_______
Iqbaal mengangguk, pertanda menyetujui ide Bastian untuk mendekati (namakamu). Ini benar-benar terjadi di hadapan (namakamu), dan entah mengapa anggukan Iqbaal seperti menohok kerongkongan (namakamu) saat ini.
“Jahat!”
Desis (namakamu), desisannya sama sekali tidak terdengar, tersapu suara alunan lagu romantis yang terputar, terdengar memenuhi seisi ruangan.
Selang beberapa menit, seorang pelayan datang membawa dua buah nampan berisi makanan dan minuman yang tadi sempat Iqbaal pesan. Bau makanan mulai menyeruak—menusuk hidung (namakamu), signal bau makanan itu terkerim ke saluran pencernaan, membuat perutnya terkoyak perih meronta untuk segera diisi. Namun, hingga Iqbaal menyodorkan makanan dan mengetuk-ngetuksendok di hadapan (namakamu), gadis itu masih bergeming; mengkatup mulutnya.
“Aku ke toilet dulu,” ucap (namakamu), bangkit dari kursinya seraya menyelempangkantas pada bahu kanannya.
(namakamu) melangkahkan kakinya dengan cepat. Bukan ke arah toilet ternyata, melainkan menelusup ke luar dari pintu utama caffe. Perutnya memang perih, setelah jam istirahat di kantor tadi siang perutnya belum terisi lagi, namun ternyata penolakan dari mulutnya untuk tidak terbuka dan tidak memasukan makanan lebih kuat; mengalahkan rasa lapar di perutnya.
“(namakamu)!” panggil seseorang yang sangat (namakamu) kenali. Suara itu... tidak kunjung membuat (namakamu) untuk menghentikan langkahnya.
“(namakamu), kamu kenapa sih? Katanya tadi mau ke toilet—hey!”
(namakamu) merasakan sikutnya tertarik ke belakang, sebuah cengkaraman hinggap pada bagian sikutnya dengan erat.
“Lepas!”
(namakamu) sempat menghentikan langkahnya—hanya untuk menepis tangan yang mencengkramnya,setelah itu langkahnya kembali terayun dengan cepat.
“Kalau aku punya salah aku minta maaf.”
Laki-laki itu—Iqbaal—kembali menarik lengan (namakamu) kuat-kuat. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, yang Iqbaal tahu ‘(namakamu) marah’, alasannya? Entah lah. Iqbaal merasa sangat bodoh. “Bastian?”—Iqbaal menerka penyebab (namakamu) marah seperti ini—“karena Bastian, ‘kan?” lanjutnya.
Dengan nafas terputus-putus,(namakamu) menghentikan langkahnya; menatap Iqbaal dengan tatapan tajam. Gadis itu menghentakkan kakinya kencang hingga stiletto pada kaki kanannya terlepas. Tubuhnya s membungkuk meraih sebelah stiletto, dan ternyata gerakan itu mampu membuat Iqbaal memejamkan matanya erat. Mungkin laki-laki itu tahu persis apa yang akan (namakamu) lakukan saat ini.
Blugh! Suara debuman tertutupnya pintu mobil terdengar. “(namakamu)?” desis Iqbaal. Taksi bluebird itu melaju kencang tanpa sempat Iqbaal mencegahnya untuk berhenti. “(namakamu)!” serunya. Dalam keadaan sadar ia tahu, (namakamu) yang kini sudah berada di dalam taksi yang melaju kencang tidak akan bisa mendengar suaranya.
*
(namakamu) melangkah lunglai, berjalan tanpa alas kaki karena kini ia menjinjing sepasang sepatunya. Taksi yang ia naiki tadi, ia berhentikan di pertigaan jalan yang masih berjarak 50 meter dari rumahnya. Jalanan sepi mengiringi langkahnya, langit malam yang berawan menaunginya saat ini. (namakamu) berusaha membebaskan diri dari rasa kesalnya sebelum sampai di rumah, ia tidak mau memperlihatkan wajah murungnya di hadapan Steffy yang akan menimbulkan pertanyaan ‘(namakamu), lo kenapa?’ Sungguh saat ini (namakamu) sedang malas menjawabnya.
Desahan berat (namakamu) terhempas keluar ketika langkahnya sudah mencapai teras rumah. Ternyata usahanya sia-sia, (namakamu) sama sekali belum merasakan dirinya baik-baik saja.
“Baru pulang?”
Pertanyaan itu terdengar ketika (namakamu) mulai memasuki ruang tengah. Ada Steffy, tengah mengangkat sebelah kakinya ke atas meja. Mulutnya meniup-niup cat kuku merah yang baru saja terpoles di kuku kakinya— masih basah.
(namakamu) mengangguk seraya tersenyum, langkah lunglainya kembali terayun, kali ini untuk menghampiri Steffy. Sekali lagi desahan beratnya terdengar sebelum gadis itu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa—di samping Steffy.
“Lembur?” tanya Steffy. Tanpa memperhatikan wajah (namakamu), Steffy masih sibuk memoleskan kuas kecil pada kuku kakinya.
“Enggak,” jawab (namakamu).
“Terus?”
Steffy sepertinya tidak berniat untuk bertanya, tidak ada nada penasaran muncul dalam setiap pertanyaannya, mungkin hanya untuk basa-basi, saat ini Steffy sangat fokus pada kuku kakinya dan itu membuat (namakamu) hanya menjawab pertanyaan dengan gumaman tidak jelas.
“Tissue, (namakamu)! Maaf,” pinta Steffy. Tangan Steffy menggoyang-goyang paha (namakamu). “(namakamu), tissue, please!”
(namakamu) meraih kotak tissue yang berada di sampingnya. Tadinya kotak tissue itu berada di samping Steffy, namun karena (namakamu) duduk, kotak itu tergeser sengaja oleh tangan (namakamu) menjauh dari jangkauan Steffy.
“Ada apa?”
Setelah beberapa menit Steffy tidak memperdulikan (namakamu), saat ini Steffy menangkap aura tidak baik dari wajah (namakamu). “Iqbaal?” terkanya.
(namakamu) terdiam. Diam sama dengan iya, biasanya. “Dia—dia udah nembak lo belum, sih?”
Kali ini, sifat Steffy yang sebenarnya mulai muncul. Care yang mendekati kata ‘kepo’.
(namakamu) menggeleng, lalu melepaskan nafas berat dari mulutnya.
“Dia suka sama lo gak, sih, sebenernya?”
Steffy kini sudah berputar menghadap (namakamu) yang duduk di sampingnya, namun sebelah kakinya masih bertopang pada meja.
(namakamu) menggeleng lagi.
“Artinya enggak? Atau gak tahu?” tanya Steffy dengan pilihan jawaban, tidak mengerti dengan respon jawaban dari gerakan kepala (namakamu).
“Hsss...”
(namakamu) menarik sebuah bantal kursi, lalu menutupi wajahnya.
“Kalau perlu... Lo yang nembak dia, gimana?”
Saran gila itu keluar dari mulut Steffy. (namakamu) melepaskan bantal dari wajahnya—sempatmembuatnya sesak memang—tatapan tajamnya ditusukan tepat di pusat bola mata Steffy.
“Ya udah. Sabar, ya.”
Steffy menepuk-nepuk pundak (namakamu), sama sekali tatapan tajam (namakamu) tidak membuatnya takut untuk menjinakkan (namakamu).
***
24 Sept 2014
(namakamu) baru saja menumpukkan berkas terakhir. Akhirnya... Pekerjaan hari ini usai. Tangannya merentang, punggungnya ia tegakan, lehernya ia putar dengan mata terpejam, seolah ingin merontokkan rasa pegal yang hendak menghancurkan tubuhnya.
Desahan berat terdengar ketika ia mengakhiri tingkahnya. Tangannya memasukan ponsel ke dalam tas, merapikan pakaiannya sejenak, lalu tanpa ragu lagi segera meninggalkan ruangan kerja hampir membunuh tubuhnya hari ini.
“Aku tahu kamu masih marah!”
Suara itu terdengar di samping telinga (namakamu), terdengar langkah kaki yang saat ini menyejajari langkahnya.
“Ayo lah, (namakamu)! Udah 5 hari kamu diemin aku kayak gini. Marah lebih dari 3 hari itu gak baik,” rayunya lagi. (namakamu) tidak merespon, malah saat ini (namakamu) seolah ingin menutup telinganya.
“(namakamu).”
Suara itu kali ini terdengar memelas. Iqbaal, ya Iqbaal. Laki-laki itu seolah tidak perduli pada beberapa karyawan yang kini menjatuhkan perhatian pada tingkahnya.
“Bastian temen aku, gak ada salahnya, ‘kan... kalau aku pengen kamu kenal juga sama dia? Iya , ‘kan?”
Tanpa terasa langkah (namakamu) kini sudah keluar dari dalam lift. Racauan Iqbaal belum terhenti hingga mereka saat ini sudah menapaki lantai lobi, tempat bergerumulnya sebagian karyawan menunggu jemputan atau saling menunggu karyawan lain—jelas saja tidak lengkap sepertinya jika tidak sambil bergosip. Tangkapan spekta! (namakamu) dan Iqbaal menjadi tangkapan pandangan mereka saat ini. (namakamu) yakin, setelah ia keluar dari pintu lobi, maka desisan riuh yang membahas kedekatan dirinya dengan Iqbaal akan membahana. Alasan yang membuat (namakamu) muak dan ingin segera keluar dari gedung keparat itu.
“(namakamu), aku mohon. Kamu boleh marah, silahkan. Tapi jangan kayak gini. Ini kekanak-kanakkan, (namakamu),” pinta Iqbaal lagi.
(namakamu) pikir tingkah Iqbaal mengejarnya akan terhenti ketika (namakamu) melewati pelataran gedung kantor, namun ternyata tidak, Iqbaal masih tetap menyejajarkan langkah dengannya. Tidak kah Iqbaal ingat pada mobilnya yang terparkir di basement?
“(namakamu),” lirih Iqbaal, entah untuk keberapakalinya. “Aku mohon,” lanjutnya.
(namakamu) menghentikan langkahnya, sontak membuat Iqbaal juga ikut menghentikan langkahnya. Matanya dialihkan untuk menatap wajah Iqbaal. “Yang berhak menentukan siapa orang yang pantas untuk jadi temen aku, itu aku sendiri! Bukan kamu!”
Kalimat pertama dari (namakamu) yang Iqbaal dengar setelah 5 hari ini (namakamu) bungkam.
Iqbaal mengangguk cepat. “Aku minta maaf. Aku janji gak gitu-gitu lagi.”
Iqbaal meringis seraya mengacungkan dua jari membentuk huruf ‘v’. “Maaf,” buntutnya.
(namakamu) tidak menjawab. Langkahnya terayun semakin kencang melewati lorong halte busway dengan Iqbaal yang masih mengekor. (namakamu) pikir, ia akan luluh ketika menatap wajah laki-laki itu, namun ternyata kekesalannya malah semakin berjejal.
“Hhhh... Kok marah lagi?”
Suara ‘breng-breng’, hasil ketukan alas sepatu pantofel Iqbaal dengan lantai lorong halte terdengar sangat mengganggu. Laki-laki itu baru kali ini sepertinya berjalan di lorong halte, tidak bisa menyesuaikan langkahnya dengan lantai halte yang terdengar berisik.
“(namakamu).”
Lirihan itu terdengar lagi, tanpa putus asa Iqbaal terus menggencarkan kata-kata bernada penuh penyesalan.
Entah apa yang terjadi pada hari ini, busway yang biasanya harus (namakamu) nanti berjam-jam, kali ini datang tepat waktu. (namakamu) bergegas memposisikan tubuhnya untuk berjejal bersama penumpang lain memasuki pintu busway. Iqbaal sempat terhentak ketika tubuhnya terdorong kencang ikut masuk ke dalam bus, langkahnya terseok—tersapupenumpang lain.
Di dalam busway yang dua menit kemudian melaju, Iqbaal bergerak mendekati (namakamu) yang tengah berdiri dengan sebelah tangan terangkat memegangi bus handle. Tidak ada tempat duduk tersisa, terpaksa (namakamu) harus berdiri. Dan itu... shhh... Membuat tatapn Iqbaal gelisah.
“Pakaian kamu.”
Pakaian kantor blazer pas yang membentuk lekuk tubuh di sambung rok span di atas lutut. Oh Tuhan... Bagaimana jika ada laki-laki somplak yang dengan sengaja menggesekkan(?)bagian tubuhnya pada (namakamu) dengan alasan ‘busway penuh’—berdesakan? Iqbaal sering mendengar berita menjijikan itu di berbagai media sosial.
Iqbaal kini bergerak untuk berdiri di belakang (namakamu). Kedua tangannya terangkat memegangi bus handle yang tersisa, posisinya kini seolah tengah menutupi bagian belakang tubuh (namakamu). Merasa belum cukup, kini Iqbaal membuka jas yang ia kenakan, tubuhnya bergerak-gerak menahan keseimbangan karena selama melepas jasnya ia tidak berpegangan.
“Pakai ini,” gumam Iqbaal. Tangannya melingkari pinggang (namakamu), menyimpul kedua lengan jasnya pada bagian perut (namakamu). Sadarkah Iqbaal saat ini? Hello! Ini bukan taman kota tempat orang beromantis-romantis ria, ini busway! Tingkahnya itu membuat perhatian sebagian besar penumpang tertuju aneh ke arahnya.
“Aku gak akan pernah biarin kamu untuk naik busway lagi,” rutuk Iqbaal. Tidak perduli dengan tatapan aneh sebagian penumpang yang terarah padanya.
*
“Aku nyesel selama 5 hari ini ngebiarin kamu pulang sendiri—naik busway! Itu gak akan terjadi lagi.”
Iqbaal melangkahkan kakinya sejajar dengan (namakamu) menelusuri jalanan kompleks. Jalanan sudah mulai sepi, mungkin karena memang sudah larut, hanya sesekali berpapasan dengan tukang nasi goreng keliling yang mendorong gerobak, atau tukang sate yang mendorong gerobak terbuka(?).
“... Dan selama 5 hari ini, kamu jalan sendirian di jalanan kompleks sepi gini? Oh Tuhan... (namakamu), berhenti kamu membahayakan diri sendiri.”
(namakamu) seolah ingin sekali menyumpal telinganya saat ini. Iqbaal benar-benar belum berhenti mengoceh, belum berhenti berusaha menghancurkan tembok kekesalan yang (namakamu) bangun selama 5 hari ini.
“(namakamu),” lirih Iqbaal.
“ Ayolah, (namakamu).”
“(namakamu), jangan kayak gini.”
“(namakamu).”
“(namakamu).”
“(namakamu)!”
Iqbaal sepertinya mulai kesal, suaranya terdengar menghentak. “Kamu anggap aku ini apa, sih? Ha?!”
Iqbaal menarik lengan (namakamu), menahan gadis itu agar menghentikan langkahnya. “Aku harus gimana?”
Pertanyaan Iqbaal terdengar seperti protesan keras.
Laki-laki itu menggeram kesal. Tiba-tiba tubuhnya membungkuk. Tanpa izin, tangannya memaksakan kaki (namakamu) untuk melepas sebelah stiletto-nya. (namakamu) tersentak dan sempat tubuhnya hendak terjengkang menerima perlakuan seperti itu.
“Nih!”
Iqbaal menyerahkan stiletto itu pada tangan (namakamu). “Pukul aku sesuka kamu, sebanyak yang kamu mau, berapa kalipun itu! Sampai kamu puas!”
“Ayo! Biar kamu gak marah lagi!” tegas Iqbaal, melihat (namakamu) yang kini masih bergeming.
“Kenapa? Kenapa diem?”
Iqbaal kembali menantang. Menatap bola mata (namakamu) yang mulai berair. Setiap sudut mata gadis itu mulai menampung genangan air.
“Hhhh...”
Iqbaal menghembuskan nafas berat berkali-kali. Mungkin menghembuskan kekesalannya yang tidak sempat ia luapkan, kekesalannya masih bersisa—banyak bersisa.
“Maaf,” gumam Iqbaal. Gumamannya beradu dengan nafas berat yang keluar bersamaan. “Maaf, (namakamu),” lirihnya lagi. Iqbaal mendekat, maju beberapa langkah, menarik tubuh gadis itu untuk terbenam di dadanya.
“Aku gak bermaksud bentak kamu... sama sekali enggak.”
Iqbaal mengeratkan dekapannya, seiring itu ia merasakan dadanya hangat—basah. (namakamu) menangis? Sepertinya begitu.
“Maaf.”
Kembali Iqbaal mengucapkan kata itu dengan tekanan penuh penyesalan. Masalah sepele, Iqbaal mengenalkan (namakamu) pada sahabatnya—Bastian. Mengapa harus berujung sedramatis ini. Berlebihan kah?
***
25 Sept 2014
Pukul 5 sore, Iqbaal menatap jam tangannya. Sudah waktunya untuk segera pulang. (namakamu)? Gadis itu, Iqbaal tidak akan membiarkan gadis itu pulang kerja sendiri. Apalagi pulang malam seperti kemarin, naik busway. Tidak!
Setelah menyambar tasnya beserta jas yang kini tersampir di bahu kanan, langkah Iqbaal terayun dari dalam ruangannya. Iqbaal harus segera mendapati (namakamu) dan segera menangkap gadis itu. Ia harus pulang bersama (namakamu).
Pandangan Iqbaal beredar memutari ruangan kerja yang kini berada di hadapannya. (namakamu)? Mana (namakamu)? Mengapa mejanya kosong? Apa gadis itu sudah pulang tanpa memberi tahunya? Iqbaal mulai bertanya-tanya sendiri. Seharian ini Iqbaal sibuk dengan pekerjaannya dan memang tidak menyempatkan diri untuk bertemu dengan (namakamu).
“Ada yang melihat (namakamu)?”
Iqbaal bertanya ragu pada sebagian karyawan yang masih tersisa di ruangan.
“Dia tidak masuk hari ini, Pak. Katanya sakit,” jawab salah seorang karyawan. Setelah itu bergumam kata ‘permisi’, lalu melewati Iqbaal dengan langkah sopan.
Iqbaal tertegun. Tadi pagi Iqbaal memang tidak berangkat bersama dengan (namakamu). Ada meeting di luar kantor dengan jarak tempuh yang cukup jauh sehingga Iqbaal harus berangkat lebih pagi dn tidak sempat mengantar (namakamu) ke kantor. Namun, tadi pagi Iqbaal sempat menelepon (namakamu), mewanti-wanti (namakamu) agar berangkat ke kantor dengan naik taksi, tidak menggunakan busway lagi. Dan... (namakamu) mengiyakan, (namakamu) mengiyakan untuk berangkat ke kantor dengan naik taksi. Sama sekali (namakamu) tidak mengatakan dirinya tidak akan masuk ke kantor, atau mengabarkan dirinya sakit. Sungguh! Telinga Iqbaal masih normal ketika pagi-pagi mendengar (namakamu) menyahut dengan suara baik-baik saja di telepon.
Ketika lamunannya buyar, Iqbaal segera melangkahkan kakinya ke luar ruangan. Mulai mengotak-atik ponselnya, mencoba menghubungi (namakamu). Berkali-kali Iqbaal mencoba menghubungi (namakamu), namun hanya ada sahutan dari operator yang menyatakan nomor (namakamu) sedang tidak aktif.
“Kemana sih kamu?” desis Iqbaal, wajahnya menyemburatkan rasa khawatir.
*
“(namakamu) ada di rumah, Steff?”
Iqbaal tidak kehabisan akal untuk mencari (namakamu), kali ini ia mencoba menghubungi Steffy.
‘Gak ada, Baal. Bukannya dia kerja, ya?’
Steffy malah balik bertanya.
“Aku pikir juga gitu. Tapi ternyata hari ini dia gak masuk, katanya sakit—”
‘Sakit? Sebelum aku berangkat kerja, (namakamu) lagi siap-siap berangkat ke kantor. (namakamu) baik-baik aja, kok, tadi pagi. Dia gak mengeluh sakit.’
“Justru itu. Tadi pagi aku nelepon dia, dia baik-baik aja. Bahkan dia bilang mau pergi ke kantor. Kira-kira kemana ya dia?”
‘Ha? Aku gak tahu. Ya ampun, (namakamu) bikin orang khawatir aja, deh!’
“Ya udah, aku cari dia dulu sekarang. Kalau dia pulang, kabarin aku, ya.”
‘Ok. Kabarin aku juga kalau kamu lebih dulu ketemu sama (namakamu).’
“Ok.”
Iqbaal memutuskan sambungan telepon, mengakhiri percakapannya dengan Steffy dan kembali fokus pada jalanan lengang di hadapannya.
Gambaran rasa khawatir belum juga menyingkir dari wajah Iqbaal. Berkali-kali bergumam, ‘kamu dimana?’ Iqbaal masih bertahan dengan gelisah yang semakin memuncak. Mobilnya kini terarah pada jalanan yang akan mengantarnya ke arah Taman Kota. Bodoh kah jika Iqbaal mengira (namakamu) ada di sana? Hanya itu tempat satu-satunya yang sempat Iqbaal kunjungi berdua dengan (namakamu), tempat yang Iqbaal pikir ‘(namakamu) menyukainya’.
Drt... Drt... Drt... Ponsel yang berada tergeletak di atas dashboard itu bergetar beraturan. Iqbaal sempat menghiraukan, tidak memperdulikan, karena kini yang ada di dalam kepalanya hanya (namakamu). Hingga getaran itu terhenti, dan kembali berulang pertanda panggilan untuk kedua kalinya.
Iqbaal sempat mengumpat kesal. Dengan tatapan yang masih fokus pada kemudi, Iqbaal meraih ponsel dengan tangan kirinya.
“Hallo?”
Iqbaal menerima telepon tanpa melihat nama si penelepon. Tidak perduli siapapun itu.
‘Baal?’
Mendengar suara di seberang sana membuat Iqbaal menghentikan mobilnya secara mendadak, mengakibatkan hujaman klakson dari kendaraan lain menghantamnya dari arah belakang. Menyadari hal itu, Iqbaal segera kembali melaju pelan.
“Aku coba hubungi kamu dari tadi, tapi nomor kamu gak aktif, aku khawatir,” racau Iqbaal.
‘Hp aku blowbate tadi, sekarang baterainya baru aku isi. Kenapa kamu belum pulang? Aku nunggu di apartemen kamu seharian. Cepet pulang. Hks.’
***
Iqbaal berlari melewati koridor apartemennya tanpa perduli kebisingan yang dibuat oleh alas sepatunya, alas pantofel yang menghantam lantai—menghasilkan suara ricuh—menggema di sepanjang koridor. (namakamu), gadis itu berada di apartemennya sejak pagi. Apa yang ia lakukan? Perasaan khawatir semakin menyeruak memenuhi dada Iqbaal ketika (namakamu) menyisipkan isakan di ujung kalimatnya tadi. Apa yang terjadi? Iqbaal mulai kalut.
Brak! Setelah menekan 6 digit angka pasword, Iqbaal membuka pintu dengan tergesa, menghasilkan gebrakan yang sepertinya akan mampu terdengar oleh penghuni di samping kanan dan kiri apartemennya.
“(namakamu)?”
Langkah Iqbaal yang mulai terseok menghampiri (namakamu). Gadis itu tengah duduk di sofa seraya memeluk bantal kursi.
“Baal.”
Sapaan itu nyaris terdengar seperti lirihan pengaduan.
Baru saja Iqbaal menjatuhkan tubuhnya di samping (namakamu), tiba-tiba gadis itu menghantamkan tubuhnya kencang—mendekap Iqbaal. Dekapannya erat, sangat erat membuat Iqbaal dengan nafas tersengal-sengalnya—karena berlari tadi—merasa semakin sesak.
Isakan itu terdengar lagi, bahkan semakin lama semakin terdengar erangan-erangankecil yang berubah menjadi raungan histeris. Iqbaal merasakan pundak gadis itu semakin lama semakin berguncang hebat. Sejenak Iqbaal membiarkan (namakamu) menumpahkan semuanya, apapun yang (namakamu) rasakan saat ini akan Iqbaal tampung terlebih dahulu. Membiarkan gadis itu mengikis perasaan sakitnya dulu.
*
“Kenapa? Apa yang terjadi? Bilang sama aku.”
Iqbaal mulai berani bertanya ketika ia merasakan tangis (namakamu) sedikit mereda, mencoba membalas dekapan (namakamu) dengan belaian lembut pada tengkuk (namakamu), punggung (namakamu).
“Apa yang sakit?” tanya Iqbaal lagi dengan suara lebih pelan, menunggu jawaban (namakamu). Pertanyaan itu muncul karena ia sempat mendengar alasan (namakamu) tidak masuk kantor karena sakit.
(namakamu) menggeleng.
“Lalu ada apa? Cerita sama aku.”
Alasan tidak masuk kerja karena sakit ternyata klise, (namakamu) tidak sakit.
“Karrel ada nemuin kamu lagi hari ini?”
(namakamu) menggeleng.
“Kamu dengar kabar Karrel mau tunangan?”
(namakamu) menggeleng.
“Menikah?”
(namakamu) kembali menggeleng membuat Iqbaal mendesah pasrah, tersiksa dalam keingintahuannya.
“Lalu?” tanya Iqbaal lagi, tanpa nada paksaan untuk mendapatkan jawaban.
“Hari ini aku merasa dunia seakan mau runtuh,” jawab (namakamu), suaranya terdengar masih bergetar tidak seimbang.
“Hm?”
“Kamu akan tetap jadi flat shoes aku kan?” tanya (namakamu), gadis itu kini menengadahkan wajahnya, memperlihatkan mata sembabnya pada Iqbaal. Iqbaal mengangguk seraya tersenyum. “Aku hanya butuh itu, untuk saat ini aku hanya butuh itu.”
(namakamu) semakin berucap tidak jelas, membuat Iqbaal semakin tidak mengerti. Tangisan (namakamu) kembali pecah, seiring semakin erat dekapannya pada Iqbaal, dan kembali Iqbaal harus menekan rasa ingin tahunya.
*
“Aku sulit bergerak, (namakamu).”
Iqbaal kini berdiri di depan counter dapur, di depan kompor yang tengah menyala untuk merebus mie instan di atasnya. Sementara (namakamu)? Gadis itu berdiri di hadapan Iqbaal, masih mendekap Iqbaal, tangannya melingkar erat pada tengkuk laki-laki itu, dan kepalanya ia benamkan pada dada kanan Iqbaal.
Berkali-kali Iqbaal mengajak gadis itu untuk makan keluar, namun berkali-kali itu pula (namakamu) menolak, sehingga Iqbaal harus merebus mie untuk mengisi perut kosongnya—lagi-lagi.
“Sampai kapan kamu akan nempel kayak gini?” tanya Iqbaal, tangannya meraih lap tangan untuk mengangkat panci panas yang berisi rebusan mie. Iqbaal sama sekali tidak risih dengan tingkah (namakamu) saat ini, hanya saja takut jika Iqbaal tidak sengaja melukai (namakamu) dengan benda-benda panas di hadapannya.
Iqbaal melangkahkan kakinya menuju meja makan dengan mangkuk di tangan kanan; (namakamu) masih mendaplok(?) di dadanya dan ikut bergerak searah kaki Iqbaal melangkah. Iqbaal tertegun ketika hendak duduk di kursi makan. Bagaimana ini?
“Aku duduk di pangkuan kamu,” ucap (namakamu), merasakan kebingungan yang tengah Iqbaal alami saat ini.
Iqbaal menggeleng bingung, tingkah (namakamu) saat ini benar-benar aneh. Sangat aneh. Mulai dari menangis meraung-raung seharian ini tanpa alasan yang tidak Iqbaal ketahui, hingga tidak masuk kerja. Dan saat ini... Gadis itu semakin bertingkah aneh.
Iqbaal menarik sebuah kursi untuk ia duduki. Sempat mendesah kencang ketika menjatuhkan tubuhnya untuk duduk karena seiring itu (namakamu) juga ikut terjatuh di pangkuannya. Iqbaal merasakan (namakamu) membenahi posisinya, dan lingkaran lengan pada tengkuknya semakin erat, kepala gadis itu semakin dalam menelusup di sisi kiri lehernya.
Ok. Apapun keadaannya, Iqbaal harus makan, karena perutnya sudah meronta-ronta. “Setelah ini, kita makan di luar ya?” tawar Iqbaal lagi, namun disambut gelengan pelan dari (namakamu).
“Ayo lah, (namakamu). Kamu belum makan.”
Ucapan Iqbaal masih tetap membuat (namakamu) menggeleng.
“Ok, terserah kalau gitu. Terus sekarang? Gimana caranya aku makan dalam posisi seperti ini?”
Pertanyaan Iqbaal kembali membuat (namakamu) menggeleng. Dasar, gadis aneh!
Iqbaal meraih kotak tissue, menarik beberapa lembar tissue untuk di taruh pada lengan (namakamu) yang melingkari lehernya. Iqbaal tidak mau lengan (namakamu) terkena kuah mie yang akan ia makan. Setelah menyusun tissue, Iqbaal mulai menggulung mie dengan garpu dan memasukan ke dalam mulutnya.
Selang beberapa menit... setelah Iqbaal menyelesaikan acara makannya, Iqbaal merasakan kadar keeratan lingkaran tangan (namakamu) semakin berkurang. Tubuh (namakamu) juga terasa semakin berat di atas pangkuannya. Apakah gadis itu tertidur? Setelah Iqbaal melucuti tissue yang ia susun pada lengan (namakamu), Iqbaal memeriksa wajah (namakamu) dengan cara menggeser pundaknya.
Hhhh... Mata gadis itu terpejam. Gadis itu tertidur. Pantas saja bobot tubuhnya semakin terasa berat. Iqbaal kembali membenahi posisi (namakamu), kali ini lengannya melingkar di pinggang gadis itu—agar gadis itu tidak terjatuh. Menggoyang-goyang tubuhnya ke kanan kekiri seolah tengah menina-bobokan seorang bayi.
Hening... Hanya ada Iqbaal yang masih menatap meja makan dengan senandung ringannya.
Tiba-tiba senandung itu terhenti. Perlahan Iqbaal memejamkan matanya, merasakan perasaan yang tidak asing menyeruak di dalam dadanya.
“Aku mencintai kamu. Dengan segenap kesadaran yang aku miliki... Aku mencintai kamu. Apa yang harus aku lakukan sekarang, (namakamu)? Bilang sama aku... apa yang harus aku lakukan saat ini untuk mencintai kamu.”
Bersambung~
Dikunyah » kalo enak » telen » komen.
Digigit » kalo gak enak » lepeh » tinggalkan » jangan balik lagi. *apaan sih*
Karya : @citranovy (Novy Citra Pratiwi)
Follow : @_BayuPrasetya
Klik Bagikan/Share
Like FanPage nya juga di ==> https://www.facebook.com/profile.php?id=379969348803380&ref=stream&refid=52&__tn__=C
keren,
ReplyDeletePart 8 nya mana???
ReplyDeleteKenapa gak di lanjut???
Penasaran nih cerita selanjutnya...
Ayo dong di lanjut