_______
“Apa aku harus mukul dia lagi?”
Iqbaal memutar lehernya, menatap (namakamu) yang masih sibuk terisak dibelakangnya.
(namakamu) menggeleng.
“Ok! Saya sudah bilang sebelumnya, walaupun bukan hak stiletto, namun jika saya yang menghantamkannya maka itu akan terasa lebih sakit.”
Ucapan Iqbaal terdengar datar dan pelan, namun tetap terdengar menyebalkan di telinga Karrel. Setelah itu Iqbaal berjongkok, memakaikan sepatu pada kaki (namakamu), lalu menarik (namakamu) untuk menjauh dari Karrel.
***
Srttt... Tarikan-tarikanmie instan sudah terlepas dari kuahnya dan mulai masuk ke dalam mulut (namakamu). Iqbaal ada di hadapannya, baru saja selesai membuat semangkuk mie instan lagi, setelah tadi ia membuatkan untuk (namakamu). Gadis patah hati itu, terlihat kelaparan, karena hanya ada cadangan mie instan di sini, takut (namakamu) terburu mati dan mengeluarkan buih dari mulutnya maka Iqbaal segera membuatkan makanan seadanya.
Iqbaal menarik kursi agar posisinya bisa lebih dekat dengan (namakamu), karena kini Iqbaal melihat (namakamu) sudah menyelesaikan acara makannya, mangkuk gadis itu sudah kosong, dan mulut gadis itu mengambil ancang-ancang untuk berbicara.
“Aku sama Karrel udah pacaran 5 tahun.”
“Aku tahu, ketika kamu mabuk tempo hari-”
Ucapan Iqbaal terhenti ketika (namakamu) menatapnya dengan wajah kesal. “Ketika kamu gak sadarkan diri—gak enak banget gak sadarkan diri.”
Iqbaal memprotes kalimatnya sendiri. Setelah itu, Iqbaal memilih mengkatup mulutnya. Diam. Biarlah kali ini (namakamu) bercerita dalam keadaan sadarnya dan Iqbaal mulai menyibukkan diri mengaduk-aduk mie-nya.
“Lima tahun lalu, ketika aku SMA. Karrel nyatain perasaannya sama aku—”
“Waktu itu kamu bilang, kamu yang nembak Karrel?”
Hening...
Iqbaal menyadari (namakamu) mulai kesal dengan kalimat selaannya. Iqbaal membuang pandangannya asal, tangan kanannya bergerak menggapai-gapaisaus sambal di tengah meja.
“Dulu dia janji gak akan ninggalin aku. Nyatanya? Dasar laki-laki! Sama semuanya! Brengsek! Gak punya hati! Gak punya otak! Autis! Tunjukin laki-laki mana yang normal di dunia ini?!”
(namakamu) menatap Iqbaal yang kini tengah susah payah menelan mie instan dari gulungan garpunya. Sadarkah (namakamu) saat ini ia tengah berbicara dengan seorang laki-laki? Iqbaal berdeham, tanpa komentar, seolah tidak mendengar racauan tanpa sadar yang keluar dari mulut gadis itu. Masih terfokus pada mie instan yang berada di mangkuknya.
‘Tidak sadar ataupun sadar, ternyata sama saja.’
Iqbaal bergumam dalam hati.
“Gak pernah terpikir sebelumnya, dia bakalan ninggalin aku.”
(namakamu) perlahan menaikan kedua kakinya ke atas kursi. Melipat tangannya di atas kedua lutut dan menjadikan alas wajahnya untuk menelungkup. Mulai terdengar isakkan.
“Ashhh!”
Iqbaal memutar bola matanya dengan kesal. Haruskah gadis itu selalu menangis ketika mengingat nama Karrel? Tangan kiri Iqbaal menepuk-nepuk punggung (namakamu), sementara tangan kanannya sibuk menggulung mie dan memasukan ke dalam mulutnya. “Jangan nangis, nanti kita pukul Karrel pake sepatu kuda, ya?”
Iqbaal berbicara seraya mengunyah.
(namakamu) mengangguk pelan, lalu menengadahkan wajahnya, melihat mangkuk Iqbaal yang masih terisi, (namakamu) refleks menarik mangkuk itu untuk mendekat. “Aku masih laper,” ucap (namakamu) dengan tampang meminta belas kasihan. Iqbaal hanya manggut-manggut, kemudian memberikan sebuah garpu bersih dari kotak sendok di hadapannya. Apapun, apapun yang (namakamu) mau, asalkan tidak menangis lagi.
“Makan lagi,” ucap Iqbaal seraya tersenyum. Tidak butuh waktu yang lama ternyata untuk dekat dengan gadis ceroboh ini.
(namakamu) sedikit menggeser mangkuk agar jaraknya tidak terlalu jauh dari jangkauan Iqbaal, mengisyaratkan Iqbaal untuk makan bersama. Iqbaal tersenyum, lalu ikut menggulungkan mie pada mangkuknya lagi, membuat gulungan mie pada garpunya dan garpu (namakamu) saling membelit, sehingga mereka harus saling menarik sebelum memakannya. Perang garpu terjadi di salam sebuah mangkuk, dan tingkah itu membuat mereka berdua sesekali tertawa.
Drt... Drt... Ponsel Iqbaal yang berada di atas meja makan kembali mengeluarkan getaran. Menghentikan tingkah konyol mereka, karena kini Iqbaal meraih ponsel dan membuka speaker telepon.
“Hallo?” sapa Iqbaal. Sedetik kemudian senyumnya mengembang.
Suara apa yang Iqbaal dengar di seberang sana? (namakamu) benar-benar penasaran. Ingin sekali rasanya (namakamu) merampas ponsel itu dan meng-klik tulisan 'loudspeaker' agar dapat mendengar suara seseorang di seberang sana yang membuat Iqbaal saat ini tersenyum.
“Ok. Lain kali, semoga kita bisa ketemu--atau mungkin kita jalan bareng kesana?”
Iqbaal terkekeh setelah mengakhiri kalimatnya.
Jalan bareng? Siapa? Siapa yang Iqbaal ajak untuk ‘jalan bareng’? Garpu (namakamu) seperti berubah menjadi linggis besar yang siap menancap perut Iqbaal. Bayangan di kepala (namakamu) saat ini berkelebat si cantik Salsha yang semampai tengah berbicara sok lembut dengan Iqbaal di seberang sana.
“Ok. Sampai ketemu besok.”
Iqbaal mengakhiri teleponnya dengan senyum yang masih belum lepas. Namun, ketika Iqbaal menatap (namakamu) yang kini tengah menatapnya, senyumnya tiba-tiba mengendur. Iqbaal menaruh ponselnya, tangan kanannya kembali meraih garpu.
“Aaa...”
Mulut Iqbaal menganga, mengisyaratkan agar (namakamu) membuka mulutnya.
“Kenyang,” tolak (namakamu), tangannya meraih selembar tissue pada kotak di tengah meja makan. Iqbaal hanya mengangkat kedua alisnya, lalu menggeser mangkuknya untuk kembali berada di hadapannya.
***
12 Sept 2014
“(namakamu)! Duh!”
Steffy menghentak-hentakkan kakinya di ambang pintu kamar (namakamu).
“Apaan, sih, Steff?”
(namakamu) yang tengah sibuk mencondongkan tubuhnya ke cermin sekilas menatap Steffy, lalu kembali fokus mengukir setengah lingkaran eyeliner pada garis matanya. Meraih lipgloss merah muda, melukiskannya di bibir, sempat (namakamu) menyecap-nyecapbibirnya sendiri untuk merasakan rasa lipgloss dengan wangi strawberry yang menyeruak.
“Iqbaal di depan nungguin lo!”
“Boong!” tukas (namakamu), tidak percaya.
“Errrgghh. Buat apa gue boong! Kasihan dia nunggu lo kelamaan!”
“Lo boong,” ucap (namakamu) santai, kali ini (namakamu) tengah memasukan lengan kanannya pada lengan blazer.
“Steffy gak boong.”
(namakamu) menoleh ke arah suara itu berasal. “Iqbaal?” pekik (namakamu), mendapati Iqbaal tengah menyandarkan pangkal lengan kanannya pada kusen pintu kamar. “Lima menit, ya. Sebentar lagi ada job fair untuk Divisi R & D, loh! Jangan sampai kamu terdepak sama karyawan baru,” ucap Iqbaal, peringatan kecil yang menyebalkan, setelah itu Iqbaal melangkahkan kakinya keluar diiringi siulan santai.
“Ohhh... Untuk apa dia datang kesini kalau cuma bikin gregetan?!”
(namakamu) memaksakan lengan kirinya untuk masuk ke dalam lengan blazer, tidak sempat membereskan renda kemeja pada bagian dadanya yang bergerumul tidak beraturan. Lima menit, (namakamu) memakaikan stilettonya seraya melangkah tergesa keluar pintu.
“Udah?”
Iqbaal kini terlihat tengah menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil. Menatap (namakamu) yang kini menghampirinya dengan langkah tergesa.
“Lain kali aku bisa naik busway!” ujar (namakamu), ketika sudah sampai di hadapan Iqbaal. Iqbaal hanya terkekeh tanpa berkomentar, tangan kanannya bergerak membukakan pintu mobil agar (namakamu) bersegera masuk.
***
Sehari ini (namakamu) benar-benar banyak mengumpat. Pekerjaannya tidak kunjung selesai, seolah seperti lingkaran berantai yang tak kunjung terputus. Pekerjaan satu belum selesai sudah datang pekerjaan dua, pekerjaan dua belum selesai sudah datang pekerjaan tiga, dan begitu seterusnya.
Apakah seisi ruangan ini sudah mendengar gosip kedekatan (namakamu) dengan Iqbaal? (namakamu) merasakan aura-aura iri mengelilingi dirinya saat ini. Oh Tuhan... Kejam sekali. Padahal hingga hari ini (namakamu) belum menemukan teman kerja yang bisa diajak bergosip untuk menemaninya makan siang, dan gosip itu menyeruak membuat semua karyawan seruangan seolah menjauhinya. Sampai kapan ia harus menikmati waktu istirahat sendiri? Makan sendiri seperti orang bodoh dan terdiskriminasi. Menyedihkan T..T
“Jam kerja udah habis.”
Tangan kekar itu menangkupkan jilid map yang tengah terbuka di hadapan (namakamu).
“Hoh... Ayolah! Jangan ganggu saya untuk saat ini, Pak Iqbaal. Pekerjaan saya masih menumpuk.”
(namakamu) kembali membuka jilid map, jari telunjuknya menelusur batas data yang tadi ia sempat ketik.
“Bisa dikerjain besok, ‘kan? Sekarang waktunya pulang.”
Tangan Iqbaal dengan jahil menutup lagi map yang berada di hadapan (namakamu), membuat gadis itu kesal dan menggebrak meja kerjanya. Jelas saja suara itu membuat sorot mata sisa karyawan teralih dengan tampang bertanya, ‘ada apa?’
“Ini bukan apartemen saya, (namakamu). Jadi anda tidak bisa berlaku seenaknya seperti itu.”
Iqbaal menyandarkan tubuhnya—seolahduduk—pada meja kerja (namakamu). Menatap (namakamu) yang kini kembali menelusurkan telunjuknya pada kertas berkas.
“Saya sepertinya harus lembur. Anda bisa pulang duluan,” ucap (namakamu) sekilas menatap Iqbaal lalu tatapannya kembali terjatuh pada kertas-kertas memuakan di hadapannya.
Iqbaal mengangguk. Setelah itu langkahnya terayun meninggalkan (namakamu) tanpa pamit.
“Asshhh! Laki-laki! Hanya basa-basi!” umpat (namakamu) ketika menatap kepergian Iqbaal. Hatinya sedikit melengos mendapati Iqbaal yang kini tidak ada di sampingnya. Apakah keputusannya ini benar? Memaksakan dirinya lembur untuk menyelesaikan semua pekerjaannya? Jika tidak lembur, lalu bagaimana dengan tumpukan pekerjaan hari ini yang tidak beres ketika digabungkan dengan pekerjaannya besok ToT. Tolong T..T
“Hai!”
Selang 15 menit, debuman pintu ruangan terdengar terbuka dengan kencang. Langkah pantofel lembut itu terdengar bertepuk mendekat. Iqbaal, dengan jas yang ia gantungkan pada pundak kanannya, lengan kemeja yang sudah tergulung 3/4, dan... tangan kanannya menjinjing kresek putih.
Suara deritan terdengar ketika Iqbaal menyeret sebuah kursi untuk duduk di samping (namakamu).
“Aku gak tahu makanan kesukaan kamu, jadi—kenapa?”
Iqbaal menatap (namakamu) yang tengah menatapnya dengan berbagai kebingungan.
Iqbaal sejenak mengedarkan pandangannya. Di dapati 10 orang karyawan dan 1 orang karyawati yang berada di dalam ruangan menatap ke arahnya, setelah tatapan itu terpergok, mereka seolah kembali sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
“Ini di luar jam kerja aku, ‘kan? Jadi sekarang aku bukan berlaku sebagai bos kamu. Anggap aja aku ini temen kamu yang nemenin kamu lembur, jadi gak ada salahnya juga ‘aku’ manggil ‘kamu’. Hm?”
(namakamu) menggeleng pelan, ‘terserah’, lalu kembali menjatuhkan tatapannya pada lembaran berkas di hadapannya.
Iqbaal kembali bangkit dari posisinya, mengeluarkan isi kantung yang ternyata ada beberapa cup kopi di dalamnya. “Semangat kerjanya, ya.”
Iqbaal membagikan satu cup kopi beserta makanan ringan lainnya pada semua karyawan yang tersisa di ruangan. Ucapan ‘terimakasih’ dan decakan kagum saling bersahutan.
(namakamu) menggeleng, “laki-laki aneh,” gumam (namakamu).
“Dan ini, untuk saudara (namakamu). Selamat dinikmati.” Iqbaal tersenyum, lalu kembali duduk di samping (namakamu). Meraih selembar kertas tidak terpakai untuk iseng di coret-coret.
***
18 Sept 2014
(namakamu) dan Iqbaal tengah duduk berdampingan di sofa. Posisi duduknya merosot, dengan kaki mereka yang terjulur bertopang di atas meja. Layar LED tv tengah menampilkan adegan-adegan romantis sepasang kekasih yang tengah berlari dalam derasnya hujan. Drama sekali.
‘Aku selalu ingin menjadi yang terbaik untukmu. Tapi laki-laki itu lebih baik untukmu, percaya lah.’ Dialog seorang pria yang tengah memegangi lengan wanita yang dicintainya membuat mata (namakamu) mulai berair.
‘Tapi hanya kau laki-laki yang aku cintai.’
‘Cintaku tidak berarti ketika kau bisa hidup bahagia dengan materi berlimpah bersama laki-laki itu. Berusahalah untuk mencintainya.’
‘Aku—’
‘Aku mencintaimu. Dengan segenap akalku aku mencintai mu, sampai mati aku ingin tetap mencintaimu, melihat kau tetap hidup bahagia di dunia ini. Jika kau bersamaku, kau akan mati! Karena aku tidak memiliki banyak uang untuk membutmu tetap hidup.’
‘Oppa. Aku mencintaimu. Aku benar-benar mencintaimu. Jeongmal saranghaeyo, Oppa.’
Wanita itu memeluk erat pria yang dicintainya. Dalam rinai hujan yang membasahi mereka berdua, mereka menumpahkan cinta yang tidak luntur terguyur air hujan.
“Hks... Hks...”
Bahu (namakamu) bergetar hebat, bantal kursi digigitnya kuat-kuat agar suara tangisnya tidak terdengar. Namun tetap saja, Iqbaal yang duduk di sebelahnya mampu mendengar tangis itu. Penggalan adegan film drama mellow korea itu membuat air mata (namakamu) membanjir. Durasi satu setengah jam (namakamu) lalui dengan menangis selama setengah jam di adegan terakhir.
Iqbaal menoleh, menepuk-nepuk pundak (namakamu), membelai puncak kepala (namakamu). Dilihatnya gadis di sampingnya itu menangis semakin hebat. Iqbaal beranjak dari duduknya, melangkah menuju meja makan untuk meraih sebuah kotak tissue.
“Jangan nangis,” ucap Iqbaal, menyerahkan dua lembar tissue pada (namakamu).
“Dasar laki-laki bodoh! Katanya cinta,” umpat (namakamu), mengomentari sikap peran sang aktor pada film yang tengah ia tonton.
“Setiap orang mengungkapkan cinta dengan cara yang berbeda,” ujar Iqbaal, tangannya kembali menarik selembar tissue untuk diberikan pada (namakamu), karena gadis itu ternyata masih terisak.
“Lebih baik mati bersama dengan cinta, ‘kan? Daripada harus melepas pasangannya dengan alasan cinta.”
(namakamu) menoleh, matanya yang memerah karena menangis seolah meminta tanggapan Iqbaal.
Iqbaal menggeleng pelan. “Cinta sejati gak selamanya harus seperti itu, kayak Romeo & Juliet yang harus mati bersama.”
“Hhhh... Sayangnya aku penjunjung tinggi cinta sejati Romeo & Juliet.”
(namakamu) menggulung tissue terakhirnya. Tulisan berjalan turun pada layar tv sudah menunjukkan bahwa film itu sudah berakhir.
Iqbaal meraih remote televisi. “Aku bilang apa, ‘kan? Kenapa kita gak habisin hari Minggu ini sama film action? Biar kamu gak nangis-nangis kayak gini.”
“Aku gak suka film action.”
Pandangan kabur (namakamu)—karena baru saja selesai menangis—menatap keluar jendela. Ternyata di luar sana masih hujan, padahal hari sudah siang.
Rencana awal, (namakamu) dan Iqbaal akan melakukan jalan-jalan pagi lagi ke taman kota untuk melihat daun-daun kuning yang berjatuhan. Tapi, karena hujan yang sejak pagi mengguyur belum berhenti hingga siang ini, membuat (namakamu) dan Iqbaal tertahan di dalam apartemen. Keduanya sempat keluar sejenak untuk membeli makanan dan beberapa kaset film untuk mengisi waktu membosankan seharian ini, karena sepertinya hujan masih berjuang untuk terus jatuh.
(namakamu) memposisikan tubuhnya tidur dengan kaki menekuk—menyadari Iqbaal yang masih duduk satu sofa dengannya—kepala (namakamu) beralaskan lengan sofa.
“Apa lagi, ya?”
Iqbaal memilah-milah beberapa kaset dvd film drama mellow korea yang ia beli bersama (namakamu) tadi. “Kenapa harus korea, sih? Mianhae, saranghaeyo, bogoshipo? Bahasanya kedengeran aneh, jadi gak terkesan romantis,” protes Iqbaal. Karena selama menonton film tadi merasa terganggu dengan dialog, teriakan, dan sahutan setiap pemain. Iqbaal sesekali meringis kebingungan selama menonton.
“Gak usah mikirin bahasa yang mereka ucapkan, tapi artinya. Arti-artinya yang romantis,” bela (namakamu). Gadis itu bangkit dari baringannya, lalu merebut beberapa keping kaset dari tangan Iqbaal.
“Flatshoes.”
(namakamu) terkekeh membaca salah satu judul film dari cover kaset. “Baca flat shoes jadi inget kamu,” lanjut (namakamu).
“Mmm... Pertama kali ketemu, karena flat shoes,” timpal Iqbaal, laki-laki itu tersenyum tipis.
“Setiap gadis mengatakan nyaman jika kakinya berada dalam flat shoes. Tanpa perlu paksaan untuk berpijak pada hak tinggi. Melemaskan kaki sesukanya. Dan saat ini, mulai injak flatshoes-mu senyamannya kau melangkah. Karena... Flat shoes-mu adalah aku.”
(namakamu) membaca tulisan kecil di bawah judul film. Penggalan dialog yang terdapat di dalam film, mungkin.
“Kata-katanya bagus.” *siapa dulu yang ngarangnya -,-*
Iqbaal memberikan komentar. Tangannya meraih cover kaset dalam genggaman (namakamu).
“Andai aja ada laki-laki yang mau jadi flat shoes buat aku,” harap (namakamu), tatapan matanya menerawang.
“Aku. Aku mau jadi flat shoes kamu. Setiap gadis mengatakan nyaman jika kakinya berada dalam flat shoes. Tanpa perlu paksaan untuk berpijak pada hak tinggi. Melemaskan kaki sesukanya. Dan saat ini, mulai injak flatshoes-mu senyamannya kau melangkah. Karena... Flat shoes-mu adalah aku.”
Iqbaal mengulangi kata-kata yang baru saja (namakamu) ucapkan, membaca kata-kata pada cover kaset.
(namakamu) terkekeh geli, menepuk-nepuk pundak Iqbaal. “Terimakasih, flat shoes-ku!” gurau (namakamu) di sambut senyuman tipis dari Iqbaal.
“Aku serius.”
Iqbaal menarik tangan (namakamu). “Berlakulah senyaman yang kamu mau di depan aku. Jangan perduli aku terinjak, terkotori, berdebu. Yang penting, kamu nyaman.”
“Apa sih!”
(namakamu) menepis pelan lengan Iqbaal. Entah mengapa gadis itu kini merasakan air matanya bergerumul, kembali bermain-main di sudut matanya. “Hffhhhh... Drama tadi sedih ya, sampai-sampai aku nangis lagi.”
(namakamu) menengadahkan wajahnya. Berharap air-air menyebalkan itu segera menguap pergi.
Iqbaal tersenyum, kembali menarik selembar tissue untuk (namakamu). “Oh ya! Besok aku ada janji, mau ketemu sama temen lama aku sepulang kerja.”
Iqbaal mengalihkan fokus pembicaraan.
“Oh ya? Ok. Aku bisa pulang sendiri.”
(namakamu) tersenyum, lalu meraih tissue dari dalam kotak yang berada di atas meja, lagi. Hidungnya mampet.
“Bukan gitu! Besok kamu temenin aku, buat ketemu temen lama aku itu. Gimana? Mau ya?” ajak Iqbaal, berharap (namakamu) menyetujui.
(namakamu) hanya manggut-manggut, tidak bersuara, karena kini sibuk menghilangkan mampet pada saluran hidungnya.
***
19 Sept 2014
“Weyyy! Brother!”
Aksi saling peluk dan saling pukul pundak yang biasa dilakukan pria kebanyakan itu terjadi. (namakamu) hanya bisa tersenyum mendapati dua sahabat pria yang entah sejak kapan tidak bertemu.
“Kenalin, ini (namakamu). (namakamu), ini Bastian temen aku waktu kuliah dulu,” ucap Iqbaal. Wajahnya terlihat memendarkan kebahagiaan ketika mampu mengenalkan (namakamu) di hadapan Bastian.
“(namakamu),” ucap (namakamu) seraya menjulurkan tangannya.
“Bastian,” balas laki-laki manis sebaya Iqbaal itu.
Setelah perkenalan singkat antara (namakamu) dan Bastian, mereka saling mempersilahkan untuk duduk. Meja persegi yang diisi dua pasang bangku saling berhadapan, (namakamu) duduk di samping Iqbaal, sementara Bastian duduk sendiri didampingi kursi kosong—di hadapan mereka berdua.
“Cantik,” celetuk Bastian tiba-tiba. Membuat Iqbaal tersenyum miring seolah ingin melemparkan tissue yang ada di hadapannya, sedangkan (namakamu) hanya tersenyum malu-malu.
“Kebiasaan lo, gak pernah berubah!”
Iqbaal menggeleng-gelengkan kepalanya, tingkah Bastian tanpa basa-basi dan tanpa aba-aba.
“Pacar Iqbaal, ya?” tanya Bastian tiba-tiba.
(namakamu) dan Iqbaal sejenak saling terdiam, setelah itu saling lempar pandang kebingungan. Mereka malah menggaruk tengkuk masing-masing.
“Mau pesan apa?”
Iqbaal tiba-tiba membabad suasana hening yang terjadi.
“Apa aja,” jawab Bastian ringan, masih belum menyadari keling-lungan yang terjadi antara (namakamu) dan Iqbaal.
Iqbaal mengangguk, tanpa permisi laki-laki itu bangkit dari duduknya dan melangkah menjauh. Sepertinya hendak menghampiri seorang waitress. Meninggalkan (namakamu) dan Bastian yang kini hanya saling lempar senyum hambar. (namakamu) sempat mengumpat Iqbaal yang beranjak dari duduknya tanpa aba-aba. Gadis itu mencuri lirikan ke arah Iqbaal yang kini tengah menunjuk-nunjukbuku menu yang berada di tangan seorang waitress. Setelah mendapat anggukan dari waitress, Iqbaal pun kembali melangkah menghampiri keberadaan (namakamu) dan Bastian.
“Gimana kerjaan lo?” tanya Iqbaal, menyeret kursi untuk kembali duduk di samping (namakamu).
“Masih foto-foto. Ya gitu, lah. Pokoknya kerjaan gue beda jauh sama lo, Direktur Iqbaal.”
Jawaban Bastian membuat kekehan kencang saling bersahutan dari Iqbaal dan (namakamu) terdengar.
“Bastian ini seorang fotografer,” jelas Iqbaal pada (namakamu). (namakamu) hanya mengangguk. Jujur, sebenarnya (namakamu) sama sekali tidak ingin tahu. Tidak perduli fotografer atau foto model *ngawur* (namakamu) tidak mau tahu.
“Kalau kamu mau daftar jadi model juga boleh. Kamu cantik, loh!” puji Bastian, untuk kedua kalinya lagi-lagi membuat senyum malu (namakamu) mengembang. (namakamu) harus menggaruk-garuktengkuknya lagi yang tidak gatal untuk menghilangkan rasa malu.
“(namakamu) jomblo, loh. High class jomblo,” timpal Iqbaal. Ucapan Iqbaal membuat (namakamu) menghentakan tangannya pada paha pria itu.
“Waw! Kebetulan! Kosong sama kosong, bisa saling isi.”
Bastian menunjuk dadanya lalu menunjuk (namakamu) dengan wajah antusias.
Jika itu hanya sekedar lelucon, maka itu benar-benar tidak lucu. (namakamu) benar-benar tidak ingin tertawa, jangankan untuk tertawa, tersenyum pun enggan. (namakamu) malah sibuk menepis keningnya yang mulai ditumbuhi titik-titik keringat. Bukan karena udara panas, bukan karena derajat AC diruangan ini yang kurang turun suhu, melainkan...
“Iya, kebetulan yang sangat bagus,” timpal Iqbaal lagi.
“Baal!” lirih (namakamu), entah mengapa ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Iqbaal saat ini terdengar sangat menyebalkan di telinga (namakamu).
“Kalian bisa saling tukar nomor handphone, loh. Biar lebih deket.”
“Baal!”
Tanpa Iqbaal ketahui mata (namakamu) kini sudah mulai terselimuti air. Ide gila untuk memukul Iqbaal dengan hak stilettonya pupus karena kini Bastian menjentikkan jarinya di hadapan wajah (namakamu).
“Kita bisa lebih dekat sepertinya,” ucap Bastian. “Boleh 'kan, Baal?” tanya Bastian.
Iqbaal mengangguk, pertanda menyetujui ide Bastian untuk mendekati (namakamu). Ini benar-benar terjadi di hadapan (namakamu), dan entah mengapa anggukan Iqbaal seperti menohok kerongkongan (namakamu) saat ini.
“Jahat!”
Desis (namakamu), desisannya sama sekali tidak terdengar, tersapu suara alunan lagu romantis yang terputar, terdengar memenuhi seisi ruangan.
Bersambung~
Karya : @citranovy (Novy Citra Pratiwi)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/profile.php?id=379969348803380&ref=stream&refid=52&__tn__=C
No comments:
Post a Comment