Monday, July 21, 2014

Mars PPTS

Ini lirik dari Mars PPTS (Persatuan Pemuda Taman Siswa)
Yang belum hafal di hafalin, yang udah hafal di pahamin :D
Tempo'nya agak cepat, lincah, riang


Marilah pemuda tamansiswa
Bernyanyi dengan lagu gembira
Sampaikan salam dan bahagia
Kepada saudara semua

Supaya lekas secita-cita
Mencapai tujuan yang mulya
Bijaksana sempurna badannya
Kuat lagi sehat tajam pikirannya

Tamansiswa
Yakni perguruan kita
Tamansiswa
Mendidik putri dan putra
Indonesia supaya sentosa
Sempurnalah perguruan kita
Tetap hidup langsung
Subur selamanya

Thursday, July 10, 2014

Cerbung Flatshoes - Part 6

_______
Iqbaal mengangguk, pertanda menyetujui ide Bastian untuk mendekati (namakamu). Ini benar-benar terjadi di hadapan (namakamu), dan entah mengapa anggukan Iqbaal seperti menohok kerongkongan (namakamu) saat ini.
“Jahat!”
Desis (namakamu), desisannya sama sekali tidak terdengar, tersapu suara alunan lagu romantis yang terputar, terdengar memenuhi seisi ruangan.
Selang beberapa menit, seorang pelayan datang membawa dua buah nampan berisi makanan dan minuman yang tadi sempat Iqbaal pesan. Bau makanan mulai menyeruak—menusuk hidung (namakamu), signal bau makanan itu terkerim ke saluran pencernaan, membuat perutnya terkoyak perih meronta untuk segera diisi. Namun, hingga Iqbaal menyodorkan makanan dan mengetuk-ngetuksendok di hadapan (namakamu), gadis itu masih bergeming; mengkatup mulutnya.
“Aku ke toilet dulu,” ucap (namakamu), bangkit dari kursinya seraya menyelempangkantas pada bahu kanannya.
(namakamu) melangkahkan kakinya dengan cepat. Bukan ke arah toilet ternyata, melainkan menelusup ke luar dari pintu utama caffe. Perutnya memang perih, setelah jam istirahat di kantor tadi siang perutnya belum terisi lagi, namun ternyata penolakan dari mulutnya untuk tidak terbuka dan tidak memasukan makanan lebih kuat; mengalahkan rasa lapar di perutnya.
“(namakamu)!” panggil seseorang yang sangat (namakamu) kenali. Suara itu... tidak kunjung membuat (namakamu) untuk menghentikan langkahnya.
“(namakamu), kamu kenapa sih? Katanya tadi mau ke toilet—hey!”
(namakamu) merasakan sikutnya tertarik ke belakang, sebuah cengkaraman hinggap pada bagian sikutnya dengan erat.
“Lepas!”
(namakamu) sempat menghentikan langkahnya—hanya untuk menepis tangan yang mencengkramnya,setelah itu langkahnya kembali terayun dengan cepat.
“Kalau aku punya salah aku minta maaf.”
Laki-laki itu—Iqbaal—kembali menarik lengan (namakamu) kuat-kuat. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, yang Iqbaal tahu ‘(namakamu) marah’, alasannya? Entah lah. Iqbaal merasa sangat bodoh. “Bastian?”—Iqbaal menerka penyebab (namakamu) marah seperti ini—“karena Bastian, ‘kan?” lanjutnya.
Dengan nafas terputus-putus,(namakamu) menghentikan langkahnya; menatap Iqbaal dengan tatapan tajam. Gadis itu menghentakkan kakinya kencang hingga stiletto pada kaki kanannya terlepas. Tubuhnya s membungkuk meraih sebelah stiletto, dan ternyata gerakan itu mampu membuat Iqbaal memejamkan matanya erat. Mungkin laki-laki itu tahu persis apa yang akan (namakamu) lakukan saat ini.
Blugh! Suara debuman tertutupnya pintu mobil terdengar. “(namakamu)?” desis Iqbaal. Taksi bluebird itu melaju kencang tanpa sempat Iqbaal mencegahnya untuk berhenti. “(namakamu)!” serunya. Dalam keadaan sadar ia tahu, (namakamu) yang kini sudah berada di dalam taksi yang melaju kencang tidak akan bisa mendengar suaranya.
*
(namakamu) melangkah lunglai, berjalan tanpa alas kaki karena kini ia menjinjing sepasang sepatunya. Taksi yang ia naiki tadi, ia berhentikan di pertigaan jalan yang masih berjarak 50 meter dari rumahnya. Jalanan sepi mengiringi langkahnya, langit malam yang berawan menaunginya saat ini. (namakamu) berusaha membebaskan diri dari rasa kesalnya sebelum sampai di rumah, ia tidak mau memperlihatkan wajah murungnya di hadapan Steffy yang akan menimbulkan pertanyaan ‘(namakamu), lo kenapa?’ Sungguh saat ini (namakamu) sedang malas menjawabnya.
Desahan berat (namakamu) terhempas keluar ketika langkahnya sudah mencapai teras rumah. Ternyata usahanya sia-sia, (namakamu) sama sekali belum merasakan dirinya baik-baik saja.
“Baru pulang?”
Pertanyaan itu terdengar ketika (namakamu) mulai memasuki ruang tengah. Ada Steffy, tengah mengangkat sebelah kakinya ke atas meja. Mulutnya meniup-niup cat kuku merah yang baru saja terpoles di kuku kakinya— masih basah.
(namakamu) mengangguk seraya tersenyum, langkah lunglainya kembali terayun, kali ini untuk menghampiri Steffy. Sekali lagi desahan beratnya terdengar sebelum gadis itu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa—di samping Steffy.
“Lembur?” tanya Steffy. Tanpa memperhatikan wajah (namakamu), Steffy masih sibuk memoleskan kuas kecil pada kuku kakinya.
“Enggak,” jawab (namakamu).
“Terus?”
Steffy sepertinya tidak berniat untuk bertanya, tidak ada nada penasaran muncul dalam setiap pertanyaannya, mungkin hanya untuk basa-basi, saat ini Steffy sangat fokus pada kuku kakinya dan itu membuat (namakamu) hanya menjawab pertanyaan dengan gumaman tidak jelas.
“Tissue, (namakamu)! Maaf,” pinta Steffy. Tangan Steffy menggoyang-goyang paha (namakamu). “(namakamu), tissue, please!”
(namakamu) meraih kotak tissue yang berada di sampingnya. Tadinya kotak tissue itu berada di samping Steffy, namun karena (namakamu) duduk, kotak itu tergeser sengaja oleh tangan (namakamu) menjauh dari jangkauan Steffy.
“Ada apa?”
Setelah beberapa menit Steffy tidak memperdulikan (namakamu), saat ini Steffy menangkap aura tidak baik dari wajah (namakamu). “Iqbaal?” terkanya.
(namakamu) terdiam. Diam sama dengan iya, biasanya. “Dia—dia udah nembak lo belum, sih?”
Kali ini, sifat Steffy yang sebenarnya mulai muncul. Care yang mendekati kata ‘kepo’.
(namakamu) menggeleng, lalu melepaskan nafas berat dari mulutnya.
“Dia suka sama lo gak, sih, sebenernya?”
Steffy kini sudah berputar menghadap (namakamu) yang duduk di sampingnya, namun sebelah kakinya masih bertopang pada meja.
(namakamu) menggeleng lagi.
“Artinya enggak? Atau gak tahu?” tanya Steffy dengan pilihan jawaban, tidak mengerti dengan respon jawaban dari gerakan kepala (namakamu).
“Hsss...”
(namakamu) menarik sebuah bantal kursi, lalu menutupi wajahnya.
“Kalau perlu... Lo yang nembak dia, gimana?”
Saran gila itu keluar dari mulut Steffy. (namakamu) melepaskan bantal dari wajahnya—sempatmembuatnya sesak memang—tatapan tajamnya ditusukan tepat di pusat bola mata Steffy.
“Ya udah. Sabar, ya.”
Steffy menepuk-nepuk pundak (namakamu), sama sekali tatapan tajam (namakamu) tidak membuatnya takut untuk menjinakkan (namakamu).
***
24 Sept 2014
(namakamu) baru saja menumpukkan berkas terakhir. Akhirnya... Pekerjaan hari ini usai. Tangannya merentang, punggungnya ia tegakan, lehernya ia putar dengan mata terpejam, seolah ingin merontokkan rasa pegal yang hendak menghancurkan tubuhnya.
Desahan berat terdengar ketika ia mengakhiri tingkahnya. Tangannya memasukan ponsel ke dalam tas, merapikan pakaiannya sejenak, lalu tanpa ragu lagi segera meninggalkan ruangan kerja hampir membunuh tubuhnya hari ini.
“Aku tahu kamu masih marah!”
Suara itu terdengar di samping telinga (namakamu), terdengar langkah kaki yang saat ini menyejajari langkahnya.
“Ayo lah, (namakamu)! Udah 5 hari kamu diemin aku kayak gini. Marah lebih dari 3 hari itu gak baik,” rayunya lagi. (namakamu) tidak merespon, malah saat ini (namakamu) seolah ingin menutup telinganya.
“(namakamu).”
Suara itu kali ini terdengar memelas. Iqbaal, ya Iqbaal. Laki-laki itu seolah tidak perduli pada beberapa karyawan yang kini menjatuhkan perhatian pada tingkahnya.
“Bastian temen aku, gak ada salahnya, ‘kan... kalau aku pengen kamu kenal juga sama dia? Iya , ‘kan?”
Tanpa terasa langkah (namakamu) kini sudah keluar dari dalam lift. Racauan Iqbaal belum terhenti hingga mereka saat ini sudah menapaki lantai lobi, tempat bergerumulnya sebagian karyawan menunggu jemputan atau saling menunggu karyawan lain—jelas saja tidak lengkap sepertinya jika tidak sambil bergosip. Tangkapan spekta! (namakamu) dan Iqbaal menjadi tangkapan pandangan mereka saat ini. (namakamu) yakin, setelah ia keluar dari pintu lobi, maka desisan riuh yang membahas kedekatan dirinya dengan Iqbaal akan membahana. Alasan yang membuat (namakamu) muak dan ingin segera keluar dari gedung keparat itu.
“(namakamu), aku mohon. Kamu boleh marah, silahkan. Tapi jangan kayak gini. Ini kekanak-kanakkan, (namakamu),” pinta Iqbaal lagi.
(namakamu) pikir tingkah Iqbaal mengejarnya akan terhenti ketika (namakamu) melewati pelataran gedung kantor, namun ternyata tidak, Iqbaal masih tetap menyejajarkan langkah dengannya. Tidak kah Iqbaal ingat pada mobilnya yang terparkir di basement?
“(namakamu),” lirih Iqbaal, entah untuk keberapakalinya. “Aku mohon,” lanjutnya.
(namakamu) menghentikan langkahnya, sontak membuat Iqbaal juga ikut menghentikan langkahnya. Matanya dialihkan untuk menatap wajah Iqbaal. “Yang berhak menentukan siapa orang yang pantas untuk jadi temen aku, itu aku sendiri! Bukan kamu!”
Kalimat pertama dari (namakamu) yang Iqbaal dengar setelah 5 hari ini (namakamu) bungkam.
Iqbaal mengangguk cepat. “Aku minta maaf. Aku janji gak gitu-gitu lagi.”
Iqbaal meringis seraya mengacungkan dua jari membentuk huruf ‘v’. “Maaf,” buntutnya.
(namakamu) tidak menjawab. Langkahnya terayun semakin kencang melewati lorong halte busway dengan Iqbaal yang masih mengekor. (namakamu) pikir, ia akan luluh ketika menatap wajah laki-laki itu, namun ternyata kekesalannya malah semakin berjejal.
“Hhhh... Kok marah lagi?”
Suara ‘breng-breng’, hasil ketukan alas sepatu pantofel Iqbaal dengan lantai lorong halte terdengar sangat mengganggu. Laki-laki itu baru kali ini sepertinya berjalan di lorong halte, tidak bisa menyesuaikan langkahnya dengan lantai halte yang terdengar berisik.
“(namakamu).”
Lirihan itu terdengar lagi, tanpa putus asa Iqbaal terus menggencarkan kata-kata bernada penuh penyesalan.
Entah apa yang terjadi pada hari ini, busway yang biasanya harus (namakamu) nanti berjam-jam, kali ini datang tepat waktu. (namakamu) bergegas memposisikan tubuhnya untuk berjejal bersama penumpang lain memasuki pintu busway. Iqbaal sempat terhentak ketika tubuhnya terdorong kencang ikut masuk ke dalam bus, langkahnya terseok—tersapupenumpang lain.
Di dalam busway yang dua menit kemudian melaju, Iqbaal bergerak mendekati (namakamu) yang tengah berdiri dengan sebelah tangan terangkat memegangi bus handle. Tidak ada tempat duduk tersisa, terpaksa (namakamu) harus berdiri. Dan itu... shhh... Membuat tatapn Iqbaal gelisah.
“Pakaian kamu.”
Pakaian kantor blazer pas yang membentuk lekuk tubuh di sambung rok span di atas lutut. Oh Tuhan... Bagaimana jika ada laki-laki somplak yang dengan sengaja menggesekkan(?)bagian tubuhnya pada (namakamu) dengan alasan ‘busway penuh’—berdesakan? Iqbaal sering mendengar berita menjijikan itu di berbagai media sosial.
Iqbaal kini bergerak untuk berdiri di belakang (namakamu). Kedua tangannya terangkat memegangi bus handle yang tersisa, posisinya kini seolah tengah menutupi bagian belakang tubuh (namakamu). Merasa belum cukup, kini Iqbaal membuka jas yang ia kenakan, tubuhnya bergerak-gerak menahan keseimbangan karena selama melepas jasnya ia tidak berpegangan.
“Pakai ini,” gumam Iqbaal. Tangannya melingkari pinggang (namakamu), menyimpul kedua lengan jasnya pada bagian perut (namakamu). Sadarkah Iqbaal saat ini? Hello! Ini bukan taman kota tempat orang beromantis-romantis ria, ini busway! Tingkahnya itu membuat perhatian sebagian besar penumpang tertuju aneh ke arahnya.
“Aku gak akan pernah biarin kamu untuk naik busway lagi,” rutuk Iqbaal. Tidak perduli dengan tatapan aneh sebagian penumpang yang terarah padanya.
*
“Aku nyesel selama 5 hari ini ngebiarin kamu pulang sendiri—naik busway! Itu gak akan terjadi lagi.”
Iqbaal melangkahkan kakinya sejajar dengan (namakamu) menelusuri jalanan kompleks. Jalanan sudah mulai sepi, mungkin karena memang sudah larut, hanya sesekali berpapasan dengan tukang nasi goreng keliling yang mendorong gerobak, atau tukang sate yang mendorong gerobak terbuka(?).
“... Dan selama 5 hari ini, kamu jalan sendirian di jalanan kompleks sepi gini? Oh Tuhan... (namakamu), berhenti kamu membahayakan diri sendiri.”
(namakamu) seolah ingin sekali menyumpal telinganya saat ini. Iqbaal benar-benar belum berhenti mengoceh, belum berhenti berusaha menghancurkan tembok kekesalan yang (namakamu) bangun selama 5 hari ini.
“(namakamu),” lirih Iqbaal.
“ Ayolah, (namakamu).”
“(namakamu), jangan kayak gini.”
“(namakamu).”
“(namakamu).”
“(namakamu)!”
Iqbaal sepertinya mulai kesal, suaranya terdengar menghentak. “Kamu anggap aku ini apa, sih? Ha?!”
Iqbaal menarik lengan (namakamu), menahan gadis itu agar menghentikan langkahnya. “Aku harus gimana?”
Pertanyaan Iqbaal terdengar seperti protesan keras.
Laki-laki itu menggeram kesal. Tiba-tiba tubuhnya membungkuk. Tanpa izin, tangannya memaksakan kaki (namakamu) untuk melepas sebelah stiletto-nya. (namakamu) tersentak dan sempat tubuhnya hendak terjengkang menerima perlakuan seperti itu.
“Nih!”
Iqbaal menyerahkan stiletto itu pada tangan (namakamu). “Pukul aku sesuka kamu, sebanyak yang kamu mau, berapa kalipun itu! Sampai kamu puas!”
“Ayo! Biar kamu gak marah lagi!” tegas Iqbaal, melihat (namakamu) yang kini masih bergeming.
“Kenapa? Kenapa diem?”
Iqbaal kembali menantang. Menatap bola mata (namakamu) yang mulai berair. Setiap sudut mata gadis itu mulai menampung genangan air.
“Hhhh...”
Iqbaal menghembuskan nafas berat berkali-kali. Mungkin menghembuskan kekesalannya yang tidak sempat ia luapkan, kekesalannya masih bersisa—banyak bersisa.
“Maaf,” gumam Iqbaal. Gumamannya beradu dengan nafas berat yang keluar bersamaan. “Maaf, (namakamu),” lirihnya lagi. Iqbaal mendekat, maju beberapa langkah, menarik tubuh gadis itu untuk terbenam di dadanya.
“Aku gak bermaksud bentak kamu... sama sekali enggak.”
Iqbaal mengeratkan dekapannya, seiring itu ia merasakan dadanya hangat—basah. (namakamu) menangis? Sepertinya begitu.
“Maaf.”
Kembali Iqbaal mengucapkan kata itu dengan tekanan penuh penyesalan. Masalah sepele, Iqbaal mengenalkan (namakamu) pada sahabatnya—Bastian. Mengapa harus berujung sedramatis ini. Berlebihan kah?
***
25 Sept 2014
Pukul 5 sore, Iqbaal menatap jam tangannya. Sudah waktunya untuk segera pulang. (namakamu)? Gadis itu, Iqbaal tidak akan membiarkan gadis itu pulang kerja sendiri. Apalagi pulang malam seperti kemarin, naik busway. Tidak!
Setelah menyambar tasnya beserta jas yang kini tersampir di bahu kanan, langkah Iqbaal terayun dari dalam ruangannya. Iqbaal harus segera mendapati (namakamu) dan segera menangkap gadis itu. Ia harus pulang bersama (namakamu).
Pandangan Iqbaal beredar memutari ruangan kerja yang kini berada di hadapannya. (namakamu)? Mana (namakamu)? Mengapa mejanya kosong? Apa gadis itu sudah pulang tanpa memberi tahunya? Iqbaal mulai bertanya-tanya sendiri. Seharian ini Iqbaal sibuk dengan pekerjaannya dan memang tidak menyempatkan diri untuk bertemu dengan (namakamu).
“Ada yang melihat (namakamu)?”
Iqbaal bertanya ragu pada sebagian karyawan yang masih tersisa di ruangan.
“Dia tidak masuk hari ini, Pak. Katanya sakit,” jawab salah seorang karyawan. Setelah itu bergumam kata ‘permisi’, lalu melewati Iqbaal dengan langkah sopan.
Iqbaal tertegun. Tadi pagi Iqbaal memang tidak berangkat bersama dengan (namakamu). Ada meeting di luar kantor dengan jarak tempuh yang cukup jauh sehingga Iqbaal harus berangkat lebih pagi dn tidak sempat mengantar (namakamu) ke kantor. Namun, tadi pagi Iqbaal sempat menelepon (namakamu), mewanti-wanti (namakamu) agar berangkat ke kantor dengan naik taksi, tidak menggunakan busway lagi. Dan... (namakamu) mengiyakan, (namakamu) mengiyakan untuk berangkat ke kantor dengan naik taksi. Sama sekali (namakamu) tidak mengatakan dirinya tidak akan masuk ke kantor, atau mengabarkan dirinya sakit. Sungguh! Telinga Iqbaal masih normal ketika pagi-pagi mendengar (namakamu) menyahut dengan suara baik-baik saja di telepon.
Ketika lamunannya buyar, Iqbaal segera melangkahkan kakinya ke luar ruangan. Mulai mengotak-atik ponselnya, mencoba menghubungi (namakamu). Berkali-kali Iqbaal mencoba menghubungi (namakamu), namun hanya ada sahutan dari operator yang menyatakan nomor (namakamu) sedang tidak aktif.
“Kemana sih kamu?” desis Iqbaal, wajahnya menyemburatkan rasa khawatir.
*
“(namakamu) ada di rumah, Steff?”
Iqbaal tidak kehabisan akal untuk mencari (namakamu), kali ini ia mencoba menghubungi Steffy.
‘Gak ada, Baal. Bukannya dia kerja, ya?’
Steffy malah balik bertanya.
“Aku pikir juga gitu. Tapi ternyata hari ini dia gak masuk, katanya sakit—”
‘Sakit? Sebelum aku berangkat kerja, (namakamu) lagi siap-siap berangkat ke kantor. (namakamu) baik-baik aja, kok, tadi pagi. Dia gak mengeluh sakit.’
“Justru itu. Tadi pagi aku nelepon dia, dia baik-baik aja. Bahkan dia bilang mau pergi ke kantor. Kira-kira kemana ya dia?”
‘Ha? Aku gak tahu. Ya ampun, (namakamu) bikin orang khawatir aja, deh!’
“Ya udah, aku cari dia dulu sekarang. Kalau dia pulang, kabarin aku, ya.”
‘Ok. Kabarin aku juga kalau kamu lebih dulu ketemu sama (namakamu).’
“Ok.”
Iqbaal memutuskan sambungan telepon, mengakhiri percakapannya dengan Steffy dan kembali fokus pada jalanan lengang di hadapannya.
Gambaran rasa khawatir belum juga menyingkir dari wajah Iqbaal. Berkali-kali bergumam, ‘kamu dimana?’ Iqbaal masih bertahan dengan gelisah yang semakin memuncak. Mobilnya kini terarah pada jalanan yang akan mengantarnya ke arah Taman Kota. Bodoh kah jika Iqbaal mengira (namakamu) ada di sana? Hanya itu tempat satu-satunya yang sempat Iqbaal kunjungi berdua dengan (namakamu), tempat yang Iqbaal pikir ‘(namakamu) menyukainya’.
Drt... Drt... Drt... Ponsel yang berada tergeletak di atas dashboard itu bergetar beraturan. Iqbaal sempat menghiraukan, tidak memperdulikan, karena kini yang ada di dalam kepalanya hanya (namakamu). Hingga getaran itu terhenti, dan kembali berulang pertanda panggilan untuk kedua kalinya.
Iqbaal sempat mengumpat kesal. Dengan tatapan yang masih fokus pada kemudi, Iqbaal meraih ponsel dengan tangan kirinya.
“Hallo?”
Iqbaal menerima telepon tanpa melihat nama si penelepon. Tidak perduli siapapun itu.
‘Baal?’
Mendengar suara di seberang sana membuat Iqbaal menghentikan mobilnya secara mendadak, mengakibatkan hujaman klakson dari kendaraan lain menghantamnya dari arah belakang. Menyadari hal itu, Iqbaal segera kembali melaju pelan.
“Aku coba hubungi kamu dari tadi, tapi nomor kamu gak aktif, aku khawatir,” racau Iqbaal.
‘Hp aku blowbate tadi, sekarang baterainya baru aku isi. Kenapa kamu belum pulang? Aku nunggu di apartemen kamu seharian. Cepet pulang. Hks.’
***
Iqbaal berlari melewati koridor apartemennya tanpa perduli kebisingan yang dibuat oleh alas sepatunya, alas pantofel yang menghantam lantai—menghasilkan suara ricuh—menggema di sepanjang koridor. (namakamu), gadis itu berada di apartemennya sejak pagi. Apa yang ia lakukan? Perasaan khawatir semakin menyeruak memenuhi dada Iqbaal ketika (namakamu) menyisipkan isakan di ujung kalimatnya tadi. Apa yang terjadi? Iqbaal mulai kalut.
Brak! Setelah menekan 6 digit angka pasword, Iqbaal membuka pintu dengan tergesa, menghasilkan gebrakan yang sepertinya akan mampu terdengar oleh penghuni di samping kanan dan kiri apartemennya.
“(namakamu)?”
Langkah Iqbaal yang mulai terseok menghampiri (namakamu). Gadis itu tengah duduk di sofa seraya memeluk bantal kursi.
“Baal.”
Sapaan itu nyaris terdengar seperti lirihan pengaduan.
Baru saja Iqbaal menjatuhkan tubuhnya di samping (namakamu), tiba-tiba gadis itu menghantamkan tubuhnya kencang—mendekap Iqbaal. Dekapannya erat, sangat erat membuat Iqbaal dengan nafas tersengal-sengalnya—karena berlari tadi—merasa semakin sesak.
Isakan itu terdengar lagi, bahkan semakin lama semakin terdengar erangan-erangankecil yang berubah menjadi raungan histeris. Iqbaal merasakan pundak gadis itu semakin lama semakin berguncang hebat. Sejenak Iqbaal membiarkan (namakamu) menumpahkan semuanya, apapun yang (namakamu) rasakan saat ini akan Iqbaal tampung terlebih dahulu. Membiarkan gadis itu mengikis perasaan sakitnya dulu.
*
“Kenapa? Apa yang terjadi? Bilang sama aku.”
Iqbaal mulai berani bertanya ketika ia merasakan tangis (namakamu) sedikit mereda, mencoba membalas dekapan (namakamu) dengan belaian lembut pada tengkuk (namakamu), punggung (namakamu).
“Apa yang sakit?” tanya Iqbaal lagi dengan suara lebih pelan, menunggu jawaban (namakamu). Pertanyaan itu muncul karena ia sempat mendengar alasan (namakamu) tidak masuk kantor karena sakit.
(namakamu) menggeleng.
“Lalu ada apa? Cerita sama aku.”
Alasan tidak masuk kerja karena sakit ternyata klise, (namakamu) tidak sakit.
“Karrel ada nemuin kamu lagi hari ini?”
(namakamu) menggeleng.
“Kamu dengar kabar Karrel mau tunangan?”
(namakamu) menggeleng.
“Menikah?”
(namakamu) kembali menggeleng membuat Iqbaal mendesah pasrah, tersiksa dalam keingintahuannya.
“Lalu?” tanya Iqbaal lagi, tanpa nada paksaan untuk mendapatkan jawaban.
“Hari ini aku merasa dunia seakan mau runtuh,” jawab (namakamu), suaranya terdengar masih bergetar tidak seimbang.
“Hm?”
“Kamu akan tetap jadi flat shoes aku kan?” tanya (namakamu), gadis itu kini menengadahkan wajahnya, memperlihatkan mata sembabnya pada Iqbaal. Iqbaal mengangguk seraya tersenyum. “Aku hanya butuh itu, untuk saat ini aku hanya butuh itu.”
(namakamu) semakin berucap tidak jelas, membuat Iqbaal semakin tidak mengerti. Tangisan (namakamu) kembali pecah, seiring semakin erat dekapannya pada Iqbaal, dan kembali Iqbaal harus menekan rasa ingin tahunya.
*
“Aku sulit bergerak, (namakamu).”
Iqbaal kini berdiri di depan counter dapur, di depan kompor yang tengah menyala untuk merebus mie instan di atasnya. Sementara (namakamu)? Gadis itu berdiri di hadapan Iqbaal, masih mendekap Iqbaal, tangannya melingkar erat pada tengkuk laki-laki itu, dan kepalanya ia benamkan pada dada kanan Iqbaal.
Berkali-kali Iqbaal mengajak gadis itu untuk makan keluar, namun berkali-kali itu pula (namakamu) menolak, sehingga Iqbaal harus merebus mie untuk mengisi perut kosongnya—lagi-lagi.
“Sampai kapan kamu akan nempel kayak gini?” tanya Iqbaal, tangannya meraih lap tangan untuk mengangkat panci panas yang berisi rebusan mie. Iqbaal sama sekali tidak risih dengan tingkah (namakamu) saat ini, hanya saja takut jika Iqbaal tidak sengaja melukai (namakamu) dengan benda-benda panas di hadapannya.
Iqbaal melangkahkan kakinya menuju meja makan dengan mangkuk di tangan kanan; (namakamu) masih mendaplok(?) di dadanya dan ikut bergerak searah kaki Iqbaal melangkah. Iqbaal tertegun ketika hendak duduk di kursi makan. Bagaimana ini?
“Aku duduk di pangkuan kamu,” ucap (namakamu), merasakan kebingungan yang tengah Iqbaal alami saat ini.
Iqbaal menggeleng bingung, tingkah (namakamu) saat ini benar-benar aneh. Sangat aneh. Mulai dari menangis meraung-raung seharian ini tanpa alasan yang tidak Iqbaal ketahui, hingga tidak masuk kerja. Dan saat ini... Gadis itu semakin bertingkah aneh.
Iqbaal menarik sebuah kursi untuk ia duduki. Sempat mendesah kencang ketika menjatuhkan tubuhnya untuk duduk karena seiring itu (namakamu) juga ikut terjatuh di pangkuannya. Iqbaal merasakan (namakamu) membenahi posisinya, dan lingkaran lengan pada tengkuknya semakin erat, kepala gadis itu semakin dalam menelusup di sisi kiri lehernya.
Ok. Apapun keadaannya, Iqbaal harus makan, karena perutnya sudah meronta-ronta. “Setelah ini, kita makan di luar ya?” tawar Iqbaal lagi, namun disambut gelengan pelan dari (namakamu).
“Ayo lah, (namakamu). Kamu belum makan.”
Ucapan Iqbaal masih tetap membuat (namakamu) menggeleng.
“Ok, terserah kalau gitu. Terus sekarang? Gimana caranya aku makan dalam posisi seperti ini?”
Pertanyaan Iqbaal kembali membuat (namakamu) menggeleng. Dasar, gadis aneh!
Iqbaal meraih kotak tissue, menarik beberapa lembar tissue untuk di taruh pada lengan (namakamu) yang melingkari lehernya. Iqbaal tidak mau lengan (namakamu) terkena kuah mie yang akan ia makan. Setelah menyusun tissue, Iqbaal mulai menggulung mie dengan garpu dan memasukan ke dalam mulutnya.
Selang beberapa menit... setelah Iqbaal menyelesaikan acara makannya, Iqbaal merasakan kadar keeratan lingkaran tangan (namakamu) semakin berkurang. Tubuh (namakamu) juga terasa semakin berat di atas pangkuannya. Apakah gadis itu tertidur? Setelah Iqbaal melucuti tissue yang ia susun pada lengan (namakamu), Iqbaal memeriksa wajah (namakamu) dengan cara menggeser pundaknya.
Hhhh... Mata gadis itu terpejam. Gadis itu tertidur. Pantas saja bobot tubuhnya semakin terasa berat. Iqbaal kembali membenahi posisi (namakamu), kali ini lengannya melingkar di pinggang gadis itu—agar gadis itu tidak terjatuh. Menggoyang-goyang tubuhnya ke kanan kekiri seolah tengah menina-bobokan seorang bayi.
Hening... Hanya ada Iqbaal yang masih menatap meja makan dengan senandung ringannya.
Tiba-tiba senandung itu terhenti. Perlahan Iqbaal memejamkan matanya, merasakan perasaan yang tidak asing menyeruak di dalam dadanya.
“Aku mencintai kamu. Dengan segenap kesadaran yang aku miliki... Aku mencintai kamu. Apa yang harus aku lakukan sekarang, (namakamu)? Bilang sama aku... apa yang harus aku lakukan saat ini untuk mencintai kamu.”

Bersambung~

Dikunyah » kalo enak » telen » komen.
Digigit » kalo gak enak » lepeh » tinggalkan » jangan balik lagi. *apaan sih*

Karya : @citranovy (Novy Citra Pratiwi)
Follow : @_BayuPrasetya


Klik Bagikan/Share

Like FanPage nya juga di ==> https://www.facebook.com/profile.php?id=379969348803380&ref=stream&refid=52&__tn__=C

Sunday, July 6, 2014

HASIL OSTN SMK SE-KABUPATEN BANJARNEGARA 2014

1. MATEMATIKA TEKHNOLOGI:
JUARA 1 AZHARI HAWARIYULLOH (SMKN 1 BAWANG)
JUARA 2 MOHAMAD YUNIANTO (SMK PANCA BHAKTI BANJARNEGARA)
JUARA 3 AHMAD FAUZI AKBAR (SMK HKTI 1 PURWOREJO KLAMPOK)
2. MATEMATIKA NON TEKHNOLOGI:
JUARA 1 RINA PURWASIH (SMKN 1 BAWANG)
JUARA 2 LESTARI SEPTIYANI (SMKN 1 BAWANG)
JUARA 3 ANDRIANTO (SMKN 1 PUNGGELAN)
3. FISIKA TERAPAN:
JUARA 1 TOMI SEPTIANTO (SMKN 1 BAWANG)
JUARA 2 IMAN SUBAKTI (SMKN 2 BAWANG)
JUARA 3 HERNI TRI WAHYU NINGSIH (SMK PANCA BHAKTI RAKIT)
4.KIMIA TERAPAN:
JUARA 1 ERLINA MAHA RETNA (SMKN 1 BAWANG)
JUARA 2 ANDRI (SMKN 2 BAWANG)
JUARA 3 IRWAN (SMKN 2 BAWANG)
5. BIOLOGI TERAPAN:
JUARA 1 ATIKA YULIANTI (SMK HKTI 1 PURWOREJO KLAMP[OK)
JUARA 2 ADVINDA RAKHMANISA (SMK HKTI 1 PUWOREJO KLAMPOK)
JUARA 3 RIDHA MEKAR AYU WIRANTI (SMKN 1 BAWANG)

Cerbung Flatshoes - Part 5

_______
“Apa aku harus mukul dia lagi?”
Iqbaal memutar lehernya, menatap (namakamu) yang masih sibuk terisak dibelakangnya.
(namakamu) menggeleng.
“Ok! Saya sudah bilang sebelumnya, walaupun bukan hak stiletto, namun jika saya yang menghantamkannya maka itu akan terasa lebih sakit.”
Ucapan Iqbaal terdengar datar dan pelan, namun tetap terdengar menyebalkan di telinga Karrel. Setelah itu Iqbaal berjongkok, memakaikan sepatu pada kaki (namakamu), lalu menarik (namakamu) untuk menjauh dari Karrel.
***
Srttt... Tarikan-tarikanmie instan sudah terlepas dari kuahnya dan mulai masuk ke dalam mulut (namakamu). Iqbaal ada di hadapannya, baru saja selesai membuat semangkuk mie instan lagi, setelah tadi ia membuatkan untuk (namakamu). Gadis patah hati itu, terlihat kelaparan, karena hanya ada cadangan mie instan di sini, takut (namakamu) terburu mati dan mengeluarkan buih dari mulutnya maka Iqbaal segera membuatkan makanan seadanya.
Iqbaal menarik kursi agar posisinya bisa lebih dekat dengan (namakamu), karena kini Iqbaal melihat (namakamu) sudah menyelesaikan acara makannya, mangkuk gadis itu sudah kosong, dan mulut gadis itu mengambil ancang-ancang untuk berbicara.
“Aku sama Karrel udah pacaran 5 tahun.”
“Aku tahu, ketika kamu mabuk tempo hari-”
Ucapan Iqbaal terhenti ketika (namakamu) menatapnya dengan wajah kesal. “Ketika kamu gak sadarkan diri—gak enak banget gak sadarkan diri.”
Iqbaal memprotes kalimatnya sendiri. Setelah itu, Iqbaal memilih mengkatup mulutnya. Diam. Biarlah kali ini (namakamu) bercerita dalam keadaan sadarnya dan Iqbaal mulai menyibukkan diri mengaduk-aduk mie-nya.
“Lima tahun lalu, ketika aku SMA. Karrel nyatain perasaannya sama aku—”
“Waktu itu kamu bilang, kamu yang nembak Karrel?”
Hening...
Iqbaal menyadari (namakamu) mulai kesal dengan kalimat selaannya. Iqbaal membuang pandangannya asal, tangan kanannya bergerak menggapai-gapaisaus sambal di tengah meja.
“Dulu dia janji gak akan ninggalin aku. Nyatanya? Dasar laki-laki! Sama semuanya! Brengsek! Gak punya hati! Gak punya otak! Autis! Tunjukin laki-laki mana yang normal di dunia ini?!”
(namakamu) menatap Iqbaal yang kini tengah susah payah menelan mie instan dari gulungan garpunya. Sadarkah (namakamu) saat ini ia tengah berbicara dengan seorang laki-laki? Iqbaal berdeham, tanpa komentar, seolah tidak mendengar racauan tanpa sadar yang keluar dari mulut gadis itu. Masih terfokus pada mie instan yang berada di mangkuknya.
‘Tidak sadar ataupun sadar, ternyata sama saja.’
Iqbaal bergumam dalam hati.
“Gak pernah terpikir sebelumnya, dia bakalan ninggalin aku.”
(namakamu) perlahan menaikan kedua kakinya ke atas kursi. Melipat tangannya di atas kedua lutut dan menjadikan alas wajahnya untuk menelungkup. Mulai terdengar isakkan.
“Ashhh!”
Iqbaal memutar bola matanya dengan kesal. Haruskah gadis itu selalu menangis ketika mengingat nama Karrel? Tangan kiri Iqbaal menepuk-nepuk punggung (namakamu), sementara tangan kanannya sibuk menggulung mie dan memasukan ke dalam mulutnya. “Jangan nangis, nanti kita pukul Karrel pake sepatu kuda, ya?”
Iqbaal berbicara seraya mengunyah.
(namakamu) mengangguk pelan, lalu menengadahkan wajahnya, melihat mangkuk Iqbaal yang masih terisi, (namakamu) refleks menarik mangkuk itu untuk mendekat. “Aku masih laper,” ucap (namakamu) dengan tampang meminta belas kasihan. Iqbaal hanya manggut-manggut, kemudian memberikan sebuah garpu bersih dari kotak sendok di hadapannya. Apapun, apapun yang (namakamu) mau, asalkan tidak menangis lagi.
“Makan lagi,” ucap Iqbaal seraya tersenyum. Tidak butuh waktu yang lama ternyata untuk dekat dengan gadis ceroboh ini.
(namakamu) sedikit menggeser mangkuk agar jaraknya tidak terlalu jauh dari jangkauan Iqbaal, mengisyaratkan Iqbaal untuk makan bersama. Iqbaal tersenyum, lalu ikut menggulungkan mie pada mangkuknya lagi, membuat gulungan mie pada garpunya dan garpu (namakamu) saling membelit, sehingga mereka harus saling menarik sebelum memakannya. Perang garpu terjadi di salam sebuah mangkuk, dan tingkah itu membuat mereka berdua sesekali tertawa.
Drt... Drt... Ponsel Iqbaal yang berada di atas meja makan kembali mengeluarkan getaran. Menghentikan tingkah konyol mereka, karena kini Iqbaal meraih ponsel dan membuka speaker telepon.
“Hallo?” sapa Iqbaal. Sedetik kemudian senyumnya mengembang.
Suara apa yang Iqbaal dengar di seberang sana? (namakamu) benar-benar penasaran. Ingin sekali rasanya (namakamu) merampas ponsel itu dan meng-klik tulisan 'loudspeaker' agar dapat mendengar suara seseorang di seberang sana yang membuat Iqbaal saat ini tersenyum.
“Ok. Lain kali, semoga kita bisa ketemu--atau mungkin kita jalan bareng kesana?”
Iqbaal terkekeh setelah mengakhiri kalimatnya.
Jalan bareng? Siapa? Siapa yang Iqbaal ajak untuk ‘jalan bareng’? Garpu (namakamu) seperti berubah menjadi linggis besar yang siap menancap perut Iqbaal. Bayangan di kepala (namakamu) saat ini berkelebat si cantik Salsha yang semampai tengah berbicara sok lembut dengan Iqbaal di seberang sana.
“Ok. Sampai ketemu besok.”
Iqbaal mengakhiri teleponnya dengan senyum yang masih belum lepas. Namun, ketika Iqbaal menatap (namakamu) yang kini tengah menatapnya, senyumnya tiba-tiba mengendur. Iqbaal menaruh ponselnya, tangan kanannya kembali meraih garpu.
“Aaa...”
Mulut Iqbaal menganga, mengisyaratkan agar (namakamu) membuka mulutnya.
“Kenyang,” tolak (namakamu), tangannya meraih selembar tissue pada kotak di tengah meja makan. Iqbaal hanya mengangkat kedua alisnya, lalu menggeser mangkuknya untuk kembali berada di hadapannya.
***
12 Sept 2014
“(namakamu)! Duh!”
Steffy menghentak-hentakkan kakinya di ambang pintu kamar (namakamu).
“Apaan, sih, Steff?”
(namakamu) yang tengah sibuk mencondongkan tubuhnya ke cermin sekilas menatap Steffy, lalu kembali fokus mengukir setengah lingkaran eyeliner pada garis matanya. Meraih lipgloss merah muda, melukiskannya di bibir, sempat (namakamu) menyecap-nyecapbibirnya sendiri untuk merasakan rasa lipgloss dengan wangi strawberry yang menyeruak.
“Iqbaal di depan nungguin lo!”
“Boong!” tukas (namakamu), tidak percaya.
“Errrgghh. Buat apa gue boong! Kasihan dia nunggu lo kelamaan!”
“Lo boong,” ucap (namakamu) santai, kali ini (namakamu) tengah memasukan lengan kanannya pada lengan blazer.
“Steffy gak boong.”
(namakamu) menoleh ke arah suara itu berasal. “Iqbaal?” pekik (namakamu), mendapati Iqbaal tengah menyandarkan pangkal lengan kanannya pada kusen pintu kamar. “Lima menit, ya. Sebentar lagi ada job fair untuk Divisi R & D, loh! Jangan sampai kamu terdepak sama karyawan baru,” ucap Iqbaal, peringatan kecil yang menyebalkan, setelah itu Iqbaal melangkahkan kakinya keluar diiringi siulan santai.
“Ohhh... Untuk apa dia datang kesini kalau cuma bikin gregetan?!”
(namakamu) memaksakan lengan kirinya untuk masuk ke dalam lengan blazer, tidak sempat membereskan renda kemeja pada bagian dadanya yang bergerumul tidak beraturan. Lima menit, (namakamu) memakaikan stilettonya seraya melangkah tergesa keluar pintu.
“Udah?”
Iqbaal kini terlihat tengah menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil. Menatap (namakamu) yang kini menghampirinya dengan langkah tergesa.
“Lain kali aku bisa naik busway!” ujar (namakamu), ketika sudah sampai di hadapan Iqbaal. Iqbaal hanya terkekeh tanpa berkomentar, tangan kanannya bergerak membukakan pintu mobil agar (namakamu) bersegera masuk.
***
Sehari ini (namakamu) benar-benar banyak mengumpat. Pekerjaannya tidak kunjung selesai, seolah seperti lingkaran berantai yang tak kunjung terputus. Pekerjaan satu belum selesai sudah datang pekerjaan dua, pekerjaan dua belum selesai sudah datang pekerjaan tiga, dan begitu seterusnya.
Apakah seisi ruangan ini sudah mendengar gosip kedekatan (namakamu) dengan Iqbaal? (namakamu) merasakan aura-aura iri mengelilingi dirinya saat ini. Oh Tuhan... Kejam sekali. Padahal hingga hari ini (namakamu) belum menemukan teman kerja yang bisa diajak bergosip untuk menemaninya makan siang, dan gosip itu menyeruak membuat semua karyawan seruangan seolah menjauhinya. Sampai kapan ia harus menikmati waktu istirahat sendiri? Makan sendiri seperti orang bodoh dan terdiskriminasi. Menyedihkan T..T
“Jam kerja udah habis.”
Tangan kekar itu menangkupkan jilid map yang tengah terbuka di hadapan (namakamu).
“Hoh... Ayolah! Jangan ganggu saya untuk saat ini, Pak Iqbaal. Pekerjaan saya masih menumpuk.”
(namakamu) kembali membuka jilid map, jari telunjuknya menelusur batas data yang tadi ia sempat ketik.
“Bisa dikerjain besok, ‘kan? Sekarang waktunya pulang.”
Tangan Iqbaal dengan jahil menutup lagi map yang berada di hadapan (namakamu), membuat gadis itu kesal dan menggebrak meja kerjanya. Jelas saja suara itu membuat sorot mata sisa karyawan teralih dengan tampang bertanya, ‘ada apa?’
“Ini bukan apartemen saya, (namakamu). Jadi anda tidak bisa berlaku seenaknya seperti itu.”
Iqbaal menyandarkan tubuhnya—seolahduduk—pada meja kerja (namakamu). Menatap (namakamu) yang kini kembali menelusurkan telunjuknya pada kertas berkas.
“Saya sepertinya harus lembur. Anda bisa pulang duluan,” ucap (namakamu) sekilas menatap Iqbaal lalu tatapannya kembali terjatuh pada kertas-kertas memuakan di hadapannya.
Iqbaal mengangguk. Setelah itu langkahnya terayun meninggalkan (namakamu) tanpa pamit.
“Asshhh! Laki-laki! Hanya basa-basi!” umpat (namakamu) ketika menatap kepergian Iqbaal. Hatinya sedikit melengos mendapati Iqbaal yang kini tidak ada di sampingnya. Apakah keputusannya ini benar? Memaksakan dirinya lembur untuk menyelesaikan semua pekerjaannya? Jika tidak lembur, lalu bagaimana dengan tumpukan pekerjaan hari ini yang tidak beres ketika digabungkan dengan pekerjaannya besok ToT. Tolong T..T
“Hai!”
Selang 15 menit, debuman pintu ruangan terdengar terbuka dengan kencang. Langkah pantofel lembut itu terdengar bertepuk mendekat. Iqbaal, dengan jas yang ia gantungkan pada pundak kanannya, lengan kemeja yang sudah tergulung 3/4, dan... tangan kanannya menjinjing kresek putih.
Suara deritan terdengar ketika Iqbaal menyeret sebuah kursi untuk duduk di samping (namakamu).
“Aku gak tahu makanan kesukaan kamu, jadi—kenapa?”
Iqbaal menatap (namakamu) yang tengah menatapnya dengan berbagai kebingungan.
Iqbaal sejenak mengedarkan pandangannya. Di dapati 10 orang karyawan dan 1 orang karyawati yang berada di dalam ruangan menatap ke arahnya, setelah tatapan itu terpergok, mereka seolah kembali sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
“Ini di luar jam kerja aku, ‘kan? Jadi sekarang aku bukan berlaku sebagai bos kamu. Anggap aja aku ini temen kamu yang nemenin kamu lembur, jadi gak ada salahnya juga ‘aku’ manggil ‘kamu’. Hm?”
(namakamu) menggeleng pelan, ‘terserah’, lalu kembali menjatuhkan tatapannya pada lembaran berkas di hadapannya.
Iqbaal kembali bangkit dari posisinya, mengeluarkan isi kantung yang ternyata ada beberapa cup kopi di dalamnya. “Semangat kerjanya, ya.”
Iqbaal membagikan satu cup kopi beserta makanan ringan lainnya pada semua karyawan yang tersisa di ruangan. Ucapan ‘terimakasih’ dan decakan kagum saling bersahutan.
(namakamu) menggeleng, “laki-laki aneh,” gumam (namakamu).
“Dan ini, untuk saudara (namakamu). Selamat dinikmati.” Iqbaal tersenyum, lalu kembali duduk di samping (namakamu). Meraih selembar kertas tidak terpakai untuk iseng di coret-coret.
***
18 Sept 2014
(namakamu) dan Iqbaal tengah duduk berdampingan di sofa. Posisi duduknya merosot, dengan kaki mereka yang terjulur bertopang di atas meja. Layar LED tv tengah menampilkan adegan-adegan romantis sepasang kekasih yang tengah berlari dalam derasnya hujan. Drama sekali.
‘Aku selalu ingin menjadi yang terbaik untukmu. Tapi laki-laki itu lebih baik untukmu, percaya lah.’ Dialog seorang pria yang tengah memegangi lengan wanita yang dicintainya membuat mata (namakamu) mulai berair.
‘Tapi hanya kau laki-laki yang aku cintai.’
‘Cintaku tidak berarti ketika kau bisa hidup bahagia dengan materi berlimpah bersama laki-laki itu. Berusahalah untuk mencintainya.’
‘Aku—’
‘Aku mencintaimu. Dengan segenap akalku aku mencintai mu, sampai mati aku ingin tetap mencintaimu, melihat kau tetap hidup bahagia di dunia ini. Jika kau bersamaku, kau akan mati! Karena aku tidak memiliki banyak uang untuk membutmu tetap hidup.’
‘Oppa. Aku mencintaimu. Aku benar-benar mencintaimu. Jeongmal saranghaeyo, Oppa.’
Wanita itu memeluk erat pria yang dicintainya. Dalam rinai hujan yang membasahi mereka berdua, mereka menumpahkan cinta yang tidak luntur terguyur air hujan.
“Hks... Hks...”
Bahu (namakamu) bergetar hebat, bantal kursi digigitnya kuat-kuat agar suara tangisnya tidak terdengar. Namun tetap saja, Iqbaal yang duduk di sebelahnya mampu mendengar tangis itu. Penggalan adegan film drama mellow korea itu membuat air mata (namakamu) membanjir. Durasi satu setengah jam (namakamu) lalui dengan menangis selama setengah jam di adegan terakhir.
Iqbaal menoleh, menepuk-nepuk pundak (namakamu), membelai puncak kepala (namakamu). Dilihatnya gadis di sampingnya itu menangis semakin hebat. Iqbaal beranjak dari duduknya, melangkah menuju meja makan untuk meraih sebuah kotak tissue.
“Jangan nangis,” ucap Iqbaal, menyerahkan dua lembar tissue pada (namakamu).
“Dasar laki-laki bodoh! Katanya cinta,” umpat (namakamu), mengomentari sikap peran sang aktor pada film yang tengah ia tonton.
“Setiap orang mengungkapkan cinta dengan cara yang berbeda,” ujar Iqbaal, tangannya kembali menarik selembar tissue untuk diberikan pada (namakamu), karena gadis itu ternyata masih terisak.
“Lebih baik mati bersama dengan cinta, ‘kan? Daripada harus melepas pasangannya dengan alasan cinta.”
(namakamu) menoleh, matanya yang memerah karena menangis seolah meminta tanggapan Iqbaal.
Iqbaal menggeleng pelan. “Cinta sejati gak selamanya harus seperti itu, kayak Romeo & Juliet yang harus mati bersama.”
“Hhhh... Sayangnya aku penjunjung tinggi cinta sejati Romeo & Juliet.”
(namakamu) menggulung tissue terakhirnya. Tulisan berjalan turun pada layar tv sudah menunjukkan bahwa film itu sudah berakhir.
Iqbaal meraih remote televisi. “Aku bilang apa, ‘kan? Kenapa kita gak habisin hari Minggu ini sama film action? Biar kamu gak nangis-nangis kayak gini.”
“Aku gak suka film action.”
Pandangan kabur (namakamu)—karena baru saja selesai menangis—menatap keluar jendela. Ternyata di luar sana masih hujan, padahal hari sudah siang.
Rencana awal, (namakamu) dan Iqbaal akan melakukan jalan-jalan pagi lagi ke taman kota untuk melihat daun-daun kuning yang berjatuhan. Tapi, karena hujan yang sejak pagi mengguyur belum berhenti hingga siang ini, membuat (namakamu) dan Iqbaal tertahan di dalam apartemen. Keduanya sempat keluar sejenak untuk membeli makanan dan beberapa kaset film untuk mengisi waktu membosankan seharian ini, karena sepertinya hujan masih berjuang untuk terus jatuh.
(namakamu) memposisikan tubuhnya tidur dengan kaki menekuk—menyadari Iqbaal yang masih duduk satu sofa dengannya—kepala (namakamu) beralaskan lengan sofa.
“Apa lagi, ya?”
Iqbaal memilah-milah beberapa kaset dvd film drama mellow korea yang ia beli bersama (namakamu) tadi. “Kenapa harus korea, sih? Mianhae, saranghaeyo, bogoshipo? Bahasanya kedengeran aneh, jadi gak terkesan romantis,” protes Iqbaal. Karena selama menonton film tadi merasa terganggu dengan dialog, teriakan, dan sahutan setiap pemain. Iqbaal sesekali meringis kebingungan selama menonton.
“Gak usah mikirin bahasa yang mereka ucapkan, tapi artinya. Arti-artinya yang romantis,” bela (namakamu). Gadis itu bangkit dari baringannya, lalu merebut beberapa keping kaset dari tangan Iqbaal.
“Flatshoes.”
(namakamu) terkekeh membaca salah satu judul film dari cover kaset. “Baca flat shoes jadi inget kamu,” lanjut (namakamu).
“Mmm... Pertama kali ketemu, karena flat shoes,” timpal Iqbaal, laki-laki itu tersenyum tipis.
“Setiap gadis mengatakan nyaman jika kakinya berada dalam flat shoes. Tanpa perlu paksaan untuk berpijak pada hak tinggi. Melemaskan kaki sesukanya. Dan saat ini, mulai injak flatshoes-mu senyamannya kau melangkah. Karena... Flat shoes-mu adalah aku.”
(namakamu) membaca tulisan kecil di bawah judul film. Penggalan dialog yang terdapat di dalam film, mungkin.
“Kata-katanya bagus.” *siapa dulu yang ngarangnya -,-*
Iqbaal memberikan komentar. Tangannya meraih cover kaset dalam genggaman (namakamu).
“Andai aja ada laki-laki yang mau jadi flat shoes buat aku,” harap (namakamu), tatapan matanya menerawang.
“Aku. Aku mau jadi flat shoes kamu. Setiap gadis mengatakan nyaman jika kakinya berada dalam flat shoes. Tanpa perlu paksaan untuk berpijak pada hak tinggi. Melemaskan kaki sesukanya. Dan saat ini, mulai injak flatshoes-mu senyamannya kau melangkah. Karena... Flat shoes-mu adalah aku.”
Iqbaal mengulangi kata-kata yang baru saja (namakamu) ucapkan, membaca kata-kata pada cover kaset.
(namakamu) terkekeh geli, menepuk-nepuk pundak Iqbaal. “Terimakasih, flat shoes-ku!” gurau (namakamu) di sambut senyuman tipis dari Iqbaal.
“Aku serius.”
Iqbaal menarik tangan (namakamu). “Berlakulah senyaman yang kamu mau di depan aku. Jangan perduli aku terinjak, terkotori, berdebu. Yang penting, kamu nyaman.”
“Apa sih!”
(namakamu) menepis pelan lengan Iqbaal. Entah mengapa gadis itu kini merasakan air matanya bergerumul, kembali bermain-main di sudut matanya. “Hffhhhh... Drama tadi sedih ya, sampai-sampai aku nangis lagi.”
(namakamu) menengadahkan wajahnya. Berharap air-air menyebalkan itu segera menguap pergi.
Iqbaal tersenyum, kembali menarik selembar tissue untuk (namakamu). “Oh ya! Besok aku ada janji, mau ketemu sama temen lama aku sepulang kerja.”
Iqbaal mengalihkan fokus pembicaraan.
“Oh ya? Ok. Aku bisa pulang sendiri.”
(namakamu) tersenyum, lalu meraih tissue dari dalam kotak yang berada di atas meja, lagi. Hidungnya mampet.
“Bukan gitu! Besok kamu temenin aku, buat ketemu temen lama aku itu. Gimana? Mau ya?” ajak Iqbaal, berharap (namakamu) menyetujui.
(namakamu) hanya manggut-manggut, tidak bersuara, karena kini sibuk menghilangkan mampet pada saluran hidungnya.
***
19 Sept 2014
“Weyyy! Brother!”
Aksi saling peluk dan saling pukul pundak yang biasa dilakukan pria kebanyakan itu terjadi. (namakamu) hanya bisa tersenyum mendapati dua sahabat pria yang entah sejak kapan tidak bertemu.
“Kenalin, ini (namakamu). (namakamu), ini Bastian temen aku waktu kuliah dulu,” ucap Iqbaal. Wajahnya terlihat memendarkan kebahagiaan ketika mampu mengenalkan (namakamu) di hadapan Bastian.
“(namakamu),” ucap (namakamu) seraya menjulurkan tangannya.
“Bastian,” balas laki-laki manis sebaya Iqbaal itu.
Setelah perkenalan singkat antara (namakamu) dan Bastian, mereka saling mempersilahkan untuk duduk. Meja persegi yang diisi dua pasang bangku saling berhadapan, (namakamu) duduk di samping Iqbaal, sementara Bastian duduk sendiri didampingi kursi kosong—di hadapan mereka berdua.
“Cantik,” celetuk Bastian tiba-tiba. Membuat Iqbaal tersenyum miring seolah ingin melemparkan tissue yang ada di hadapannya, sedangkan (namakamu) hanya tersenyum malu-malu.
“Kebiasaan lo, gak pernah berubah!”
Iqbaal menggeleng-gelengkan kepalanya, tingkah Bastian tanpa basa-basi dan tanpa aba-aba.
“Pacar Iqbaal, ya?” tanya Bastian tiba-tiba.
(namakamu) dan Iqbaal sejenak saling terdiam, setelah itu saling lempar pandang kebingungan. Mereka malah menggaruk tengkuk masing-masing.
“Mau pesan apa?”
Iqbaal tiba-tiba membabad suasana hening yang terjadi.
“Apa aja,” jawab Bastian ringan, masih belum menyadari keling-lungan yang terjadi antara (namakamu) dan Iqbaal.
Iqbaal mengangguk, tanpa permisi laki-laki itu bangkit dari duduknya dan melangkah menjauh. Sepertinya hendak menghampiri seorang waitress. Meninggalkan (namakamu) dan Bastian yang kini hanya saling lempar senyum hambar. (namakamu) sempat mengumpat Iqbaal yang beranjak dari duduknya tanpa aba-aba. Gadis itu mencuri lirikan ke arah Iqbaal yang kini tengah menunjuk-nunjukbuku menu yang berada di tangan seorang waitress. Setelah mendapat anggukan dari waitress, Iqbaal pun kembali melangkah menghampiri keberadaan (namakamu) dan Bastian.
“Gimana kerjaan lo?” tanya Iqbaal, menyeret kursi untuk kembali duduk di samping (namakamu).
“Masih foto-foto. Ya gitu, lah. Pokoknya kerjaan gue beda jauh sama lo, Direktur Iqbaal.”
Jawaban Bastian membuat kekehan kencang saling bersahutan dari Iqbaal dan (namakamu) terdengar.
“Bastian ini seorang fotografer,” jelas Iqbaal pada (namakamu). (namakamu) hanya mengangguk. Jujur, sebenarnya (namakamu) sama sekali tidak ingin tahu. Tidak perduli fotografer atau foto model *ngawur* (namakamu) tidak mau tahu.
“Kalau kamu mau daftar jadi model juga boleh. Kamu cantik, loh!” puji Bastian, untuk kedua kalinya lagi-lagi membuat senyum malu (namakamu) mengembang. (namakamu) harus menggaruk-garuktengkuknya lagi yang tidak gatal untuk menghilangkan rasa malu.
“(namakamu) jomblo, loh. High class jomblo,” timpal Iqbaal. Ucapan Iqbaal membuat (namakamu) menghentakan tangannya pada paha pria itu.
“Waw! Kebetulan! Kosong sama kosong, bisa saling isi.”
Bastian menunjuk dadanya lalu menunjuk (namakamu) dengan wajah antusias.
Jika itu hanya sekedar lelucon, maka itu benar-benar tidak lucu. (namakamu) benar-benar tidak ingin tertawa, jangankan untuk tertawa, tersenyum pun enggan. (namakamu) malah sibuk menepis keningnya yang mulai ditumbuhi titik-titik keringat. Bukan karena udara panas, bukan karena derajat AC diruangan ini yang kurang turun suhu, melainkan...
“Iya, kebetulan yang sangat bagus,” timpal Iqbaal lagi.
“Baal!” lirih (namakamu), entah mengapa ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Iqbaal saat ini terdengar sangat menyebalkan di telinga (namakamu).
“Kalian bisa saling tukar nomor handphone, loh. Biar lebih deket.”
“Baal!”
Tanpa Iqbaal ketahui mata (namakamu) kini sudah mulai terselimuti air. Ide gila untuk memukul Iqbaal dengan hak stilettonya pupus karena kini Bastian menjentikkan jarinya di hadapan wajah (namakamu).
“Kita bisa lebih dekat sepertinya,” ucap Bastian. “Boleh 'kan, Baal?” tanya Bastian.
Iqbaal mengangguk, pertanda menyetujui ide Bastian untuk mendekati (namakamu). Ini benar-benar terjadi di hadapan (namakamu), dan entah mengapa anggukan Iqbaal seperti menohok kerongkongan (namakamu) saat ini.
“Jahat!”
Desis (namakamu), desisannya sama sekali tidak terdengar, tersapu suara alunan lagu romantis yang terputar, terdengar memenuhi seisi ruangan.
Bersambung~

Karya : @citranovy (Novy Citra Pratiwi)

Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan


Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/profile.php?id=379969348803380&ref=stream&refid=52&__tn__=C

Cerbung Flatshoes - Part 4

_______
Yakin Iqbaal akan melakukan hal ini pada karyawati lain? (namakamu) mulai plin-plan.
Tuk! Kepalan tangan Iqbaal mengetuk pelan kening (namakamu). “Hak sepatu pantofel aku kurang tinggi buat pukul kening kamu. Naik (namakamu)!”
Perintah itu pelan, namun terdengar kontaminasi nada kesal. (namakamu) meringis, lalu kali ini dengan mata terpejam ia menjatuhkan tubuhnya pada punggung Iqbaal.
“Egh!”
Suara itu terdengar ketika hentakan pertama Iqbaal mengangkat tubuh (namakamu). “Aku pikir kamu gak seberat ini,” keluh Iqbaal, wajahnya sedikit meringis.
“Kamu nyesel ya, Pak?”
“Kamu nyesel ya, Baal?” ralat Iqbaal. “Lebih enak didenger, deh, kayaknya.”
“Mmm, ya. Kalau berat, aku bisa turun, kok,” ucap (namakamu), merasakan langkah Iqbaal semakin lama semakin lamban dengan kaki terseret.
“Dikit lagi,” jawab Iqbaal. Singkat. Ia tidak mau membuang-buang suaranya untuk menambah sesak.
***
(namakamu) membuka kunci rumahnya, diiringi Iqbaal yang kini berada di sampingnya. Mungkin Iqbaal ingin memastikan (namakamu) masuk ke dalam rumahnya dalam keadaan baik-baik saja setelah diantar. Bisa saja Karrel menguntit dan menyergap (namakamu) sebelum masuk ke dalam rumah. Berlebihan memang, tapi itu bisa jadi kan?
Sepertinya Steffy belum pulang, lampu-lampu di dalam maupun di luar rumah masih belum menyala.
(namakamu) berhasil membuka kunci, melangkah masuk dengan sepatu yang ia jinjing. Tanpa disangka tangan Iqbaal memegangi kedua lengan (namakamu), membantu (namakamu) untuk berjalan. (namakamu) merasakan tubuhnya sedikit kaku, mungkin canggung dengan posisi yang terjadi saat ini.
“Maaf aku ngerepotin kamu, Pak.”
(namakamu) sudah duduk di sofa bludru putih yang ada di ruang tengah. Sedikit menggerak-gerakan kakinya agar tidak kaku.
“Maaf aku ngerepotin kamu, Baal! Ayolah (namakamu)! Itu kedengerannya gak enak banget,” protes Iqbaal. Sepertinya untuk kedua kalinya Iqbaal melakukan protes secara langsung.
“Mmm.”
(namakamu) hanya menggumam. “Aku ambilin minum ya?”
(namakamu) hendak berdiri, sebelah kakinya tetap lurus agar lutut kanannya tidak menekuk dan menimbulkan rasa perih lagi.
“Gak usah,” sergah Iqbaal. Kedua tangannya menahan pundak (namakamu), membuat (namakamu) kembali terjatuh di atas sofa. Tanpa sadar sergahan Iqbaal membuat jas Iqbaal yang melingkari pinggang (namakamu) tersingkap.
“Lo udah pu-”
Langkah Steffy terhenti. Mulutnya tiba-tiba kaku melihat pemandangan yang ada di hadapannya. “Gue ganggu ya?”
Tiba-tiba Steffy mengeluarkan kalimat itu dengan nada penyesalan.
(namakamu) tengah duduk di sofa dengan tangan Iqbaal yang memegangi kedua pundaknya seraya membungkuk, memberi kesan seolah Iqbaal tengah mengurung (namakamu). Jas hitam yang tidak Iqbaal kenakan, melingkar pada pinggang (namakamu) memberikan kesan eksotis bagi Steffy, ditambah lagi jas itu tersingkap memperlihatkan hasil robekan panjang pada roknya dan mengekspos paha putih (namakamu).
*
“Harus sampai ada adegan robek-robek rok ya?” goda Steffy, sesekali membungkam kekehannya. Iqbaal sudah pulang dari 1 jam yang lalu, namun ternyata Steffy masih membahas adegan tadi, adegan (namakamu) dan Iqbaal yang ia tangkap ketika datang.
“Udah berapa kali gue bilang? Itu gak kayak yang ada di pikiran lo! Kotor!” tukas (namakamu). Gadis itu sudah berganti pakaian dengan piyama lengan panjang dan celana panjang, celana piyama sebelah kanannya ia gulung sampai 3 cm di atas lutut. Duduk di sofa dengan tangan kanan memegangi remote. Hampir saja remote itu akan membanting kepala Steffy, kesal.
“Kotor? Sayangnya gue emang suka yang kotor-kotor.”
Steffy melangkah santai melewati (namakamu) setelah mendapatkan segelas air dari dalam dispenser.
“Serah!”
Dengan hati-hati kini (namakamu) meluruskan kaki kanannya, mencoba berdiri untuk lanjut melangkah menuju kamarnya.
“Kayak drama-drama korea, ya?”
Lagi-lagi Steffy meracau. (namakamu) menggeleng, sama sekali tidak ingin mendengar racauan Steffy saat ini.
“Tadi Iqbaal ngedorong lo sampai jatuh ke sofa? Terus dia ngomong apa sama lo? '(namakamu), saranghaeyo.' Gitu gak?”
Steffy tertawa lepas, terbahak dengan menyebalkan. Itu membuat (namakamu) semakin muak dan mempercepat laju langkahnya menuju kamar.
***
10 Sept 2014
(namakamu) berjalan melewati koridor divisi dengan mendekap beberapa map yang berisi berkas-berkas yang harus ia selesaikan. Tatapannya lurus, menatap lantai putih dengan relief datar di hadapannya. Pangkal lengannya refleks mendorong pintu ketika melihat pamflet bertuliskan 'Divisi R & D' di atas pintu.
(namakamu) memasuki ruang kerja, melewati gang antar meja. Sesekali tersenyum ketika berpapasan dengan beberapa pekerja satu ruangan yang berjalan berlawanan.
Bruk! Map sudah tertumpuk di atas meja kerja. Setelah membenahi posisi duduknya, kini (namakamu) menekan tombol on pada CPU. Tatapannya tertuju pada monitor komputer yang masih menampikan layar biru dengan tulisan 'Loading' di tengahnya, diiringi lingkaran kecil berputar di sampingnya.
Sudut mata (namakamu) terarah pada pintu ruangan kerja itu berkali-kali. “Dia gak akan masuk lagi hari ini?” gumamnya seraya bertopang dagu, mendapati monitor yang sudah menampilkan beberapa menu.
Sudah 2 hari ini (namakamu) tidak menemukan Iqbaal memasuki ruangan kerjanya. Tidak ada ucapan hangat 'Selamat pagi' pada semua karyawan ketika laki-laki itu hendak memasuki ruangan. Kemana sebenarnya laki-laki itu? Dari desisan-desisankaryawan lain, beritanya masih simpang siur, ada yang mengatakan Iqbaal sakit, tugas ke luar kota, menemui orang tuanya, mempersiapkan pernikahan dengan seorang wanita, dan banyak lagi lainnya. Mana yang benar? Entah lah.
Beberapa hari kebelakang memang (namakamu) tidak banyak berinteraksi dengan Iqbaal. Hanya sesekali berpapasan dan saling melempar senyum sapaan. Tidak ada hal lain yang terdengar memalukan /_- atau terdengar istimewa. Namun...
“Asshhh!”
(namakamu) menghentak-hentakkan kaki membuat roda kecil pada kursi kerjanya terdorong-dorong tidak jelas.
“Sadar! Sadar!”
(namakamu) mengetuk-ngetukkeningnya sendiri, mengerjap-ngerjapkan matanya seolah mencoba menyadarkan dirinya sendiri. Ada yang tidak beres dengan kinerja tubuhnya ketika dua hari ini tidak menemukan sosok Iqbaal. Jangan bilang, ini awal dari perasaan jatuh cinta! Ohhh... Padahal (namakamu) sudah berjanji akan tahu diri dan tidak akan membiarkan perasaan sekecil apapun tumbuh untuk atasannya itu.
***
Langkah (namakamu) terayun pelan melewati lantai koridor apartemen yang baru 2 kali ia kunjungi. Kali ini, untuk ke-3. Berkali-kali (namakamu) meyakinkan dirinya, bahwa tingkahnya ini hanya untuk memastikan Iqbaal baik-baik saja, bukan berarti (namakamu) memiliki perasaan lain di luar normal, bukan! Tapi hanya untuk membalas budi karena selama ini Iqbaal si laki-laki berhati malaikat itu sudah banyak menarik tangannya ketika akan terjerumus ke dalam jurang memalukan.
Langkah (namakamu) terhenti di depan salah satu pintu apartemen. Tatapannya tertuju pada bell di samping pintu, namun tangannya tidak kunjung bergerak menekan, malah saat ini (namakamu) menggigit-gigitpelan jari tengahnya. Sebenarnya ia ingin sekali menggigit semua jarinya untuk menghilangkan rasa tegang yang mulai menyeruak, membuat tubuhnya kaku, tapi itu hanya akan membuatnya semakin terlihat bodoh. Lagi-lagi lututnya bergetar, menimbulkan getaran juga pada ujung rok lipit yang ia kenakan saat ini. Ia hanya akan menemui Iqbaal kan? Namun tingkahnya seolah akan menemui dosen pembimbing skripsi ketika kuliah dulu.
Drt... Drt... Ponsel di dalam tas (namakamu) bergetar. (namakamu) melepaskan sebelah tali tasnya untuk memudahkan meraih ponsel yang belum berhenti mengeluarkan getaran beraturan.
Tangannya yang sedikit basah sudah meraih ponsel dan menggenggamnya erat-erat. Setelah selesai membenahi tasnya, kini (namakamu) menatap layar ponselnya lekat-lekat. Layar ponsel memunculkan nomor tidak dikenal. Jejeran digit nomor itu membuat alis (namakamu) bertaut. “Siapa?” lirih (namakamu).
“Hallo?”
(namakamu) mulai menempelkan ponsel pada telinga kanannya.
'Passwordnya 28 12 92 («~ tanggal lahir Iqbaal cuma diganti tahun:D)'
(namakamu) tertegun setelah mendengar suara yang keluar dari speaker teleponnya. Suara yang ia kenal. (namakamu) menengadah, kamera CCTV yang mengintipnya sedari tadi tidak disadarinya, Iqbaal mampu melihat (namakamu) dari tangkapan lensa kamera itu? Kali ini (namakamu) merasakan degupan jantungnya menghentak-hentak dengan ritme tidak beraturan, seperti ada seorang pemain drum amateur di dalam dadanya yang memukul-mukulkan stick drum.
'Singkirkan tampang bodoh kamu, dan segera pencet paswordnya, (namakamu)!'
Suara di seberang sana terdengar lagi, kali ini membuat (namakamu) berjengit dan menggerakan tangan kirinya mendekati papan pasword yang berada di bawah handle pintu.
Enam digit berhasil ditekan dengan baik. Kali ini (namakamu) bergerak mendorong pintu, ternyata pintu terbuka. (namakamu) kembali merasakan dadanya menampung kadar karbondioksida berlebih yang sulit di hempas keluar ketika sudah memasuki area kekuasaan laki-laki itu.
“(namakamu), aku perlu segelas air. Bisa lebih cepat?”
Suara itu lagi-lagi menyadarkan (namakamu), kali ini tidak dari balik speaker telepon, namun suara itu terdengar langsung dari arah dalam.
*
“Kamu sering banget sakit, lain kali jangan kerja terlalu berat.”
(namakamu) menaruh semangkuk sup hangat yang baru saja selesai ia buat, duduk di sofa berbeda dengan Iqbaal, laki-laki yang kini tengah duduk merosot, menyandarkan punggungnya.
“Makasih,” ucap Iqbaal. Mencoba menegakan tubuhnya, meraih mangkuk sup dengan sebelah tangan. Belum banyak kalimat yang ia ucapkan, karena kini (namakamu) sudah kembali ke pantry.
“Aku pikir kamu benar-benar gak ada di sini dan pergi keluar kota.”
(namakamu) telah kembali dengan segelas air yang kembali ditaruh di hadapan Iqbaal. Iqbaal tidak berkomentar apapun, sibuk mengarahkan sendok yang berisi sup buatan (namakamu) ke dalam mulutnya. Melihat tingkah Iqbaal seperti itu, membuat (namakamu) merasa dirinya harus kembali ke pantry.
“Pelan-pelan.”
(namakamu) mengusap sudut bibir Iqbaal dengan selembar tissue yang baru saja ia tarik dari kotaknya.
“Makasih,” ucap Iqbaal. Untuk keduakalinya kata 'makasih', hanya itu.
Iqbaal menaruh mangkuk kosong pada meja di hadapannya, meraih segelas air yang sudah (namakamu) siapkan tadi, meneguknya perlahan. (namakamu) kini duduk di samping Iqbaal, memperhatikan gerakan lemas laki-laki itu, memperhatikan wajah pucat laki-laki itu.
“Udah ke dokter?” tanya (namakamu), entah mengapa untuk saat ini (namakamu) lebih banyak bertanya dan berbicara. Seolah benar-benar terlihat khawatir.
Iqbaal mengangguk. Mengeluarkan botol kecil dari saku celananya. Menggoyang-goyangkan botol tersebut hingga berbunyi, 'crek-crek'. Bunyi yang di hasilkan memberi tanda bahwa botol itu berisi beberapa butir obat tablet. Mungkin itu obat yang didapatkan Iqbaal dari dokter. (namakamu) hanya mendesah. Lalu ikut menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi di samping Iqbaal.
“Kaki kamu, udah sembuh?” tanya Iqbaal dengan kelopak mata yang tertutup. (namakamu) menoleh, menatap wajah pucat Iqbaal, lalu bergumam mengartikan jawaban 'ya'.
“Syukurlah. Karrel ada nemuin kamu lagi?”
(namakamu) menggeleng.
“(namakamu)?”
“Gak ada,” jawab (namakamu). Ia baru sadar bahwa mata Iqbaal masih terpejam dan tidak melihat gerakan kepalanya.
“Pukul dia pake hak sepatu kamu yang paling tinggi kalau dia macam-macam lagi.”
Ucapan Iqbaal membuat (namakamu) terkekeh pelan sambil manggut-manggut.
“Hhhh... Besok hari minggu. Temenin aku jalan-jalan ke taman kota ya?”
(namakamu) mengangguk antusias disertai seruan, “iya!” Ini yang (namakamu) tunggu, membalas semua rasa terimakasih yang tidak cukup hanya (namakamu) ucapkan pada Iqbaal. Untuk saat ini, (namakamu) akan melakukan apapun permintaan Iqbaal selama itu masuk akal.
(namakamu) meraih botol obat dari genggaman Iqbaal. Menerawangnya, menggoyang-goyang, membuka tutup botol itu iseng. Beberapa butir obat berbentuk lingkaran berdiameter setengah sentimeter berwarna putih berjejal di dalamnya.
“Itu vitamin A. Minus di mata aku bertambah, dan itu selalu bikin aku migrain. Makanya dokter ngasih aku tambahan vitamin A,” jelas Iqbaal.
(namakamu) kembali manggut-manggut, ia baru tahu kalau mata Iqbaal minus. (namakamu) menaruh kembali obat tersebut pada telapak tangan Iqbaal. “Tangan kamu anget, enak banget buat dipegang,” lirih Iqbaal, gerakan lemasnya menangkap tangan (namakamu) yang baru saja menyimpan kembali botol obat pada telapak tangannya. Iqbaal menggengam tangan (namakamu), walaupun genggaman itu terhalang oleh sebuah botol obat, namun (namakamu) merasakan adanya tarikan medan magnet yang berlawanan sehingga tangannya erat menangkup pada genggaman lemah Iqbaal.
***
11 Sept 2014
(namakamu) menjatuhkan flat shoesnya di teras depan, seiring itu telapak kakinya menelusup masuk ke dalam sepatu. Kakinya berjinjit, sejurus pandangannya yang kini beredar menjelajahi jalanan di depan rumahnya.
“Janjinya jam 8!” kesalnya. Menatap jarum menitan pada jam tangannya sudah melebihi jarak waktu 15 menit dari waktu yang dijanjikan.
Sesekali (namakamu) memutar lehernya ke belakang, melihat pintu depan rumahnya. Berharap Steffy masih mendengkur di atas ranjangnya dan tidak segera keluar menemukan (namakamu) yang sudah berdandan rapi pagi ini. (namakamu) sedang tidak mau digodai oleh racauan Steffy pagi ini.
Tiiin! Suara tunggal klakson mobir terdengar, membuat (namakamu) menyeringai senang. Mobil camry hitam itu terhenti tepat di depan pagar rumah. Kini langkah (namakamu) terayun girang menghampiri pria yang baru saja keluar dari balik pintu mobil dengan pakaian kasualnya, tanpa kemeja, tanpa celana bahan, hanya kaos putih polos dan celana jeans dark blue.
“Ngeliat kamu pakai pakaian kayak gini, kesannya-”
“Aneh?” sela (namakamu), tatapannya merunduk, memandangi flat shoes, celana jeans, dan kaos longgar berwarna peach yang ia kenakan.
Iqbaal menggeleng. “Lucu,” ralatnya. Tangannya iseng menarik rambut (namakamu) yang terkuncir tunggal.
“Kamu udah gak pucet lagi,” ucap (namakamu). Mengomentari wajah Iqbaal yang kini merunduk menatapnya.
Iqbaal mengangguk. “Berkat perawatan Suster (namakamu) semalam, sekarang kondisi pasien Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan membaik. Terimakasih.”
Iqbaal membungkuk sopan, tingkahnya itu jelas membuat tawa (namakamu) seketika meledak.
“Yuk!”
Iqbaal menarik lengan (namakamu) untuk segera memutari body mobil dan segera masuk--duduk di jok sebelah pengemudi.
“Pakai sabuknya, aku gak mau kena gampar lagi karena pakein kamu sabuk,” ucap Iqbaal, melirik (namakamu) di samping kirinya yang kini tengah menarik-narik seat belt.
“Chhh.”
(namakamu) memiringkan bibirnya, masih saja Iqbaal mengingat kejadian memalukan itu--memalukan bagi (namakamu).
“Aku harap ketika aku pergi sama kamu hari ini, aku gak akan dapet pukulan hak stiletto atau lihat adegan pemukulan hak stiletto di kening seorang pria.”
“Ayo, lah!”
(namakamu) memajang tampang memelas. Berharap Iqbaal tidak mengungkit masalah memalukan itu untuk saat ini.
“Ok ok.”
Iqbaal tersenyum jahil, mendapati muka (namakamu) yang menekuk kesal.
Selang beberapa menit perjalanan Iqbaal merasakan ponselnya bergetar. Sebelumnya ia berharap getaran itu adalah getaran pendek sebuah pesan, namun ternyata getaran ponselnya berkelanjutan, tanda ada telepon masuk.
“(namakamu), bisa ambilin hp aku?” Pinta Iqbaal, tatapannya masih terarah pada jalanan di hadapannya. Jalanan ramai membuat Iqbaal tidak bisa melepas kemudi karena takut dihantam bunyi klakson kendaraan lain ketika ia melakukan kesalahan mengemudi di jalan seramai ini.
(namakamu) mengangguk lalu tatapannya mengedar di sekirtar dashboard.
“Di sini”--Iqbaal menggoyang-goyangkan paha kanannya. “--di saku celana,” lanjutnya.
Walau ragu, namun tangan (namakamu) bergerak menelusup. Baru kali ini ia mengambilkan sebuah ponsel yang berada di dalam saku celana seorang pria, sensasinya itu... Luar biasa aneh. Lupakan!
(namakamu) merasakan ponsel itu masih bergetar. Dan (namakamu) juga melihat kedipan layar ponsel menampilkan tulisan 'Salsa's calling'. Ahhh... Wanita itu! Jangan bilang kalau ia menghubungi Iqbaal untuk masalah pekerjaan! Iqbaal kan baru sembuh dari sakitnya.
“Angkat, loudspeaker,” ujar Iqbaal tanpa nada perintah.
(namakamu) menurut, menggeser layar ponsel kekanan. Membuka speaker telepon sehingga suara lembut di seberang sana terdengar.
'Selamat pagi, Pak.'
“Pagi, Sha. Ada apa?” tanya Iqbaal santai, sedangkan (namakamu) kini memegangi ponsel di samping wajahnya.
'Hmm... Hanya ingin tahu keadaan bapak.'
“Oh, keadaan saya sudah membaik. Besok juga saya sudah masuk kantor. Malah sekarang saya mau ke taman kota untuk-”
'Apa? Taman kota? Saya juga sedang lari pagi di taman kota, Pak. Kebetulan sekali. Semoga saja kita bisa bertemu.'
“Oh ya? Iya, semoga.”
(namakamu) melihat senyum Iqbaal mengembang. Entah mengapa (namakamu) ingin sekali menghantamkan ponsel yang ia genggam pada bibir Iqbaal agar pria itu tidak tersenyum lagi.
'Saya juga sedang lari pagi di taman kota.' (namakamu) yakin sekali saat ini Salsha masih di rumah, dan segera bersiap memakai pakaian olah raga lalu bergerak tergesa menuju taman kota. Memberi kesan ia sedang lari pagi.
'Kebetulan sekali. Semoga saja kita bisa bertemu.' Semoga? (namakamu) juga yakin jika nanti Salsha akan berputar mengelilingi taman kota, setengah mati berusaha mencari Iqbaal agar bisa bertemu. Cemo! “Cewek modus!” umpat (namakamu) pelan.
***
(namakamu) dan Iqbaal berjalan mengelilingi pinggiran taman. Menyusuri jalanan yang ditumbuhi pohon rindang dengan daun menguning yang mulai berjatuhan dari batangnya. Berkali-kali (namakamu) tersenyum ketika mendapati daun kuning yang terjatuh di kepala atau pundaknya.
“Hhhh... Seandainya setiap pagi bisa kayak gini.”
Mata (namakamu) terpejam, menghirup udara luar dalam-dalam. Aroma daun basah yang berjatuhan membuat hidungnya sejuk.
“Seandainya,” timpal Iqbaal. Menjiplak tingkah yang dilakukan oleh (namakamu). Namun langkah Iqbaal harus terhenti ketika merasakan (namakamu) kini berjongkok, meraih sehelai daun kuning. Meniup debu yang mengotori daun itu, lalumemutar-mutar tangkai daun. “Kasihan ya,” gumam Iqbaal.
“Hm?”
(namakamu) kembali berdiri, kembali melangkahkan kakinya kolinear dengan Iqbaal.
“Kasihan. Daun itu jatuh tidak serta-merta hanya karena sudah tua dan terlepas dari batangnya. Namun, ketika musim panas, sebatang pohon akan dengan sengaja menjatuhkan berhelai-helai daun dari tangkainya untuk mengurangi penguapan. Mempertahankan kadar air di dalam batang agar tidak banyak menguap. Agar kelangsungan hidup pohon tetap terjaga. Kasihan dia dikorbankan.”
Iqbaal meraih sehelai daun yang tengah (namakamu) mainkan, menatap daun itu dengan mata iba.
(namakamu) sempat terkekeh, walau pelan. Tingkah Iqbaal terlihat melankolis. “Aku gak mau jadi daun,. Harus terjatuh tanpa daya dan akhirnya membusuk hanya karena agar pohon tetap hidup. Aku mau jadi pohon aja,” timpal (namakamu). Menanggapi kisah daun dan pohon yang Iqbaal ceritakan.
“Mmm... Tetap lah jadi pohon, dan biarkan orang seperti aku yang jadi daun.”
Iqbaal tersenyum, lalu mengacak-acak rambut (namakamu) pelan. Langkahnya kembali terayun menelusuri jalanan yang dipenuhi sampah daun berlapis bak karpet kuning itu.
“Hey! Kamu juga harus jadi pohon! Jangan bodoh seperti daun,” sergah (namakamu). Kini (namakamu) berjalan di hadapan Iqbaal dan melangkah mundur.
“Kalau aku jadi pohon juga, kita gak akan bisa sama-sama dong?”
Iqbaal tersenyum tipis, menarik (namakamu) untuk kembali berjalan di sisinya.
(namakamu) terdiam. Mulutnya saat ini terkatup rapat. Perkataan Iqbaal tadi, 'Kita gak akan bisa sama-sama dong?' Apa artinya? (namakamu) menggigit bibir bawahnya menahan girang. 'Sama-sama'? Jangan bilang...
(namakamu)! (namakamu)! Sadar! Sadar! (namakamu) memejamkan matanya erat-erat, menyadarkan dirinya bahwa kata-kata Iqbaal tadi bukan berarti pria itu ingin bersamanya, itu hanya perumpamaan! Perumpamaan kebersamaan daun dan batang pohon.
“(namakamu)?”
Sapaan itu tiba-tiba mengaburkan lamunan (namakamu). “Ya?” jawab (namakamu), mulutnya terbuka secara refleks, begitu juga dengan matanya yang kini terbuka.
“Ini Bella.” Seorang laki-laki di hadapan (namakamu) menarik seorang gadis di sampingnya. “Kebetulan kita ketemu di sini.”
Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba ada Karrel di hadapan (namakamu)? Mana Iqbaal? Bukankah tadi Iqbaal berjalan di sampingnya? (namakamu) sibuk melamun sehingga melupakan kejadian yang ia lewati beberapa menit lalu.
Tangan Bella--gadis yang dikenalkan Karrel pada (namakamu)--terulur. “Bella,” ucapnya.
(namakamu) terdiam, tangan kanannya tidak kunjung bergerak. Laki-laki yang berhasil membuat (namakamu) jatuh cinta selama 5 tahun itu kini ada di hadapannya bersama gadis lain. Tiba-tiba (namakamu) merasakan setiap sudut matanya mulai terselimuti air.
“(namakamu)?”
Karrel memastikan (namakamu) baik-baik saja. “Aku pengen hubungan kita baik-baik aja, aku pengen ketika nanti aku sama Bella menikah, kamu datang dalam perasaan yang baik-baik aja.”
Menikah? (namakamu) merasakan air yang berada di sudut matanya berdesakan keluar semakin banyak, saling dorong untuk turun menelusuri pipi (namakamu).
“(namakamu)? Maaf untuk kesekian kalinya.”
Karrel menatap (namakamu) dengan tatapan mengiba, menghiraukan Bella yang berada di sampingnya dengan tingkah kebongungan.
“Ada apa ini?”
Iqbaal tiba-tiba datang dengan dua cup minuman di kedua tangannya. Menatap (namakamu) yang sudah berderai air mata, menghadapi Karrel dan seorang gadis yang sempat ia temui di outlet sepatu tempo hari.
“Apa yang terjadi selama aku beli minum?” tanya Iqbaal. Bodohnya Iqbaal bertanya pada seorang wanita yang kini sibuk terisakn, jelas saja tidak akan mendapat jawaban
“Apa kamu mau aku pukul kepala dia?” tanya Iqbaal yang di sambut anggukan dari (namakamu). “Pegang ini!”
Iqbaal menyerahkan dua cup minuman pada tangan (namakamu). Sejenak Iqbaal berjongkok, melepaskan sebelah flat shoes dari kaki (namakamu) secara paksa, membuat gadis itu sedikit terjengkang.
Trak! Alas sepatu (namakamu), sepatu datar tanpa hak itu menghantam kencang kening Karrel. Gadis di samping Karrel--Bella--membulatkan matanya. Memegangi kening Karrel yang memerah.
Alas sepatu itu memang datar, tanpa hak sedikitpun, namun dengan kekuatan yang Iqbaal keluarkan ketika menghantamkan benda itu, sepertinya cukup membuat Karrel kleyengan.
“Apa aku harus mukul dia lagi?”
Iqbaal memutar lehernya, menatap (namakamu) yang masih sibuk terisak dibelakangnya.
(namakamu) menggeleng.
“Ok! Saya sudah bilang sebelumnya, walaupun bukan hak stiletto, namun jika saya yang menghantamkannya maka itu akan terasa lebih sakit.”
Ucapan Iqbaal terdengar datar dan pelan, namun tetap terdengar menyebalkan di telinga Karrel. Setelah itu Iqbaal berjongkok, memakaikan sepatu pada kaki (namakamu), lalu menarik (namakamu) untuk menjauh dari Karrel.
Bersambung~

Dikomen boleh. Dilepeh juga boleh /_-
Karya : @citranovy (Novy Citra Pratiwi)

Follow Twitterku juga ya mate! @_BayuPrasetya

Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/profile.php?id=379969348803380&ref=stream&refid=52&__tn__=C

Cerbung Flatshoes - Part 3

_______
“Apa perlu kita balik lagi ke dalam buat mukul kepala Karrel pake hak sepatu kamu?”
(namakamu) menggeleng.
“Baguslah, lagi pula itu cuma buang-buang waktu,” ujar Iqbaal. Telapak tangan kirinya menepuk-nepuk pelan pundak (namakamu).
Tangis (namakamu) tersapu oleh angin malam yang menyeret-nyeretdedaunan. Iqbaal tidak mengucapkan sepatah katapun. Malah bersenandung tak jelas menemani isak (namakamu). Setelah merasakan pundak (namakamu) mulai lemas, Iqbaal menariknya untuk segera masuk ke dalam mobil.
*
“Pakai sabuknya.”
Iqbaal sudah menaruh kedua lengannya di atas lingkaran stir.
“(namakamu)?”
(namakamu) masih sibuk segukan dengan tatapan tertuju pada benda blur di hadapannya.
“Oh Tuhan, haruskah gadis patah hati ini selalu merepotkan?”
Iqbaal bergumam, tubuhnya condong ke sisi kiri, memposisikan tubuhnya tepat di hadapan (namakamu), lengan kanannya melingkari perut (namakamu).
Plak! Pipi kiri Iqbaal yang berada tepat di hadapan wajah (namakamu) mendapat sentuhan kasar. “Jangan kurang ajar!” bentak (namakamu) masih sesekali segukan.
“Hhhh...”
Iqbaal mendesah kencang, kini laki-laki itu menggerakan wajahnya menengadah, menatap wajahnya pada pantulan cermin kecil di atas dashboard. “Muka ini keliatan kayak laki-laki hipersex, kah?”
Desisan pelan itu terdengar kesal.
“Aku-cuma-mau-bantu-kamu-pakai-ini!”
Dengan kasar Iqbaal menarik seat belt di samping kiri (namakamu). Wajahnya bergerak-gerak meringis, tamparan (namakamu) tadi tidak main-main ternyata.
Crek... Seat belt (namakamu) sudah terpasang.
“Maaf.”
(namakamu) menatap Iqbaal dengan mata memendarkan penyesalan. “Maaf, ketika aku patah hati, aku selalu ngerepotin kamu, ya?”
'Sadarkah?'
Iqbaal hanya mengangkat kedua alisnya lalu tersenyum. Menginjak pedal gas dengan tatapan dibuang asal.
***
3 Sept 2014
“Bos kayak gitu tuh satu di antara seribu. Udah lo maki-maki disangka cowok penggoda, bayarin sepatu lo, dipukul pake hak sepatu--kena kepala pula, kemejanya dimuntahin, dan terakhir lo nampar dia?”
Steffy mengacungkan ibu jarinya di hadapan wajah (namakamu), menciptakan perbincangan di sela acara sarapan paginya di meja makan bersama (namakamu).
“Steff!”
(namakamu) menepis kencang tangan Steffy, satu tangkup roti yang berhasil ia gigit mendadak pahit dalam kunyahannya. Paparan Steffy membuat nafsu makannya menguap.
“Apa lo gak mikir kalau dia suka sama lo?”
Steffy melipat rapi lengannya, mencondongkan tubuhnya menatap (namakamu) dengan tatapan meminta tanggapan.
“Steffy! Gue kenal dia baru 3 hari!”
(namakamu) membanting roti yang baru terobek satu gigitan. Kini tangannya meraih gelas yang berisi air mineral di samping kanannya.
“Lo pikirin baik-baik.”
Steffy memegangi kedua lengan (namakamu), berharap sahabatnya itu tidak bergerak dan mau mendengarkan terkaan-terkaanbak cenayang yang keluar dari mulutnya. “Seandainya... Ada laki-laki yang maki-maki lo, bikin lo keluar duit bayarin sepatunya, pukul kepala lo, muntahin baju lo. Apa lo masih mau deket-deket sama dia? Apa yang bakalan lo lakuin kalau lo ketemu orang kayak gitu?”
Pertanyaan Steffy membuat bahu (namakamu) bergidik dengan sendirinya. Mendengar itu, (namakamu) tiba-tiba merasa jijik pada dirinya sendiri.
“Cukup, Steff! Jangan bikin semangat kerja gue lenyap karena gak mau ketemu Iqbaal pagi ini!”
(namakamu) menepis tangan Steffy yang mencengkram erat kedua punggung tangannya. Meraih blazer cokelat yang tersampir di sandaran kursinya, tas yang tergeletak di kursi kosong sebelah kanannya.
“Yang jadi fokus pembicaraan kita bukan masalah itu, okey! Tapi sikap Iqbaal!”
Wajah Steffy menengadah, menyaksikan (namakamu) yang kini berdiri membenahi rok spannya, menarik-narik kedua sisi rok yang terangkat akibat ia duduk di kursi makan tadi.
“(namakamu)?”
Steffy masih berusaha mengganggu (namakamu) yang kali ini tengah konsentrasi membenahi penampilannya, (namakamu) merapikan renda kemeja yang bergerumul pada bagian dadanya.
“Gue telat.”
(namakamu) melangkahkan kakinya, sama sekali menghiraukan suara Steffy yang sepertinya sangat kesal. Sikap Iqbaal? Menurut (namakamu), wajar-wajar saja kan?
'Apa yang bakalan lo lakuin kalau lo ketemu orang kayak gitu?'
Pertanyaan Steffy benar-benar membuat kepala (namakamu) mendadak naik suhu. “Haissshhh!!!”
(namakamu) mengetuk-ngetukan kepalan tangan pada keningnya, mencoba menghilangkan pertanyaan Steffy yang ingin sekali ia jawab. 'Gue bakalan maki tuh orang dan nendang dia jauh-jauh!!!'
***
Seharian ini (namakamu) tidak melihat Iqbaal. Sampai waktu istirahat siang, Iqbaal tidak kunjung memasuki ruangannya. Pintu ruangan Iqbaal tidak terlihat ada tanda-tanda kehidupan. Mengapa (namakamu) merasa tubuhnya seakan tidak mendapat pasokan energi pagi ini? (namakamu) merasakan dirinya seperti seonggok robot yang menyelesaikan pekerjaan di hadapannya tanpa motif apapun.
“Sadar (namakamu) ToT!!!”
(namakamu) menatap bayangan wajahnya pada monitor komputer yang mulai redup. Berapa kali (namakamu) mempermalukan dirinya sendiri di hadapan Iqbaal? Dan jangan harap ia akan membiarkan hatinya bergerak mendekati kata jatuh cinta pada atasannya itu, itu namanya tidak tahu diri.
“Okey, terimakasih.”
Suara khas itu terdengar membelah pendengaran (namakamu). Iqbaal berjalan sejajar di samping gadis semampai itu lagi. Salsha? Ya, gadis itu sempat mengenalkan namanya kemarin pada (namakamu) untuk memberikan surat tugas.
Mereka baru selesai melakukan tugas di luar kantor? Sepertinya begitu. (namakamu) mulai berkemelut sendiri.
“Selamat menikmati waktu makan makan siangnya, Pak.”
Salsha membungkuk sopan ketika Iqbaal tengah mendorong pintu ruangannya.
“Hey! Kita akan makan bersama siang ini. Kerja kamu harus mendapat imbalan besar.”
Iqbaal terkekeh, sejenak masuk ke dalam ruangannya, mungkin hanya untuk menaruh tas laptopnya, lalu setelah itu kembali dengan wajah penuh kode pada Salsha agar mengikuti langkahnya keluar ruangan lagi.
Tanpa sadar kini (namakamu) memperhatikan diam-diam dua makhluk itu. Bola mata (namakamu) terseret ke sudut matanya, mengamati Iqbaal dan Salsha yang sudah kembali melangkah keluar ruangan. Tidak sampai 5 menit mereka baru saja kembali dari pekerjaan yang mengharuskan mereka bersama-sama, kali ini mereka keluar bersama lagi? Makan bersama lebih tepatnya.
'Apa lo gak mikir kalau dia suka sama lo?'
Aish shit! Steffy! Andai saja Steffy tahu, Iqbaal tidak hanya baik pada (namakamu), tapi pada semua karyawannya. Iqbaal tidak pernah memberi batas pada siapa saja untuk menjadi dekat dengannya. Dan informasi ini harus segera (namakamu) sampaikan pada Steffy, agar gadis itu tidak terus meracau bahwa Iqbaal menyukainya.
Jujur, racauan Steffy sangat mengganggu, membuat (namakamu) sedikit melayang. Padahal (namakamu) tidak mau untuk melayang-layangseperti orang kegirangan, takut terhempas dan merasakan sakit yang luar biasa. Dan... Terbukti, saat ini.
*
(namakamu) serasa ingin menutup kedua telinganya untuk tidak mendengar desisan-desisankaryawati senior ketika jam istirahat. Sorot-sorot mata yang terlihat antusias ketika mendapati Iqbaal dan Salsha berada dalam satu meja untuk makan bersama. Mata mereka seolah menemukan mangsa yang patut untuk dijadikan bahan gosip selama jam istirahat.
Hanya 5 suapan yang masuk ke dalam mulut (namakamu), setelah itu ia meninggalkan sisa makanannya, meninggalkan meja yang ia duduki secara tunggal karena sampai hari ini (namakamu) belum menemukan teman untuk makan siang bersama.
Langkah (namakamu) terayun keluar pintu. Seolah tidak melihat pemandangan apapun, padahal ia melewati Iqbaal yang berjarak 5 meter dari langkahnya. Tidak seharusnya (namakamu) seperti itu, selayaknya seorang karyawati, (namakamu) harus menyapa dengan anggukan dan senyum sopan. Tapi... Apa tidak akan mengganggu acara makan siang pasangan serasi itu? Label 'pasangan serasi', (namakamu) dengar dari desisan para karyawati tadi. Padahal (namakamu) tidak melihat ada adegan romantis antara keduanya yang membuat mereka berdua terlihat serasi. (namakamu) mengintip? Ya, dari sudut matanya ia mencuri-curi adegan yang dilakukan Iqbaal dan Salsha. Dan... Tidak ada sesuatu yang menghebohkan terjadi.
“Lebay! Tukang gosip! Berlebihan!” umpat (namakamu), saat ini tangannya tengah mengotak-atik ponsel. Menunggu satu cup coffe yang biasa ia pesan di outlet yang berjarak satu ruko dari tempat makannya tadi.
“Makasih.”
(namakamu) tersenyum, menyodorkan uang pas lalu maraih cup minuman. Langkah (namakamu) kembali terayun, mulutnya mengapit sedotan dari cup minuman di tangan kirinya, sementara tangan kanannya mengotak-atik ponsel. Sempat menjadi paparazi, (namakamu) memotret Iqbaal yang tengah makan berdua bersama Salsha, lalu hasil bidikannya itu ia kirimkan pada Steffy.
Bruk! Byur!
“Aahhhh!”
Sebelum melewati pintu keluar dengan bodohnya (namakamu) menyempatkan diri menabrak seseorang, menyebabkan minuman dalam cup-nya yang masih terisi penuh tertumpahkan.
“Maaf.”
Tangan (namakamu) refleks meraih kotak tissue yang berada di atas meja pengunjung. (namakamu) menarik beberapa lembar tissue lalu menyerahkannya pada korban.
“Kamu gak hati-hati!” rutuk si korban, sibuk menggosok-gosokkan tissue pada kemejanya yang tertumpahi minuman manis itu. “Lengket kan!”
“Maaf, sekali lagi maaf.”
(namakamu) kembali menarik tissue dari kotak dan memberikannya lagi pada gadis yang tidak berhenti mengeluarkan suara kesalnya.
“Dia gak sengaja, Sha,” ucap seorang pria yang berada di samping gadis itu.
Sadarlah (namakamu) saat ini, bahwa ia baru saja menabrak Salsha yang diiringi Iqbaal di sampingnya. Dan dengan bodohnya, tangan (namakamu) refleks menyerahkan ponsel dari genggamannya pada Iqbaal sebelum meraih kotak tissue, agar bisa leluasa membantu Salsha membersihkan kemejanya.
Iqbaal terkekeh pelan, mendapati layar LED ponsel (namakamu) yang masih dalam keadaan on. Terkekeh? Menertawakan tingkah bodoh (namakamu) karena menabrak sekretaris pribadinya? Atau...
“Udah, udah. Kamu bisa pulang duluan, gak mungkin kamu kerja dalam keadaan basah kuyup kayak gini,” ucap Iqbaal, menenangkan Salsha yang sepertinya masih terlihat kesal. “Dan... Kamu, hati-hati. Lain kali harus lebih hati-hati.”
Iqbaal tersenyum, tatapannya terarah pada (namakamu) yang kini mematung.
Tangan (namakamu) terjulur ketika Iqbaal menyerahkan ponsel miliknya. “Sekali lagi, hati-hati,” ulang Iqbaal dengan tatapan jahil. (namakamu) hanya mampu meringis lalu memejamkan matanya sambil mendesiskan kata maaf.
Kini Iqbaal sudah membawa Salsha keluar dari outlet, apakah Iqbaal akan mengantar Salsha pulang? (namakamu) tidak perduli. Lututnya kembali melemas. Kutukan apa sebenarnya yang Tuhan berikan, sehingga berkali-kali ia harus merasakan malu yang luar biasa di hadapan Iqbaal?
Drt... Drt... (namakamu) merasakan ponselnya bergetar.
'Cuma makan berdua, bukan berarti Iqbaal bisa dekat sama setiap bawahannya. Bisa jadi lo lebih spesial'
“Ha?”
Kening (namakamu) berkerut ketika sebuah pesan dari Steffy menghiasi layar ponselnya.
“Ya Tuhan!”
(namakamu) merasakan kakinya seakan lumpuh, sehingga saat ini ia harus menjatuhkan tubuhnya pada kursi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari jangkauan.
Mencoba memutar kembali kejadian beberapa detik lalu. Setelah (namakamu) mengirimkan gambar itu... (namakamu) sempat memberikan ponselnya pada Iqbaal agar gerakannya lebih laluasa untuk membantu Salsha tadi. Apa Iqbaal melihat gambar ini? Apa Iqbaal tadi terkekeh karena melihat gambar ini pada layar ponsel (namakamu)?
“Ohhh... Kutukan macam apa ini Tuhan ToT.” (namakamu) benar-benar ingin menangis dengan suara meraung kencang.
*
(namakamu) menjatuhkan tubuhnya di atas kursi kerja. Lututnya yang lemas kini berangsur membaik. Ia pikir ia tidak akan mampu kembali ke dalam gedung dengan cara melangkahkan kakinya. Alternatif gila untuk mengesot kembali terpikir ketika ia merasakan lututnya benar-benar lemas. Namun ternyata ide mengenaskan itu tidak terealisasi karena lututnya yang sudah mulai kuat menopang berat badan ditambah dengan bobot rasa malu yang ditanggungnya, walaupun memang ia menghabiskan waktu 7 menit untuk telat ketika batas waktu istirahat habis.
“Apa ini?”
Tatapan (namakamu) terganggu ketika menangkap bayangan benda di hadapannya, sebuah cup minuman. Ia berharap ini bukan halusinasi fatamorgana karena rasa sesalnya menumpahkan satu cup penuh minuman yang baru ia minum sekali hisap.
'Lain kali hati-hati. Coffee-nya diganti orange juice aja. Lebih sehat. Oh iya, lain kali jadilah seorang paparazi yang profesional'
Setelah lututnya berangsur membaik, kali ini (namakamu) merasakan lagi lemas yang luar biasa. Iqbaal? Pasti minuman dan pesan pada secarik kertas dalam genggamannya ini dari Iqbaal. Benar kan? Iqbaal mengetahui foto yang (namakamu) ambil tadi. Mati lah (namakamu).
***
Angin malam mengharuskan (namakamu) mengeratkan ujung balzernya agar lebih rapat tertutup. Malam ini lembur lagi, tapi tidak masalah, kali ini hampir seluruh karyawan melakukan pekerjaan dalam waktu tambahan karena ada project baru yang harus mereka selesaikan dalam waktu dekat.
(namakamu) memeluk tubuhnya sendiri erat-erat, melangkah dengan gerakan tergesa menyusuri trotoar di depan pelataran kantornya. Menggigit-gigitbibir bawahnya untuk menahan getaran karena udara dingin. Angin yang bertiup terasa sangat lembab seakan menerbangkan kadar air yang cukup banyak. Telapak tangan (namakamu) kini bergerak menutupi kedua sisi wajahnya karena rambut yang menutupi sisi wajahnya kini tersibak angin.
“(namakamu)!”
Tiba-tiba seseorang menyejajarkan langkahnya dengan (namakamu). (namakamu) menghentikan langkahnya sejenak, menatap laki-laki yang kini berdiri di samping kirinya. “(namakamu), aku...”
Belum sempat laki-laki itu bersuara lebih banyak, (namakamu) sudah mengambil langkah cepat meninggalkan laki-laki itu. “Aku tahu kamu marah, aku tahu kamu benci sama aku, aku tahu perasaan kamu!”
“Apa? Kamu tahu perasaan aku?”
Tiba-tiba (namakamu) merasakan udara hangat menyeruak di sekitar dadanya, (namakamu) tidak merasakan lagi udara dingin yang menggigit tubuhnya, karena ia rasakan desiran darah di dalam tubuhnya saling berkejaran.
“Kejadian kemarin. Aku bisa terima kalau kamu marah ketika lihat aku sama Bella.”
“Ohhh... Jadi nama cewek itu Bella? Salam kenal dari (namakamu), okey?”
(namakamu) sempat tersenyum sarkastik sebelum akhirnya kembali melangkahkan kakinya.
“(namakamu)!”
Pergelangan tangan kanan (namakamu) berhasil di cengkram kuat, sehingga gerakan (namakamu) terhenti.
“Berhenti bertingkah konyol kayak gini, Karrel! Ini lingkungan kerja aku! Kamu jangan bikin aku malu!”
(namakamu) mencoba menepis-nepis tangannya yang berada dalam cengkraman Karrel.
“Kalau kamu mau berbicara baik-baik dan gak berontak kayak anak kecil gini, aku gak akan bikin kamu malu!”
Tatapan Karrel teralih ketika mendapati beberapa orang karyawan yang melintas di hadapannya, namun sama sekali tidak mengurangi kadar erat pada cengkramannya.
“Lepas,” desis (namakamu) dengan wajah meringis. Sebelah tangannya seolah ingin meraih sesuatu untuk menjadikan tarikan agar terlepas dari Karrel, namun tidak ada benda yang bisa ia jangkau dalam jarak dekat.
“Aku cuma mau kamu maafin aku.”
Karrel menatap nanar. Mungkin saat ini hatinya telah kembali dan tersimpan rapi di dalam rongga tubuhnya, sehingga ia dapat merasakan rasa bersalahnya pada (namakamu).
(namakamu) menghentikan sikap berontaknya, balas menatap Karrel, menciptakan suasana kooperatif, ia sadar sikapnya tadi kekanak-kanakan. “Kalau aku maafin kamu, kamu mau putusin cewek itu dan kembali sama aku?”
Sejenak Karrel tertegun. Tidak ada suara yang keluar dari mulut Karrel sehingga desahan angin malam yang menyeok dedaunan semakin terdengar.
“Hm?”
(namakamu) kembali meminta jawaban tanpa mengulangi pertanyaannya.
Karrel menggeleng, “Aku rasa, aku lebih mencintai... Bella.”
“Aishh!”
Laki-laki autis! Sikap kooperatif (namakamu) kini berubah menjadi pemberontakan brutal. (namakamu) berusaha melepaskan lengannya lagi dari cengkraman Karrel seraya menghentak-hentakkan kakinya. “Lepas bodoh!”
(namakamu) kembali mencak-mencak.
“(namakamu)! Berhenti bersikap kekanak-kanakankayak gini! Aku cuma mau nganter kamu pulang, ini udah malem. Aku gak mungkin ngebiarin kamu naik busway malem-malem gini.”
“Berhenti sok perduli, Karrel! Lepas!”
Karrel menggeleng, cengkramannya lebih kuat dan kali ini ia menyeret (namakamu) untuk mengikuti langkahnya. (namakamu) sempat menahan sikap Karrel, namun tenaga Karrel ternyata jauh lebih kuat dari yang ia pikirkan. Pemberontakan (namakamu) tidak berarti apa-apa. Sampai akhirnya,
“Karrel!”
(namakamu) merasakan hak sepatu pada kaki kanannya menancap pada sela paving block yang ia pijak. Tarikan Karrel menghasilkan (namakamu) yang kini terjerembab dan lutut kanannya yang sudah menghantam pavingan.
Brk! (namakamu) mendengar ada suara yang tidak mengenakan. Tidak perduli lututnya yang kini sudah melelehkan darah, namun suara itu benar-benar menarik perhatiannya. Posisinya terjatuh saat ini menghasilkan robekan panjang pada sisi kiri rok span yang ia kenakan.
“Ya Tuhan! (namakamu)? Aku gak sengaja.”
Belum sempat Karrel berjongkok menghampiri (namakamu), tiba-tiba,
Dugh! Sebuah kepalan tangan mendorong pundak Karrel dengan kencang, bukan pukulan, melinkan hanya dorongan kencang *samakah?-_-* yang menyebabkan Karrel sedikit berjengit mundur.
“Pergi!” Ucapan pelan itu disertai tertutupnya paha (namakamu) oleh sebuah jas hitam. Robekan pada rok (namakamu) kini berhasil tertutupi.
“Pergi!”
Kali ini ucapan pelan itu sedikit menghentak, mengerikan.
“Hak pantofel akan terasa lebih sakit ketika menghantam kening dibandingkan dengan hak stiletto jika saya yang menghantamkannya!”
Karrel mendecih, tatapannya terlihat sebal karena di hadapannya kini seorang pria sebaya berdiri dengan wajah tenang namun mengancam. Menyadari para pegawai yang baru saja keluar dari lobi bergerumul di kejauhan, akhirnya Karrel memutuskan untuk mengalah. Sekilas menatap (namakamu) dengan desahan penyesalan, lalu pria itu melangkah menjauh.
“Kamu gak apa-apa?”
Iqbaal, laki-laki itu berjongkok di samping (namakamu)yang kini masih terduduk. Tangan Iqbaal menyibak jas hitam yang menutupi paha (namakamu).
“Ish!”
(namakamu) menepis kencang tangan Iqbaal dan kembali menutupi bagian roknya yang robek, bagian itu benar-benar mengekspos pahanya yang terbuka.
“Aku cuma mau lihat lutut kamu, lagian sebelum aku tutupin aku udah lihat paha kamu tadi.”
Perkataan Iqbaal terdengar santai, tidak perduli melihat aliran darah (namakamu) naik ke atas permukaan wajahnya.
“Sini!”
Iqbaal kembali menyibakan jas hitamnya, kali ini hanya untuk melihat lutut (namakamu). “Kok bisa gini sih?” tanyanya heran.
(namakamu) tidak menjawab, wajahnya menunduk menatap luka yang berdiameter 3 cm pada lututnya. Sempat tertegun ketika Iqbaal berkali-kali meniupi luka di lututnya, ada beberapa debu kotor yang mengelilingi sekitar luka. “Tunggu sebentar, ya!”
Iqbaal bangkit lalu berlari menjauh, tangannya merogoh saku celana, meraih beberapa lembar uang sepertinya.
(namakamu) berdecak, mau kemana laki-laki itu? Meninggalkan (namakamu) di sisi trotoar sendirian dengan luka seperti ini, memalukan. Tidak pernah terpikir sebelumnya ia akan terjatuh seperti ini, seperti anak kecil saja terjatuh di pinggir jalan. Terakhir kali (namakamu) terjatuh itu saat umurnya 11 tahun, itu pun ketika kakinya tidak sengaja tersandung batu, bukan karena ditarik-tarik oleh laki-laki sialan T..T. Karrel jahat sekali! Walaupun (namakamu) tahu, Karrel tidak sengaja membuatnya seperti ini, tapi tetap saja ini semua berkat tingkah Karrel, kan?
Tatapan (namakamu) mengedar, mengingat nama Karrel membuat (namakamu) merasa takut tiba-tiba laki-laki itu kembali muncul dan berlari menghampirirnyalalu menariknya lagi. “Iqbaal, cepetan ToT.”
Tidak lama suara tepukan alas sepatu pantofel kembali terdengar mendekat, disertai nafas yang memburu dan sesekali letupan-letupannafas sesak. Laki-laki itu kini sudah berada di di hadapan (namakamu), duduk dengan kaki menjulur terbuka menghadap (namakamu). Tidak perduli tingkahnya itu disaksikan beberapa pasang mata karyawan yang melangkah melewatinya dengan anggukan sopan dan senyum bingung.
Tangan Iqbaal mengeluarkan sebuah botol dari dalam kantung kresek putih, botol alkohol antiseptik sepertinya. Dan itu, (namakamu) tahu itu akan terasa perih. “Jangan kenceng-kenceng!”
(namakamu) memekik ketika Iqbaal baru saja menumpahkan sedikit alkohol pada potongan kapas.
“Aku kan belum ngapa-ngapain,”ujar Iqbaal heran. Tangannya menutup tutup botol agar cairan di dalamnya tidak segera menguap, “ini cuma buat bersihin luka aja, biar gak infeksi.”
Iqbaal sudah menempelkan kapas basah itu pada luka (namakamu). Gerakannya memang lembut, tanpa menekan, hanya menyeret debu dan tanah kotor yang berada di sekitar luka, namun itu mampu membuat (namakamu) memekik kencang.
Telapak tangan kanan (namakamu) membungkam mulutnya sendiri, menahan jeritan ketika lukanya terasa terbakar karena sentuhan kapas itu. Perih. Tangan kirinya meremas pangkal lengan Iqbaal tanpa sadar, entah kencang atau tidak (namakamu) tidak tahu, namun yang ia lihat saat ini wajah Iqbaal juga ikut meringis.
“Tahan sebentar.”
Iqbaal meraih potongan perban yang sudah ditumpahi obat luka, ditempelkan pada luka (namakamu) perlahan, setelah itu direkatkan dengan plaster.
(namakamu) belum berhenti meringis, merintih, lebih parah bahunya bergetar merasakan perih yang lumayan menggigit lututnya.
“Udah. Udah selesai.”
Iqbaal tersenyum, menatap (namakamu) yang masih membungkam mulutnya sendiri. Sempat sedikit terkekeh melihat ekspresi (namakamu) yang masih meringis kesakitan.
Iqbaal berdiri, lalu menjulurkan tangannya, disambut dengan (namakamu) yang kini mencengkram kedua telapak tangan Iqbaal, menjadikan tangan kekar itu topangan untuk berdiri. Sejenak Iqbaal melingkarkan tangannya pada pinggang (namakamu) ketika gadis itu mampu berdiri dengan benar, membenarkan posisi jasnya agar menutupi bagian rok (namakamu) yang robek parah, mengikatnya kencang-kencang. Lalu,
“Aku tahu kamu susah untuk jalan, kan? Naik!”
Iqbaal tiba-tiba berjongkok di hadapan (namakamu).
Apa maksudnya? (namakamu) malah mematung, apakah ia harus menjatuhkan tubuhnya pada punggung Iqbaal? Oh Tuhan, ini memalukan.
“(namakamu)? Hak sepatu kamu gak mungkin nganter kamu buat sampai ke parkiran, kan? Dan kamu gak mungkin jalan dengan kaki telanjang, kan? Naik!”
'Apa lo gak mikir kalau dia suka sama lo?' (namakamu) kembali mengingat kalimat Steffy. Tiba-tiba (namakamu) menggeleng. Lupakan! Lupakan! Sepertinya Iqbaal juga akan melakukan hal yang sama jika kejadian ini menimpa Salsha, atau karyawati lain, 'mungkin'.
Yakin Iqbaal akan melakukan hal ini pada karyawati lain? (namakamu) mulai plin-plan.
Tuk! Kepalan tangan Iqbaal mengetuk pelan kening (namakamu). “Hak sepatu pantofel aku kurang tinggi buat pukul kening kamu. Naik (namakamu)!”
Perintah itu pelan, namun terdengar kontaminasi nada kesal. (namakamu) meringis, lalu kali ini dengan mata terpejam ia menjatuhkan tubuhnya pada punggung Iqbaal.
Bersambung~
Oh iya, selamat berlibur \:D/ *telat ya:D*

Karya : @citranovy (Novy Citra Pratiwi)

Follow Twitterku juga ya mate! @_BayuPrasetya

Like FanPage'nya di https://www.facebook.com/profile.php?id=379969348803380&ref=stream&refid=52&__tn__=C

Cerbung Flatshoes - Part 2

_______
“Pulanglah, sebelum saya terpengaruh untuk merealisasikan ide gila anda,” ucap Iqbaal, sekilas menatap gadis di hadapannya lalu kembali fokus pada berkasnya. Meraih bolpoin di saku kemejanya, mencoret-coret selembar berkas, dan kini tatapannya mulai serius.
“Maaf dan... Terimakasih banyak. Terimakasih.”
(namakamu) membungkuk sebelum akhirnya memutar tubuhnya untuk melangkah keluar ruangan.
***
Bruk! Tas selempang kecil berwarna putih menghantam sofa ruang tamu. Mengagetkan sang penghuni sofa yang tengah sibuk menonton drama pagi sambil mengunyah mie instan pada mangkuk yang ada di hadapannya.
“Lo? Pulang? Udah pulang? Dipecat kan? Mampus kan lo!”
Mulutnya yang penuh dengan jejalan mie instan terbuka seraya mengunyah dan mengumpat.
(namakamu) tidak menghiraukan, meraih mangkuk mie Steffy dengan sembarang, tanpa menggunakan sendok (namakamu) langsung meminum air kuah dari sisi mangkuk. “Hhhh. Gue laper.”
(namakamu) mengelap bibirnya dengan punggung tangan. Menatap Steffy yang kini menatap wajahnya keheranan.
“Pengangguran bawaannya laper ya?” ujar Steffy, tatapannya jatuh pada mangkuk mie instannya yang kembali (namakamu) rampas. (namakamu) sama sekali tidak menghiraukan, sibuk mengunyah dan menyendok mie instan milik Steffy.
“Lo gak kerja, Steff?”
Kali ini (namakamu) sudah menggeser mangkuk ke hadapan Steffy, padahal jelas-jelas mangkuknya sudah kosong tidak bersisa.
“Gue masuk siang,” jawab Steffy. Menatap (namakamu) dengan tatapan mengiba. Malangnya nasib sahabat satu-satunya ini. Apakah ia tidak memiliki uang untuk membeli makanan? Ditambah ia harus dipecat sebelum bekerja karena semalam frustasi ditinggal oleh kekasihnya, Karrel. Steffy malah meratapi nasib (namakamu).
“Kenapa?”
(namakamu) mengerutkan keningnya. Mendapati tatapan Steffy, tatapan seolah prihatin melihat salah korban bencana banjir.
Steffy menggeleng pelan, “Sabar ya. Gue yakin Tuhan punya rencana yang lebih indah dari mimpi lo.”
Sok mellow ToT. (namakamu) bergidik mendengar rangkaian kalimat indah Steffy yang berusaha menghiburnya.
“Gue bakalan berusaha lupain Si Autis Karrel, dan gue gak dipecat dari perusahaan. Jadi stop ngasih gue kata-kata bijak ala Mario Teguh kayak gitu. Geli dengernya.”
(namakamu) meraih tas dan blazer peach yang baru saja ia tanggalkan di sofa, kakinya terayun ke arah pintu kamar, pintu kamar yang terbuka karena ia tidak pernah menguncinya. Alasan lupa. Tidak masalah sebenarnya, di rumah ini hanya ada (namakamu) dan Steffy, tidak pernah ada makhluk lain yang masuk ke dalam rumah sewa ini selain mereka berdua dan pacar Steffy--BD-- serta Karrel, mantan pacar (namakamu)--itupun dulu, jadi (namakamu) tidak perlu was-was bila setiap hari kelupaan mengunci pintu kamar.
***
1 Sept 2014
(namakamu) melepaskan nafas-nafas tak beraturan berulang kali. Tatapannya lurus menatap bayangannya sendiri di depan cermin. Mematut dandanannya yang ia pikir sudah rapi, namun entah mengapa ketika langkahnya mencapai batas pintu, gaya tarik menarik antara pintu keluar dan cermin kembali terjadi sehingga mengharuskan (namakamu) berbalik dan kembali ke hadapan cermin.
“Ok, (namakamu). Relaks!” gumamnya, menatap matanya sendiri, meyakinkan. Tubuhnya kembali berputar memunggungi cermin. “Maskara.”
(namakamu) memutar tubuhnya dengan cepat, gerakan condong menatap cermin. Memeriksa kelopak mata, memastikan goresan atau noda maskara tidak mengotori sekitar lingkar matanya.
“Ok. Terus aja bolak-balik kayak orang bego. Sampai kapan? Sampai lo telat masuk kerja dan bener-bener dipecat?” Suara menyebalkan itu terdengar dari ambang pintu. Steffy, menyandarkan pangkal lengannya pada kusen pintu, menatap tingkah aneh (namakamu) yang berada di dalam kamar.
(namakamu) meletupkan nafas kesal. Kedua tangannya menarik ujung blazer yang sempat berkerut karena gerakan condongnya. Rambutnya sudah tergerai rapi disibak perlahan. Blazer abu-abu di sambung rok lipit dengan warna senada di atas lutut, dan pump shoes ber-hak 10 cm. Ya, kali ini ia harus menanggalkan flatshoes yang kemarin ia kenakan.
Langkah anggun (namakamu)--walaupun sedikit dipaksakan, terayun melewati Steffy yang berada di ambang pintu. Wangi khas (namakamu) sempat menyeruak menusuk-nusuk hidung Steffy. Steffy sontak menggosok-gosokhidungnya--gatal, parfum yang (namakamu) kenakan membuat hidungnya geli.
Pukul 7 pagi, (namakamu) melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Gerakan pelan membuka pintu depan, terlihat teras depan masih terbalur titik-titik embun tipis. Artinya, waktu masih pagi, belum ada tanda-tanda kehangatan sinar mentari pagi ini. (namakamu) menampar-namparpelan pipinya, sebelum akhirnya langkah pertama terayun keluar pintu.
***
Kali ini (namakamu) tidak merasakan sesak layaknya kemarin. Lift, ruangan kecil yang dijejali beberapa karyawan kantor, (namakamu) sudah menyamaratakan penampilannya dengan pegawai lain. Rambut rapi, make-up natural, blazer, rok lipit, pump shoes yang mengekspos kaki jenjangnya. (namakamu) layak terlihat berdesakan dengan pegawai lain, namun... Jari-jari tangan (namakamu) masih saling bersimpul, saling melepaskan keringat dingin.
(namakamu) berjalan keluar dari balik kerumunan ketika jejalan pegawai keluar dari ruangan kecil itu. Dagunya terangkat 45 derajat, tatapannya lurus, rasa tegang yang menyeruak ditepisnya kencang-kencang.
“Selamat pagi.”
(namakamu) menyapa seseorang yang baru saja keluar dari balik pintu ruangan R & D. Dengan awalan komat-kamit sejenak, (namakamu) menekan knop pintu, memasuki ruangan kerja barunya. Lehernya berputar, mencari papan nama yang bertuliskan “(namakamu)” di atas sebuah meja. Dan,
“Itu dia!”
(namakamu) sedikit berjengit lalu tersenyum lebar mendapati sebuah meja dengan papan nama di atasnya.
“Selamat pagi!” Sapaan itu terdengar dari ambang pintu sebuah ruangan di dalam ruangan(?) kerja (namakamu). “Selamat bekerja di hari kedua ini,” lanjutnya dengan senyum ramah dan wajah yang sempat membuat (namakamu) menganga dan bahkan lupa mengangguk untuk merespon kalimat semangat dari atasannya itu.
'Bekerja di hari kedua?'-___- (namakamu) menelan air liurnya dengan susah payah. Tatapan bodoh (namakamu) tersibak ketika seorang tampan di ambang pintu itu mengedipkan mata yang disertai dengan senyum yang nyaris sarkastik. Oh Tuhan... Lutut (namakamu) kembali lemas.
***
Bruk! Bruk! Suara tumpukan berkas di meja (namakamu) terhantam tanpa perasaan. Map-map berisi berkas dan data yang harus diinput itu sungguh membuat (namakamu) muak. Jika saja (namakamu) sedang bekerja di dalam kamarnya saat ini, maka (namakamu) akan senantiasa mengangkat kakinya ke atas kursi, mengikat rambutnya dengan jepit cepol, seraya tangannya mengaduk mie instan dengan biadab. Sungguh, di tempat ini (namakamu) harus duduk tegak dengan tatapan tertuju pada layar komputer, dan itu membuat kepalanya mendidih.
“Sudah istirahat.”
Seseorang menepuk pelan pundak (namakamu). Menyadarkan (namakamu) untuk segera menurunkan suhu kepalanya. (namakamu) hanya balas tersenyum, lalu meng-close setiap worksheet yang berisi data-data hasil inputnya.
Langkah (namakamu) terayun keluar, bergerak beriringan dengan pegawai lain menuju sebuah tempat makan yang berada di sekitar pelataran kantor. Berjalan tunggal karena belum ada satu orangpun yang ia kenal di gedung besar ini.
“Satu cup ice coffee,” ucap (namakamu), berdiri bertopang dagu ketika antrian di hadapannya habis.
Hanya berselang 2 menit pelayan sudah menyodorkan satu cup minuman di hadapan (namakamu). “Terimakasih,” ucap pelayan tersebut ketika (namakamu) menyodorkan uang pas kepadanya.
Langkah (namakamu) kembali terayun keluar dari dalam outlet. Menopang sebuah cup minuman di tangannya. (namakamu) akan kembali ke kantor tanpa menghabiskan waktu istirahatnya dengan makan siang. 'Tidak lapar', berkali-kali (namakamu) meyakinkan perutnya yang menahan untuk masuknya makanan.
Kali ini? (namakamu) akan menghabiskan waktu istirahatnya dengan satu cup minuman dingin di atas meja kerjanya.
“Selamat siang, (namakamu).”
(namakamu) mendengar sapaan ramah itu ketika memasuki pintu lobi.
“Siang,” balas (namakamu) asal.
“Siang, Pak Iqbaal.”
Suara-suara sapaan itu terdengar saling menyahut. Tunggu! (namakamu) tertegun, langkahnya terhenti, tatapannya terjatuh pada sepatu pantofel di hadapannya dan berangsur naik menelusur hingga wajah (namakamu) menengadah mendapati wajah seorang pria yang berdiri di hadapannya.
“Selamat siang, (namakamu).”
Pria itu kembali mengulangi sapaannya.
“S-selamat s-siang, Pak,” jawab (namakamu) tangannya bergetar memegangi bawah cup minuman.
“Boleh ini menjadi ucapan terimakasih kamu untuk saya?”
Iqbaal meraih cup minuman dari tangan (namakamu), telunjuknya sedikit menyentuh punggung tangan (namakamu). Dan tanpa ia ketahui tu membuat tubuh (namakamu) semakin bergetar hebat.
Pria itu melangkah melewati (namakamu) setelah berhasil merampas cup minuman dari tangan (namakamu) tanpa perlawanan. Meninggalkan (namakamu) dengan tatapan bodohnya. Pria itu... Langkah (namakamu) terseok-seok menghampiri sofa lobi saat ini.
“Lutut gue, lemes banget. Kayaknya karena belum makan,” gumam (namakamu). Mendapati lututnya yang bergetar hebat pasca menatap pria yang kini hilang di balik pintu lobi.
***
Bruk! Berkas terakhir sudah tersusun rapi. (namakamu) menatap sebal tumpukan kertas memuakan di hadapannya. Berkat hari kemarin ia tidak masuk, maka hari ini (namakamu) harus bergabung dengan 7 orang karyawan laki-laki seniornya untuk berlembur.
“Saya sudah selesai, saya pulang duluan ya,” ucap (namakamu) yang disambut dengan anggukan fokus para pekerja lain. Tidak ada karyawati lain di sini selain dirinya. Hak pump shoes (namakamu) berketuk tunggal menelusuri koridor, melewati beberapa ruangan divisi lain yang lampunya masih menyala, pertanda masih ada sebagian karyawan lain yang juga berlembur di dalamnya.
“(namakamu), kamu bisa menyetir?”
Wajah pucat pasi seorang pria kini memotong langkah (namakamu). (namakamu) yang terlalu fokus dengan langkahnya terlonjak kaget. Pria di hadapannya meringis, memegangi keningnya.
“(namakamu)? Kamu bisa menjawab pertanyaan saya untuk kali ini kan?” ujarnya lagi dengan nada kesal.
“Y-ya.”
(namakamu) meraih kunci mobil yang disodorkan di hadapan wajahnya. Lalu secara tiba-tiba (namakamu) merasakan lengan pria itu melingkar di atas pundaknya. Oh Tuhan...
(namakamu) mengetukan hak sepatunya dengan kencang, berusaha menyamarkan suara degupan jantungnya yang kini bertalu hebat. Pria di sampingnya berjalan terhuyung seraya memegangi keningnya dengan tangan kanan yang meremas pundak (namakamu).
Di dalam mobil, suasana tercipta melebihi kata hening. Hanya desahan yang keluar dari mulut pria di samping kiri (namakamu) terdengar meringis kesakitan.
“Maaf kalau saya ngerepotin,” ujar laki-laki itu dengan mata samar-samar terbuka.
“Enggak, Pak. Mungkin ini bisa mengurangi rasa bersalah saya pada bapak.”
(namakamu) mengucapkan kalimat itu dengan susah payah, kedua telapak tangannya mencengkram lingkaran stir mobil kuat-kuat, menghasilkan garis buku-buku tangannya yang memutih, gugup.
***
Beberapa butir obat tablet dari sebuah botol plastik berdiameter 3 cm itu tertelan dengan bantuan segelas air yang baru saja (namakamu) sodorkan. Pria itu menyerahkan gelas kosong pada (namakamu), dengan tubuh lemas bersandar pada sofa. Posisi duduknya merosot, sebisa mungkin punggungnya tersandar dengan nyaman.
(namakamu) bergerak, duduk di samping pria itu. Mencoba membuka jas hitam yang dikenakan pria lemas itu dan tidak berhenti menggumamkan kata maaf ata kelancangannya.“Bapak gak makan seharian ini?” tanya (namakamu) dengan nada canggung. Pria itu mengangguk pelan, membuat (namakamu) memiringkan bibirnya sedikit kesal. (namakamu) juga tidak makan seharian ini, namun (namakamu) tidak selemah ini, apa karena pekerjaan yang dilakukan pria itu lebih bertumpuk dari pada pekerjaannnya?
“Gak seharusnya bapak-”
“Iqbaal! Bapak, kesannya tua banget. Ini bukan kantor, (namakamu),” ujarnya lesu dengan mata yang terbuka samar-samar. Setelah (namakamu) berhasil menanggalkan jas hitam itu, (namakamu) mengangguk pelan.
“Ada makanan yang bisa saya buatkan untuk bapak- mmm kamu?”
(namakamu) menepuk keningnya pelan. Kosa kata yang ia ucapkan berantakan, penggunaan kalimat formal bercampur dengan sapaan 'aku-kamu' itu benar-benar terdengar tidak enak di telinga.
“Gak ada.”
Iqbaal mengibas-ngibaskan tangannya pelan. Matanya perlahan tertutup. Terlihat dari garis wajahnya, pria itu sangat kelelahan. Helaan nafasnya membuat dadanya naik-turun beraturan.
(namakamu) malah terdiam. Menatap lekuk wajah kelelahan atasannya yang kini tengah terpejam. Titik-titik keringat di keningnya. Kelopak mata sayu yang sudah tertutup. Denyutan leher yang sesekali terlihat. (namakamu) seolah ingin menggampar pipinya sendiri. Apa yang ia lakukan disini, saat ini? Mengapa (namakamu) bisa semudah ini mengantar seorang pria masuk ke dalam apartemennya?
“Makasih,” lirih Iqbaal, hampir tidak terdengar. (namakamu) mengangguk, mengangguk dengan keadaan sadar bahwa Iqbaal tidak akan melihat anggukan kepalanya. (namakamu) membungkam balasan ucapan terimakasihnya,membiarkan Iqbaal menikmati kelelahannya saat ini.
***
2 Sept 2014
(namakamu) melingkari angka pada kalender yang berada di atas meja kerjanya. Hari kedua ia bekerja di tempat baru. Menjadi karyawan tetap sebuah perusahaan besar. Waktu istirahat membuat suasana girang menyeruak memenuhi ruangan. Sesekali (namakamu) melirik pintu ruangan Ketuanya itu, namun tidak terlihat ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya.
“Pak Iqbaal masih sakit? Dia belum bisa masuk?” tanya (namakamu) bergumam sendiri.
Trap. Ketika kaki (namakamu) mencapai batas pintu tiba-tiba langkahnya terhenti. Pria tampan itu berjalan tegap membelah koridor, sesekali membenahi simpul dasi yang ia tarik agar mengepas di lingkar lehernya, di sampingnya seorang gadis berbicara seraya mencorat-coret kertas yang ia letakan pada papan dada.
“Ok. Nanti sore. Ehmmm... Orang itu!”
Tiba-tiba telunjuk Iqbaal menuding ke arah (namakamu) berdiri saat ini. Mata (namakamu) membulat, melirik ke arah kanan dan kiri. Tidak ada orang di sebelahnya. Apakah telunjuk itu mengarah untuknya?
Tiba-tiba hak stiletto terdengar menghampiri (namakamu) saat ini. “Saya Salsha. Sekretaris Pak Iqbaal. Nanti sore, saya minta kamu nemenin Pak Iqbaal research ke luar kantor. Ini surat tugasnya.”
Gadis tinggi berambut blonde itu memberikan selembar kertas pada (namakamu), lalu kembali melangkah menjauhi (namakamu), menghampiri Iqbaal yang kini berjalan berbelok ke koridor divisi lain.
(namakamu) meremas kertas yang digenggamnya. “Surat sampah!” umpat (namakamu) dengan wajah kesal. “Seenaknya aja nyuruh gue tugas keluar, tanpa persetujuan main tunjuk orang!”
(namakamu) gemas seolah ingin menggigit kertas yang diremasnya.
***
“Aku sengaja ajak kamu soalnya kamu anak baru.”
Traffict light memunculkan hitungan angka merah ketika Iqbaal mengucapkan kalimat pertamanya untuk mengibas keheningan yang terjadi diantara dirinya dan (namakamu).
(namakamu) mengangguk-angguk pelan. Memajang senyum manis, senyum yang ia perlihatkan dari hasil latihannya selama di toilet kantor tadi. Sungguh saat ini (namakamu) benar-benar tidak ingin tersenyum. Setelah malam kemarin kelelahan karena lembur dilanjut dengan mengantar atasannya pulang ke apartemennya.
Dan sekarang? Tugas keluar untuk melakukan research. Ini menyebalkan. Apakah pria di sampingnya itu melakukan aksi balas dendam secara lembut karena sikap menyebalkan (namakamu) tempo hari? Apakah ia tahu sebenarnya bahwa (namakamu) benar-benar tersiksa ketika melihat wajahnya? Apalagi bersama-sama seperti ini, (namakamu) merasa benar-benar terbunuh secara perlahan. Rasa malunya pada Iqbaal benar-benar membuat tubuhnya bergetar ketika harus berhadapan seperti ini. Menyedihkan.
“(namakamu)?”
“Ya?”
(namakamu) menoleh.
“Enggak, aku cuma mastiin aja kalau kamu gak tidur selama perjalanan,” ujar Iqbaal. Terdengar menyebalkan. Apakah itu kalimat bercanda? (namakamu) sungguh merasa tidak ingin tertawa.
Selang 20 menit perjalanan, (namakamu) kini sudah turun dari mobil. Menatap toko sepatu di hadapannya tiba-tiba membuat bulu kuduknya merinding.
“Kita masuk sekarang.”
Iqbaal melangkah cepat mendahului (namakamu), memasuki toko sepatu itu seolah tanpa beban apapun. Berbeda halnya dengan (namakamu) yang saat ini merasakan kembali tubuhnya yang bergetar hebat. Toko sepatu yang menjadi tempat bertemunya (namakamu) dan Iqbaal pertama kali. Oh... Dan itu memalukan.
(namakamu) mendorong pintu untuk masuk, mendapati etalase dan rak-rak kaca yang penuh dengan sepatu menggoda. Pasca meletup-letupkan nafas beratnya, langkah (namakamu) menghampiri Iqbaal. Iqbaal kini tengah sibuk melihat data di dalam komputer kasir, entah apa yang Iqbaal lakukan. Tangan Iqbaal bergerak menyerahkan sebuah kamera pada (namakamu). (namakamu) meraihnya dengan wajah heran. Apa yang harus (namakamu) lakukan dengan kamera ini?
“Foto apapun yang menurut kamu menarik,” jelas Iqbaal. Iqbaal mampu menangkap raut kebingungan dari wajah (namakamu). (namakamu) mengangguk. Langkahnya terayun menjauh dari Iqbaal. Membidik beberapa pose jejeran sepatu, pelanggan, pramuniaga yang sibuk mencocok-cocokan sepatu, dan...
Crek! Bidikan terakhir berhasil membuat (namakamu) menahan nafas. “Karrel?”
(namakamu) mengalihkan pandangannya dari layar kamera ke arah bidikan yang ia tangkap. Seorang laki-laki duduk di samping seorang gadis yang tengah mematut-matut sepatu pada kaki kanannya.
“Mbak!”
Tangan perempuan itu terangkat, berteriak ke arah (namakamu). (namakamu) mengingat perkataan Iqbaal, 'berlakulah layaknya pramuniaga jika ada seorang pelanggan yang membutuhkan bantuan'. Ya, (namakamu) harus melakukan itu sekarang. Langkah (namakamu) terayun mendekat, mendekati sepasang kekasih yang tengah duduk di sofa yang berada di tengah rak kaca.
“Ada yang bisa saya bantu?”
Suara (namakamu) yang bergetar menghasilkan gerakan refleks menoleh dari laki-laki yang tengah duduk di samping kekasihnya.
“Ukuran ini terlalu kecil, ada yang lebih besar?” tanya perempuan itu menyodorkan sebelah stiletto yang baru saja ia coba. (namakamu) meraihnya lalu mengangguk sopan. Sejenak (namakamu) merasakan dadanya akan meledak. Berusaha memutar tubuhnya untuk melangkah dan meraih sepatu ukuran lain pada pramuniaga yang tengah bertugas.
'Aku bertemu dengan gadis itu di tempat kerja aku yang baru. Aku pikir aku jatuh cinta sama dia. Dan seiring dengan itu... Aku lupain kamu. Carilah laki-laki yang mencintai kamu, (namakamu).'
Tiba-tiba (namakamu) merasakan tengkuknya memanas dan dadanya mendidih. “Laki-laki brengsek!” desisnya dengan suara bergetar.
Trak! Tiba-tiba hak stiletto yang (namakamu) genggam begitu saja melayang pada kening seorang laki-laki yang baru saja sempat mengaduh. (namakamu) tidak mampu menahan kakinya untuk kembali melangkah mendekati sepasang kekasih itu, tidak kuasa menahan tangannya untuk tidak memukulkan hak sepatu yang ia genggam.
“Hey!”
Perempuan di samping laki-laki itu berdiri dan menolak kencang pundak (namakamu). “Saya bisa adukan ini sama atasan kamu!”
Matanya melotot dan memerah, menatap kesal (namakamu) yang saat ini berderai air mata. Gadis bodoh. Untuk apa menangis? Memalukan-_-.
“Maaf.”
Iqbaal tiba-tiba berdiri di hadapan (namakamu), menghaangi tubuh (namakamu) saat ini. “Mohon maaf atas ketidaknyamanananda,” lanjut Iqbaal, setelah itu membungkuk sopan.
Setelah itu tangan kekar Iqbaal menarik kencang pergelangan (namakamu). Menyeret (namakamu) untuk segera keluar dari dalam outlet. “Aku baru tahu kalau hobi kamu mukul kening laki-laki dengan hak sepatu!” ujar Iqbaal, menatap (namakamu) dengan tatapan tidak percaya. Mereka sudah berada di parkiran mobil, menghindari keramaian yang terjadi di dalam akibat ulah (namakamu).
(namakamu) tidak menjawab, malah sibuk dengan isakannya sendiri. Tangan kanannya terulur, menyerahkan kamera yang masih menyala, layarnya memperlihatkan hasil bidikan terakhir (namakamu). “Karrel,” desis (namakamu).
Iqbaal menatap layar kamera. “Karrel?”
Iqbaal tidak mengerti. Keningnya berkerut menatap layar kamera yang ia genggam.
“Jadi laki-laki yang kamu pukul tadi Karrel?” tanya Iqbaal setelah sejenak menciptakan suasana hening untuk berpikir.
(namakamu) mengangguk disambut dengan Iqbaal yang kini manggut-manggutseolah mengerti.
(namakamu) memaksakan tangisnya untuk terhenti. Namun ternyata sulit, seperti mengerem kereta api yang sedang berjalan di jalurnya secara mendadak. Tangis (namakamu) tidak terhenti, malah terdengar sesegukan yang lebih parah. Tanpa ia sadari kepalanya bergerak menelusup ke dalam dada Iqbaal. Seolah menemukan muara, (namakamu) menumpahkan semua tangisnya lagi.
Sejenak Iqbaal tertegun, kaget. Gadis yang tidak lain adalah bawahannya yang baru 3 hari ia kenal mendadak bersikap di luar dugaan seperti ini. Apakah rasanya sesakit ini dikhianati oleh seseorang yang sudah menjalin hubungan selama 5 tahun? Iqbaal kembali mengingat racauan (namakamu) ketika mabuk. (namakamu) menceritakan hubungannya dengan Karrel secara detail saat itu. Awal bertemu, lama hubungan, tempat favorite mereka berdua, sikap romantis Karrel, hingga prosesi Karrel memutuskan (namakamu). Sebenarnya Iqbaal sama sekali tidak ingin tahu, namun (namakamu) terus meracau tanpa sadar.
“Apa perlu kita balik lagi ke dalam buat mukul kepala Karrel pake hak sepatu kamu?”
(namakamu) menggeleng.
“Baguslah, lagi pula itu cuma buang-buang waktu,” ujar Iqbaal. Telapak tangan kirinya menepuk-nepuk pelan pundak (namakamu).
Bersambung~

Kalo gak enak boleh dilepeh
Karya : @citrnovy (Novy Citra Pratiwi)

Follow Twitterku juga ya mate! @_BayuPrasetya

Like juga fanpage nya https://www.facebook.com/profile.php?id=379969348803380&ref=stream&refid=52&__tn__=C

Situs terkait