Sunday, July 6, 2014

Cerbung Flatshoes - Part 3

_______
“Apa perlu kita balik lagi ke dalam buat mukul kepala Karrel pake hak sepatu kamu?”
(namakamu) menggeleng.
“Baguslah, lagi pula itu cuma buang-buang waktu,” ujar Iqbaal. Telapak tangan kirinya menepuk-nepuk pelan pundak (namakamu).
Tangis (namakamu) tersapu oleh angin malam yang menyeret-nyeretdedaunan. Iqbaal tidak mengucapkan sepatah katapun. Malah bersenandung tak jelas menemani isak (namakamu). Setelah merasakan pundak (namakamu) mulai lemas, Iqbaal menariknya untuk segera masuk ke dalam mobil.
*
“Pakai sabuknya.”
Iqbaal sudah menaruh kedua lengannya di atas lingkaran stir.
“(namakamu)?”
(namakamu) masih sibuk segukan dengan tatapan tertuju pada benda blur di hadapannya.
“Oh Tuhan, haruskah gadis patah hati ini selalu merepotkan?”
Iqbaal bergumam, tubuhnya condong ke sisi kiri, memposisikan tubuhnya tepat di hadapan (namakamu), lengan kanannya melingkari perut (namakamu).
Plak! Pipi kiri Iqbaal yang berada tepat di hadapan wajah (namakamu) mendapat sentuhan kasar. “Jangan kurang ajar!” bentak (namakamu) masih sesekali segukan.
“Hhhh...”
Iqbaal mendesah kencang, kini laki-laki itu menggerakan wajahnya menengadah, menatap wajahnya pada pantulan cermin kecil di atas dashboard. “Muka ini keliatan kayak laki-laki hipersex, kah?”
Desisan pelan itu terdengar kesal.
“Aku-cuma-mau-bantu-kamu-pakai-ini!”
Dengan kasar Iqbaal menarik seat belt di samping kiri (namakamu). Wajahnya bergerak-gerak meringis, tamparan (namakamu) tadi tidak main-main ternyata.
Crek... Seat belt (namakamu) sudah terpasang.
“Maaf.”
(namakamu) menatap Iqbaal dengan mata memendarkan penyesalan. “Maaf, ketika aku patah hati, aku selalu ngerepotin kamu, ya?”
'Sadarkah?'
Iqbaal hanya mengangkat kedua alisnya lalu tersenyum. Menginjak pedal gas dengan tatapan dibuang asal.
***
3 Sept 2014
“Bos kayak gitu tuh satu di antara seribu. Udah lo maki-maki disangka cowok penggoda, bayarin sepatu lo, dipukul pake hak sepatu--kena kepala pula, kemejanya dimuntahin, dan terakhir lo nampar dia?”
Steffy mengacungkan ibu jarinya di hadapan wajah (namakamu), menciptakan perbincangan di sela acara sarapan paginya di meja makan bersama (namakamu).
“Steff!”
(namakamu) menepis kencang tangan Steffy, satu tangkup roti yang berhasil ia gigit mendadak pahit dalam kunyahannya. Paparan Steffy membuat nafsu makannya menguap.
“Apa lo gak mikir kalau dia suka sama lo?”
Steffy melipat rapi lengannya, mencondongkan tubuhnya menatap (namakamu) dengan tatapan meminta tanggapan.
“Steffy! Gue kenal dia baru 3 hari!”
(namakamu) membanting roti yang baru terobek satu gigitan. Kini tangannya meraih gelas yang berisi air mineral di samping kanannya.
“Lo pikirin baik-baik.”
Steffy memegangi kedua lengan (namakamu), berharap sahabatnya itu tidak bergerak dan mau mendengarkan terkaan-terkaanbak cenayang yang keluar dari mulutnya. “Seandainya... Ada laki-laki yang maki-maki lo, bikin lo keluar duit bayarin sepatunya, pukul kepala lo, muntahin baju lo. Apa lo masih mau deket-deket sama dia? Apa yang bakalan lo lakuin kalau lo ketemu orang kayak gitu?”
Pertanyaan Steffy membuat bahu (namakamu) bergidik dengan sendirinya. Mendengar itu, (namakamu) tiba-tiba merasa jijik pada dirinya sendiri.
“Cukup, Steff! Jangan bikin semangat kerja gue lenyap karena gak mau ketemu Iqbaal pagi ini!”
(namakamu) menepis tangan Steffy yang mencengkram erat kedua punggung tangannya. Meraih blazer cokelat yang tersampir di sandaran kursinya, tas yang tergeletak di kursi kosong sebelah kanannya.
“Yang jadi fokus pembicaraan kita bukan masalah itu, okey! Tapi sikap Iqbaal!”
Wajah Steffy menengadah, menyaksikan (namakamu) yang kini berdiri membenahi rok spannya, menarik-narik kedua sisi rok yang terangkat akibat ia duduk di kursi makan tadi.
“(namakamu)?”
Steffy masih berusaha mengganggu (namakamu) yang kali ini tengah konsentrasi membenahi penampilannya, (namakamu) merapikan renda kemeja yang bergerumul pada bagian dadanya.
“Gue telat.”
(namakamu) melangkahkan kakinya, sama sekali menghiraukan suara Steffy yang sepertinya sangat kesal. Sikap Iqbaal? Menurut (namakamu), wajar-wajar saja kan?
'Apa yang bakalan lo lakuin kalau lo ketemu orang kayak gitu?'
Pertanyaan Steffy benar-benar membuat kepala (namakamu) mendadak naik suhu. “Haissshhh!!!”
(namakamu) mengetuk-ngetukan kepalan tangan pada keningnya, mencoba menghilangkan pertanyaan Steffy yang ingin sekali ia jawab. 'Gue bakalan maki tuh orang dan nendang dia jauh-jauh!!!'
***
Seharian ini (namakamu) tidak melihat Iqbaal. Sampai waktu istirahat siang, Iqbaal tidak kunjung memasuki ruangannya. Pintu ruangan Iqbaal tidak terlihat ada tanda-tanda kehidupan. Mengapa (namakamu) merasa tubuhnya seakan tidak mendapat pasokan energi pagi ini? (namakamu) merasakan dirinya seperti seonggok robot yang menyelesaikan pekerjaan di hadapannya tanpa motif apapun.
“Sadar (namakamu) ToT!!!”
(namakamu) menatap bayangan wajahnya pada monitor komputer yang mulai redup. Berapa kali (namakamu) mempermalukan dirinya sendiri di hadapan Iqbaal? Dan jangan harap ia akan membiarkan hatinya bergerak mendekati kata jatuh cinta pada atasannya itu, itu namanya tidak tahu diri.
“Okey, terimakasih.”
Suara khas itu terdengar membelah pendengaran (namakamu). Iqbaal berjalan sejajar di samping gadis semampai itu lagi. Salsha? Ya, gadis itu sempat mengenalkan namanya kemarin pada (namakamu) untuk memberikan surat tugas.
Mereka baru selesai melakukan tugas di luar kantor? Sepertinya begitu. (namakamu) mulai berkemelut sendiri.
“Selamat menikmati waktu makan makan siangnya, Pak.”
Salsha membungkuk sopan ketika Iqbaal tengah mendorong pintu ruangannya.
“Hey! Kita akan makan bersama siang ini. Kerja kamu harus mendapat imbalan besar.”
Iqbaal terkekeh, sejenak masuk ke dalam ruangannya, mungkin hanya untuk menaruh tas laptopnya, lalu setelah itu kembali dengan wajah penuh kode pada Salsha agar mengikuti langkahnya keluar ruangan lagi.
Tanpa sadar kini (namakamu) memperhatikan diam-diam dua makhluk itu. Bola mata (namakamu) terseret ke sudut matanya, mengamati Iqbaal dan Salsha yang sudah kembali melangkah keluar ruangan. Tidak sampai 5 menit mereka baru saja kembali dari pekerjaan yang mengharuskan mereka bersama-sama, kali ini mereka keluar bersama lagi? Makan bersama lebih tepatnya.
'Apa lo gak mikir kalau dia suka sama lo?'
Aish shit! Steffy! Andai saja Steffy tahu, Iqbaal tidak hanya baik pada (namakamu), tapi pada semua karyawannya. Iqbaal tidak pernah memberi batas pada siapa saja untuk menjadi dekat dengannya. Dan informasi ini harus segera (namakamu) sampaikan pada Steffy, agar gadis itu tidak terus meracau bahwa Iqbaal menyukainya.
Jujur, racauan Steffy sangat mengganggu, membuat (namakamu) sedikit melayang. Padahal (namakamu) tidak mau untuk melayang-layangseperti orang kegirangan, takut terhempas dan merasakan sakit yang luar biasa. Dan... Terbukti, saat ini.
*
(namakamu) serasa ingin menutup kedua telinganya untuk tidak mendengar desisan-desisankaryawati senior ketika jam istirahat. Sorot-sorot mata yang terlihat antusias ketika mendapati Iqbaal dan Salsha berada dalam satu meja untuk makan bersama. Mata mereka seolah menemukan mangsa yang patut untuk dijadikan bahan gosip selama jam istirahat.
Hanya 5 suapan yang masuk ke dalam mulut (namakamu), setelah itu ia meninggalkan sisa makanannya, meninggalkan meja yang ia duduki secara tunggal karena sampai hari ini (namakamu) belum menemukan teman untuk makan siang bersama.
Langkah (namakamu) terayun keluar pintu. Seolah tidak melihat pemandangan apapun, padahal ia melewati Iqbaal yang berjarak 5 meter dari langkahnya. Tidak seharusnya (namakamu) seperti itu, selayaknya seorang karyawati, (namakamu) harus menyapa dengan anggukan dan senyum sopan. Tapi... Apa tidak akan mengganggu acara makan siang pasangan serasi itu? Label 'pasangan serasi', (namakamu) dengar dari desisan para karyawati tadi. Padahal (namakamu) tidak melihat ada adegan romantis antara keduanya yang membuat mereka berdua terlihat serasi. (namakamu) mengintip? Ya, dari sudut matanya ia mencuri-curi adegan yang dilakukan Iqbaal dan Salsha. Dan... Tidak ada sesuatu yang menghebohkan terjadi.
“Lebay! Tukang gosip! Berlebihan!” umpat (namakamu), saat ini tangannya tengah mengotak-atik ponsel. Menunggu satu cup coffe yang biasa ia pesan di outlet yang berjarak satu ruko dari tempat makannya tadi.
“Makasih.”
(namakamu) tersenyum, menyodorkan uang pas lalu maraih cup minuman. Langkah (namakamu) kembali terayun, mulutnya mengapit sedotan dari cup minuman di tangan kirinya, sementara tangan kanannya mengotak-atik ponsel. Sempat menjadi paparazi, (namakamu) memotret Iqbaal yang tengah makan berdua bersama Salsha, lalu hasil bidikannya itu ia kirimkan pada Steffy.
Bruk! Byur!
“Aahhhh!”
Sebelum melewati pintu keluar dengan bodohnya (namakamu) menyempatkan diri menabrak seseorang, menyebabkan minuman dalam cup-nya yang masih terisi penuh tertumpahkan.
“Maaf.”
Tangan (namakamu) refleks meraih kotak tissue yang berada di atas meja pengunjung. (namakamu) menarik beberapa lembar tissue lalu menyerahkannya pada korban.
“Kamu gak hati-hati!” rutuk si korban, sibuk menggosok-gosokkan tissue pada kemejanya yang tertumpahi minuman manis itu. “Lengket kan!”
“Maaf, sekali lagi maaf.”
(namakamu) kembali menarik tissue dari kotak dan memberikannya lagi pada gadis yang tidak berhenti mengeluarkan suara kesalnya.
“Dia gak sengaja, Sha,” ucap seorang pria yang berada di samping gadis itu.
Sadarlah (namakamu) saat ini, bahwa ia baru saja menabrak Salsha yang diiringi Iqbaal di sampingnya. Dan dengan bodohnya, tangan (namakamu) refleks menyerahkan ponsel dari genggamannya pada Iqbaal sebelum meraih kotak tissue, agar bisa leluasa membantu Salsha membersihkan kemejanya.
Iqbaal terkekeh pelan, mendapati layar LED ponsel (namakamu) yang masih dalam keadaan on. Terkekeh? Menertawakan tingkah bodoh (namakamu) karena menabrak sekretaris pribadinya? Atau...
“Udah, udah. Kamu bisa pulang duluan, gak mungkin kamu kerja dalam keadaan basah kuyup kayak gini,” ucap Iqbaal, menenangkan Salsha yang sepertinya masih terlihat kesal. “Dan... Kamu, hati-hati. Lain kali harus lebih hati-hati.”
Iqbaal tersenyum, tatapannya terarah pada (namakamu) yang kini mematung.
Tangan (namakamu) terjulur ketika Iqbaal menyerahkan ponsel miliknya. “Sekali lagi, hati-hati,” ulang Iqbaal dengan tatapan jahil. (namakamu) hanya mampu meringis lalu memejamkan matanya sambil mendesiskan kata maaf.
Kini Iqbaal sudah membawa Salsha keluar dari outlet, apakah Iqbaal akan mengantar Salsha pulang? (namakamu) tidak perduli. Lututnya kembali melemas. Kutukan apa sebenarnya yang Tuhan berikan, sehingga berkali-kali ia harus merasakan malu yang luar biasa di hadapan Iqbaal?
Drt... Drt... (namakamu) merasakan ponselnya bergetar.
'Cuma makan berdua, bukan berarti Iqbaal bisa dekat sama setiap bawahannya. Bisa jadi lo lebih spesial'
“Ha?”
Kening (namakamu) berkerut ketika sebuah pesan dari Steffy menghiasi layar ponselnya.
“Ya Tuhan!”
(namakamu) merasakan kakinya seakan lumpuh, sehingga saat ini ia harus menjatuhkan tubuhnya pada kursi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari jangkauan.
Mencoba memutar kembali kejadian beberapa detik lalu. Setelah (namakamu) mengirimkan gambar itu... (namakamu) sempat memberikan ponselnya pada Iqbaal agar gerakannya lebih laluasa untuk membantu Salsha tadi. Apa Iqbaal melihat gambar ini? Apa Iqbaal tadi terkekeh karena melihat gambar ini pada layar ponsel (namakamu)?
“Ohhh... Kutukan macam apa ini Tuhan ToT.” (namakamu) benar-benar ingin menangis dengan suara meraung kencang.
*
(namakamu) menjatuhkan tubuhnya di atas kursi kerja. Lututnya yang lemas kini berangsur membaik. Ia pikir ia tidak akan mampu kembali ke dalam gedung dengan cara melangkahkan kakinya. Alternatif gila untuk mengesot kembali terpikir ketika ia merasakan lututnya benar-benar lemas. Namun ternyata ide mengenaskan itu tidak terealisasi karena lututnya yang sudah mulai kuat menopang berat badan ditambah dengan bobot rasa malu yang ditanggungnya, walaupun memang ia menghabiskan waktu 7 menit untuk telat ketika batas waktu istirahat habis.
“Apa ini?”
Tatapan (namakamu) terganggu ketika menangkap bayangan benda di hadapannya, sebuah cup minuman. Ia berharap ini bukan halusinasi fatamorgana karena rasa sesalnya menumpahkan satu cup penuh minuman yang baru ia minum sekali hisap.
'Lain kali hati-hati. Coffee-nya diganti orange juice aja. Lebih sehat. Oh iya, lain kali jadilah seorang paparazi yang profesional'
Setelah lututnya berangsur membaik, kali ini (namakamu) merasakan lagi lemas yang luar biasa. Iqbaal? Pasti minuman dan pesan pada secarik kertas dalam genggamannya ini dari Iqbaal. Benar kan? Iqbaal mengetahui foto yang (namakamu) ambil tadi. Mati lah (namakamu).
***
Angin malam mengharuskan (namakamu) mengeratkan ujung balzernya agar lebih rapat tertutup. Malam ini lembur lagi, tapi tidak masalah, kali ini hampir seluruh karyawan melakukan pekerjaan dalam waktu tambahan karena ada project baru yang harus mereka selesaikan dalam waktu dekat.
(namakamu) memeluk tubuhnya sendiri erat-erat, melangkah dengan gerakan tergesa menyusuri trotoar di depan pelataran kantornya. Menggigit-gigitbibir bawahnya untuk menahan getaran karena udara dingin. Angin yang bertiup terasa sangat lembab seakan menerbangkan kadar air yang cukup banyak. Telapak tangan (namakamu) kini bergerak menutupi kedua sisi wajahnya karena rambut yang menutupi sisi wajahnya kini tersibak angin.
“(namakamu)!”
Tiba-tiba seseorang menyejajarkan langkahnya dengan (namakamu). (namakamu) menghentikan langkahnya sejenak, menatap laki-laki yang kini berdiri di samping kirinya. “(namakamu), aku...”
Belum sempat laki-laki itu bersuara lebih banyak, (namakamu) sudah mengambil langkah cepat meninggalkan laki-laki itu. “Aku tahu kamu marah, aku tahu kamu benci sama aku, aku tahu perasaan kamu!”
“Apa? Kamu tahu perasaan aku?”
Tiba-tiba (namakamu) merasakan udara hangat menyeruak di sekitar dadanya, (namakamu) tidak merasakan lagi udara dingin yang menggigit tubuhnya, karena ia rasakan desiran darah di dalam tubuhnya saling berkejaran.
“Kejadian kemarin. Aku bisa terima kalau kamu marah ketika lihat aku sama Bella.”
“Ohhh... Jadi nama cewek itu Bella? Salam kenal dari (namakamu), okey?”
(namakamu) sempat tersenyum sarkastik sebelum akhirnya kembali melangkahkan kakinya.
“(namakamu)!”
Pergelangan tangan kanan (namakamu) berhasil di cengkram kuat, sehingga gerakan (namakamu) terhenti.
“Berhenti bertingkah konyol kayak gini, Karrel! Ini lingkungan kerja aku! Kamu jangan bikin aku malu!”
(namakamu) mencoba menepis-nepis tangannya yang berada dalam cengkraman Karrel.
“Kalau kamu mau berbicara baik-baik dan gak berontak kayak anak kecil gini, aku gak akan bikin kamu malu!”
Tatapan Karrel teralih ketika mendapati beberapa orang karyawan yang melintas di hadapannya, namun sama sekali tidak mengurangi kadar erat pada cengkramannya.
“Lepas,” desis (namakamu) dengan wajah meringis. Sebelah tangannya seolah ingin meraih sesuatu untuk menjadikan tarikan agar terlepas dari Karrel, namun tidak ada benda yang bisa ia jangkau dalam jarak dekat.
“Aku cuma mau kamu maafin aku.”
Karrel menatap nanar. Mungkin saat ini hatinya telah kembali dan tersimpan rapi di dalam rongga tubuhnya, sehingga ia dapat merasakan rasa bersalahnya pada (namakamu).
(namakamu) menghentikan sikap berontaknya, balas menatap Karrel, menciptakan suasana kooperatif, ia sadar sikapnya tadi kekanak-kanakan. “Kalau aku maafin kamu, kamu mau putusin cewek itu dan kembali sama aku?”
Sejenak Karrel tertegun. Tidak ada suara yang keluar dari mulut Karrel sehingga desahan angin malam yang menyeok dedaunan semakin terdengar.
“Hm?”
(namakamu) kembali meminta jawaban tanpa mengulangi pertanyaannya.
Karrel menggeleng, “Aku rasa, aku lebih mencintai... Bella.”
“Aishh!”
Laki-laki autis! Sikap kooperatif (namakamu) kini berubah menjadi pemberontakan brutal. (namakamu) berusaha melepaskan lengannya lagi dari cengkraman Karrel seraya menghentak-hentakkan kakinya. “Lepas bodoh!”
(namakamu) kembali mencak-mencak.
“(namakamu)! Berhenti bersikap kekanak-kanakankayak gini! Aku cuma mau nganter kamu pulang, ini udah malem. Aku gak mungkin ngebiarin kamu naik busway malem-malem gini.”
“Berhenti sok perduli, Karrel! Lepas!”
Karrel menggeleng, cengkramannya lebih kuat dan kali ini ia menyeret (namakamu) untuk mengikuti langkahnya. (namakamu) sempat menahan sikap Karrel, namun tenaga Karrel ternyata jauh lebih kuat dari yang ia pikirkan. Pemberontakan (namakamu) tidak berarti apa-apa. Sampai akhirnya,
“Karrel!”
(namakamu) merasakan hak sepatu pada kaki kanannya menancap pada sela paving block yang ia pijak. Tarikan Karrel menghasilkan (namakamu) yang kini terjerembab dan lutut kanannya yang sudah menghantam pavingan.
Brk! (namakamu) mendengar ada suara yang tidak mengenakan. Tidak perduli lututnya yang kini sudah melelehkan darah, namun suara itu benar-benar menarik perhatiannya. Posisinya terjatuh saat ini menghasilkan robekan panjang pada sisi kiri rok span yang ia kenakan.
“Ya Tuhan! (namakamu)? Aku gak sengaja.”
Belum sempat Karrel berjongkok menghampiri (namakamu), tiba-tiba,
Dugh! Sebuah kepalan tangan mendorong pundak Karrel dengan kencang, bukan pukulan, melinkan hanya dorongan kencang *samakah?-_-* yang menyebabkan Karrel sedikit berjengit mundur.
“Pergi!” Ucapan pelan itu disertai tertutupnya paha (namakamu) oleh sebuah jas hitam. Robekan pada rok (namakamu) kini berhasil tertutupi.
“Pergi!”
Kali ini ucapan pelan itu sedikit menghentak, mengerikan.
“Hak pantofel akan terasa lebih sakit ketika menghantam kening dibandingkan dengan hak stiletto jika saya yang menghantamkannya!”
Karrel mendecih, tatapannya terlihat sebal karena di hadapannya kini seorang pria sebaya berdiri dengan wajah tenang namun mengancam. Menyadari para pegawai yang baru saja keluar dari lobi bergerumul di kejauhan, akhirnya Karrel memutuskan untuk mengalah. Sekilas menatap (namakamu) dengan desahan penyesalan, lalu pria itu melangkah menjauh.
“Kamu gak apa-apa?”
Iqbaal, laki-laki itu berjongkok di samping (namakamu)yang kini masih terduduk. Tangan Iqbaal menyibak jas hitam yang menutupi paha (namakamu).
“Ish!”
(namakamu) menepis kencang tangan Iqbaal dan kembali menutupi bagian roknya yang robek, bagian itu benar-benar mengekspos pahanya yang terbuka.
“Aku cuma mau lihat lutut kamu, lagian sebelum aku tutupin aku udah lihat paha kamu tadi.”
Perkataan Iqbaal terdengar santai, tidak perduli melihat aliran darah (namakamu) naik ke atas permukaan wajahnya.
“Sini!”
Iqbaal kembali menyibakan jas hitamnya, kali ini hanya untuk melihat lutut (namakamu). “Kok bisa gini sih?” tanyanya heran.
(namakamu) tidak menjawab, wajahnya menunduk menatap luka yang berdiameter 3 cm pada lututnya. Sempat tertegun ketika Iqbaal berkali-kali meniupi luka di lututnya, ada beberapa debu kotor yang mengelilingi sekitar luka. “Tunggu sebentar, ya!”
Iqbaal bangkit lalu berlari menjauh, tangannya merogoh saku celana, meraih beberapa lembar uang sepertinya.
(namakamu) berdecak, mau kemana laki-laki itu? Meninggalkan (namakamu) di sisi trotoar sendirian dengan luka seperti ini, memalukan. Tidak pernah terpikir sebelumnya ia akan terjatuh seperti ini, seperti anak kecil saja terjatuh di pinggir jalan. Terakhir kali (namakamu) terjatuh itu saat umurnya 11 tahun, itu pun ketika kakinya tidak sengaja tersandung batu, bukan karena ditarik-tarik oleh laki-laki sialan T..T. Karrel jahat sekali! Walaupun (namakamu) tahu, Karrel tidak sengaja membuatnya seperti ini, tapi tetap saja ini semua berkat tingkah Karrel, kan?
Tatapan (namakamu) mengedar, mengingat nama Karrel membuat (namakamu) merasa takut tiba-tiba laki-laki itu kembali muncul dan berlari menghampirirnyalalu menariknya lagi. “Iqbaal, cepetan ToT.”
Tidak lama suara tepukan alas sepatu pantofel kembali terdengar mendekat, disertai nafas yang memburu dan sesekali letupan-letupannafas sesak. Laki-laki itu kini sudah berada di di hadapan (namakamu), duduk dengan kaki menjulur terbuka menghadap (namakamu). Tidak perduli tingkahnya itu disaksikan beberapa pasang mata karyawan yang melangkah melewatinya dengan anggukan sopan dan senyum bingung.
Tangan Iqbaal mengeluarkan sebuah botol dari dalam kantung kresek putih, botol alkohol antiseptik sepertinya. Dan itu, (namakamu) tahu itu akan terasa perih. “Jangan kenceng-kenceng!”
(namakamu) memekik ketika Iqbaal baru saja menumpahkan sedikit alkohol pada potongan kapas.
“Aku kan belum ngapa-ngapain,”ujar Iqbaal heran. Tangannya menutup tutup botol agar cairan di dalamnya tidak segera menguap, “ini cuma buat bersihin luka aja, biar gak infeksi.”
Iqbaal sudah menempelkan kapas basah itu pada luka (namakamu). Gerakannya memang lembut, tanpa menekan, hanya menyeret debu dan tanah kotor yang berada di sekitar luka, namun itu mampu membuat (namakamu) memekik kencang.
Telapak tangan kanan (namakamu) membungkam mulutnya sendiri, menahan jeritan ketika lukanya terasa terbakar karena sentuhan kapas itu. Perih. Tangan kirinya meremas pangkal lengan Iqbaal tanpa sadar, entah kencang atau tidak (namakamu) tidak tahu, namun yang ia lihat saat ini wajah Iqbaal juga ikut meringis.
“Tahan sebentar.”
Iqbaal meraih potongan perban yang sudah ditumpahi obat luka, ditempelkan pada luka (namakamu) perlahan, setelah itu direkatkan dengan plaster.
(namakamu) belum berhenti meringis, merintih, lebih parah bahunya bergetar merasakan perih yang lumayan menggigit lututnya.
“Udah. Udah selesai.”
Iqbaal tersenyum, menatap (namakamu) yang masih membungkam mulutnya sendiri. Sempat sedikit terkekeh melihat ekspresi (namakamu) yang masih meringis kesakitan.
Iqbaal berdiri, lalu menjulurkan tangannya, disambut dengan (namakamu) yang kini mencengkram kedua telapak tangan Iqbaal, menjadikan tangan kekar itu topangan untuk berdiri. Sejenak Iqbaal melingkarkan tangannya pada pinggang (namakamu) ketika gadis itu mampu berdiri dengan benar, membenarkan posisi jasnya agar menutupi bagian rok (namakamu) yang robek parah, mengikatnya kencang-kencang. Lalu,
“Aku tahu kamu susah untuk jalan, kan? Naik!”
Iqbaal tiba-tiba berjongkok di hadapan (namakamu).
Apa maksudnya? (namakamu) malah mematung, apakah ia harus menjatuhkan tubuhnya pada punggung Iqbaal? Oh Tuhan, ini memalukan.
“(namakamu)? Hak sepatu kamu gak mungkin nganter kamu buat sampai ke parkiran, kan? Dan kamu gak mungkin jalan dengan kaki telanjang, kan? Naik!”
'Apa lo gak mikir kalau dia suka sama lo?' (namakamu) kembali mengingat kalimat Steffy. Tiba-tiba (namakamu) menggeleng. Lupakan! Lupakan! Sepertinya Iqbaal juga akan melakukan hal yang sama jika kejadian ini menimpa Salsha, atau karyawati lain, 'mungkin'.
Yakin Iqbaal akan melakukan hal ini pada karyawati lain? (namakamu) mulai plin-plan.
Tuk! Kepalan tangan Iqbaal mengetuk pelan kening (namakamu). “Hak sepatu pantofel aku kurang tinggi buat pukul kening kamu. Naik (namakamu)!”
Perintah itu pelan, namun terdengar kontaminasi nada kesal. (namakamu) meringis, lalu kali ini dengan mata terpejam ia menjatuhkan tubuhnya pada punggung Iqbaal.
Bersambung~
Oh iya, selamat berlibur \:D/ *telat ya:D*

Karya : @citranovy (Novy Citra Pratiwi)

Follow Twitterku juga ya mate! @_BayuPrasetya

Like FanPage'nya di https://www.facebook.com/profile.php?id=379969348803380&ref=stream&refid=52&__tn__=C

No comments:

Post a Comment

Situs terkait