`Pinocchio` 15
Part 11
Muhammad Aryanda.
O-o-o-o-O
Warning: Part ini gak terlalu panjang
O-o-o-o-O
Seminggu telah berlalu.
Iqbaal memutuskan untuk pindah dari rumah itu ke apartemen, hal itu dia lakukan atas permintaan (namakamu)—readers—dan juga inisiatifnya. Sementara kasus meninggalnya Bi Inah masih terus di selidiki karena memang daerah itu jarang bahkan hampir tidak pernah di lintasi oleh masyarakat sekitar. Iqbaal belum mengizinkan polisi untuk mengintrogasi (namakamu), keadaan wanita itu masih sangat lemah.
Dan seminggu ini juga Jessica tidak pernah lagi memperlihatkan dirinya, gadis itu menghilang seakan di telan bumi.
”(Namakamu), kamu harus banyak istirahat.” Ucap Iqbaal sambil mengelus puncak kepala (namakamu) lembut. Wajah (namakamu) sudah lebih segar dari seminggu yang lalu, bibir dan kulit wajahnya juga tidak sepucat sebelumnya hanya saja kehitaman seperti memar masih mengelilingi sekitar matanya.
(Namakamu) tersenyum dan mengangguk mendengar ucapan Iqbaal, detik berikutnya dia memalingkan wajahnya begitu juga dengan Iqbaal. Pintu terbuka, dan memperlihatkan sosok Salsha berjalan dengan santai ke arah (namakamu).
”Kondisi bayi baik, sebenarnya kita juga gak bisa bilang kalau anak kamu itu lahir secara prematur, umumnya bayi prematur lahir 35-37 minggu lebih awal..,” Salsha menjeda kalimatnya, dia mengedarkan pandangannya dengan sikap mencari sesuatu. ”Sekarang tanggal berapa?”
”19 Oktober.” Jawab Iqbaal.
Salsha diam sebentar, keningnya berkerut. ”Berarti sekitar tanggal 1 November atau 2 November bayi kalian seharusnya lahir, dan kejadian buruk itu terjadi tanggal...”
”12,” (namakamu) bersuara, Iqbaal dan Salsha serempak menoleh ke arah (namakamu) sambil tersenyum ramah.
”Cuma telat 21-22 hari atau 3 minggu lah yah, halah, gak penting juga,” Tiba-tiba Salsha merasa jengkel dengan sikap formalnya. ”Yang penting sekarang anak kalian selamat walaupun kesehatannya gak terlalu baik.”
-o-
Bangunan rumah itu sekarang gelap, tidak ada setitikpun cahaya yang menerangi kecuali cahaya rembulan yang menerangi malam. Tempat itu sunyi, sepi seakan tak bernyawa. Di halaman rumah terdapat papan bertulisan 'di larang masuk'. Sudah seminggu pasca kejadian pembunuhan yang mengegerkan warga setempat, walaupun daerah ini cukup jauh dari warga setempat tapi mereka rela melihat hanya sekedar tidak ingin ketinggalan berita. Terlebih kejadian pembunuhan di tempat itu mengingatkan para orang-orang tua yang sudah paruh bayah dengan kejadian bertahun-tahun yang lalu.
Rumah itu benar-benar menyeramkan, sangat mengerikan. Bahkan binatang malam pun enggan singgah disitu. Seminggu lebih tidak ada yang menghirup udara di tempat itu.
Tap! Tap! Tap!
Angin berembus kencang seolah menyambut seseorang yang baru saja menginjakkan kakinya di teras rumah. Orang itu mengenakan tuksedo silver sepanjang betisnya, rambutnya dia biarkan terurai di terpa angin malam, wajahnya tidak berekspresi, teman-temannya kebanyakkan menyebutnya patung suci yang memiliki jantung.
”Ah, sudahlah,” dia menghembuskan napas. Kebiasaan hidupnya, dia berbicara terlalu formal kepada siapapun dan itu semakin membuatnya seperti sesuatu yang langkah. ”Orang tuaku sudah meninggal, mereka sudah tenang disana, hanya saja mayatnya yang belum di temukan.” Dia berkata santai sambil menyentuh pelan pintu rumah lalu terbuka.
Langkah pertamanya masuk ke rumah membuat gorden dan jendela terbanting berkali-kali yang di akibatkan oleh angin kencang.
”Apakah aku akan percaya orang yang sudah mati bisa bangkit kembali? Dan menakuti orang-orang? Huhh, terdengar seperti film horor yang baru-baru ini aku tonton,” gumamnya, dia berbalik dan menutup pintu rumah. Bagaimana pun juga dia tak ingin membuat warga kuatir dengan terbukanya pintu rumah ini. ”Itu hanya iblis.”
Orang itu melangkah menelurusi ruang keluarga yang sudah kosong, hanya ada beberapa furniture yang tersisa Tapi sebuah benda yang begitu jelek dan kumal menarik perhatiannya.
Lemari.
”Iblis mengganggu ketengan manusia. Sekali lagi, mereka menganggap kalau orang mati itu benar-benar bangkit dan menakut-nakuti orang-orang, haah, lelucon macam apa itu,” Berhenti sebentar orang itu sudah berdiri di depan lemari dengan sikap mengamati. ”Lalu bagaimana caramu menghadapi iblis yang menyerupai manusia dengan wajah yang sangat mengerikan?,” tersenyum, dia membuka lemari itu lalu melanjutkan kalimatnya. ”Kalau kamu takut, lihat saja lantai, tapi ketahuilah dia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali membuatmu takut dengan wajahnya yang menyeramkan. Jangan pernah berpikir dia akan menyentuhmu, hal yang mustahil.....kecuali kalau mereka menggunakan sebuah objek.”
Setelah pintu lemari terbuka dan tidak memperlihatkan apapun di dalamnya, orang itu kembali menutupnya. Dia berniat untuk menggeser lemari besar itu.
Sebuah lubang. Itu yang ada dalam pikirannya.
Akan tetapi, belum sempat dia melakukan tindakkannya, suara gaduh di ruang utama membuatnya terkesiap dan bersikap was-was.
Seseorang memasuki rumah ini.
-o-
”Apa harus pergi malam ini juga? Gimana kalo berkas kamu gak ada di rumah itu?” (Namakamu) bertanya khawatir dengan Iqbaal, pasalnya laki-laki itu ingin pergi ke rumah mereka yang sudah seminggu ini tidak mereka tempati.
Iqbaal mendesah, dia tidak suka melihat wajah (namakamu) yang kelewat khawatir. ”Satu-satunya tempat yang belum aku cari cuma di rumah itu, (namakamu), aku hampir gila karena mikirin berkas itu.”
”Memangnya gak bisa besok aja, ini udah malam.” Garis kekhawatiran di wajah (namakamu) tak urung menghilang. Bagaimana bisa dia membiarkan Iqbaal pergi ke rumah itu yang padahal polisi pun belum menemukan siapa pelaku pembunuhan terhadap assistent rumah tangga mereka.
”Aku bakalan telat. Kamu gak perlu khawatir, aku baik-baik aja.”
”Kalau cuma ucapan aku gak bakalan tenang.”
Iqbaal menghela napas. ”Aku bakalan pergi bareng Bastian, kalau perlu Aldi sekalian.”
Kekhawatiran di wajah (namakamu) sedikit luntur tapi itu tak menyurutkan kegelisahan hatinya.
”Yaudah, aku pergi ya.” Iqbaal mengacak-ngacakrambut (namakamu) gemas, dia sempat mengecup bibir wanita itu sebelum menghilang di balik pintu.
-o-
”Lo yakin bakalan pergi malem ini juga, kok perasaan gue gak enak gini ya.” Kalimat itu muncul dari bibir seorang laki-laki yang duduk di jok belakang, sambil memeluk dirinya sendiri dia meniupkan napas hangat ke tangannya. Malam ini benar-benar dingin, terlebih posisi mobil Iqbaal sudah dekat di perdesaan.
”Perasaan gila lo doang kali.” Celetuk Aldi pada kalimat Bastian, yang langsung di sambut kekehan pelan oleh Iqbaal.
”Sampe sekarang yang ngebunuh pembokat lo belum di temukan, gimana kalo kita sampe disana dan.... Wajah-wajah ganteng kita yang bakalan muncul di koran besok pagi.”. Bastian tidak tahan untuk tidak histeris akibat pemikiran tolol yang melintas di kepalanya.
Hening. Tidak ada yang bersuara lagi. Mobil Iqbaal sudah memasuki perkarangan rumah kayu itu. Mereka terdiam selama beberapa detik di dalam mobil sambil mengamati sekitar rumah, cukup sepi dan sangat menyeramkan.
”Gue tunggu disini aja ya.” Seperti bukan pertanyaan, Bastian merasa tidak tenang dan begitu gelisah. Kedua matanya tak henti-hentinya melirik kesana-kemari dengan was-was.
”Pengecut.” Gumam Iqbaal sambil membuka pintu, lalu keluar.
Bastian mendelik tidak terima tapi dia bisa apa dalam kondisi seperti ini. Dan, kenapa dia tiba-tiba menjadi penakut seperti ini.
”Gue takut karena gue normal.” Gerutunya.
Aldi mengetuk kaca jendela. ”Lo beneran gamau keluar?”
”Udah deh nanti gue nyusul.”
Mengangkat kedua bahunya, Aldi memutar badannya dan berjalan mengikuti Iqbaal yang sudah lebih dulu berjalan ke rumah itu. Sesekali dia menoleh ke belakang lalu menggeleng tak menyangka.
-o-
Gelap, hening dan mencengkam. Hal seperti itu yang akan kamu rasakan jika kamu berada di ruangan ini.
”Bagaimana rasanya hidup seorang diri?” Pertanyaan itu keluar dari mulut seorang laki-laki tua. Wajahnya terlihat aneh dengan rambut gondrong yang nyaris menutupi wajahnya, postur tubuhnya yang tinggi seakan mengharuskannyauntuk menundukkan kepalanya dengan sikap meremehkan orang-orang. Dia mengenakan seragam rumah sakit, yang jika seseorang membaca kalimat yang tertera di punggungnya akan langsung mengenali 'siapa dirinya'
Pertanyaan itu dia lontarkan untuk seorang gadis berwajah dingin, yang menatapnya berapi-api sedari tadi. Gadis itu berada tiga meter di hadapannya.
”Bagaimana rasanya menjadi gila?”
Mendapatkan pertanyaan seperti itu, laki-laki tua itu tertawa ngeri lalu meludah tepat di hadapan gadis itu.
”Masa kecilmu pasti sangat tersiksa ya.”
”Tak mengapa masa kecilku pahit, asalkan masa depanku manis.”
Laki-laki itu tersenyum meremehkan. ”Orang tuamu pasti tidak pernah mengajarkanmu sopan santun, kan.”
”Hahahah..” Gadis itu tertawa aneh. ”Setidaknya mereka tidak mengajariku untuk mengkhianti...saudara.” Sergah gadis itu penuh penekanan pada kata 'saudara'
”HAHAHA!” Laki-laki tua itu tertawa lepas, setelah itu dia merentangkan kedua tangannya dan mulai berjalan mengelilingi gadis itu. ”Jessica, kamu pintar sekali.”
Jessica. Ya, gadis yang sedari tadi berada di rumah ini dengan maksud mencari jasad kedua orang tuanya.
Setelah berjalan mengelilingi Jessica, orang itu sekarang berhenti tepat di belakang Jessica.
”Malam-malam seperti ini, apa yang kamu lakukan disini, gadis manis?” Tahu-tahu Jessica merasakan embusan napas laki-laki itu mengitari lehernya. Laki-laki tua itu berada tepat di belakangnya. ”Kejadian malam itu...,” dia menjeda kalimatnya, tampak menerawang. ”Sayang sekali kamu tidak menyaksikannya.”
Hening. Tidak ada yang bersuara maupun bergerak, keduanya percis seperti patung manekin.
*
”Baal cepetan kek! Sakit bahu gue!” Suara ringisan itu keluar dari mulut Aldi, laki-laki itu sedang memampah Iqbaal dengan bahunya, dengan maksud untuk mencari berkas Iqbaal yang katanya hilang. Tapi kalaupun hilang, masa bisa di atas lemari sih?_-
”Sedikit lagi, Al.”
”Dari tadi itu mulu lo bilang, lo gatau leher gue udah mau patah!” Mendadak Aldi mundur karena terganggu keseimbangan.
”Kampret! Jangan goyang-goyang, ntar jatoh.”
”Tai lo ah, berat banget.”
”Jangan banyakk ngomong! Cepetan.”
Mendengus frustasi, Aldi melangkah mendekati lemari itu, kali ini dia merengtangkan tangannya lalu mencengkram sudut-sudut lemari agar tidak jatuh.
Lemari itu memang cukup tinggi tapi tidak besar.
”Nah, gitu aja, Al.” Buku-buku jari Iqbaal sudah memutih lantaran mencengkram puncak lemari itu. Kemudian dengan sedikit usaha, tangan Iqbaal meraba-raba permukaan atas lemari tersebut.
”Ada gak sih, nyet! Lama bang...” Aldi kehilangan keseimbangan, apapun yang terjadi di detik selanjutnya tidak di harapkan oleh Iqbaal maupun Aldi. Aldi limbung tanpa ada penghalang sedikitpun, laki-laki itu jatuh bebas, punggungnya berderit akibat berhantaman dengan lantai kayu.
*
”Cup...cup..cup...cup...cupp, jangan nangis sayang. Sebentar lagi ayah pulang kok.” Sudah dari setengah jam yang lalu (namakamu) mondar-mandir seperti orang gila karena tidak bisa menenangkan bayinya yang menangis.
”Diora sayang, kamu sampe keringetan gitu. Disini panas ya? Gimana kalo kkita ke kamar Mama aja.” Sambil menyeka keringat dan air mata Diora, (namakamu) berjalan menuju kamarnya di iringi dengan tangisan Diora yang lebih mendekati menjerit histeris.
» Gue belom kasih tau ya kalo nama anak (namakamu) sama Iqbaal itu Diora, bagus kan ^.^ «
Sebelum (namakamu) sampai di kamarnya, otak di dalam kepalanya menyala seakan mendapatkan sebuah jalan keluar untuk mengentikan tangisan anaknya. Apa dia harus menghubungi Salsha? (Namakamu) melirik jam dindng, yang menunjukkan pukul sembilan malam. Belum terlalu malam.
(Namakamu) mengingat-ngingat dimana dia meletakkan ponselnya, dua detik berlalu dia mengedarkan pandangannya, dan (namakamu) menemukan ponselnya di bufet yang berada tak jauh darinya. Merai ponselnya, (namakamu) segera menghubungi nomor Salsha.
Panggilan tersambung..
”Halo, sha, ini,” (namakamu) agak kesusahan meletakkan ponselnya di telinga, jadi dia menempelkan ponselnya di antara bahu dan telinga. ”Diora nangis terus, gue capek.”
”Udah gue kasih susu. Gimana dong.”
”Badannya gak panas kok.” (Namakamu) melanjutkan niat sebelumnya untuk masuk ke dalam kamar. Salsha yang sedang memberikan intruksi kepada (namakamu), (namakamu) dengarkan dengan seksama.
”Masa sih? Anaknya om gue kok gak gitu.” Dengan susah payah (namakamu) membuka pintu, lalu dia menekan loudspeaker pada ponselnya dan meletakkannya di nakas, (namakamu) masih di sibukkan dengan tangisan Diora yang semakin kencang.
Berniat untuk membuka jendela, (namakamu) membaringkan Diora di tempat tidur. Dia mengecup Diora dengan penuh rasa sebelum akhirnya melangka ke arah jendela. Akan tetapi, belum sempat (namakamu) menyelesaikan langka pertamannya, sesuatu yang amat mengerikan mengusik matanya.
(Namakamu) terpaku, rahangnya mengeras karena takut, sekujur tubuhnya bergetar seakan tak mampu menerima kenyataan ini. Dengan tatapan tak percaya, (namakamu) mengedarkan pandangannya ke segala arah pada kamar ini.
'Pulang ke rumah'
Di dinding, langit-langit kamar.... (Namakamu) menunduk dan terkesiap saat menemukan tulisan yang sama tertulis di lantai kamarnya. Kata yang di tulis menggunakan spidol merah.
”(Namakamu)? (Namakamu)? Lo masih dengerin gue kan? Hallooo??”
”AAaaa!!!”
(Namakamu) menjerit histeris, terlebih saat sepasang matanya tanpa sengaja mendapatii benda yang tak asing tergeletak di tengah-tengah kamarnya. Boneka. Pinocchio. Sebenarnya bukan itu yang membuat (namakamu) semakin ketakutan, bukan, tapi saat dia menemukan spidol merah tergeletak di bagian tangan Pinocchio itu. Dengan gelagat seakan baru saja memegang spidol itu.
”(Namakamu)!! Lo kenapa??!!”
-o-
”Jessica?”
Panggilan itu membuat Jessica yang sebelumnya memandang sembarang arah mendadak menoleh ke sumber.
”Iq...,” belum sempat Jessica menyelesaikan kalimatnya, seseorang yang berada di belakangnya memiting lengannya.
Tindakkan itu membuat dua orang laki-laki yang berada di ambang lorong—lorong antara ruang keluarga dan utama—terkesiapdan segera bergerak ke arah Jessica —tepatnya laki-laki yang menyerang Jessica—tapi sebelum Iqbaal sempat melayangkan tinjunya, laki-laki tua itu sudah mencondongkan pisau tepat di leher Jessica.
”Keparat!” Umpat Iqbaal bengis.
Sambil memainkan pisau di leher Jessica, pria tua itu membisikan kalimat halus di telinga Jessica. ”Kejadian malam itu akan terulang lagi.”
”Lepasin dia!” Geram Iqbaal kepada pria tua itu. Tapi pria tua itu sama sekali menghiraukan ucapan Iqbaal, dia terus memainkan pisau tajam di leher Jessica.
Iqbaal yang bingung dan tak tahu harus berbuat apa hanya terpaku dengan gelisah.
*
Bastian merasa kalau tidurnya tidak lagi tenang. Telinganya mendengar suara keributan dari dalam rumah walaupun tidak terlalu kentara. Jari-jari Bastian merayap ke sekitar matanya, berniat untuk menerangkan pengihatannya.
Seseorang melintas...
Hening. Lama sekali Bastian memperhatikan seseorang itu sampai pada akhirnya menghilang di belakang rumah.
”Cewek, rambut panjang, pucat, tinggi, pake dress putih,” gumam Bastian bingung, dia masih tidak bisa mencerna dengan baik apa yang matanya telah lihat. Jadi Bastian mencoba menggambarkan sosok itu di kepalanya.
Lima detik berlangsung. ”HAHAHA,” Bastian tertawa aneh. ”Gak mungkin,” katanya sambil menepuk-nepuk pelan pipinya. Bastian mencoba mengalihkan perhatian bodohnya ke ponsel, dia mengambil ponsel dan entah mengapa matanya malah tertuju pada deskripsi tanggal.
Jumat, 19 Oktokber.
Masih belum ada yang aneh, Bastian mencoba melafalkan kalimat itu di dalam hatinya sekali lagi.
Jumat, 19 Oktober.
”Apasih gue, gajelas gini.” Merasa bodoh, Bastian menghantamkan kepalanya ke jok depan. Satu detik berlalu, Bastian seakan mendapatkan ilham. Mata dan mulutnya terbuka lebar, dia tercengang tak percaya, matanya menoleh ke belakang rumah lalu ke depan mobi, dia melakukan hal seperti itu berkali-kali sampai akhirnya dia berteriak histeris dan keluar mobil.
”KUNTILANAK! MALEM JUMATAN!!!”
Bastian tidak peduli kalau Iqbaal ataupun Aldi mendengar suara teriakannya, dan mengapa, kedua orang itu belum kembali. Bastian yakin kalau dia sudah menunggu lebih dari sejam.
Dan sekarang, Bastian berlari luntang-lantungseperti orang gila, yang parahnya, dia berlari ke jalan dan berlari berharap kalau dia segera tiba di rumah dan bertemu dengan Steffie. Bastian sama sekali tidak peduli dengan pohon-pohon besar yang mengitari jalan, dia terus berlari dan percaya akan menemukan keajaiban.
Bastian menoleh ke belakang, dia merasa kalau dia sudah cukup jauh tapi entah mengapa rasanya penantiannya untuk menembus ke kota sia-sia. Bastian tidak boleh lengah, dia menyeka keringat yang ada di jidatnya dan kembali berlari sekencang-kencangnya.
”Keajaiban! Please baby, come here to me!” Di sepanjang jalan Bastian meneriaki kalimat itu, sampai akhirnya dia menyipitkan matanya saat menemukan seberkas cahaya yang sepertinya di hasilkan oleh sebuah mobil.
Bastian ke girangan, dia loncat-loncat dan berjalan ketengah. Tidak lupa untuk merentangkan tangannya supada menambah kesan kesinetronan dirinya. Mobil em menadadak, dan bemper mobil itu hampir saja menabrak bagian 'anu'nya_- Bastian bahkan mendengar kalau orang di dalam mobil itu mengumpat. Bastian tidak ingin mendengar apalagi melihat, jadi dia putuskan untuk memejamkan matanya.
Suara pintu mobil terbuka.
Langkah kaki rusuh terdengar.
Dan.
Bugh!
”Bego! Lo mau mati? Lo gak mikirin nasib gue gimana ntar kalo lo mati! Ngapain sih lo disitu!”
Suara itu.....
Bastian sangat mengenali.
Dia buru-buru membuka matanya, dan mengabaikan segala umpatan wanita di hadapannya. Bastian lebih memilih memeluk wanita itu.
”Steffie!!!! Dewi penyelamat gue!” Peluk Bastian erat.
Steffie merenggangkan pelukkan. ”Kenapa sih? Bukannya seharusnya di rumah (namakamu)?”
Bastian terdiam sejenak. Mengingat rumah (namaamu) malahh mengingatkan Bastian akan sesuatu yang mengerikan.
Bastian mengedarkan penglihatanya. Lalu berkata kepada Steffie. ”Tad..tadi aku gak sengaja ngeliat kuntilanak.”
Steffie tercengang lalu menjerit.
”Steff, tenang dulu!”
”Aaaa!!!” Steffie sudah seperti orang gila, dia tidak memperdulikan Bastian dan langsung berjalan masuk. Menyalakan mesin dan melajukan mobil dengan kecepatan biadab.
Bastian yang menyaksikan dengan mata dan kepala sendiri tingkah Steffi hanya bisa memandang mobil yang berlalu itu dengan tatapan 'Kenapa-lo-tinggalin-gue-nyet'
Dengan lemas Bastian melangkahkan kakinya menyusul mobil tersebut.
Bersambung...
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com /OfficialAryanda?refid=52& _ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_ke y.-4267874796962675010&__tn__=C
No comments:
Post a Comment