. Ada yang tidak beres dengan kinerja tubuhnya ketika dua hari ini tidak menemukan sosok Iqbaal. Jangan bilang, ini awal dari perasaan jatuh cinta! Ohhh... Padahal (namakamu) sudah berjanji akan tahu diri dan tidak akan membiarkan perasaan sekecil apapun tumbuh untuk atasannya itu.
***
Langkah (namakamu) terayun pelan melewati lantai koridor apartemen yang baru 2 kali ia kunjungi. Kali ini, untuk ke-3. Berkali-kali (namakamu) meyakinkan dirinya, bahwa tingkahnya ini hanya untuk memastikan Iqbaal baik-baik saja, bukan berarti (namakamu) memiliki perasaan lain di luar normal, bukan! Tapi hanya untuk membalas budi karena selama ini Iqbaal si laki-laki berhati malaikat itu sudah banyak menarik tangannya ketika akan terjerumus ke dalam jurang memalukan.
Langkah (namakamu) terhenti di depan salah satu pintu apartemen. Tatapannya tertuju pada bell di samping pintu, namun tangannya tidak kunjung bergerak menekan, malah saat ini (namakamu) menggigit-gigitpelan jari tengahnya. Sebenarnya ia ingin sekali menggigit semua jarinya untuk menghilangkan rasa tegang yang mulai menyeruak, membuat tubuhnya kaku, tapi itu hanya akan membuatnya semakin terlihat bodoh. Lagi-lagi lututnya bergetar, menimbulkan getaran juga pada ujung rok lipit yang ia kenakan saat ini. Ia hanya akan menemui Iqbaal kan? Namun tingkahnya seolah akan menemui dosen pembimbing skripsi ketika kuliah dulu.
Drt... Drt... Ponsel di dalam tas (namakamu) bergetar. (namakamu) melepaskan sebelah tali tasnya untuk memudahkan meraih ponsel yang belum berhenti mengeluarkan getaran beraturan.
Tangannya yang sedikit basah sudah meraih ponsel dan menggenggamnya erat-erat. Setelah selesai membenahi tasnya, kini (namakamu) menatap layar ponselnya lekat-lekat. Layar ponsel memunculkan nomor tidak dikenal. Jejeran digit nomor itu membuat alis (namakamu) bertaut. “Siapa?” lirih (namakamu).
“Hallo?”
(namakamu) mulai menempelkan ponsel pada telinga kanannya.
'Passwordnya 28 12 92 («~ tanggal lahir Iqbaal cuma diganti tahun:D)'
(namakamu) tertegun setelah mendengar suara yang keluar dari speaker teleponnya. Suara yang ia kenal. (namakamu) menengadah, kamera CCTV yang mengintipnya sedari tadi tidak disadarinya, Iqbaal mampu melihat (namakamu) dari tangkapan lensa kamera itu? Kali ini (namakamu) merasakan degupan jantungnya menghentak-hentak dengan ritme tidak beraturan, seperti ada seorang pemain drum amateur di dalam dadanya yang memukul-mukulkan stick drum.
'Singkirkan tampang bodoh kamu, dan segera pencet paswordnya, (namakamu)!'
Suara di seberang sana terdengar lagi, kali ini membuat (namakamu) berjengit dan menggerakan tangan kirinya mendekati papan pasword yang berada di bawah handle pintu.
Enam digit berhasil ditekan dengan baik. Kali ini (namakamu) bergerak mendorong pintu, ternyata pintu terbuka. (namakamu) kembali merasakan dadanya menampung kadar karbondioksida berlebih yang sulit di hempas keluar ketika sudah memasuki area kekuasaan laki-laki itu.
“(namakamu), aku perlu segelas air. Bisa lebih cepat?”
Suara itu lagi-lagi menyadarkan (namakamu), kali ini tidak dari balik speaker telepon, namun suara itu terdengar langsung dari arah dalam.
*
“Kamu sering banget sakit, lain kali jangan kerja terlalu berat.”
(namakamu) menaruh semangkuk sup hangat yang baru saja selesai ia buat, duduk di sofa berbeda dengan Iqbaal, laki-laki yang kini tengah duduk merosot, menyandarkan punggungnya.
“Makasih,” ucap Iqbaal. Mencoba menegakan tubuhnya, meraih mangkuk sup dengan sebelah tangan. Belum banyak kalimat yang ia ucapkan, karena kini (namakamu) sudah kembali ke pantry.
“Aku pikir kamu benar-benar gak ada di sini dan pergi keluar kota.”
(namakamu) telah kembali dengan segelas air yang kembali ditaruh di hadapan Iqbaal. Iqbaal tidak berkomentar apapun, sibuk mengarahkan sendok yang berisi sup buatan (namakamu) ke dalam mulutnya. Melihat tingkah Iqbaal seperti itu, membuat (namakamu) merasa dirinya harus kembali ke pantry.
“Pelan-pelan.”
(namakamu) mengusap sudut bibir Iqbaal dengan selembar tissue yang baru saja ia tarik dari kotaknya.
“Makasih,” ucap Iqbaal. Untuk keduakalinya kata 'makasih', hanya itu.
Iqbaal menaruh mangkuk kosong pada meja di hadapannya, meraih segelas air yang sudah (namakamu) siapkan tadi, meneguknya perlahan. (namakamu) kini duduk di samping Iqbaal, memperhatikan gerakan lemas laki-laki itu, memperhatikan wajah pucat laki-laki itu.
“Udah ke dokter?” tanya (namakamu), entah mengapa untuk saat ini (namakamu) lebih banyak bertanya dan berbicara. Seolah benar-benar terlihat khawatir.
Iqbaal mengangguk. Mengeluarkan botol kecil dari saku celananya. Menggoyang-goyangkan botol tersebut hingga berbunyi, 'crek-crek'. Bunyi yang di hasilkan memberi tanda bahwa botol itu berisi beberapa butir obat tablet. Mungkin itu obat yang didapatkan Iqbaal dari dokter. (namakamu) hanya mendesah. Lalu ikut menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi di samping Iqbaal.
“Kaki kamu, udah sembuh?” tanya Iqbaal dengan kelopak mata yang tertutup. (namakamu) menoleh, menatap wajah pucat Iqbaal, lalu bergumam mengartikan jawaban 'ya'.
“Syukurlah. Karrel ada nemuin kamu lagi?”
(namakamu) menggeleng.
“(namakamu)?”
“Gak ada,” jawab (namakamu). Ia baru sadar bahwa mata Iqbaal masih terpejam dan tidak melihat gerakan kepalanya.
“Pukul dia pake hak sepatu kamu yang paling tinggi kalau dia macam-macam lagi.”
Ucapan Iqbaal membuat (namakamu) terkekeh pelan sambil manggut-manggut.
“Hhhh... Besok hari minggu. Temenin aku jalan-jalan ke taman kota ya?”
(namakamu) mengangguk antusias disertai seruan, “iya!” Ini yang (namakamu) tunggu, membalas semua rasa terimakasih yang tidak cukup hanya (namakamu) ucapkan pada Iqbaal. Untuk saat ini, (namakamu) akan melakukan apapun permintaan Iqbaal selama itu masuk akal.
(namakamu) meraih botol obat dari genggaman Iqbaal. Menerawangnya, menggoyang-goyang, membuka tutup botol itu iseng. Beberapa butir obat berbentuk lingkaran berdiameter setengah sentimeter berwarna putih berjejal di dalamnya.
“Itu vitamin A. Minus di mata aku bertambah, dan itu selalu bikin aku migrain. Makanya dokter ngasih aku tambahan vitamin A,” jelas Iqbaal.
(namakamu) kembali manggut-manggut, ia baru tahu kalau mata Iqbaal minus. (namakamu) menaruh kembali obat tersebut pada telapak tangan Iqbaal. “Tangan kamu anget, enak banget buat dipegang,” lirih Iqbaal, gerakan lemasnya menangkap tangan (namakamu) yang baru saja menyimpan kembali botol obat pada telapak tangannya. Iqbaal menggengam tangan (namakamu), walaupun genggaman itu terhalang oleh sebuah botol obat, namun (namakamu) merasakan adanya tarikan medan magnet yang berlawanan sehingga tangannya erat menangkup pada genggaman lemah Iqbaal.
***
11 Sept 2014
(namakamu) menjatuhkan flat shoesnya di teras depan, seiring itu telapak kakinya menelusup masuk ke dalam sepatu. Kakinya berjinjit, sejurus pandangannya yang kini beredar menjelajahi jalanan di depan rumahnya.
“Janjinya jam 8!” kesalnya. Menatap jarum menitan pada jam tangannya sudah melebihi jarak waktu 15 menit dari waktu yang dijanjikan.
Sesekali (namakamu) memutar lehernya ke belakang, melihat pintu depan rumahnya. Berharap Steffy masih mendengkur di atas ranjangnya dan tidak segera keluar menemukan (namakamu) yang sudah berdandan rapi pagi ini. (namakamu) sedang tidak mau digodai oleh racauan Steffy pagi ini.
Tiiin! Suara tunggal klakson mobir terdengar, membuat (namakamu) menyeringai senang. Mobil camry hitam itu terhenti tepat di depan pagar rumah. Kini langkah (namakamu) terayun girang menghampiri pria yang baru saja keluar dari balik pintu mobil dengan pakaian kasualnya, tanpa kemeja, tanpa celana bahan, hanya kaos putih polos dan celana jeans dark blue.
“Ngeliat kamu pakai pakaian kayak gini, kesannya-”
“Aneh?” sela (namakamu), tatapannya merunduk, memandangi flat shoes, celana jeans, dan kaos longgar berwarna peach yang ia kenakan.
Iqbaal menggeleng. “Lucu,” ralatnya. Tangannya iseng menarik rambut (namakamu) yang terkuncir tunggal.
“Kamu udah gak pucet lagi,” ucap (namakamu). Mengomentari wajah Iqbaal yang kini merunduk menatapnya.
Iqbaal mengangguk. “Berkat perawatan Suster (namakamu) semalam, sekarang kondisi pasien Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan membaik. Terimakasih.”
Iqbaal membungkuk sopan, tingkahnya itu jelas membuat tawa (namakamu) seketika meledak.
“Yuk!”
Iqbaal menarik lengan (namakamu) untuk segera memutari body mobil dan segera masuk--duduk di jok sebelah pengemudi.
“Pakai sabuknya, aku gak mau kena gampar lagi karena pakein kamu sabuk,” ucap Iqbaal, melirik (namakamu) di samping kirinya yang kini tengah menarik-narik seat belt.
“Chhh.”
(namakamu) memiringkan bibirnya, masih saja Iqbaal mengingat kejadian memalukan itu--memalukan bagi (namakamu).
“Aku harap ketika aku pergi sama kamu hari ini, aku gak akan dapet pukulan hak stiletto atau lihat adegan pemukulan hak stiletto di kening seorang pria.”
“Ayo, lah!”
(namakamu) memajang tampang memelas. Berharap Iqbaal tidak mengungkit masalah memalukan itu untuk saat ini.
“Ok ok.”
Iqbaal tersenyum jahil, mendapati muka (namakamu) yang menekuk kesal.
Selang beberapa menit perjalanan Iqbaal merasakan ponselnya bergetar. Sebelumnya ia berharap getaran itu adalah getaran pendek sebuah pesan, namun ternyata getaran ponselnya berkelanjutan, tanda ada telepon masuk.
“(namakamu), bisa ambilin hp aku?” Pinta Iqbaal, tatapannya masih terarah pada jalanan di hadapannya. Jalanan ramai membuat Iqbaal tidak bisa melepas kemudi karena takut dihantam bunyi klakson kendaraan lain ketika ia melakukan kesalahan mengemudi di jalan seramai ini.
(namakamu) mengangguk lalu tatapannya mengedar di sekirtar dashboard.
“Di sini”--Iqbaal menggoyang-goyangkan paha kanannya. “--di saku celana,” lanjutnya.
Walau ragu, namun tangan (namakamu) bergerak menelusup. Baru kali ini ia mengambilkan sebuah ponsel yang berada di dalam saku celana seorang pria, sensasinya itu... Luar biasa aneh. Lupakan!
(namakamu) merasakan ponsel itu masih bergetar. Dan (namakamu) juga melihat kedipan layar ponsel menampilkan tulisan 'Salsa's calling'. Ahhh... Wanita itu! Jangan bilang kalau ia menghubungi Iqbaal untuk masalah pekerjaan! Iqbaal kan baru sembuh dari sakitnya.
“Angkat, loudspeaker,” ujar Iqbaal tanpa nada perintah.
(namakamu) menurut, menggeser layar ponsel kekanan. Membuka speaker telepon sehingga suara lembut di seberang sana terdengar.
'Selamat pagi, Pak.'
“Pagi, Sha. Ada apa?” tanya Iqbaal santai, sedangkan (namakamu) kini memegangi ponsel di samping wajahnya.
'Hmm... Hanya ingin tahu keadaan bapak.'
“Oh, keadaan saya sudah membaik. Besok juga saya sudah masuk kantor. Malah sekarang saya mau ke taman kota untuk-”
'Apa? Taman kota? Saya juga sedang lari pagi di taman kota, Pak. Kebetulan sekali. Semoga saja kita bisa bertemu.'
“Oh ya? Iya, semoga.”
(namakamu) melihat senyum Iqbaal mengembang. Entah mengapa (namakamu) ingin sekali menghantamkan ponsel yang ia genggam pada bibir Iqbaal agar pria itu tidak tersenyum lagi.
'Saya juga sedang lari pagi di taman kota.' (namakamu) yakin sekali saat ini Salsha masih di rumah, dan segera bersiap memakai pakaian olah raga lalu bergerak tergesa menuju taman kota. Memberi kesan ia sedang lari pagi.
'Kebetulan sekali. Semoga saja kita bisa bertemu.' Semoga? (namakamu) juga yakin jika nanti Salsha akan berputar mengelilingi taman kota, setengah mati berusaha mencari Iqbaal agar bisa bertemu. Cemo! “Cewek modus!” umpat (namakamu) pelan.
***
(namakamu) dan Iqbaal berjalan mengelilingi pinggiran taman. Menyusuri jalanan yang ditumbuhi pohon rindang dengan daun menguning yang mulai berjatuhan dari batangnya. Berkali-kali (namakamu) tersenyum ketika mendapati daun kuning yang terjatuh di kepala atau pundaknya.
“Hhhh... Seandainya setiap pagi bisa kayak gini.”
Mata (namakamu) terpejam, menghirup udara luar dalam-dalam. Aroma daun basah yang berjatuhan membuat hidungnya sejuk.
“Seandainya,” timpal Iqbaal. Menjiplak tingkah yang dilakukan oleh (namakamu). Namun langkah Iqbaal harus terhenti ketika merasakan (namakamu) kini berjongkok, meraih sehelai daun kuning. Meniup debu yang mengotori daun itu, lalumemutar-mutar tangkai daun. “Kasihan ya,” gumam Iqbaal.
“Hm?”
(namakamu) kembali berdiri, kembali melangkahkan kakinya kolinear dengan Iqbaal.
“Kasihan. Daun itu jatuh tidak serta-merta hanya karena sudah tua dan terlepas dari batangnya. Namun, ketika musim panas, sebatang pohon akan dengan sengaja menjatuhkan berhelai-helai daun dari tangkainya untuk mengurangi penguapan. Mempertahankan kadar air di dalam batang agar tidak banyak menguap. Agar kelangsungan hidup pohon tetap terjaga. Kasihan dia dikorbankan.”
Iqbaal meraih sehelai daun yang tengah (namakamu) mainkan, menatap daun itu dengan mata iba.
(namakamu) sempat terkekeh, walau pelan. Tingkah Iqbaal terlihat melankolis. “Aku gak mau jadi daun,. Harus terjatuh tanpa daya dan akhirnya membusuk hanya karena agar pohon tetap hidup. Aku mau jadi pohon aja,” timpal (namakamu). Menanggapi kisah daun dan pohon yang Iqbaal ceritakan.
“Mmm... Tetap lah jadi pohon, dan biarkan orang seperti aku yang jadi daun.”
Iqbaal tersenyum, lalu mengacak-acak rambut (namakamu) pelan. Langkahnya kembali terayun menelusuri jalanan yang dipenuhi sampah daun berlapis bak karpet kuning itu.
“Hey! Kamu juga harus jadi pohon! Jangan bodoh seperti daun,” sergah (namakamu). Kini (namakamu) berjalan di hadapan Iqbaal dan melangkah mundur.
“Kalau aku jadi pohon juga, kita gak akan bisa sama-sama dong?”
Iqbaal tersenyum tipis, menarik (namakamu) untuk kembali berjalan di sisinya.
(namakamu) terdiam. Mulutnya saat ini terkatup rapat. Perkataan Iqbaal tadi, 'Kita gak akan bisa sama-sama dong?' Apa artinya? (namakamu) menggigit bibir bawahnya menahan girang. 'Sama-sama'? Jangan bilang...
(namakamu)! (namakamu)! Sadar! Sadar! (namakamu) memejamkan matanya erat-erat, menyadarkan dirinya bahwa kata-kata Iqbaal tadi bukan berarti pria itu ingin bersamanya, itu hanya perumpamaan! Perumpamaan kebersamaan daun dan batang pohon.
“(namakamu)?”
Sapaan itu tiba-tiba mengaburkan lamunan (namakamu). “Ya?” jawab (namakamu), mulutnya terbuka secara refleks, begitu juga dengan matanya yang kini terbuka.
“Ini Bella.” Seorang laki-laki di hadapan (namakamu) menarik seorang gadis di sampingnya. “Kebetulan kita ketemu di sini.”
Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba ada Karrel di hadapan (namakamu)? Mana Iqbaal? Bukankah tadi Iqbaal berjalan di sampingnya? (namakamu) sibuk melamun sehingga melupakan kejadian yang ia lewati beberapa menit lalu.
Tangan Bella--gadis yang dikenalkan Karrel pada (namakamu)--terulur. “Bella,” ucapnya.
(namakamu) terdiam, tangan kanannya tidak kunjung bergerak. Laki-laki yang berhasil membuat (namakamu) jatuh cinta selama 5 tahun itu kini ada di hadapannya bersama gadis lain. Tiba-tiba (namakamu) merasakan setiap sudut matanya mulai terselimuti air.
“(namakamu)?”
Karrel memastikan (namakamu) baik-baik saja. “Aku pengen hubungan kita baik-baik aja, aku pengen ketika nanti aku sama Bella menikah, kamu datang dalam perasaan yang baik-baik aja.”
Menikah? (namakamu) merasakan air yang berada di sudut matanya berdesakan keluar semakin banyak, saling dorong untuk turun menelusuri pipi (namakamu).
“(namakamu)? Maaf untuk kesekian kalinya.”
Karrel menatap (namakamu) dengan tatapan mengiba, menghiraukan Bella yang berada di sampingnya dengan tingkah kebongungan.
“Ada apa ini?”
Iqbaal tiba-tiba datang dengan dua cup minuman di kedua tangannya. Menatap (namakamu) yang sudah berderai air mata, menghadapi Karrel dan seorang gadis yang sempat ia temui di outlet sepatu tempo hari.
“Apa yang terjadi selama aku beli minum?” tanya Iqbaal. Bodohnya Iqbaal bertanya pada seorang wanita yang kini sibuk terisakn, jelas saja tidak akan mendapat jawaban
“Apa kamu mau aku pukul kepala dia?” tanya Iqbaal yang di sambut anggukan dari (namakamu). “Pegang ini!”
Iqbaal menyerahkan dua cup minuman pada tangan (namakamu). Sejenak Iqbaal berjongkok, melepaskan sebelah flat shoes dari kaki (namakamu) secara paksa, membuat gadis itu sedikit terjengkang.
Trak! Alas sepatu (namakamu), sepatu datar tanpa hak itu menghantam kencang kening Karrel. Gadis di samping Karrel--Bella--membulatkan matanya. Memegangi kening Karrel yang memerah.
Alas sepatu itu memang datar, tanpa hak sedikitpun, namun dengan kekuatan yang Iqbaal keluarkan ketika menghantamkan benda itu, sepertinya cukup membuat Karrel kleyengan.
“Apa aku harus mukul dia lagi?”
Iqbaal memutar lehernya, menatap (namakamu) yang masih sibuk terisak dibelakangnya.
(namakamu) menggeleng.
“Ok! Saya sudah bilang sebelumnya, walaupun bukan hak stiletto, namun jika saya yang menghantamkannya maka itu akan terasa lebih sakit.”
Ucapan Iqbaal terdengar datar dan pelan, namun tetap terdengar menyebalkan di telinga Karrel. Setelah itu Iqbaal berjongkok, memakaikan sepatu pada kaki (namakamu), lalu menarik (namakamu) untuk menjauh dari Karrel.
Bersambung~
Dikomen boleh. Dilepeh juga boleh /_-
Karya : @citranovy (Novy Citra Pratiwi)
Follow Twitterku juga ya mate! @_BayuPrasetya
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/profile.php?id=379969348803380&ref=stream&refid=52&__tn__=C
No comments:
Post a Comment