Tuesday, April 7, 2015

Cerbung Desire And Hope - Part 8

Muhammad Aryanda.

OoO


”Jessica kenapa?” Tanya Aldi.
Iqbaal menggeleng. ”Gue belum bisa cerita. Mungkin lain kali.” Kemudian Iqbaal memutar badannya untuk menghampiri Jessica.
Gadis itu sekarang duduk meringkuk memeluk lututnya. Dia terlihat menyedihkan.
”Kita pulang sekarang,” ucap Iqbaal sembari menarik pelan tangan Jessica, gadis itu tak langsung menyambutnya dengan ramah, dia terlebih dahulu menghempaskan tangan Iqbaal dan setelah itu Jessica beranjak dan keluar dari kamar.
(Namakamu) dan Aldi yang masih ada di depan pintu hanya bisa diam seperti patung.
Serius nih anak kecil kalau marah nyereminya kayak gini?
*


(Namakamu) berjalan agak membungkuk dan tak lupa untuk menundukan kepalanya. Dia merasa risih dengan tatapan murid-murid yang ada di koridor. Mereka memandang (namakamu) seolah (namakamu) adalah objek unik yang pantas untuk di pertontonkan. Bagaimanapun (namakamu) tak suka hari ini, seharusnya dia tidak pelu hadir atau menuruti saran dari pemuda gila itu.
”Mulai besok lo adalah kacung gue! Inget! Ka to the cung! Kacung! Jadi mulai besok lo harus mengikuti segala peraturan yang gue buat! Pertama, lo harus ubah gaya penampilan lo yang gembel abis ini jadi wah, dan karena gue tau kalo lo gak bakal bisa jadi wah, makanya lo hanya perlu tampil beda! Ngerti?” Aldi tadi malam memberitahukan (namakamu) apa-apa saja yang harus dia lakukan selama dirinya menjadi ka to the cung-nya Aldi. ”Untuk sementara cuma itu yang gue mau!”
Udah, gitu aja.
Dan hari ini, (namakamu) menuruti permintaan Aldi yang menurut (namakamu) benar-benar membuat (namakamu) agak malu. Malu karena kayaknya dandanan (namakamu) aneh banget, dan gak kayak biasanya, itu bisa terbukti dari murid-murid yang ngeliatin (namakamu) gitu banget.
Dan entah mengapa, (namakamu) bukannya malah mempercepat langkahnya, gadis itu malah berjalan pelan-pelan.
Memangnya penampilan (namakamu) aneh banget ya?
(Namakamu) gak berani untuk menengadahkan wajahnya, dia jalan sambil menundukan dan berusaha sekeras mungkin agar tidak menabrak salah satu murid yang berlalu-lalang di koridor. Tapi baru saja (namakamu) berpikir seperti itu, tiba-tiba dirinya tanpa sengaja menabrak punggung seseorang.
Orang itu memutar badannnya dan (namakamu) menengadahkan wajahnya.
Murid laki-laki. Pemuda itu mengangkat sebelah alisnya, dan menatap penuh selidik gadis yang berdiri di hadapannya ini.
Dia mengenali gadis ini. Ini (namakamu) kan? Tapi kenapa penampilannya jauh berbeda dengan (namakamu) yang terakhir kali dia lihat? Poni gadis itu yang biasanya menutupi sepenuh keningnya kini agak di perindah dengan agak menyampingkannya. Wajah (namakamu) yang sebelumnya hanya di polesi bedak tipis—atau mungkin sama sekali tidak memakai bedak—dan kini siapa saja tau kalau (namakamu) memermak wajahnya dengan bedak lebih dan terlihat menawan. Dan rambutnya, biasanya (namakamu) hanya menyanggul, mengikat seperti buntut kuda atau menggerai asal, tapi kali ini gadis itu menggerai rambutnya lebih baik, menutupi pundaknya.
”Minggir, gue mau lewat.” Kata (namakamu) pelan dan sangat terdenga seperti orang ketakutan. Dia tidak memandang lawan bicaranya.
Pemuda itu bergeser ke samping. Sebelum (namakamu) melangkah, dia buru-buru berucap.
”(Namakamu)?”
Kalimat itu membuat (namakamu) menengadah, dan bergumam dalam hati.
Dia ngenali gue X_X
”Lo (namakamu) kan? Lo lagi sakit?”
Menggeleng, (namakamu) menutup rapat mulutnya seakan tak ingin berbicara.
”Terus kenapa jalan lo kayak orang gak semangat gitu?” Dengan sekali gerakan, tangan pemuda itu menempel di kening (namakamu) membuat (namakamu) mengeataskan biji matanya. ”Bener, lo gak sakit.” Katanya sambil menyingkirkan tanngannya dari kening (namakamu).
”Gue udah bisa lewat?” (Namakamu) tahu kalau dia terdengar tidak sopan, tapi murid-murid yang memperhatikan mereka membuat (namakamu) risih.
Pemuda itu mengangguk, lalu membiarkan (namakamu) melangkah tanpa mencegahnya.
*
”BHAHAHAK!!!”
”(Namakamu)! Ya ampun!”
”Lo kenapa, (namakamu)? Sakit?”
”Ini bedak?”
”Demi apa lo pake lipsgloss?”
”Ya ampun, rambut lo...cetar.”
Awal-awalnya kelas memang tenang dan damai tapi gak tau kenapa tiba-tiba aja langsung gaduh saat guru keluar dari kelas. (Namakamu di buat kaget dengan celotehan murid-murid di kelasnya, terlebih lagi ketawa Aldi yang membuat (namakamu) sakit kepala.
”Al, udah ya?” (Namakamu) bertanya pada Aldi yang duduk di sebelahnya.
Kalau gak ulangan, (namakamu) dan Aldi memang duduk bersama. Sementara Iqbaal duduk lumayan jauh dari (namakamu) dan Aldi, jadinya yah gitu. Selama di kelas Iqbaal gak banyak omong sama (namakamu) maupun Aldi, dia cuma ngobrol sama temen sebangkunya, itupun jarang. Iqbaal orangnya gak banyak omong kayak Aldi deh pokoknya.
Menanggapi pertanyaan (namakamu), Aldi menggeleng pertanda tak mengizinkan.
”Gue belum puas.”
”Terus lo kapan puasnya? Tunggu gue di telanjangi di depan kelas? Gitu?”
Mata Aldi menyipit memandang (namakamu). ”Kenapa lo malah memberontak?”
Tersenyum pahit, (namakamu) berkata. ”Maaf Bos Aldiku yang cakepnya ngelebihi Greyson Chance.”
Mendengar kalimat (namakamu) membuat Aldi mengacungkan jempolnya tepat di hidung (namakamu).
”Lo mau kemana?” Tanya Aldi saat (namakamu) beranjak dari tempat duduknya, gadis itu berjalan kebelakang, kayaknya mau ketempat Iqbaal.
”Eh, lo bisa pindah dulu gak?” Setibanya di meja Iqbaal, (namakamu) bertanya dengan murid cupu-culun-norak-gesrek-freak bernama Luvhy.
Gadis itu mengangguk lalu beranjak sambil membawa beberapa bukunya.
”Baal,” suara (namakamu) kayak rengek-an anak kecil.
”Hm?”
Mendengar balasan Iqbaal hanya seperti itu malah membuat (namakamu) tambah kesal. Pemuda itu masih sibuk dengan catatan yang belum selesai di tulis.
”Gak sopan banget.” Gumam (namakamu) sebal.
”Ada apa, sayang?” Tau-tau Iqbaal udah memutar badannya dan memandang (namakamu) dengan senyum yang tak pernah absen dari dirinya.
(Namakamu) nyengir lalu murung lagi.
”Gue kesel sama Aldi.”
Iqbaal udah menduga kalau (namakamu) bakalan ngeluh masalah ini.
”Coba aja lo yang menang, mungkin gue gak bakal menderita kayak gini. Gue kesel banget deh sama Aldi, lebih kesel dari hari-hari sebelumnya, kok bisa sih ada manusia kayak dia? Awas aja kalo gue punya kesempatan buat bales penderitaan gue hari ini, gue bakal bales! Kalo perlu lebih kejam!”
”Seharusnya lo berterima kasih sama Aldi,” Ucap Iqbaal yang membuat (namakamu) bingung. Gadis itu menatapnya bingung. ”Lo keliatan lebih cantik kalo kayak gini.” Setelah mengatakan itu, Iqbaal memutar badannya lagi untuk melanjutkan catatannya yang belum selesai.
Untung aja Iqbaal memunggungi (namakamu), kalau engga, mungkin (namakamu) bisa malu karena tiba-tiba aja dia ngeblush kayak anak oon. Selain ngeblush, kalimat Iqbaal juga membuat jantung (namakamu) berdegup seperti hendak ingin keluar dari sarangnya. Karena penasaran dengan pipinya yang mulai terasa panas, (namakamu) mencoba meraba pipinya lalu tersenyum.
*
Bel istirahat berbunyi. Kalau biasanya (namakamu) akan senang kalau bel istirahat berkumandang, kali ini (namakamu) lebih senang kalau suara bel itu tidak terdengar. Karena apa? Karena dia merasa kalau bau neraka bumi mulai tercium.
”Gue pesen Bakso, fruitea terus sama fruitea. Gak pake lama!”
Baru aja (namakamu) duduk di kursi kantin, tiba-tiba aja Aldi yang juga yang baru duduk itu dengan seenaknya menyuruhnya, belum lagi nada pada kalimatnya itu terdengar sangat miris. (Namakamu) sampai malu saat ada salah seorang murid yang melihat ke arah mereka.
”Baal, lo pesen apaan? Buruan, selagi ada kacung nih.” Dengan songongnya Aldi berkata seperti itu.
”Gue bisa sendiri kok, Al.”
”UDAH KAN? ITU AJA?” Tanya (namakamu), dia sengaja menekan kalimatnya agar Aldi tau kalau (namakamu) itu kesel banget sama dia.
”Bentar,” kata Aldi seraya mengetuk-ngetukdagunya dengan telunjuk. (Namakamu) pun yang melihat kelakuan Aldi hanya bisa mendengus sambil memaki dalam hati.
Tak terasa dua menit sudah berlalu, dan itu membuat (namakamu) seperti orang tolol karena berdiri terlalu lama untuk menunggu kalimat yang keluar dari mulut Aldi.
”Kayaknya itu aja.” Dengan biadabnya kalimat itu meluncur dari mulut Aldi.
Ini anak memang jahanam banget, gerutu (namakamu) dalam hati, kemudian dia melangkah pergi sambil menggebrak meja. (Namakamu) bisa mendengar tawa biadab Aldi dari kejauhan.
”(Namakamu).”
Seseorang menepuk punggung (namakamu) membuat (namakamu) tersentak untuk menoleh kebelakang, ternyata pemuda tadi pagi. Pemuda yang secara tak sengaja dia tabrak.
”Nanti malem lo ada acara?”
Maksud?
(Namakamu)pun yang memang merasa gak ada acara—dan memang gak pernah ada acara—menggeleng ambigu.
”Gue ada dua tiket nonton, dan gue gak tau mau nonton sama siapa. Kalau lo mau, kita bisa nonton berdua. Bisa?”
Ini adalah kali pertamanya seseorang mengajak (namakamu) pergi nonton, dan hanya berdua saja. (Namakamu) jadi berpikir kalau memang masih ada banyak masa-masa remajanya yang belum dipergunakan olehnya.
”Bisa sih, tapi gue belum tau pasti, soalnya gue kan gak tau bakalan ada kendala apa nantinya.”
Pemuda itu mengangguk-ngangguk paham.
”Yaudah, kalo misalkan lo bisa, lo hubungi gue, oke?”
(Namakamu) cuma bisa mengangguk. Memangnya dia mau apalagi? Dan beberapa detik kemudian pemuda itu pergi, tapi (namakamu) dapat melihat dengan jelas sebelum pemuda itu benar-benar berbalik dia terlebih dahulu melemparkan sebuah senyuman yang amat menawan. Mau tidak mau (namakamu) tersenyum. Dan senyum itu terlihat aneh, sepertinya.
Gak lama pemuda itu pergi, tiba-tiba (namakamu) merasakan kalau seseorang berjalan beriringan dengannya. Ketika (namakamu) menoleh ke samping, ternyata itu Iqbaal.
”Aldi lo tinggal sendiri?”
Iqbaal mengangguk, mereka berdua menembus kerumunan murid-murid yang lumayan ramai kala itu. Membuat Iqbaal maupun (namakamu) susah untuk berbicara. Jadi, tak ada yang berbicara di sisa-sisa perjalanan menuju meja pesanan.
*
”Punya Aldi biar gue yang bawa. Lo, bawa punya lo sendiri aja.” Saran Iqbaal begitu mereka menerima pesanan mereka.
(Namakamu) agak kaget saat mengetahui Iqbaal gak pesan apa-apa tapi dia mengangguk.. Jadi secara garis besarnya, Iqbaal menghampirinya karena cuma mau membantunya, bukan untuk memesan makanan. Murid-murid udah lumayan banyak yang keluar kantin, itu membuat kantin ini terasa lebih nyaman.
Ketika sampai di meja mereka. Hal pertama kali yang membuat (namakamu) kesal adalah sepasang mata Aldi yang menatapnya tajam.
Gue salah apalagi?
”Please, deh, Baal. Lo jangan bantuin (namakamu), biarin aja dia ngerjain tugas dia sendiri.” Kata Aldi pada Iqbaal.
”Niat gue kan cuma mau bantuin (namakamu), Al.” Balas Iqbaal sambil menyerahkan nampan berisi pesanan Aldi kepada yang empunya.
Aldi mendengus.
”Nah, bener tuh, gimana kalo dalam perjalanan kemari gue tersandung? Yang rugi kan lo sendiri karena gak jadi makan!” Sergah (namakamu). Kayaknya (namakamu) memang paling gak bisa untuk gak memberontak.
”Diem!” Aldi gebrak meja. (Namakamu) segera menutup mulutnya rapat-rapat. ”Karena bukan lo yang bawa nampan gue, jadi lo harus suapin gue makan!”
(Namakamu) mengernyit pada Aldi. Memangnya harus seperti itu? (Namakamu) bakalan malu kalau di liat sama pengunjung kantin yang tersisa, dan mereka bakalan mikir kalau (namakamu) sama Aldi itu adalah....lupakan.
Menghela napas, (namakamu) mendelik ke arah Aldi. ”Mau pake sekop apa sendok?”
”PAKE KAKI! YA PAKE SENDOK LAH!”
Murid-murid yang ada di kantin langsung memandang meja mereka dengan tatapan ingin tahu, karena sepertinya kegaduhan tengah terjadi disana.
Iqbaal yang merasa kalau tindakan Aldi berlebihan hanya bisa menggelengkan kepala. Ada-ada aja.
*
Panas matahari semakin terasa membakar kulit saat siang hari. Hal itu juga yang di rasakan oleh (namakamu), Aldi dan Iqbaal yang sedang berjalan pulang. Kayaknya perlu di larat, yang kepanasan cuma (namakamu) dan Iqbaal, sementara Aldi, pemuda itu tengah menikmati angin buatan dari (namakamu).
(Namakamu) pikir penderitaannya sudah selesai, tapi saat keluar kelas, Aldi malah menyuruhnya membawa tasnya dan karena cuaca yang panas, Aldi menyuruh (namakamu) untuk mengipasi dirinya di sepanjang jalan menuju rumah dengan buku. Dan Aldi tidak mengizinkan Iqbaal untuk membantu (namakamu).
”Al, tas lo berat banget sih? Gak kayak biasanya, isinya apaan?” Tanya (namakamu) di sela-sela perjalanan, tanpa dia sadari wajahnya sudah di penuhi oleh keringat.
”Bukulah!”
”Gue juga bawa buku, tapi gak berat banget kayak gini! Lagian ya, pelajaran hari ini cuma tiga; Matematika, Bahasa Inggris sama Sejarah!”
”Sebagai anak pinter, gue juga bawa dong buku cetak kelas satu. Gue gak mau buku gue di rumah numpuk gitu aja tanpa di pergunakan.” Jelas Aldi songong banget.
(Namakamu) melongo. ”Bu-buku ke-kelas sa-satu?” Saking tak percayanya, (namakamu) sampai mengulang kalimat itu di hatinya.
”(Namakamu), tas lo biar gue yang bawa aja.” Usul Iqbaal.
Aldi menghentikan langkahnya, dan memandang Iqbaal tak suka.
”Gue kan cuma bawa barang (namakamu), Al, bukan bawa barang suruhan lo ke (namakamu).” Jelas Iqbaal karena merasa kalau Aldi sudah berburuk sangka padanya.
Tanpa menunggu (namakamu) untuk melepaskan tasnya, Iqbaal menarik sendiri tas milik (namakamu) lalu di jinjingnya.
Perkataan Iqbaal emang ada benernya juga sih, tapi ada sesuatu yang aneh dan itu menurut Aldi gak wajar. Menyipitkan matanya, Aldi bertanya dengan suara yang penuh dengan kecurigaan.
”Lo suka sama (namakamu)?”
Iqbaal yang baru melangkah dan (namakamu) yang masih terus setia mengipasi Aldi secara bersamaan menghentikan aktivitas masing-masing.
”Cukup dengan penderitaan ini! Lo jangan bikin gue malu lagi!” kata (namakamu) kesal seraya menghantamkan buku yang ada di genggamannya ke kepala Aldi.
Aldi meringis, lalu menoleh kepada (namakamu). ”Gak sopan!” Teriaknya. ”Gue juga bego banget, mana mungkin Iqbaal suka sama lo, lo itu jelek, cerewet, gak ada sisi feminimnya, dan lo itu jelek terus cerewet!”
”Terus aja lo hina gue, hina terus gue, gue sumpahi lo cinta mati sama gue!”
Aldi terperengah sementara Iqbaal agak kaget mendengar perkataan (namakamu).
Berselang beberapa detik barulah suara tawa Aldi meledak, membuat bumi berguncang, tsunami mendadak, dan angin tornado di beberapa tempat.
”Lucu!” Katanya. ”Sial banget kayaknya gue harus cinta pake mati lagi sama lo. No! Lo bukan level gue! Level gue itu sekelas Ariana Grande! Bukan kayak lo!”
(Namakamu) meludah saking kesalnya. ”Gue juga ogah punya pacar kayak lo! Level gue itu Taecyeon! Bukan Tae Ayam kayak lo! Paham?”
”Wait..wait..wait..sejak kapan gue mau jadi pacar lo?”
Kayaknya kedua manusia ini udah sama-sama emosi, jadi mereka gak bakal senang kalau gak saling hadap dan tatap-tatapan. You-Know-Lah mereka kalau udah tatap-tatapan itu serasa ada leser hijau dan merah yang saling beradu.
”Gue gak bilang lo jadi pacar gue!”
”Tapi tadi di kalimat lo, lo bilang 'gue ogah jadi pacar lo' dan itu seakan-akan gue itu mau jadi pacar lo, gitu? Mimpi!”
”Idih, sok kegantengan banget lo, muka kayak sendal jepit aja belagu!”
”Muka lo kayak aspal!”
”Muka lo kayak racikan bakwan!”
”Badan lo kayak kulit durian!”
”Badan lo kayak tong sampah sekolah!”
”Ma, Pa, udah dong, ya, adek udah kepanasan nih.” Suara Iqbaal membuat Aldi dan (namakamu) menoleh ke empunya suara. Yang membuat (namakamu) dan Aldi ingin tertawa adalah bagaimana cara Iqbaal memanyunkan bibir, tapi mereka terlalu gengsi, please, Baal, ini lagi berantem.
”Diem!” Secara serempak (namakamu) dan Aldi meneriaki Iqbaal.
Iqbaal membisu, dan menunduk lesuh.



Bersambung...



Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

No comments:

Post a Comment

Situs terkait