_______
Ting... Dentingan itu terdengar dari arah pintu masuk. Seorang gadis baru saja memasuki ruangan, dengan langkah yang sedikit tidak seimbang dan tubuh yang hendak limbun ia mencoba mengayunkan kakinya untuk memasuki ruangan lebih jauh. Lampu kaca di atasnya memantulkan sinar pada lantai keramik yang saat ini ia tapaki, membuat ia harus sedikit menyipitkan matanya agar kemilau itu tidak masuk terlalu banyak. Jalanan malam yang baru saja ia lalui di luar tadi dengan mata merem melek dan samar-samar, membuat matanya harus menyesuaikan dengan cepat keadaan kontras di hadapannya.
Walau dengan tatapan sedikit kabur, gadis itu masih mampu melihat pajangan etalase dan berbagai rak kaca di hadapannya saat ini yang dipenuhi dengan berbagai jenis sepatu wanita. Mulai dari boots, flat shoes, hingga high heels yang bermacam-macam seperti pump shoes, stiletto, wedges, dan masih banyak lagi, semua sudah terpajang rapi di setiap rak kaca sesuai dengan jenisnya.
Gadis itu kembali melangkah, menghampiri sebuah bangku yang terletak di tengah-tengah rak kaca. Kaki kanannya memakai stiletto dengan hak 15 cm berwarna hijau tosca senada dengan gaun siffon selutut yang ia kenakan, sedangkan kaki kirinya terlihat telanjang tanpa alas kaki. Gadis itu mengakhiri langkahnya saat tubuhnya terjatuh di atas bangku.
“Gue nyesel lemparin pasangan lo ke laki-laki sialan itu,” gumamnya pada sebelah sepatu tosca yang ia lepaskan dari kaki kanannya.“Dan sekarang, gue gak mungkin biarin kaki kiri gue jalan tanpa alas kaki kayak ini.”
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?”
Seorang wanita berkemeja putih dan rok span hitam menghampiri gadis itu dengan senyum sopan ala pramuniaga. Ya, dari pakaian yang ia kenakan, sudah jelas bahwa ia adalah seorang pramuniaga.
Gadis itu tidak menjawab. Berkali-kali sibuk mengerjapkan mata dan mengucek pelan kelopak matanya, ia ingin tatapannya mampu menangkap jelas bayangan setiap benda yang hadir di hadapannya.
“Maaf, Nona?”
“Anda pikir apa yang akan dilakukan seorang perempuan ketika memasuki toko sepatu?” ketus gadis itu, masih sesekali mengucek pelan kelopak matanya. Jika dilihat dari langkahnya ketika memasuki toko, tingkahnya mengerjap-ngerjapkan mata seolah tatapannya yang kabur, dan sesekali memegangi keningnya dengan wajah meringis, siapapun akan bertanya, “apakah Nona ini sedang mabuk?”
“Anda menginginkan sepatu jenis apa, Nona?” tanya pramuniaga itu lagi dengan ritme suara yang pelan.
Gadis itu tidak menjawab, hanya mengibas-ngibaskan telapak tangannya, lalu,“Hks... Hks...”
“Maaf... Nona. Apakah perkataan saya terdengar buruk?”
Pramuniaga itu memasang wajah menyesal. Kakinya bergerak mundur 2 langkah, menatap gadis yang kini malah terisak di hadapannya.
“Saya hanya menginginkan laki-laki yang jujur, setia, dan mencintai saya apa adanya. Hanya itu! Apa permintaan itu berlebihan? Apa saya tidak pantas memiliki lelaki seperti itu?!”
“M... Maaf, Nona? Anda-”
“Saya tidak membutuhkan laki-laki tampan! Saya hanya menginginkan laki-laki yang setia.”
Tangis gadis itu semakin kencang terdengar. Sebagian pengunjung toko kini menjenjangkan leher ke arah suara tangis itu dengan wajah penasaran, bahkan ada yang sampai menyempatkan diri untuk melangkahkan kakinya, melihat keadaan suara yang terdengar mengenaskan itu.
“Apa saya terlalu buruk untuk menginginkan-”
“Wah! Kaki anda terlihat cantik sekali.”
Suara lembut itu membuat tangis sang gadis seketika terhenti. Mata sembabnya terbuka perlahan, dengan tatapan blur ia masih mampu melihat ada seorang laki-laki dengan kemeja biru muda berjongkok di hadapannya dengan memasang senyum penuh. Kedua tangan laki-laki itu baru saja selesai memakaikan flatshoes berbahan kain halus semi beludru dengan warna hijau tua dikakinya.
“Warnanya sesuai dengan gaun yang anda kenakan. Kaki jenjang anda juga ternyata terlihat indah tanpa harus menggunakan hak tinggi.”
“Jangan coba menggoda saya! Saya sungguh tidak tertarik pada anda!”
Gadis itu bangkit dari duduknya, seiring dengan itu laki-laki di hadapannya juga ikut berdiri. “Anda baik-baik saja?” tanya laki-laki itu, wajahnya terlihat sedikit khawatir. Menatap gadis di hadapannya berdiri dengan posisi yang masih tidak seimbang, walaupun ia sudah memberinya flatshoes agar sedikit membantu.
“Jangan sentuh!”
Dengan cepat lengan gadis itu menepis lemas. “Saya sungguh tidak tertarik pada laki-laki penjaga toko sepatu seperti anda!” bentaknya lagi. Laki-laki itu tersenyum. Membiarkan Nona muda yang dalam keadaan tidak sadarkan diri itu melewatinya begitu saja. Gadis itu berjalan dengan sepatu baru, sedangkan sebelah sepatu tosca-nya ia jinjing di tangan kanan.
“Kenapa sama semua orang di sini? Pura-pura perduli! Emangnya muka gue kelihatan mengkhawatirkansaat ini?” gumamnya. Sebelah tangannya mendorong pintu keluar dengan langkah terhuyung-huyung. Langkah cepatnya kembali ia ayunkan dengan gerakan tidak seimbang, gerakan tidak seimbang itu ternyata bukan dihasilkan karena ia memakai sebelah sepatu dengan hak tinggi, melainkan karena gerakan tubuhnya yang saat ini memang tidak seimbang.
'Aku bertemu dengan gadis itu di tempat kerja aku yang baru. Aku pikir aku jatuh cinta sama dia. Dan seiring dengan itu... Aku lupain kamu. Carilah laki-laki yang mencintai kamu, (namakamu).'
“Karrel! Laki-laki sialan! Apa dia melakukan transplantasi hati tanpa sepengetahuan gue? Laki-laki itu kayaknya udah gak punya hati lagi di dalam rongga dadanya buat tau gimana perasaan gue sekarang.”
Gadis itu masih tidak berhenti mengumpat. Apapun yang ada di dalam pikirannya ia keluarkan begitu saja tanpa berpikir terlebih dahulu. Walaupun ia sadar, sekencang apapun ia berteriak dan mengumpat, tidak akan ada yang mendengarnya, hanya suara deruan berpuluh kendaraan yang meraung-raung menyertai langkahnya. Apapun yang dilakukan seseorang ketika mabuk, itu tidak akan membuatnya malu, sepertinya.
“Nona! Maaf, Nona!”
Suara itu, di sertai suara tepukan alas sepatu pantofel yang beradu dengan trotoar terdengar cepat dan semakin mendekat membuat gadis itu menghentikan langkahnya. Sebenarnya ia sudah mendengar seruan itu berkali-kali, namun ia hanya ingin menghentikan langkahnya saat ini.
“Maaf.”
Laki-laki itu membungkuk sopan. Berdiri di hadapan gadis itu dengan nafas yang belum beraturan. Ada titik-titik keringat di keningnya, walaupun dengan tatapan yang samar gadis itu mampu melihatnya.
“Saya benar-benar tidak membutuhkan laki-laki penggoda seperti anda! Anda bukan level saya! Mengerti!”
“Saya sungguh minta maaf. Bukan itu maksud-”
“Anda pernah tahu apa yang seorang perempuan rasakan ketika ditinggalkan oleh laki-laki yang amat dicintai? Saya merasa lemah. Anda tidak usah memanfaatkan kesempatan ini! Saya tahu, saya sangat terlihat lemah. Tapi, berhenti mengejar dan menggoda saya seperti ini!”
“Bukan begitu-”
“Jika bukan begitu, lalu apa maksud anda? Belum cukup menggoda kaki jenjang yang terlihat indah ini? Dan kali ini anda mengejar saya, ha?!”
Gadis itu maju dua langkah, menghampiri laki-laki yang saat ini berdiri keheranan di hadapannya.
Gadis itu menarik nametage yang tersemat pada dada kanan laki-laki di hadapannya. “Tuan Iqbaal. Jangan coba menggoda saya lagi!” tegasnya seraya memicingkan sebelah mata.
Beberapa detik terjadi keheningan. Tatapan laki-laki itu tidak terlihat gentar ternyata, malah balas menatap mata gadis di hadapannya. Laki-laki itu mendesis, lalu terkekeh pelan.
“Anda gila?”
Gadis itu merasa dirinya direndahkan. Mendapat desisan dan kekehan menyebalkan. Ia terlihat tidak suka, sebelum akhirnya ia merasa akan meledakan kemarahannya, ia segera memutar tubuhnya dan kembali melangkahkan kakinya untuk menjauhi laki-laki penggoda itu.
“Nona!!!”
Laki-laki itu memberanikan diri untuk menarik lengan gadis aneh di hadapannya dan...
Trak! Hak stilleto tosca yang berada dalam jinjingan gadis itu, kini sudah mendarat mulus pada kening laki-laki di hadapannya, Iqbaal. Ya, laki-laki itu kini memegangi keningnya dengan wajah meringis. Terlihat sangat kesakitan sepertinya. Oh... Malangnya.
“Apa yang anda lakukan? Saya sudah memperingatkan sebelumnya, jangan coba menyentuh saya, bukan?!” bentak gadis itu dengan mata menyala-nyala.
Laki-laki itu mengangkat kedua telapak tangannya. Pertanda menyerah, gerakannya mewakili mulutnya yang tidak bersuara dengan arti,'baiklah.'Wajahnya masih meringis, mendapati keningnya yang baru saja terhantam hak setinggi 15 cm. Bukan main, rasa pusing dan perih saling beradu di keningnya.
Gadis itu terdiam sejenak, lalu kembali memutar tubuhnya, kembali melangkahkan kakinya.
“Nona, saya-”
“Uok...”
***
Seorang gadis baru saja berusaha membuka kelopak matanya dengan susah payah. Berat, bulu-bulu matanya seakan digantungi beberapa bebatuan, sulit untuk disingkapkan. Namun, cahaya yang kini menyeruak seolah membantu kelopak matanya untuk terbuka.
“Oh... Kepala gue, berat banget,” desisnya pelan. Telapak tangan kirinya menangkup pada kening. Wajahnya meringis, merasakan kepalanya seperti tertindih bebatuan besar dan kerongkongannyayang berdenyut-denyut mual.
“Urin i eumake matchweo modu da itgo ja
Swing Never Never Give Up! Swing
Urin i eumake matchweo modu da itgo ja
Swing Never Never Give Up! Swing...”
Lagu “Swing” milik Super Junior-M itu terdengar berdentum disertai getaran teratur terdengar dari dalam tas kecil yang tersimpan di atas meja di hadapannya.
“Ohhh... Steffy! Apa dia gak punya pekerjaan lain selain ganggu hidup gue sepagi ini?”
'Hallo?'
“Mmm?!”
Suara berat ketika bangun tidur dan terdengar malas keluar dari tenggorokan kering (namakamu).
'Lo dimana, (namakamu)?! Semaleman lo gak pulang?!'
“Ck! Kedua orangtua gue emang udah lama meninggal. Tapi, gue baru sadar kayaknya lo pengen banget gantiin posisi mereka, tante.”
'Hey! Gue gak lagi bercanda!'
Suara Steffy di seberang sana terdengar sangat kencang, sehingga saat ini mengharuskan (namakamu) menjauhkan sedikit ponselnya.
“Steffy.”
'Berhenti ngerengek kayak gitu! Apa lo gak sadar hari ini hari apa, ha?!'
“Bisa gak gue minta sama lo, berhenti buat bentak-bentak gue kayak gitu? Telinga gue sakit.”
'Lo bener-bener lupa kalau hari ini adalah hari pertama lo kerja? Lo lupa? Mungkin lo pengen dipecat di Arteries Group sebelum lo masuk kerja!'
“Ya Tuhan! Arteries Group?”
'Ya! Lo lupa? Bisa-bisanya ya lo lupa sama hari pertama kerja?'
“Jam berapa sekarang, Steff?”
(namakamu) sibuk mengaduk isi tasnya, mencari jam tangan yang harusnya melingkar di pergelangan kirinya.
'Jam 8 pagi.'
(namakamu) segera mematikan ponselnya. Kini tatapannya mengedar. “Gimana ini? Sekarang? Sekarang gue dimana?”
Gadis itu menjulurkan telapak kakinya untuk menyentuh lantai. Sebuah kamar dengan tatanan minimalis di dominasi warna putih dan abu-abu ada di hadapannya kini. “Semalem gue pingsan? Terus siapa yang bawa gue kesini? Ya Tuhan! Apa yang terjadi?”
(namakamu) menyambar tas kecilnya. Langkahnya keluar dari dalam kamar luas itu, tatapannya tidak henti berpendar mencari pintu keluar. “Apartemen seluas ini, siapa yang punya? Kok bisa gue tidur di sini?”
Gadis itu tidak berhenti bergumam dengan pertanyaan yang tidak kunjung bisa ia jawab. Sebelum akhirnya, pintu keluar itu terpajang di hadapan langkahnya.
***
“Arteries Group. Saya harus segera ke sana sekarang!” ucap (namakamu) menepuk-nepuk pundak supir taksi di hadapannya. Sial! Pagi hari seperti ini harusnya ia pergi dengan naik bis, tidak menghamburkan uang dengan sok menaiki taksi. Namun, untuk mengejar waktu yang tidak sampai satu jam lagi, tidak ada pilihan lain.
“Bang! Ssshhh, Pak! Bisa gak mobilnya dipercepat? Bapak mau tanggung jawab kalau saya dipecat?” Protes (namakamu). “Dipecat sebelum kerja ToT,” lenjutnya lagi. (namakamu) kini sibuk memoles wajahnya dengan bedak padat. Menghilangkan kesan wajah kumalnya. Butuh berapa menit untuk mencapai tempat kerjanya yang baru? Entah lah, (namakamu) tidak perduli. Saat ini ia ingin menghilangkan kesan wajah kantuknya, wajah kumal karena tidak sempat mandi, dan... Wajah yang terlihat tidak baik-baik saja, (namakamu) merasakan kepalanya masih sangat berat.
“Sudah sampai.”
“Tunggu.”
(namakamu) masih sibuk dengan eyeliner yang ia gariskan dengan hati-hati pada batas-batas lingkar matanya. “Apa saya terlihat seperti sudah mandi saat ini?” tanyanya, mencondongkan sedikit tubuhnya agar pria di depannya mampu melihat wajahnya.
“Anda cantik. Orang lain tidak akan perduli anda sudah mandi atau belum,” jawab sang supir disertai kekehan pelannya.
“Oh... terimakasih banyak. Tapi saya tidak akan memberikan uang lebih atas pujian anda. Uang saya habis pagi ini karena membeli blazer ini,” ucap (namakamu), membenarkan letak blazer yang baru saja ia beli sebelum menaiki taksi tadi.
Gaun hijau tosca selutut tanpa lengan. Tidak mungkin ia mengenakannya ketika pertama kali masuk kerja, maka dari itu (namakamu) menyempatkan membeli blazer peach untuk menutupi bagian atasnya. Tidak mungkin ia harus pulang kerumah untuk berganti pakaian, karena jarak rumahnya sangat jauh dari tempat ketika ia bangun tidur tadi. Dan sepatu? (namakamu) benar-benar tidak punya uang lagi untuk membeli sepatu. Flat shoes yang semalam ia kenakan, ia pakai lagi pagi ini dengan keadaan pasrah.
Gedung besar itu berdiri kokoh menjulang, hampir saja mencapai batas langit. (namakamu) masih tidak percaya diterima kerja di perusahaan sebesar ini. Lupakan! Ini bukan waktunya untuk terbuai. (namakamu) segera menampar pelan pipinya, memasuki lantai marmer itu dengan melepaskan nafas-nafas berat. Sejenak mengotak-atik ponselnya, mencari letak ruangan yang harus ia kunjungi saat ini.
“Matilah gue!”
(namakamu) merasakan sesak yang luar biasa. Di dalam lift, ruangan berukuran 2mx2m itu (namakamu) berdesakan dengan para pekerja berpakaian rapi, wajah dengan make-up menarik, setelan blazer dan rok yang senada, kaki jenjang yang terbungkus stiletto berharga tinggi.
'Apa gue harus pulang ke rumah? Dan nyerah untuk gak kerja di hari pertama?' (namakamu) meratapi keadaan tubuhnya yang saat ini kumuh luar biasa. Tidak henti mengumpat tingkah konyolnya untuk mabuk-mabuk semalam pasca Karrel memintanya untuk pergi.
Ting... Dentingan halus itu terdengar. Mengharuskan isi di dalam lift membudal dengan langkah tergesa. “Ya Tuhan!”
Tubuh ramping (namakamu) terdorong-dorong hingga ikut keluar dari dalam lift.
“(namakamu)? Sekali lagi, (namakamu)?”
(namakamu) bisa mendengar suara itu keluar dari speaker dengan volume besar. Ada seorang pria memanggil-manggil namanya. Tatapannya mengedar, telinganya ia pasang baik-baik untuk menangkap arah suara itu berasal.
“Apakah (namakamu) berhalangan hadir untuk hari ini? Apa ia tidak tahu jika hari pertama tidak masuk, maka ia akan ter-blacklist secara otoma-”
“Saya hadir!”
Di ambang pintu sebuah ruangan besar--layaknyaaula-- (namakamu) kini berdiri. Puluhan pasang mata menatap ke arahnya dengan tatapan yang (namakamu) bisa artikan sendiri. Gaun hijau tosca, blazer peach, rambut asal, dan terlebih flat shoes yang tidak seharusnya ia kenakan.
“Maaf. Anda-”
“Saya (namakamu), saya salah satu karyawan yang pertama masuk kerja hari ini. Boleh kah saya duduk?”
Tanpa menunggu jawaban 'ya' langkah kaki (namakamu) bergerak masuk dan duduk pada kursi baris pertama yang tersedia. Tidak perduli dengan puluhan pekerja baru yang menatapnya dengan wajah tidak percaya orang sepertinya bisa masuk ke tempat ini.
Pria di atas podium yang baru saja selesai membacakan daftar nama pekerja baru itu berdeham kasar, sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya, “Arteries Group, adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang fashion. Pakaian, tas, sepatu, dan banyak aksesoris yang merupakan produk dari Arteries Group dengan berbagai nama brand yang luar biasa dikenal oleh masyarakat. Arteries Group selalu mengutamakan kualitas, sehingga brand-brand yang keluar di pasaran hanya mampu dijangkau oleh kalangan menengah keatas.”
“... Dan perlu anda semua ketahui bahwa Arteries Group memiliki kapitalisasi pasar sebesar Rp. 125,8 triliun. Maka dari itu, selamat bergabung bersama perusahaan kami. Jangan sia-siakan kesempatan pertama yang telah datang untuk anda.”
Tepuk tangan dari para pekerja baru kini membahana memenuhi seisi pojok ruangan. Mendengar nominal yang tidak sedikit bahkan begitu tinggi, membuat sebagian dari mereka tercengang dan berdecak kagum.
“... Kita, saat ini akan tergabung dalam sebuah divisi, yaitu divisi Research and Development atau kita biasa menyingkatnya dengan sebutan divisi R & D. Tugas divisi R & D ini adalah melakukan penelitian secara berkala. Penelitian yang dilakukan menyangkut semua kebutuhan perusahaan. Seperti melakukan penelitian mengenai produk apa yang pada saat ini dibutuhkan oleh masyarakat, atau juga melakukan penelitian mengenai persepsi masyarakat atas produk yang dihasilkan perusahaan. Hasil dari penelitian tersebut akan digunakan untuk menciptakan sebuah sistem baru yang lebih baik bagi proses yang ada di perusahaan.”
“... Dan kita memiliki seorang Ketua Divisi, beliau adalah pimpinan yang mengatur semua tatanan kerja serta reseach yang dilakukan di luar kantor. Bahkan beliau sendiri kerap melakukan tugas keluar kantor sendiri. Beliau adalah Direktur Iqbaal. Seorang pemimpin muda dengan kemampuan yang tidak diragukan lagi. Selamat pagi, Pak.”
Pria itu membungkuk sopan, menyambut seorang lelaki muda yang saat ini naik ke atas podium di sampingnya. Lelaki itu...
Mulut (namakamu) menganga lebar, sangat lebar sehingga untuk saat ini ia sangat sulit mengkatup mulutnya sendiri. Kejadian tadi malam...
'Saya sungguh tidak tertarik pada laki-laki penjaga toko sepatu seperti anda!'
'Saya benar-benar tidak membutuhkan laki-laki penggoda seperti anda! Anda bukan level saya! Mengerti!'
'Anda pernah tahu apa yang seorang perempuan rasakan ketika ditinggalkan oleh laki-laki yang amat dicintai? Saya merasa lemah. Anda tidak usah memanfaatkan kesempatan ini! Saya tahu, saya sangat terlihat lemah. Tapi, berhenti mengejar dan menggoda saya seperti ini!'
'Jika bukan begitu, lalu apa maksud anda? Belum cukup menggoda kaki jenjang yang terlihat indah ini? Dan kali ini anda mengejar saya, ha?!'
'Apa yang anda lakukan? Saya sudah memperingatkan sebelumnya, jangan coba menyentuh saya, bukan?!'
“Tuhan, apa Kau tidak mau mengambil nyawaku untuk saat ini? Jika Kau mau, ambillah sesukamu Tuhan. Aku rela kau mengambil nyawaku untuk saat ini, aku bersungguh-sungguh,” gumam (namakamu). Wajahnya merunduk, lehernya seakan patah dan tidak mampu untuk tegak lagi. Menatap laki-laki di atas podium yang saat ini tengah berbicara membuat wajahnya pucat pasi, keringat dingin di tengkuknya, kerongkongannyakembali berdenyut-denyut mual, lehernya yang tidak sanggup tegak lagi. Benar-benar, gadis itu ingin sekali merasakan rohnya segera terlepas dari kukungan tubuhnya sendiri.
***
“(namakamu)?” tanya seorang pria yang kini memutar-mutar kursi kerjanya, santai. Tidak menghiraukan seorang gadis yang kini duduk di hadapannya dengan wajah pucat pasi.
“Maaf. Saya benar-benar minta maaf.”
Entah untuk keberapa kalinya gadis itu meminta maaf, tidak terhitung. Jumlah permintaan maafnya melebihi telapak tangannya yang bergerak menepis keringatnya berkali-kali.
“(namakamu), seorang gadis yang baru saja mengalami putus cinta oleh seorang laki-laki bernama Karrel, karena gadis lain yang berhasil menggoda- kenapa?”
Perkataan laki-laki itu terhenti, kini ia melipat kedua lengannya, menatap gadis di hadapannya lekat-lekat. “Anda bingung saya bisa tahu semuanya? Anda yang menceritakan semuanya pada saya tadi malam. Oh, ya! Tanpa saya minta.”
“Maaf. Maaf,” ucap (namakamu) lagi, kali ini dengan mata terpejam.
“Tidak usah terus menerus meminta maaf seperti itu, saudara (namakamu),” ucap pria itu, masih dengan suara santai.
“Ini. Semalam saya mengejar anda, bukan untuk menggoda anda, tapi untuk memberikan ini.”
Pria itu menyerahkan selembar kertas kecil. Kertas berisi struk pembayaran sepasang sepatu.
“Oh... Tuhan.”
(namakamu) menepuk-nepuk keningnya dengan wajah lesu. “Saya akan mengganti uang anda.”
“Sshhh. Tidak perlu, saya sudah melupakan itu.”
Iqbaal mendesis, memegangi keningnya dengan tampang meringis.
“Apa yang harus saya lakukan untuk membayar semuanya?”
(namakamu) menatap Iqbaal yang kini memegangi luka yang tertutup plester di keningnya. Ia tahu, sangat tahu, bahwa luka itu adalah hasil dari hak stiletto yang ia hantamkan tadi malam. Tingkah bodoh yang (namakamu) lakukan semalam, bertindak seenaknya dengan menghantam kening pria yang mencoba mengingatkannyauntuk membayar sepatu.
Iqbaal mengibaskan lengannya santai. “Tidak ada,” jawabnya seraya tersenyum. “Oh! Atau mungkin anda bisa datang ke apartemen saya untuk mencuci kemeja biru saya semalam?”
“Apa?”
(namakamu) mengangkat wajahnya. Memberanikan menatap wajah atasannya itu walau hanya dua detik, setelah itu wajahnya kembali tertunduk. Tangan kanannya meremas ujung gaun yang ia kenakan.
'Nona!!!'
'Apa yang anda lakukan? Saya sudah memperingatkan sebelumnya, jangan coba menyentuh saya, bukan?!'
'Nona, saya-'
'Uok...'
Oh Tuhan... (namakamu) merasakan lututnya bergetar hebat dan berangsur lemas. Apakah ia dapat keluar dari ruangan ini dengan berjalan seperti biasa? (namakamu) merasakan lututnya saat ini benar-benar lemas. (namakamu) membayangkan dirinya yang nanti akan keluar dari dalam ruangan dengan cara mengesot.
“Kembalilah ke rumah.”
“Ya?”
Air mata (namakamu) tanpa disadari sudah bergerumul, bermain-main di sekitar bola matanya. 'Kembali ke rumah?' Itu artinya (namakamu) tidak usah kerja hari ini? Dan tidak akan diberi kesempatan untuk kerja lagi? Benarkah seperti itu?
“Kembali ke rumah. Saya minta anda untuk segera beristirahat. Saya tidak mungkin membiarkan seorang gadis yang semalam baru saja mabuk-mabukan, datang ke kantor dengan pakaian lusuh, dan flatshoes untuk menjadi karyawati di kantor saya,” pria itu tersenyum, menatap gadis yang di hadapannya kini tertunduk pasrah. “Saudara (namakamu)?”
“Ya?”
(namakamu) mencoba mengangkat wajahnya. Menghembuskan nafas sesak perlahan. Lehernya kembali terasa berdenyut beberapa kali, kali ini bukan mual, namun denyutan perih yang seakan menghancurkan kerongkongannyasendiri.
“Kembali lagi besok. Sekarang, beristirahatlah.”
“Apa?”
“Saya harus mengulangi perkataan saya?” tanya pria itu dengan wajah yang kini tertunduk, tangannya meraih satu map berisi berkas yang kini ia buka-buka secara asal.
“Jika saya harus mencium kaki anda untuk permintaan maaf dan ucapan terimakasih, maka saya akan melakukan hal itu sekarang juga,” ucap (namakamu), menepis air mata tipis yang mulai membasahi sudut matanya.
“Pulanglah, sebelum saya terpengaruh untuk merealisasikan ide gila anda,” ucap Iqbaal, sekilas menatap gadis di hadapannya lalu kembali fokus pada berkasnya. Meraih bolpoin di saku kemejanya, mencoret-coret selembar berkas, dan kini tatapannya mulai serius.
“Maaf dan... Terimakasih banyak. Terimakasih.”
(namakamu) membungkuk sebelum akhirnya memutar tubuhnya untuk melangkah keluar ruangan.
Bersambung~
Gak jadi K-story.ini masa percobaan. Silahkan dinikmati dan diresapi, kalau gak enak tinggal dilepeh aja
Karya : @citranovy
Follow Twitterku juga mate! @_BayuPrasetya :D
Like FanPage nya ya mate ==> https://m.facebook.com/profile.php?id=379969348803380&ref=stream&refid=52&__tn__=C
nyiiitt.... meninggalkan jejak kaki disini :D
ReplyDeletekeren bahasa nya euy..
baru baca habis disarankan oleh seorang teman :D