Thursday, August 20, 2015

Cerbung Red Light - Part 4

`Red Light`


Part 4

Muhammad Aryanda.

—OoO—

Oke, setelah tadi malam bergaje-gaje ria sekarang saatnya kita...... *senyumlicik* *tatapanmembunuh* *kameraZoomBerkali-kali* *sinetron* *tai*
Follow RP Cerbung ini yak@NK_RLight @Iqbaal_RLight @Bella_RLight
*

”Yaudah, mending sekarang kamu pulang. Takutnya kamu bakalan kemalaman.”
”Iya.” Kata Iqbaal ambigu. Seakan dia lebih memilih untuk menyaring ucapannya, takut kalau ucapannya akan salah lagi. ”Aku pulang ya.” Iqbaal sudah duduk di jok motornya saat (namakamu) mengangkat bungkusan snack yang masih utuh, begitu pun juga dengann soft drink mereka.

”Mubazir!”
”Gara-gara kamu!”
”Kok gara-gara aku?”
”Kan kamu yang ngambekkan.”
”Itu gara-gara kamu duluan yang cari gara-gara sama aku.”
”Bukannya kamu duluan ya, yang ngerjain aku?”
”Tapi kan aku cuma becanda.”
”Tapi becanda kamu nggak lucu.”
(Namakamu) menggeram. ”STOP! PULANG! SEKARANG!” Teriaknya, yang langsung membuat mulut Iqbaal terbungkam lalu dengan gerakan cepat Iqbaal menyalakan mesin motornya, dann bergegas pergi.
***
Bastian berdiri di seberang jalan sekolahnya, dia menatap kesal ke arah pintu gerbang sekolah yang sudah ketutup rapat. Bagaimana mungkin dia bisa datang terlambat ke sekolah? Padahalkan tadi malam dia tidur lebih cepat sejam dari malam sebelumnya—pukul 11 malam—itu adalah waktu yang cukup normal baginya. Mengingat Bastian sering menghabiskan waktunya untuk menulis cerita di blog tololnya itu, tapi memang tak bisa di pungkiri kalau Bastian senang dengan kegiatannya, meskipun dia tahu tidak akan membuahkan hasil apa-apa, tapi kan itu bisa melatih tulisannya agar bisa lebih bagus seperti Dan Brown.
Ketika jalanan di hadapan sudah sepi dari kendaraan, Bastian segera menghambur menyeberangi jalan. Bastian agak kaget saat melihat Satpam Menyebalkan Yang Tak Pernah Mengizinkan Murid Masuk Saat Telat. Dengan lincah Bastian bersembunyi di balik pohon besar yang ada di sudut sekolah. Yang perlu dia lakukan sekarang hanyalah memutar kebelakang sekolah untuk memanjat pagar setinggi dua meter. Tidak terlalu sulit karena mengingat kalau dia adalah renkanasi dari Sun Go Kong.
Berjalan kebelakang sekolah tidak terlalu sulit, karena di sekitar sekolah juga sangat terawat. Tidak ada rumput setinggi lutut atau cabang-cabang pohon yang menghalangi dirinya. Intinya Bastian bisa sampai di pagar belakang sekolah dengan selamat tanpa harus bersusah payah membersihkan seragamnya yang kemungkinan saja akan kotor.
Bugh!
Ketika Bastian hendak melompat menyeberangi pagar setinggi dua meter itu, seseorang dari belakang menarik kerahnya dan menghempaskannya ke permukaan tanah yang kotor.
”Sialan,” umpat Bastian, dia mengerjapkan penglihatannya yang sedikit kabur lalu menatap ke sekitar.
Bugh!
Sebuah pukulan mendarat ke wajahnya, membuat penglihatan Bastian menjadi kabur lagi, padahal dia belum sempat melihat ketiga laki-laki yang mengitarinya. Tiga. Mungkin. Seingat Bastian seperti itu.
Kemudian salah satu dari mereka memaksa Bastian untuk berdiri. Bastian yang masih belum bisa melihat dengan jelas tetap fokus pada penglihatannya.Setelah dia merasa kalau matanya sudah kembali normal, tanpa aba-aba Bastian langsung menerjang laki-laki di hadapannya. Bersamaan dengan robohnya laki-laki itu, dua laki-laki yang tersisa langsung menyerangnya. Mereka melayangkan tinju dan terjangan yang menurut Bastian cukup untuk membuatnya kelimpungan, tapi sampai detik ini, serangan mereka belum ada yang mengenai Bastian.
Saat Bastian berhasil menanamkan bogeman ke perut laki-laki yang berbadan paling besar, Bastian melanjutkannya dengan menerjang kepala laki-laki gendut itu. Dari segi serangan mereka, Bastian berspekulasi kalau mereka benar-benar berniat ingin menghancurkannya dengan kata lain mungkin menghabisinya.
Bastian pikir setelah dia menerjang kepala laki-laki gendut itu, laki-laki gendut itu mungkin saja akan pingsan, tapi ternyata tidak, hanya kurang dari 10 detik, laki-laki gendut itu langsung bangkit dan langsung menyerangnya. Sebuah pukulan melayang kearah perutnya, dengan sigap Bastian mengelak dan malayangkan tinju ke hidung laki-laki gendut itu hingga terkapar, belum habis, laki-laki yang paling kurus bergerak mendekat hendak meninju wajah Bastian, tapi Bastian langsung mematahkan serangan itu dengan cara menendang tangan laki-laki kurus itu yang mengambang di udara. Seakan tak membiarkan Bastian bernapas dengan tenang, yang paling langsing langsung melayangkan pukulan ke perut Bastian, tapi lagi-lagi Bastian mampu mengelak dan memberi sebuah pukulan ke perut laki-laki langsing itu.
Bastian menghela napas kasar. ”Apa urusan kalian sama gue!” Ujar Bastian tersengal-sengal.
Yang paling gendut beranjak, sambil berbicara dia menyerang Bastian dengan pukulan bertubi-tubi. ”Urusan kami adalah menghabisi lo!” Sebelah tangannya yang terkepal berhasil di halang dengan tangan Bastian, merasa mendapatkan cela, sebelah tangannya yang bebas terayun dan berhasil menghantam dagu Bastian.
Bastian terkesiap, mereka benar-benar berniat ingin membunuhnya? Dalam hati Bastian bertanya-tanya,siapa di balik semua ini? Teringatnya dia tidak memiliki musuh atau pun orang yang dendam kepadanya, kecuali..... isi kepala Bastian teraduk mengingat kejadian kemarin, dan pada detik itu juga dia merasakan perutnya seperti di hantam dengan beton. Tak sampai disitu, sepasang mata Bastian yang mulai kabur berhasil menangkap gerakan memukul sih kurus yang mengenai wajahnya. Bastian mendesah, dia tidak boleh jatuh, satu-satunya hal yang harus dia lakukan hanyalah balik melawan atau dia akan benar-benar tewas. Mengerikan.
Nyeri hampir di setiap tubuhnya. Bastian merasakan wajahnya menyentuh tanah yang lembab saat sih gendut berhasil merobohkan dirinya. Bastian terbatuk, sekuat mungkin dia berusaha untuk bangkit tapi belum sempat dia berdiri dengan normal, sih kurus menerjang perutnya sampai Bastian bisa merasakan jantungnya akan keluar. Tak sampai disitu, sih langsing menindih perut Bastian dan menghujami wajah Bastian dengan pukulan-pukulanterbaiknya.
”Udah beres.” Kata sih Langsing setelah dia meletakan telunjuk di dekat cuping hidung Bastian dan tak merasakan lagi helaan napas.
Klik.
Ketiganya menatap sosok laki-laki malang yang terkapar tak berdaya dengan seragam sekolah penuh darah, mereka meninggalkan begitu saja tempat ini tanpa berusaha untuk memindahkan sosok Bastian.

***
Di dalam kelas 3 IPA 1 tampak sepi dengan pintu kelas yang tertutup rapat. Murid laki-laki maupun perempuan hanya terdiam seakan hal yang wajar, tapi apakah wajar saat tahu kalau di dalam kelas tidak ada guru? Tak ada satu murid pun yang berceloteh atau berbuat berisik, seisi kelas diam sambil menatap pilu ke arah belakang kelas.
”Kalau ada di antara kalian yang berani mengadukan ini ke guru, gue pastiin nasib kalian akan lebih buruk!”
Bella berteriak mengancam setelah menyelesaikan aksi gilanya, lalu dia meludah pada gadis malang yang keadaanya sudah sangat mengenaskan. Lengan kiri seragamnya sobek, rambutnya acak-acakan, dan disudut bibirnya ada noda darah yang terus menetes. Setelah merasa kalau urusannya sudah selesai, Bella melenggangkan kakinya keluar kelas. Keadaan kelas tetap hening selama beberapa menit kedepan, mereka masih di kagetkan dengan masalah apa yang sebenernya terjadi di antara Bella dan gadis malang bernama Steffie itu?
”Emangnya masalah mereka apa sih?”
”Gue gatau.”
”Tapi katanya Steffie nggak sengaja tumpahi minuman ke seragamnya sih Bella.”
”Sampai segitunya?”
”Ya terus kita mau apa? Emangnya ada yang berani sama Bella?”
satu dari tiga gadis itu meringis. ”Kalau gini gue mending pindah sekolah deh, tapi nanggung udah kelas tiga.”
”Gue merasa nggak aman. Takut.”
Percakapan antara ketiga gadis yang duduk paling belakang itu harus berakhir saat Steffie—sang korban—melangkah menuju kursinya. Gadis itu menunduk. Semua orang meringis iba melihat keadaannya.

***
”Eh, gue dapat MMS kayak gini, kira-kira ini siapa?”
”Kok sama? Gue barusan juga dapet MMS kayak gitu.”
”Menurut lo siapa? Kasian banget ya, dari seragamnya kayaknya dia murid sekolah sini juga.”
”Apa ini ulah Bella?” Saat menyebut nama Bella, gadis itu nyaris membisik.
”Pasti. Siapa lagi kalau bukan dia.”
Gadis pertama masih menatap ke layar ponselnya seakan masih terus menggali isi kepalanya, mencari tahu siapa laki-laki malang yang ada di foto itu. Keadaanya sungguh mengenaskan; dengan posisi terlentang, gadis itu bisa melihat dengan jelas seragam putih yang bercak darah begitu juga dengan wajahnya. Mungkin kalau wajahnya tidak tertutup oleh darah, dia mungkin saja akan mengenalinya.
”Ini Bastian.” Gumam temannya. Sebut saja gadis kedua.
”Hah?” Gadis pertama shock.
”Iya, liat deh rambutnya. Siapa lagi anak cowok yang style rambutnya kayak gini?”
Gadis pertama termenung sebentar. ”Apa temen-temennya Bastian udah tau kabar ini?”
”Mana gue tau. Kasian ya Bastian, gue nggak nyangka kalau Bella bakalan seberani itu.”
”Emang lo udah tau pasti kalau pelakunya Bella?”
Gadis kedua mendesah. ”Menurut lo siapa lagi yang berani ngelakuin kayak gini selain Bella, dan terus mungkin aja dia ngirim gambar ini ke seluruh murid kelas tiga.”
Gadis pertama diam seakan membenarkan pendapat temannya. Dan percakapan mereka harus terhenti saat sih tersangka sebagai pelaku—Bella—melintas di hadapan mereka dengan seringain sinis. Bella sempat melirik ke arah ponsel mereka, dan gerakan Bella itu semakin memperkuat pendapat mereka kalau memang Bella yang melakukan tindakan mengerikan itu.

***
Hari ini di sekolah murid kelas tiga di hebohkan dengan foto seorang murid laki-laki dengan keadaan mengenakan. Mereka bertanya-tanya siapa yang ada di dalam foto itu, karena wajahnya yang juga tertutup oleh darah, murid-murid menjadi susah untuk mengenali laki-laki yang ada di foto. Mereka ingin melaporkan kepada guru tapi di bawah foto itu tertera sebuah ancaman yang kalau foto ini sampai di laporkan mereka akan bernasib sama. Kalau sudah begini mereka tahu siapa pelaku di balik ini semua.
”Nggak di angkat.” Kata Salsha setelah menghubungi nomor Bastian namun tak mendapatkan jawaban.
”Mereka sengaja memotong gambar supaya kita nggak bisa menyelidiki dimana Bastian berada.” Aldi berpendapat.
”Apa harus kita laporin ini ke orang tuanya Bastian?” Salsha beranjak gelisah dari tempat duduknya. Dia benar-benar khawatir dengan keadaan Bastian, jari-jari tangannya bergerak di layar ponsel untuk mencari kontak orang tua Bastian tapi niatnya langsung di halangi oleh Aldi.
”Kalau dalam 24 jam kita belum menemukan posisi Bastian, baru kita menghubungi kedua orang tua Bastian, takutnya mereka bakalan shock.” Jelas Aldi tenang.
Salsha menggerutu tak jelas tapi dia menuruti ucapan Aldi.
”Bukannya lebih cepat lebih baik?” (Namakamu) yang sedari tadi diam tiba-tiba bersuara, laki-laki di sebelahnya tampak menggenggam jemari tangan kanannya erat.
Aldi menggeleng. ”Sebelum kedua orang tua Bastian bergerak, kita harus bergerak lebih dulu, karena kita adalah temannya. Memang nggak bisa di pungkuri kalau hal ini harus segera di kasih tahu sama kedua orang tua Bastian, tapi ada baiknya kalau kita mencari keberadaan Bastian dulu, baru setelah kita memang benar-benar nggak bisa menemukan Bastian, kita akan melaporkan hal ini pada pihak yang berwajib.” Aldi menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya. ”Orang tua adalah orang yang benar-benar sensitif sama anaknya. Ketika sang anak jatuh mereka seakan seperti merasakan sakit yang sang anak rasakan. Takutnya Mama Bastian akan mengalami shock.”
”Tapi bukannya bakalan sama aja kalau kita nggak bisa nemui posisi Bastian dimana. Dan akhirnya kita bakalan mengabari hal buruk ini juga ke orang tua Bastian?” Pertanyaan yang di lontarkan Iqbaal seakan mewakili berbagai pertanyaan yang terpendam di kepala Salsha dan (namakamu).
”Kita udah mencoba ngasih yang terbaik sama orang tua Bastian, beda halnya kalau kita ngasih kabar buruk ini tanpa melakukan usaha.” Tutup Aldi.
Mereka terdiam selama beberapa saat. Wajah tenang Aldi tetap fokus pada layar ponsel di hadapannya, dia masih meneliti foto itu. Sementara (namakamu) dan Iqbaal tampak sedang mengobrol pelan, berbeda dengan Salsha yang hanya diam.
”...dia nggak dateng.” Jawab (namakamu) saat Iqbaal menanyai keberadaan Thania.
”Nggak ngasih tau kamu?” Tanya Iqbaal lagi, dia tersenyum cerah saat menyibak bebera helai rambut yang menutupi wajah (namakamu). (Namakamu) menggeleng sebagai jawaban.
Ketika menatap ke dalam bola mata Iqbaal, (namakamu) di ingatkan dengan kejadian tadi malam dan itu membuatnnya teringat dengan acara bakti sosial yang akan dia lakukan minggu pagi—besok.
”Oia, aku hari minggu ada acara bakti sosial sama anggota PMR yang lain, sebenernya nggak bisa di sebut acara sih.” (Namakamu) nyengir.
”Aku ikut.”
”Nggak usah. Lagian disana aku bukannya mau seneng-seneng, aku itu mau bersihin sungai yang tersumbat.”
”Aku juga tau kali (namakamu), yakali bakti sosial makan bareng.” Iqbaal memutar bola matanya gemas. Detik berikutnya, Iqbaal merasakan (namakamu) menyelusupkan jari-jari tangan ke jemarinya lalu menggenggamnya.Gadis itu tersenyum malu.
Saat Iqbaal ingin menyuarakan kalimat yang sudah tersusun rapi, seorang murid laki-laki dengan kacamata sebesar spion mobil berjalan ke arah mereka dengan napass memburu. Setibanya di hadapan mereka, murid laki-laki itu membungkuk untuk mengumpulkan pasokan udara yang telah habis.
”Ada apa?” Aldi yang pertama kali bertanya.
Napasnya masih memburu, tapi dengan susah payah dia menyuarakan kalimat yang tadinya sudah dia susun sebaik mungkin.
”Se-sekolah...hahhh..hahhh..dapet informasi...hhahhh..hahh...kalau...hahhhhahh...”
”Kalau apa?!” Salsha naik pitam karena mungkin saja mereka akan mendapatkan kabur buruk tentang Bastian.
Murid laki-laki itu mengangkat sebelah tangannya, sementara sebelah tangannya yang bebas menekan dadanya. ”Kalau orang tua Thania mati di bunuh.”
(Namakamu), Iqbaal, Aldi dan Salsha secara bersamaan berseru kaget. ”Apa?!”

***
Kabar di bunuhnya kedua orang tua Thania secara cepat menyebar ke seantero sekolah, menghilangkan berita hangat tentang sosok-laki-laki-malang-di-foto. Meninggalnya kedua orang tua Thania yang secara mengenaskan itu tentu membuat murid-murid kelas tiga berprasangka buruk terhadapa Bella. Apakah gadis itu yang melakukannya? Mengingat kalau Bella sangat suka menindas Thania, baik secara fisik ataupun berupa hinaan. Di sisa jam sekolah, puluhan pasang mata terus memantau gerakan Bella. Dia adalah gadis iblis, begitu orang-orang menyebutnya.
”Gue mau pindah! Gue nggak peduli kalau ini emang udah terlambat! Cepat atau lambat bakalan ada salah satu murid yang jadi bulan-bulanan dia lagi!”
”Kalau memang dia yang ngelakuin, ini udah di luar batas kemanusiaan, kita harus ngelapor sama pihak yang berwajib.”
”Kita nggak punya bukti.”
”Cepat atau lambat polisi bakalan nemui siapa pelaku pembunuh orang tua Thania.”
(Namakamu), Iqbaal, Aldi dan Salsha bersidekap di pilar koridor, mereka dengan mata dan kepala sendiri menyaksikan bagaimana hebohnya murid-murid yang berlalu-lalang di koridor membahas berita hangat ini. Uniknya, mereka seakan memastikan kalau pelaku pembunuh orang tua Thania adalah Bella. Memang masih belum bisa di benarkan, tapi saat ini hanya itulah penggagas yang paling banyak di lontarkan.
Keempat manusia itu sepakat untuk pulang lebih awal untuk mengunjungi rumah Thania sebagai perwakilan murid sekolah ini. Dan sekarang Aldi sebagai ketua osis sekaligus ketua kelas di kelas Thania sedang meminta izin kepada Guru Kesiswaan. Sedangkan sisanya kembali ke kelas untuk mengambil tas masing-masing.
”Menurut kamu apa Bella di balik semua ini?” Tanya (namakamu) ragu, dia dan Iqbaal sekarang berada di koridor menuju kelas 3 IPA 1—kelas (namakamu). Setelah itu mereka baru akan menuju kelas Iqbaal—5 IPA 1.
”Aku masih belum yakin, tapi kalau memang Bella pelakunya, aku sih nggak bakal kaget,” Iqbaal merasakan atmosfer kekhawatiran menelusup ke jantungnya saat dia menatap gadis di sebelahnya. Tiba-tiba saja Iqbaal teringat dengan ancaman Bella kemarin. ”Hari ini Bella nggak keliatan.” Beritahu Iqbaal.
”Dia nggak masuk?”
”Tasnya ada.”
Hening. Keduanya jalan dalam diam, ketika sampai di kelas (namakamu), Iqbaal hanya berdiri sampai ambang pintu dan membiarkan (namakamu) masuk seorang diri untuk mengambil tas. Lalu Iqbaal melihat seorang gadis bule menghampiri (namakamu) dan membisikan sesuatu, tidak, gadis itu tidak berbisik, hanya saja Iqbaal tidak bisa mendengar ucapan gadis bule itu.
”Baal.” Tiba-tiba seseorang dari belakang menepuk pundaknya. Iqbaal terkesiap, dan segera memutar badannya.
Luvhy—Salah satu anggota Osis.
”Pak Mus nyuruh kamu ke aula atas.” Beritahunya.
”Pak Mus? Untuk?” Sebelah alis Iqbaal terangkat bingung.
”Katannya ada beberapa barang yang harus di angkut, dan nggak bisa sendiri.”
Iqbaal menghela napas, lalu dia menatap (namakamu) yang sedang berjalan ke arahnya.
”Harus aku?”
Luvhy memutar bola matanya. ”Pak Mus nyuruh kamu ya aku panggil kamu. Bukan orang lain.”
”Aldi ketua osis.” Iqbaal mencebik.
Gadis itu menggeram seolah kehilangan ke sabaran. ”Tapi Pak Mus nyuruh kamu.”
”Yaudah kali, Baal, kalau memang kamu yang di suruh nggak usah nolak. Biasanya juga kamu santai aja,” (namakamu) mendapati gadis itu tersenyum kikuk padanya. ”Aku juga harus ke UKS, Bu Agatha nyuruh aku nulis nama anggota yang akan mengikuti bakti sosial besok.”
Seakan pasrah, Iqbaal hanya ber-hm sebagai jawaban, lalu dia berjalan ke arah tangga yang akan membawanya ke lantai dua. Begitu pun juga dengan (namakamu), (Namakamu) mendesah panjang sebelum melenggangkan kakinya dari depan kelas.

***
Ketika tiba di depan UKS, (namakamu) tidak mendapati siapapun, mungkin bu Agatha ada di dalam. Sebelum masuk (namakamu) menatap kesekeliling yang sepi, mungkin guru yang bertugas sedang berada di kantor guru tengah membahas topik hangat itu. Mengingat musibah yang menimpah Thania, (namakamu) bergidik, gadis itu..bagaimana keadaanya sekarang? (Namakamu) mendadak khawatir pada Thania, yang dia tidak tahu sedang apa sekarang gadis itu.
(Namakamu) memutar knop pintu untuk membuka UKS.
”Bu Agatha?”
Hening. Suara (namakamu) seperti menggema di ruangan sederhana ini. Mungkin Bu Agatha ada di ruang obat, di dalam ruang obat itu ada perlengkapan anak pramuka, osis, dan paskib. (Namakamu) baru akan meletakan tasnya di tempat tidur saat dia mendengar pintu UKS tetutup. (Namakamu) terkesiap, dan menoleh. Jantungnya berdebar tak menentu saat mendapati Bella berada di ruangan ini. Jadi....apakah ini..sebuah jebakan?
”Bella..” Suara (namakamu) terdengar sengau.
Bella tersenyum mengerikan mengabaikan ketakutan yang mungkin saja sedang melanda (namakamu) saat ini.
”Aku udah peringati sama cowok kamu yang sok jagoan itu untuk nggak ikut campur sama urusan aku, tapi..” Bella sudah berada di hadapan (namakamu), dan tanpa (namakamu) sadari punggungnya sudah merapat ke dinding. Saat Bella membelai rambutnya, (namakamu) seperti merasakan jangtungnya melompat keluar. Kenapa dia? ”Tapi dia mengabaikan kata-kata aku, dia tetap keukeuh sama tindakan tololnya untuk ngelindungi cewek bodoh itu dan mengabaikan keselamatan kamu.” Lanjut Bella, suaranya seperti di buat-buat, dingin dan terdengar nyaring seperti lonceng di jaman kuno.
(Namakamu) mematung. ”Cepat atau lambat Iqbaal bakalan nyusul aku.”
Bella tertawa ngeri. ”Dia di lantai dua, (namakamu) dan kamu tau?...” Bella menjeda kalimatnya untuk mendekatkan wajahnya ketelinga (namakamu). ”Mungkin aja nasibnya bakalan sama kayak Bastian. Lima lawan satu itu kecil kemungkinannya bagi Iqbaal. Ha Ha Ha.”
”Kamu..” Badan (namakamu) menegang, membayangkan keadaan Iqbaal saat ini membuat nanar menyelimuti matanya.
”Ternyata kamu selemah ini.” Cibir Bella.
Dugh!
Kaki Bella melayang menendang dengkul (namakamu), membuat tubuh (namakamu) langsung merosot kebawah.
Tak hanya itu, jari-jari tangan Bella kemudian merayap ke puncak kepala (namakamu) untuk menariknya. Bella tertawa ketika mendengar jeritan kesakitan (namakamu).
”Itu nggak bakal ninggalin bekas.” Bella menjauh, dan berjalan ke arah ruang obat dan kembali dengan sebuah pisau.
Mata (namakamu) melebar. ”Ka-kamu..”
”Rasanya nggak bakalan sakit kalau kamu hanya diam.”
Dengan susah payah (namakamu) beranjak berdiri, tangannya merayap ke sekitar untuk mencari-cari benda yang mungkin saja bisa dia gunakan sebagai senjata.
”Melawan akan mendapatkan hasil yang lebih buruk.” Plak! Dengan keras Bella melayangkan tamparan ke wajah (namakamu), tak tanggung-tanggung, hal itu dia lakukan berkali-kali hingga membuat sudut bibir (namakamu) meneteskan darah.
”Kamu sama kayak cewek bodoh itu, jadi pertama-tama aku buat kamu sama kayak dia,” Bella menarik rambut (namakamu) dan memotongnya dengan pisau, (namakamu) meringis kesakitan. Apakah dia harus melawan? Bagaimana kalau sesuatu yang paling buruk akan menimpahnya di tempat ini?
”Bell, cukup.”
”Oke,” Kata Bella, menghentikan aksinya.
Dia menghempaskan (namakamu) ke tempat tidur lalu berjalan ke sudut ruangan, tepat di depan lemari yang ada disudut itu, Bella mengeluarkan ponselnya lalu meletakannya. Bella berniat merekam ini semua.
”Dan kedua...”
Bruk!
Bella baru saja akan berbalik dan mendapati (namakamu) mendobrak tubuhnya membuat Bella menghantam dinding. Pisau terhempas ke lantai, dan kaki (namakamu) segera menendang pisau itu ke bawah tempat tidur.
Bella menggeram. ”Sedikit perlawanan mungkin bakalan bikin video ini jadi seru.” Dengan sekali gerakan Bella mampu membalik keadaan, kali ini (namakamu) yang merapat kedinding. Bella dengan biadabnya menghantamkan tubuh (namakamu) kedinding secara berkali-kali. ”Lo bakalan mati.”
Tapi (namakamu) malah menghantam wajah Bella dengan sikunya. Memanfaatkan peluang, (namakamu) bergerak ke pintu untuk meloloskan diri tapi Bella sudah menarik kakinya sebelum (namakamu) menyentuh knop pintu. Tak kehabisan akal, sedikit tidak tega (namakamu) menendang wajah Bella hingga gadis itu terhempas. Knop pintu berhasil dia raih, (namakamu) buru-buru menghhambur saat pintu terbuka, sesosok laki-laki berdiri satu meter di depan pintu UKS, tanpa berpikir dua kali (namakamu) menghambur ke dalam pelukan laki-laki itu.


Bersambung...
 
 
Karya : @Aryaandaa (Muhammad Aryanda)
Instagram : Aryaandaa
Follow juga Twitterku @_BayuPrasetya
Instagrram _BayuPrasetya
Jangan lupa klik Share/Bagikan
Like juga FanPagenya di https://m.facebook.com/OfficialAryanda?refid=52&_ft_=qid.6089321748666344496%3Amf_story_key.-4267874796962675010&__tn__=C

No comments:

Post a Comment

Situs terkait